Bab 02: Indra Andaru
Menjadi seorang asisten CEO itu tidak mudah, terlebih lagi orang itu Putra Mahesa. Dituntut menjadi sempurna dalam setiap pekerjaan menjadikanku pria yang kaku dan tegas. Bukannya aku tidak sadar bahwa banyak karyawan lain yang menganggap diriku seperti kanebo kering, terlalu kaku dan menyebalkan.
"Indra, apa hari minggu nanti saya ada acara?" tanya Putra padaku.
"Hanya ada undangan ke acara pernikahan salah satu karyawan Pak," sahutku sambil mengikut Putra masuk ke dalam ruangannya.
Aku menyerahkan sebuah undangan yang tadi diserahkan sekretaris di depan. Putra membuka undangan tersebut, menelitinya sejenak. Dia kemudian menatapku dengan alis bertaut. "Kamu pergi sendirian kan? Bareng sama saya dan Wika saja," pinta Putra.
"Hari Minggu itu hari libur saya Pak," jawabku membuat Putra tertawa pelan. "Bapak bisa cari sopir lain, atau Bapak saja jadi sopir Bu Wika," tuturku berani.
Putra tertawa mendengar penuturanku. Dia menganggukkan kepalanya paham seraya berkata, "Kamu seperti akan pergi dengan perempuan saja, Ndra."
Manusia satu ini memang sangat tajam intuisinya. Dia bisa menebak banyak sekali pemikiranku, padahal aku sudah memasang wajah sedatar mungkin. Bersikap profesional jangan ditanya, sudah pasti ku lakukan.
Berbicara soal perempuan, aku jadi ingat dengan chat masuk tadi saat makan siang. Seorang bernama Belinda dari divisi HR mengajakku untuk pergi bersama hari Minggu nanti. Karena memang aku tidak ada pasangan dan aku tidak mau menjadi obat nyamuk Putra Mahesa dan istrinya, lebih baik aku menerima tawaran tersebut.
"Ya. Saya sudah janjian dengan karyawan divisi HR," jawabku.
Putra melotot padaku, bibirnya sedikit terbuka. "Ngehayal kamu, Ndra?" sindirnya.
Punya atasan kok ya seperti ini sekali? Kadang-kadang suka nyebelin emang.
"Maaf Pak, saya ini tidak kalah tampan dari Bapak. Tidak perlu lah Bapak berekspresi seperti ini." Aku meletakkan sebuah map cokelat tua di depan Putra.
Kepala Putra menggeleng pelan, tangannya bergerak membuka map cokelat yang aku berikan. "Saya nggak tahu kalau tingkat narsisme kamu sudah bertambah. Jangan terlalu banyak bergaul dengan Kak Dena," nasihatnya yang tidak aku tanggapi.
Aku masih berdiri menunggu Putra selesai memeriksa berkas yang memang urgent tersebut. Aku sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Mahesa, lebih tepatnya semenjak tamat dari sekolah menengah atas. Awalnya aku hanya seorang sopir mendiang orang tua Putra, hingga aku bisa melanjutkan pendidikan sambil bekerja.
Saat Putra menjabat, aku menjadi sopir Putra. Satu tahun kemudian dia mengangkatku menjadi asistennya. Bisa dibilang aku berhutang banyak pada keluarga Mahesa.
"Kapan kamu akan menikah? Sendirian terus seperti ini membuat saya bertambah takut." Kalimat Putra ini sering dia lontarkan semenjak menikah dengan Wika. Dia pernah mengatakan takut bahwa suatu saat tergoda denganku, sialan bukan?
"Saya tidak bisa menikah karena Bapak," jawabku sekenanya.
Putra mendelik tidak suka, dia mengangsurkan map cokelat yang isinya telah ditanda-tangani. "Kamu membuatnya terdengar seperti kita ini pasangan," gerutu Putra yang tidak aku tanggapi.
Aku lebih memilih mengambil map cokelat tersebut. "Permisi Pak," pamitku keluar dari ruangan CEO.
Aku kembali ke meja di depan ruangan CEO, tidak jauh dariku ada dua meja sekretaris. Terpisah sekat yang membuatku dan mereka tidak begitu saling bersinggungan. Mereka membantuku mengerjakan pekerjaan administrasi, sementara aku dijadikan kacung dua puluh empat jam oleh si Putra Mahesa.
"Belinda ..." gumamku pelan saat membaca laporan hasil rapat tadi. Nama penyusun materi rapat tadi terdapat di outline rapat yang tergeletak di atas mejaku.
∞∞∞
Semenjak Putra menikah pekerjaanku tidak lagi begitu banyak, tidak sesibuk biasanya. Itu karena Putra sudah mulai mengurangi kegilaan kerjanya. Dia lebih bisa mempercayai beberapa orang di area, hanya terkadang aku harus turun ke lapangan sesekali mewakilinya.
Weekend dan pulang tepat waktu seperti ini merupakan saat yang jarang bisa aku rasakan dulu. Sehingga kini, aku jadi bisa memanfaatkan waktu luang untuk sekedar mampir membeli makanan atau kue untuk cemilan.
Sebuah toko kue Made With Love sudah menjadi langgananku belakangan ini. Banana cheese cake di sana benar-benar sesuai dengan seleraku. Tidak terlalu manis, rasa pisangnya seimbang dengan rasa kejunya yang gurih.
Ponselku tiba-tiba berdering, menampilkan nama 'Nico' di sana. "Hallo," sapaku langsung sambil mencari parkiran kosong di depan toko kue.
"Ayah! Kalau bisa mampir ke toko kue kemarin itu, aku mau dibawakan kue ya," pintanya langsung dengan suara yang terdengar sangat menuntut.
Nico, putraku berumur lima belas tahun. "Kue yang sama?" tanyaku memastikan pesanannya.
"Kue apa aja, Nico suka kue di sana," sahutnya yang aku iyakan.
Panggilan telepon pun terputus dengan Nico yang terus memintaku membawa kue. Dia bilang akan marah padaku jika aku tidak menepati janji.
Nico itu persis seperti mendiang Helena, dia manja dan selalu ingin keinginannya dipenuhi. Tapi, aku bersyukur memiliki Nico. Setidaknya, hidupku tidak begitu sepi.
Aku berjalan menuju toko kue, mendorong pelan pintu toko kue. Seorang karyawan toko menyambut dengan ucapan selamat malam. Kakiku melangkah menuju etalase kue.
"Saya mau ini!"
"Saya mau kue itu!"
Aku menoleh saat mendengar suara lain, jari telunjuk lain juga menunjuk kue yang sama. Seorang perempuan dengan setelan kantoran, dia menatapku dengan mata terbelalak. Kemudian dia meringis malu dan sedikit menunduk sopan.
"Buat Bapak saja," ujarnya.
Aku berdeham pelan, merasa kasihan juga karena dia harus mengalah untukku. "Buat kamu saja," tuturku yang kemudian beralih ke karyawan di balik etalase kue. "Saya mau yang ini saja dibungkus dua ya," ujarku menunjuk kue di sebelah banana cheesecake.
"Bapak duluan kok yang lihat kuenya, buat Bapak saja nggak papa." Perempuan cantik itu masih saja keras kepala.
Aku menaikkan sebelah alisku menatapnya. "Kalau saya bilang buat kamu, ya buat kamu," tegasku. Akhirnya dia menganggukkan kepalanya menerima ucapanku.
"Saya mau makan di sini saja Mba," ujarnya pelan seraya menatap ke arah luar. Hujan deras sedang turun.
"Pak, saya merasa nggak enak kalau makan kuenya sendiri ..." Aku menatapnya yang terlihat ragu-ragu melanjutkan kalimatnya. "Bagaimana kalau kita berbagi saja? biar adil," usulnya kemudian.
Aku tersenyum tipis mendengar usulnya yang sangat berani. Perempuan ini punya nyali juga mengajak seorang pria berbagi kue dengannya. "Kamu menggoda saya?" tanyaku yang sebenarnya ingin menjahilinya saja.
Dia menggelengkan kepalanya, tangannya berkibas cepat. "Enggak! Saya hanya menawarkan solusi yang lebih baik. Saya nggak mau nanti di akhirat saya ditagih-tagih soal kue ini," jelasnya cepat dengan wajah yang sangat lucu.
Aku tidak begitu mengindahkannya, memilih berjalan menuju kasir yang kebetulan sudah tidak ada pelanggan. "Semuanya berapa?" tanyaku sambil menunggu kasir menghitung belanjaanku. "Masukan kue itu juga," kataku menunjuk banana cheesecake yang ada di dekat kue milikku.
"Pak, saya saja yang bayar."
Aku lebih cepat mengangsurkan uang ke kasir dan berkata, "Nanti kamu ganti setengah harga kuenya." Saat aku berbalik menatapnya, dia sedang mengerjapkan mata. "Bukannya kita akan berbagi?" lanjutku.
Lucunya, dia mendengus pelan dan mendumel, "Sampai bayarnya pun berbagi." Aku hanya tersenyum tipis mendengar ucapannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top