Bab 03: Belinda Qanita

Aku duduk berhadapan dengan Indra, tidak ada dalam tebakanku bahwa kami akan bertemu di toko kue ini. Toko kue yang menjadi langgananku, aku sangat menyukai kue-kue di sini. Pemiliknya pun juga cantik dan ramah yang membuatku jadi betah saja kemari.

Rasanya canggung, Indra diam saja. Di atas meja terdapat sepotong banana cheesecake yang tersaji. Ada dua buah sendok kecil berwarna perak.

Memperhatikan sosok Indra, aku tidak tahu bahwa dia menyukai makanan manis. Bahkan memilih banana cheesecake, sesuatu yang sangat berbeda dengan bayanganku. Aku kira Indra akan menyukai kopi hitam pahit, kue pun paling tidak sejenis croissant mungkin.

Tanganku bergerak lebih dulu mengambil salah satu sendok kecil. "Jadi, saya bayar Bapak berapa?" tanyaku seraya mengukur dan membuat sedikit batas di atas kue.

"Nanti saya chat," sahutnya membuatku mengernyitkan dahi.

Memangnya sesusah itu membuka nota belanjaan tadi dan membagi dua harga kue ini. "Nggak perlu deh Pak, saya ingat kok harganya," gumamku pelan sambil membatalkan niat ingin menyendok kue.

Aku memilih merogoh saku celanaku. Kalau tidak salahSeingatku, aku masih menyimpan uang sepuluh ribuan di dalam kantung celanaku. "Hutang saya lunas ya Pak," tuturku mengangsurkan uang sepuluh ribu itu di atas meja.

Saat aku menatap Indra, dia tersenyum tipis. Jujur saja dia terlihat sangat tampan, aku bahkan sampai tidak bisa mengedipkan mata. Pria di hadapanku ini tidak pernah berekspresi seperti ini.

"Kamu kerja di Mahesa Group?" tanya Indra yang memulai lebih dulu menyendok kue. Dia menyuapkan potongan kecil kue ke dalam bibirnya.

Astaga! Apa yang aku pikirkan? Kenapa aku terlalu fokus padanya?

"Saya Belinda, yang mengajak Bapak pergi ke acar Windi," tuturku jujur.

Indra tidak memberikan reaksi kaget, dia hanya menaikkan sebelah alisnya. "Punya nyali juga kamu," ucapnya membuatku meringis pelan.

Aku diam saja, memilih memakan cheesecake yang sejak tadi sudah menggodaku. Suasana benar-benar sangat canggung. Bahkan Indra tidak menyimpan uang sepuluh ribu yang aku letakkan.

Tiba-tiba ponselku berdering, aku mengeluarkannya dari saku blazer yang aku kenakan. "Hallo Ma," jawabku cepat.

"Kamu di mana dimana Bel?" tanya Mama di ujung panggilan.

Aku melirik ke arah Indra yang masih sibuk memakan kue. "Masih di toko kue Ma, mau pulang hujan," jawabku pelan.

"Oh ya sudah. Kamu bawa kunci kan?" Latar suara Mama terdengar berisik, sepertinya Mama dan Papa sedang ada acara di luar.

"Bawa," gumamku pelan dan langsung mengiyakan saja ucapan Mama yang berkata beliau menginap di rumah Bude Lilis.

Aku langsung meletakkan ponselku dengan sedikit keras, kemudian aku mengambil sendok dan menghalangi jalan sendok Indra. Aku menatap Indra dengan tajam sambil mengetuk-ngetuk sendok miliknya.

"Bapak sudah melewati batas," tegurku. Indra tertawa pelan dan aku seperti merasa telingaku salah mendengar. "Bapak bisa ketawa?" tanyaku spontan.

Aku langsung terdiam saat Indra menatapku tajam, dia bahkan berdeham pelan. Mulutku ini memang tidak bisa diajak kompromi. Suka asal ngomong saja.

Saat Indra meletakkan sendoknya dan bersandar pada sandaran kursi, aku sibuk menyendok dan menyuap cheesecake. Tidak berani menatapnya terang-terangan, aku hanya melirik sesekali. Ini rasanya seperti kita makan kue dilihatin orang tua, jangan sampai belepotan dan harus dihabiskan!

"Rumah kamu di mana dimana?" Akhirnya manusia ini bisa juga bicara dan bertanya. Mengingat soal rumah, aku belum membalas chat terakhir Indra soal alamat rumahku. "Cepat habiskan, saya antar kamu pulang," tuturnya kemudian tanpa memberikan aku kesempatan untuk berbicara.

∞∞∞

Jika tadi di toko kue ada cheesecake yang bisa sedikit mencairkan suasana, sekarang tidak ada apa-apa yang dapat membantu. Sejak mobil Indra melaju, aku baru berbicara memberitahu alamat rumahku. Selebihnya, hanya kesunyian yang ada.

Rasanya lidahku gatal, aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak berani. Manusia di sampingku ini merupakan orang kepercayaan CEO, pemilik tempatku bekerja. Bisa-bisa aku kehilangan pekerjaanku.

"Kenapa mengajakku?" tanya Indra tiba-tiba membuatku berjengit kaget karena sedang melamun.

Jantungku berdebar sangat cepat saat melihat dirinya yang datar-datar saja tapi ganteng. Pantas sekali diberikan julukan GADAR.

Ini aku jawabnya bagaimana? Jujur tidak ya?

"Saya kalah taruhan Pak," cicitku pelan dan menundukkan kepala.

Indra berdeham pelan, sepertinya dia tidak menyangka bahwa dirinya dijadikan bahan taruhan olehku dan anak-anak dari divisi HR.

"Jadi ..." Indra berhenti berucap sejenak saat harus menjalankan kembali mobil yang tadi sempat berhenti di lampu lalu lintas. ".... Saya hanya bahan taruhan?" tanyanya kemudian.

Kok aku jadi merasa bersalah ya? Ini kalau Indra membatalkan janjinya gimana?

"Bapak nggak akan berubah pikiran kan?" tanyaku yang kini berani melihat ke arah Indra. "Saya mohon Pak, saya nggak ada uang buat beli tas Prada. Dua biji pula!" pintaku dengan wajah yang aku buat memelas.

Indra melirikku sekilas, kemudian dia menghela napasnya pelan. "Oke. Ini pertama dan terakhir kalinya," setujunya. Aku pun bisa bernapas dengan lega. Tapi, kelegaan itu hilang saat mendengar Indra berkata, "Harga saya hanya setara dengan dua buah tas Prada ya."

"Tas Prada itu mahal loh Pak," ucapku pelan nyaris berbisik. Indra mendelik padaku dan membuatku memberikan cengiran. "Bercanda Pak," lanjutku langsung.

Tidak ada pembicaraan lebih lanjut lagi, bahkan sampai mobil Indra berhenti di depan rumahku. Hujan masih deras turun, sepertinya aku harus berbasah-basahan untuk turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.

"Tunggu sebentar." Indra mencegahku yang akan membuka pintu mobil. Dia bergerak maju ke arahku, kemudian membuka laci dashboard. Indra mengeluarkan sebuah payung lipat berwarna abu-abu tua. Dia mengangsurkannya kepadaku seraya berkata, "Pakai ini."

Aku mengerjapkan mata pelan, terlalu banyak rasa kaget untukku hari ini. Pria di hadapanku ini berbeda, tidak seperti banyak orang ceritakan soal dirinya. Dia baik, hanya saja caranya yang kaku dan sedikit dingin.

"Saya pinjam dulu Pak," kataku menerima payung tersebut. "Terima kasih untuk tumpangannya. Hati-hati di jalan Pak," ujarku kemudian.

Aku membuka pintu mobil dan mengulurkan payung sejenak, membuka payung hingga sempurna. Turun dari mobil dan mengangguk sekilas kepada Indra sebelum menutup pintu mobil.

Di tengah hujan, ditemani payung abu tua ini aku berjalan menuju rumah. Menoleh sejenak ke belakang, melihat mobil Indra masih di tempatnya. Aku meletakkan payung di teras rumah, merogoh kunci dari dalam tasku.

Saat aku sudah membuka pintu rumah, aku masuk ke dalam dengan payung yang sudah aku lipat. Sejenak aku mengintip dari jendela rumah, mobil Indra baru bergerak. Bibirku tersenyum tipis melihat betapa sopan dan baiknya Indra.

Aku berjalan ke kamar, mengeluarkan ponselku dari saku blazer. Mencari ruang obrolan antara aku dan Indra tadi siang.

Belinda Qanita

Bapak sudah tahu rumah saya
saya nggak perlu infoin alamat lagi kan?

"Ya ampun gue kok ganjen banget sih!" gerutuku pada diriku sendiri.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top