|4|
Kita akan kesusahan melihat sisi baik dari seseorang, apabila kita hanya terfokus pada keburukannya saja.
....
....
....
Langkah kaki Hayati terus bergerak cepat menuju arah kelas. Ia tidak perduli lagi dengan suasana sepi atau menyeramkan tempat itu. Bahkan jika ada setan yang menegurnya sekalipun, dia tidak segan untuk mencakar wajahnya.
Hayati marah. Hayati kesal. Hayati tidak suka jika Bastian berbicara atau dekat dengan cewek lain, termasuk saudara tirinya Kinda. Selama ini Bastian hanya dekat dengannya dan hanya berbicara dengan dia. Hayati merasa kalau Kinda akan mengambil Bastian darinya. Sejak SMP Hayati selalu sendiri, dia tidak memiliki teman di sekolahnya. Itu semua karena ulah Kinda. Dan jika itu terjadi lagi, maka Hayati benar-benar akan kehilangan satu-satunya teman yang dia sayangi.
Sesampainya di kelas, Hayati langsung membuka tas dan mengambil bekal bewarna biru yang berisi cabai rawit. Setelah itu, dia pergi ke belakang sekolah. Tanpa alas, Hayati duduk di lantai semen yang berdebu. Dipandangnya beberapa pohon sawit yang tumbuh di sana. Dia mulai membuka mulut dan memakan cabai tadi. Entah sudah berapa butir cabai yang ia makan. Hayati terus mengunyah, tanpa memperdulikan rasa pedas di lidahnya. Terlihat jelas dari wajah Hayati yang sudah dibanjiri dengan keringat.
"Kamu nggak dengar suara bunyi bel?"
Hayati sangat mengenali suara cowok itu. Jadi dia tidak perlu balikkan badan untuk memastikannya.
"Dengar." Hayati menjawab dengan mulut yang masih mengunyah.
"Kenapa nggak masuk?"
"Lagi pingin bolos."
"Ayo masuk."
Hayati menoleh ke belakang dan menatap Bastian. "Aku udah bilang lagi pingin bolos. Udah sana, pergi aja Bass. Sekalian suruh Kinda pindah jadi teman sebangku kamu. Nanti aku bakal duduk di belakang sendiri," Ujarnya tenang. Lalu dia kembali memandang pohon sawit sambil menghapus cairan yang kuar dari hidungnya akibat kepedasan tadi dengan menggunakan sapu tangan.
Bastian mengambil posisi dengan duduk di sebelah Hayati. Tangannya terulur mengambil bekal biru itu dari pangkuan Hayati dan membuang isinya. "Kalau bosan hidup,jangan makan cabai. Langsung nengguk racun padi aja, Ay."
"Nggak apa-apa dibuang, besok aku bisa beli lagi kok." Hayati masih bersikap biasa. "Dan siapa bilang aku mau mati? Terus kamu ngapain masih di sini? Udah sana pergi. Aku yang datang duluan ke tempat ini, jadi biarkan aku sendiri. Lagian siswa teladan kayak kamu nggak boleh bolos jam pelajaran. Udah sana!" Dia mendorong pelan bahu Bastian.
"Iya kamu benar juga. Untuk apa aku ke sini?" Bastian berdiri sambil membersihkan celananya dari debu lantai yang ia duduki. "Buang-buang waktu ngebujuk orang seperti kamu. Yang ketinggalan pelajaran kan kamu, bukan aku. Yang bodoh kamu, bukan aku. Yang nggak lulus sekolah juga kamu, dan bukan aku. Jadi terserah kamu aja."
Hayati pun ikut berdiri tapi tidak beranjak dari tempatnya. Kali ini wajahnya terlihat geram. "Yaudah pergi sana! Aku juga nggak minta dibujuk!"
"Aku memang niat mau pergi."
"Nyebelin!" Teriak Hayati. "Mending nggak usah datang ke sini kalau cuma niat buang cabai rawit punya aku!"
Bastian tersenyum sepatah dan terus berjalan ke depan tanpa menoleh ke belakang lagi.
*****
Sekitar jam enam sore Bastian tiba di rumah, ia baru saja pulang dari tempat bimbingan belajar. Gerakan tangannya yang membuka pakaian berhenti saat mendengar deringan ponsel biasa miliknya. Keningnya berkerut melihat nama om Barret M yang menghubunginya.
"Iya Om?"
"Bastian, maaf kalau Om menganggu. Tapi apa Ay ada main ke rumah kamu?"
"Ay tidak ada di rumah saya Om."
"Dari tadi siang dia belum pulang. Supirnya juga bilang kalau Ay tidak ada di sekolah. Saya khawatir sekali, bahkan ponselnya tidak aktif."
Bastian dapat mendengar suara keresahan dari Bapak bupati tersebut. "Dia memang bolos saat jam mata pelajaran terakhir Om. Tapi saya tidak tahu kalau dia bakal nekad sampai sejauh ini."
"Apa dia memiliki masalah di sekolah?"
"Hanya masalah kecil. Dia ribut dengan Kinda dan saya membuang cabai miliknya. Mungkin karena itu dia marah."
"Astaga... Anak itu benar-benar. Saya sudah tidak tahu harus dengan cara apalagi untuk membuatnya berhenti mengkonsumsi cabai."
"Ya sudah Om, biar saya coba bantu cari Ay dulu. Mungkin dia ada di tanah lapang menonton pertandingan sepak bola. Nanti kalau sudah ketemu, saya akan kabarin Om."
"Terimakasih Bastian, kamu memang selalu bisa saya andalkan untuk menjaga putri saya. Sekali lagi terimakasih."
Bastian hanya bergumam. Setelah sambungan telepon berakhir, Bastian segera mengganti pakaiannya.
Desember terlihat bingung saat melihat Bastian keluar dari dalam kamar dengan terburu-buru.
"Mau kemana Bass?"
"Hmm... Keluar bentar Kak."
"Tapi kamu kan baru saja pulang. Mau kemana lagi?"
Bastian membuka pintu rumah. "Mau cari Ay, Kak. Tadi Papanya telepon, bilang dia belum ada di rumah sampai sekarang."
"Ya Tuhan." Desember ikut panik. "Apa dia punya masalah, makanya nggak mau pulang ke rumah?"
"Nanti akan Bastian ceritakan Kak. Aku pergi cari dia dulu ya?"
Desember mengangguk paham, lalu sosok Bastian menghilang begitu pintu tertutup.
16-April-2018
Muka Bastian gue tutup. Hahahaa ntar visualisasinya gue tunjukin 😂😂😂 selamat malam minggu Mblo!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top