|6|
Jika kamu menolong lalu mengharapkan imbalan balik, itu bukan menolong tapi jual beli.
~nasihatlama~
....
....
....
....
Tujuh ratus tiga puluh hari sebelumnya.....
Pagi itu Bastian sudah berdiri di depan pintu ruang Kepala Sekolah. Wali kelasnya mengatakan bahwa pak Bupati ingin bertemu dengannya. Melihat pintu ruang kepala sekolah tertutup, sehingga Bastian harus mengetuk pintunya beberapa kali.
"Masuk," Perintah Haris selaku Kepala Sekolah.
Setelah diperbolehkan, barulah Bastian masuk dan mengucap salam dengan sopan.
"Silahkan duduk, Bass." Haris tersenyum.
Bastian mengangguk dan mengambil tempat duduk di depan Kepala Sekolah.
"Pak Barret, ini dia yang namanya Bastian Dirgantana. Siswa yang mendapatkan nilai tertinggi saat tes ujian masuk sekolah ini. Dia juga sekelas dengan dua putri Anda, Hayati dan Kinda. Silahkan sampaikan apa yang ingin Anda katakan. Saya akan pergi keluar supaya Anda dan Bastian bisa lebih leluasa untuk berbicara."
"Terimakasih pak Haris," Ujar Barret tersenyum.
Begitu Kepala Sekolah keluar dari ruangan tersebut, Barret pun memulai obrolan dengan Bastian.
"Perkenalkan, saya Barret Mendrofa."
"Ya saya tahu. Anda seorang Bupati."
"Baiklah." Barret tersenyum sembari mengangguk. "Pasti sekarang kamu bingung dan bertanya-tanya mengapa harus berada di ruangan ini berdua dengan saya." Sejenak Barret menghela napas. Lalu menatap lurus ke Bastian.
"Seperti yang dikatakan oleh kepala sekolah tadi, saya punya dua orang Putri. Hayati Kahla adalah putri kandung saya dan Kinda Prameswara itu anak tiri saya dari pernikahan ke dua. Mereka tidak pernah akur satu sama lain. Saya tidak tahu apa yang Kinda lakukan pada Hayati, sampai putri saya itu berubah total. Hayati yang dulunya pintar dan rajin kini jadi pemalas. Biasanya selalu dapat peringkat satu kini jadi paling terakhir, semua nilainya turun drastis. Termasuk bahasa inggrisnya, padahal saya tahu Hayati mampu. Bahkan dari umur 12 tahun, dia sudah menguasai tiga bahasa asing. Karena saya yang mendidiknya dari kecil, jadi saya tahu kemampuan dia. Saya sudah pernah mengintrogasi mereka berdua tapi tidak ada yang mau bicara. Saya pun tidak bisa marah pada Kinda. Karena saya menyayanginya seperti putri kandung sendiri. Meskipun dia sering membantah ucapan saya, tapi saya maklum. Karena Kinda belum bisa menerima saya sebagai pengganti Papanya yang sudah meninggal."
"Lalu tujuan pak Barret memanggil saya ke sini untuk apa?" Tanya Bastian sopan.
"Kata pak Haris, kamu adalah siswa peringkat satu yang mendapatkan nilai tertinggi saat tes ujian masuk sekolah. Dan yang nomor dua itu Kinda. Jadi saya ingin minta tolong padamu, untuk menjadi teman putri saya Hayati. Bantu dia mengerjakan tugas dan ujian sekolah hingga lulus nanti. Kalau kamu bersedia, saya berjanji akan membiayai kuliah kamu sampai wisuda."
Bastian terdiam sejenak memikirkan perkataan itu. Lalu kepalanya mendongak ke depan menatap pak Bupati. "Saya belum hafal wajah-wajah teman di kelas, boleh saya melihat foto putri pak Barret?"
Barret Mendrofa mengangguk dan segera menunjukkan wajah Hayati juga Kinda yang dia simpan di ponsel miliknya.
*****
"Ada apa Mas?" Tanya Desember panik begitu mendengar suara teriakan suaminya dan Hayati dari dalam kamar.
Langit berdiri di depan pintu dengan wajah yang terlihat pucat pasi. "Kenapa bocah alay itu ada di dalam kamar kita Des? Aku pikir itu kamu jadi aku peluk dan selanjutnya kami berdua teriak bareng karena sama-sama kaget."
"Mas Langit kebiasaan deh, main peluk tiba-tiba."
"Kenapa kamu jadi nyalahin aku? Aku juga nggak mau peluk-peluk perempuan lain. Memangnya aku laki-laki murahan apa? Asal kamu tahu ya, aku itu tipe yang setia."
Desember mencoba menjelaskan maksud ucapannya. "Aku nggak nyalahin. Aku percaya kok sama mas Langit. Maksud aku itu, lain kali kalau mau peluk pastiin dulu orangnya siapa."
Langit tampak kesal. "Lagian kenapa dia bisa ada di kamar kamu sih Des?"
"Hayati tadi kehujanan. Sambil nunggu supirnya datang, aku suruh dia mandi dulu. Berhubung dia nggak ada baju ganti, aku nyuruh dia pakai baju aku yang ada di kamar. Gitu ceritanya."
Sementara itu Bastian yang berada di belakang Desember langsung berinisiatif masuk ke dalam kamar untuk mengecek keadaan Hayati. Namun baru beberapa detik, Bastian spontan keluar lagi dan segera menutup pintu.
"Kenapa Bass?" Tanya Desember.
"Itu kak Des, tolong tenangkan Hayati dulu di dalam. Dia kelihatan syok banget. Aku nggak bisa masuk karena dia masih pakai handuk."
"Biar Kakak yang bicara ke Hayati. Mas Langit sama Bastian ke dapur aja. Kasihan Bapak sendiri nunggu di meja makan."
Setelah insiden tersebut, suasana makan malam pun terasa canggung. Tak ada kata yang terucap, hanya denting sendok beradu dengan piring yang memenuhi ruangan.
Bastian dan Hayati duduk bersampingan berhadapan dengan Langit dan Desember. Sedangkan Ayahnya Desember duduk di kursi ujung depan.
Sayur asem, tempe goreng, gurame goreng dan sambal terasi menjadi menu makan mereka.
Ketika Langit ingin mengambil tempe goreng yang ada di piring, dengan sengaja Hayati menarik piring itu ke arahnya, membuat Langit hanya bisa menggapai udara kosong. Hayati berpura-pura acuh dan meneruskan makan ketika semua mata mengarah padanya. Sampai sebuah senggolan pelan dari Bastian membuat Hayati berhenti makan dan melihat ke arah kak Langit yang menatapnya tajam.
"Apa? Calon abang ipar mau nambah lauk? Nih…." Hayati mengambil sambal terasi dengan sendok dan menaruhnya di atas piring Langit. Dia mengulang itu sampai beberapa kali lalu mengaduknya bercampur dengan nasi yang ada di piring.
Semua mata menatap horror melihat nasi yang ada di piring Langit berubah warna kemerahan.
"Masih kurang?" Tanya Hayati ketika Langit menatapnya semakin tajam.
"Kamu ya!" Langit mulai tampak geram. Namun beruntung ada Desember yang langsung sigap meredam kemarahannya.
Sementara Hayati melanjutkan makan mengabaikan yang lainnya. Tak ada yang berani mencegah atau menegurnya.
Selesai makan Hayati duduk di teras rumah. Rasa bosan mulai melandanya karena wak Udin, panggilannya untuk supir keluarga yang sudah berumur itu belum juga menjemput. Padahal jam di tangannya sudah menunjuk pukul delapan malam.
Hayati mengayun-ayunkan kaki untuk menghilangkan rasa bosan. Lalu dia melirik Bastian yang duduk di sampingnya menatap langit malam sambil memetik gitar.
"Apa bagusnya sih langit gelap tanpa bintang Bass? Mending kamu lihat aku yang cantik seperti bidadari dari khayangan ini," Ujar Hayati dengan menaik-naikkan satu alisnya ke atas.
Bastian mendengus dan memutar kedua bola matanya.
"Ekhem!" Langit berdehem dengan posisi bersender pada kusen pintu. "Abang minta maaf, itu tadi nggak sengaja. Abang nggak tahu kalau yang di kamar tadi itu kamu."
"Ay mau maafin calon Abang ipar, tapi ada syaratnya."
"Syaratnya apa?"
"Calon Abang ipar harus suruh Bastian tanggung jawab dan nikahin Ay."
Bastian terkejut dan menatap Hayati. "Kenapa jadi aku? Apa hubungannya coba?"
"Aku itu udah ternoda Bass. Aku nggak suci lagi karena bang Langit udah jadi pria pertama yang meluk tubuh aku. Padahal harusnya kamu yang pertama. Dan berhubung adik iparnya bang Langit itu kamu, jadi kamu yang harus gantiin tanggung jawab itu. Soalnya bang Langit udah nikah sama kak Des."
Spontan satu tangan Langit menoyor kepala Hayati karena gemas dengan tingkahnya. "Yeeee! Itu sih memang maunya kamu dinikahin Bastian. Sok pakai alasan udah ternoda dan nggak suci segala."
"Masih untung nggak aku aduin ke Kak Seto," Ujar Hayati merengut. Kemudian satu tangannya menengadah ke arah Langit. "Minta kunci."
Langit tampak bengong seperti model iklan air minum penghilang dehidrasi ringan.
"Kunci motor. Itu buat kompensasi perbuatan bang Langit ke Ay."
Dalam keadaan bingung, Langit menyerahkan kunci motornya ke Hayati.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti guntur, padahal hujan sudah lama berhenti. Pandangan Hayati beralih ke arah Bastian.
"Bass, anterin Ay pulang ya," pintanya sambil menyeret lengan Bastian untuk mengeluarkan motor dari teras.
"Ay, ini nggak apa-apa kamu naik motor?" Tanya Bastian ketika Hayati sudah duduk di jok belakang.
"Nggak papa Bass, tenang aja. Lagian sekarang sudah malam, emang kamu mau aku nginap di rumah dan sekamar sama kamu? Aku sih hayuk-hayuk aja. Paling besoknya kita udah disahin jadi suami istri."
Terlihat Bastian bergidik membayangkan hal itu. Lalu dia mulai memakai helm dan melajukan motornya.
19-April-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top