|3|

Seorang wanita mampu menyembunyikan rasa CINTANYA selama bertahun-tahun. Namun mereka tidak akan mampu menyembunyikan rasa CEMBURUNYA walau hanya sesaat.

....
....
....

Tidak ada yang bisa menebak bagaimana jalan pikiran seorang remaja perempuan bernama Hayati Kahla. Pagi hari ini, seperti orang yang kurang kerjaan dia sudah berdiri di depan teras rumah Bastian. Dia terlihat rapi dengan seragam sekolahnya. Tingkat kepercayaan diri Hayati juga begitu kuat. Ditambah lagi dengan jepitan kupu-kupu yang bertengger manis di kepalanya, membuat ia seolah paling imut dan cantik di seluruh provinsi Sumatera Utara terkhususnya di bagian kecamatan Sei Rampah.

"Bastian... oh Bastian....!" Teriak Hayati lantang. Dia tidak sadar jika suara cemprengnya itu berpotensi merusak gendang telinga bagi orang yang mendengarnya.

Wajah Hayati terlihat sumringah kala sosok Desember muncul. "Eh ada calon kakak ipar ternyata. Pagi kak Des," Ucapnya ramah seraya mencium tangan Kakak Bastian tersebut.

"Hayati?"

"Ay... panggil Ay aja kak Des. Jangan Hayati," Ujarnya merengut.

Desember menepuk keningnya pelan. "Eh iya kak Des lupa. Ay ngapain datang ke sini pagi-pagi?"

"Ay mau pergi sekolah bareng Bass."

"Memangnya supir kamu nggak antar ke sekolah?"

"Ay suruh supirnya turunin di simpang tadi. Terus Ay suruh pulang deh. Ay kan mau digonceng naik sepeda kesekolah bareng calon suami."

"Siapa calon suami kamu?" Tiba-tiba terdengar suara berat milik Langit yang ikut nimbrung dan langsung berdiri di samping Desember.

"Eh ini suami kak Des ya?" Tanya Hayati ramah. "Selamat pagi calon Abang ipar." Hayati menampilkan senyuman di bibir.

Kedua mata Langit meneliti tajam sosok Hayati dari ujung kaki hingga kepala. "Muka kamu nggak asing. Mirip dengan pak Bupati kita."

"Dia memang putri kandungnya pak Barret Mendrofa." Desember memberi jawaban pada suaminya.

"Hah? Serius?" Langit terkejut.

"Iya."

Obrolan mereka terhenti saat Bastian keluar dengan pakaian seragam putih abu-abunya. Dengan santai dia duduk di kursi kayu teras sambil memakai sepatu. "Kamu ngapain ke sini Ay?"

"Mau ketemu sama calon suami dong." Hayati sudah duduk manis di sebelah Bass.

Langit mendengus. "Calon suami? Memangnya Bass mau sama kamu?"

Bibir Hayati cemberut mendengar perkataan Langit. Lalu dia menatap Bastian. "Mau kok. Iya kan Bass?" Tanyanya memastikan.

Bastian berdiri dari posisinya sambil menyandang tas begitu selesai memakai sepatu. "Sekolah yang benar dulu, Ay. Jadi orang yang sukses. Baru pikirkan nikah."

Kepala Hayati mengangguk cepat. "Iya Bass. Ay rela kok menjadi jembatan batu selama 500 tahun. Terkena terik panas matahari dan hujan, demi menunggu Bass jadi orang sukses yang akan melamar Ay nanti."

"Hoakss." Langit merasa perutnya mual melihat tingkah Hayati yang super alay.

Sementara Bastian memutar kedua bola mata. "Kamu itu kebanyakan nonton sinetron kera sakti."

"Ayolah Bas... buka hatimu. Bukalah sedikit untukku....." Ujarnya dengan menggunakan lirik lagu dari salah satu band ternama di Indonesia, Armada.

"Mau nyanyi apa mau pergi sekolah?" Tanya Bass dengan tatapan datar.

"Mau sekolah dong, tapi habis itu jadi istri kamu ya?"

"Hoakss!" Kembali Langit menampilkan ekspresi berpura-pura muntah. Dia lebih memilih menonton sinetron Kuasa Ilahi daripada kisah cinta anak SMA yang alay seperti Hayati.

Di lain sisi, raut wajah Hayati terlihat kesal. Dia merasa tidak pernah memiliki hutang atau terlibat kasus dengan Abang ipar dari Bastian itu. Tapi mengapa Langit terlihat ingin mengibarkan bendera perang padanya? Hayati memperingatkan diri agar lebih berhati-hati, sebelum pria itu mengganggu misi dan visinya untuk mendapatkan Bastian.

"Malah bengong. Mau pergi bareng aku apa enggak Ay ke sekolah?" Suara dari Bastian menyadarkan Hayati ke dunia nyata. "Aku tinggal ya?"

Hayati bergeleng manja. "Ikut."

"Yaudah cepat geraknya."

Hayati pamit pada Desember dan meleletkan lidahnya kepada Langit yang langsung diberi pelolotan mata dari pria tersebut.

Spontan saja dia berlari menghampiri Bastian yang sudah berdiri menunggunya. Hayati duduk digoncengan sepeda menikmati kebersamaannya dengan Bastian.

"Besok-besok nggak usah datang lagi. Ban sepeda aku nggak sanggup nahan beban terlalu banyak kalau tiap hari gonceng kamu."

"Jangan gitu ah Bass, aku kan jadi malu. Berat-berat gini juga enak loh kalau dipeluk. Jadi kamu nggak perlu bantal guling yang empuk lagi, kan udah ada aku... Aw!" Pekik Hayati saat sepeda itu menabrak lubang yang cukup besar di jalan dan membuat bokongnya merasakan sakit. "Hati-hati dong Bass!"

"Aku sengaja pilih jalan yang berlubang. Biar kamu berhenti ngoceh dengan pikiran kotor itu."

Hayati mengembungkan kedua pipinya. Tapi bukan Hayati namanya jika tidak punya seribu cara untuk menggoda Bastian. Dengan iseng dia melingkarkan kedua tangannya di pinggang cowok itu seperti posisi memeluk dari belakang. Hayati tersenyum saat merasakan tubuh Bastian tegang.

"Kamu ngapain?" Tanya Bastian menoleh ke belakang.

"Takut jatuh, jadi aku butuh pegangan."

"Lepas Ay!" Bastian memberi peringatan. "Cukup pegang baju aku aja."

"Ih aku takut jatuh Bass." Hayati menahan tawanya.

Bastian merasa risih karena tidak biasa melakukan hal seperti itu. Dia terus menoleh ke belakang menyuruh Hayati untuk tidak mengganggunya. Tapi Hayati mengabaikan permintaan cowok itu. Hingga akhirnya sebuah klakson motor dari arah depan mengejutkan Bastian untuk kembali menatap jalan.

*****

Sepanjang jam pelajaran Bastian mendiamkan Hayati. Dia benar-benar marah dengan teman sebangkunya itu. Hampir saja tadi pagi mereka kecelakaan gara-gara keisengan Hayati, beruntung dewi fortuna masih memihak pada mereka berdua.

Begitu bel istirahat berbunyi, Bastian segera keluar dari dalam kelas tanpa sosok Hayati yang biasa berjalan mengekorinya dari belakang. Cewek itu hanya duduk diam menatap punggung Bastian dari tempat duduknya. Di sekolah, Hayati sama sekali tidak memiliki teman akrab. Hanya Bastian. Karena cuma dia yang mau mengajak Hayati bicara dan menjadi teman sebangkunya saat pertama kali mereka menjadi murid baru di sana.

Hayati menghela napas dan menempelkan dagu ke tepi mejanya. "Masa gitu aja ngambek." Dia merengut sembari mencoret-coret kertas dengan pena.

Detik berikutnya dia melirik ke kiri-kanan dan belakang. Pandangan matanya menyapu seluruh ruangan kelas yang tampak sepi dan mencekam. Tidak ada orang lain di sana, hanya dia seorang. Membuat Hayati parno akan keberadaan sosok hantu. Hayati takut dengan makhluk halus dan kasar. Konon di sekolahnya itu memang sering terjadi kesurupan pada siswa-siswa yang sering melamun ataupun menyendiri di dalan kelas.

Hayati bangkit berdiri sambil melakukan gerakan tangan yang membentuk tanda salib. Dengan gaya lari seribu dia keluar dari dalam kelas yang diiringi suara teriakan histerisnya.

Di lain sisi, Bastian tampak tenang membaca buku yang ada di tangannya. Duduk di lantai sambil menyandarkan punggung ke dinding dekat rak buku perpustakaan. Menurut Bastian buku adalah teman terbaik dan jendela dunia bagi orang yang ingin maju.

Seketika kepala Bastian mendongak ke atas saat seseorang mengambil buku dari tangannya.

"Aku mau baca buku ini," Seru Kinda jutek yang tidak lain adalah saudara tiri dari Hayati.

Bastian mengalah. Lalu dia berdiri dan mengambil buku bacaan yang lain.

"Aku juga mau yang itu," Ujar Kinda lagi merebut buku yang baru saja Bastian pegang.

Cowok itu masih diam. Dia tidak ingin memiliki masalah dengan seorang cewek. Apalagi Kinda salah satu murid terpintar yang menjadi saingannya merebut peringkat juara umum di sekolah. Bastian lebih memilih untuk pergi namun suara Kinda sukses membuatnya berhenti.

"Kenapa nggak marah?" Tanya Kinda menatap punggung Bastian.

"Aku sudah membaca buku itu sampai tiga kali. Jadi kamu silahkan baca sepuasnya." Bastian hendak pergi lagi.

"Kenapa kamu mau berbicara dengan Hayati sementara aku tidak? Kenapa kamu berteman dengannya dan aku tidak? Sejak awal masuk sekolah, kamu bahkan tidak pernah bertegur sapa denganku atau teman-teman sekelas yang lain. Hanya Hayati dan guru-guru di sekolah ini. Kamu cowok aneh yang pernah aku kenal."

Kata-kata Kinda barusan sukses membuat Bastian tidak jadi pergi dan kini dia sudah berbalik badan menghadap Kinda.

"Maaf, kalau selama ini kamu dan teman yang lainnya merasa nggak nyaman dengan sikapku. Aku nggak berinteraksi dengan teman di kelas, itu karena aku merasa nggak nyaman dan nggak nyambung dengan obrolan mereka. Aku nggak menyalahkan itu. Mungkin di sini aku yang memang agak berbeda dari kebanyakan siswa biasanya. Sedari kecil aku suka merancang kegiatan apa yang akan aku lakukan hari, esok dan seterusnya. Semua terjadwal dan tersusun seperti yang aku inginkan. Tujuannya satu, karena aku ingin jadi orang yang berguna untuk keluargaku. Jadi nggak ada waktu untuk nongkrong dengan teman dan bercerita sambil tertawa haha hihi bagiku. Bukan bermaksud sombong, tapi aku nggak bisa mengikuti gaya hidup seperti itu. Dan untuk Hayati, dia adalah teman sebangku aku. Mau nggak mau, aku memang harus berinteraksi padanya. Jadi kuharap kamu puas dengan jawabanku ini, Kinda."

Buku dari tangan Kinda terjatuh ke lantai. Baru kali ini Kinda mendengar Bastian menyebut namanya setelah dua tahun lebih mereka satu kelas. "Kamu tahu namaku? Ini pertama kalinya kamu menyebut namaku."

"Meskipun jarang berinteraksi, aku hafal dengan semua nama teman di kelas kita. Termasuk kamu."

Kinda menggigit bibir bawah untuk menahan senyuman di bibirnya. Dia merasa senang mengetahui Bastian tahu namanya. Lalu dia berjongkok, mengambil buku yang tadi sempat jatuh di lantai. Dan betapa terkejutnya ia saat Bastian ikut menunduk membantunya mengambil buku tadi.

"Hmm... aku bisa mengambilnya sendiri." Kinda terlihat kikuk. Lalu ia menerima buku itu dari tangan Bastian. "Terimakasih."

Bastian hanya mengangguk dan kembali menegakkan tubuhnya. Namun saat ia berbalik, sudah ada Hayati berdiri di sana dengan kedua tangan yang terkepal. Dia berjalan ke depan sambil menatap Kinda. Dan tanpa diduga, Hayati langsung menyerang Kinda. Bastian terkejut dan menarik tubuh Hayati untuk menjauh.

"Lepas Bass! Lepas!" Teriak Hayati.

"Kamu kenapa? Kesurupan?!"

"Aku nggak kesurupan." Kedua mata Hayati melotot. "Aku nggak suka sama Kinda. Dia mau ngambil kamu dari aku! Dia jahat Bass!" Teriak Hayati lagi.

Mendengar suara ribut, spontan membuat guru yang bertugas menjaga perpustakaan itu pun bangkit dari tempat singgasananya. Dia ingin melihat wajah orang yang telah mengusik ketentraman seorang guru perawan tua yang bernama ibu Sinaga itu. Ibu Sinaga berdiri diantara Bastian, Hayati dan Kinda. Kepalanya menunduk sedikit dengan jari telunjuk menahan kaca mata di batang hidungnya. Dipandang satu per satu wajah mereka.

"Hey... hey... ada apa ini kalian ribut-ribut? " Seru ibu Sinaga dengan logat batak. Lalu bola matanya melirik ke arah Bastian. "Bah! Kenapa pulak kau peluk-peluk dia seperti itu?"

Bastian yang baru sadar spontan melepas Hayati dari pegangannya.

"Jadi ini ada apa? Coba dulu kalian cerita biar Ibu yang dengar," Ujar guru Sinaga seraya berkaca pinggang.

Kinda merapikan pakaian dan rambutnya yang tadi berantakan. Dia memandang tajam ke Hayati. "Nggak ada Bu. Tadi kami cuma drama untuk tugas kelompok mata pelajaran bahasa Indonesia."

Kening ibu Sinaga berkerut. "Ini ruang perpustakaan bukan tempat teater untuk melakoni drama. Kalian tahu tidak? Suara ribut kalian itu mengganggu kenyamanan Ibu dan juga siswa."

"Kami bertiga minta maaf atas perbuatan tadi," Ujar Bastian. "Ibu boleh menghukum kami karena telah melanggar peraturan di perpustakaan ini."

"Ibu suka dengan siswa seperti kau ini Bastian. Memang cocoklah kau jadi siswa teladan. Udah pintar, ganteng, pintar pulak ya kan? Tapi kenapa lah kau ikut terjebak dengan masalah seperti ini. Ibu harap kau tidak membuat keributan lagi. Sayang pulak aku lihat kau."

Bastian hanya mengangguk pelan.

"Dan kau Kinda, Hayati. Kalau kalian berulah lagi, Ibu lapor langsung ke Ayah kalian nanti. Mengerti kalian?"

"Iya Bu." Hanya Kinda yang menyahut. Sementara Hayati diam dengan tangan terkepal.

"Ya sudah. Karena Ibu tidak tega menghukum yang berat-berat. Jadi kalian cuma Ibu larang untuk datang ke perpustakaan ini selama tiga hari depan."

Bastian dan Kinda mengangguk. Kecuali Hayati, dia malah menatap Bastian. Lalu setelah itu dia pergi begitu saja dengan sejuta rasa kesal di hatinya.

15-April-2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top