5. Dinner.

Luciavy kembali menatap pintu kamarnya yang di ketuk. Dengan takut ia membuka pintu dan terpaku saat mata tajam itu menatapnya.

Tanpa ada yang bicara, keduanya saling bertatapan dalam diam. Luciavy  seakan membeku saat mata tajam itu menatapnya lekat. Gelap, pekat, dingin, dan tak ada sedikitpun cahaya. Itulah yang Luciavy rasakan saat mata itu menatapnya. Bola mata hitam pekat tak berkedip hingga tangan pemuda itu terulur untuk menyentuh keningnya.

"Kau," ucapnya tertahan saat Luciavy menghindari sentuhan itu.

"Ma-maaf, apa kau ada masalah atau-"

"Lupakan. Aku salah kamar!" potong pemuda itu cepat dan berbalik.

Luciavy heran saat pemuda itu berlalu dari hadapannya begitu saja. Luciavy menatap punggung itu. Yang perlahan berbalik dan wajah tampan itu menatapnya tajam. Untuk beberapa detik Luciavy kembali membeku. Hingga pintu kamar itu tertutup bersamaan dengan pemiliknya yang hilang.

"D-dia terlihat sangat gelap." ucap Luciavy pelan.

Luciavy menutup pintu kamarnya dan berpikir sesaat. "Aku merasakan dingin dan seakan membeku hanya dengan tatapan matanya. Itu membuatku merasakan sakit seperti rasa sepi yang tak berujung."

Luciavy mencoba mencerna kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu saja. Lalu menggeleng dan mengacak rambut panjangnya. "Ahk, apa yang sudah kukatakan. Sekolah ini aneh dan orang-orangnya pun juga aneh."

Luciavy merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan menikmati rasa nyaman yang baru kali ini ia rasakan.

"Ahk, ini begitu empuk dan nyaman. Aku sangat menyukainya. Dan itu membuatku sedih. Kenapa kasur di rumahku tak senyaman ini. Kenapa aku harus selalu memakai barang-barang bekas Zefanya?"

Luciavy diam sesaat. "... Zefanya. Ahk, sedang apa dia sekarang? Tiba-tiba aku merindukannya. Ahk,  aku pasti sudah gila. Jelas-jelas dia tersenyum penuh kemenangan saat melihatku pergi dari rumah. Dia kejam sekali."

Satu jam berlalu. Sebuah ketukan pintu membuat Luciavy mengerjap pelan dan membuka pintu dengan malas.

"Kau terlambat untuk makan malam, Nona Luci."

Luciavy terkejut dan langsung menunduk dalam. "Ahk,  maafkan aku, Miss. Maafkan aku."

"Kami dan yang lain tengah menunggumu di ruang makan lantai dasar."

"Aku akan bergegas." ucap Luciavy masih dengan menunduk berulang-ulang.

Zalova mengangguk dan berlalu. Luciavy langsung berhambur menuju kamar mandi dan bersiap untuk makan malam. Saat membuka lemari pakaian, ia tertegun dan bingung untuk memilih pakaian. Pilihannya tetap jatuh pada baju bekas Zefanya yang masih terlihat layak untuk ia kenakan. Ia mengikat asal rambutnya dan bergegas keluar kamar menuju ruang makan di lantai dasar.

Luciavy berdiri di pintu dan melangkah pelan saat seluruh mata tertuju padanya. Luciavy balas menatap sesaat dan menunduk karena menyadari bahwa hanya dirinyalah yang dari kalangan manusia.

"Dia kah orangnya? Tak buruk,"

Luciavy terhenti dan menatap seorang gadis yang menatapnya dengan tatapan mengejek.

"Aku berani bertaruh, dia dari kalangan bawah." sambung gadis yang lain.

Luciavy menunduk dan kembali berjalan ke depan. "Sial!  Kenapa lorong ini sangat panjang. Kenapa ada banyak iblis di sini? Aku tak tahu bahwa murid di sini akan sebanyak ini."

"Aku tak yakin tapi aku merasa dia bukanlah di antara kita. Tak ada darah iblis dalam tubuhnya," ucap seorang pemuda dengan rambut cokelat yang tengah menatap Luciavy sambil tersenyum.

Luciavy menatap seluruh makanan yang tersaji. Lalu pada meja di sampingnya yang menampilkan masakan lebih mahal. Lalu pada meja sampingnya yang terlihat lebih mewah. Lalu satu meja lagi yang menyediakan berbagai masakan mahal dan terlihat sangat menggiurkan. Luciavy mengambil piringnya dan menghampiri meja yang menyediakan masakan paling sederhana. Saat tangannya terulur sebuah suara membuat tangannya terhenti.

"Lihatlah, sudah kukatakan dia dari kalangan bawah." ucap wanita yang telah mengomentarinya tadi.

"Nona Luciavy, itu bukan meja, Nona."

Luciavy menoleh. Bisikan di ruang makan itu kembali terdengar lebih jelas. Mereka semua menatap Luciavy karena begitu ingin tahu. Di mana letak meja Luciavy.

"Di sini, Nona. Dan tempat duduk Nona adalah bersama mereka. Bersama para Bangsawan Iblis,"

Mulut Luciavy menganga sesaat. Matanya mengikuti arah pandang Zalova. Pada sebuah meja panjang yang tengah di hadiri para Bangsawan iblis. Di mana mata mereka semua menatapnya tajam. Bisikan tak percaya dari para kalangan iblis di bawah Bangsawan pun kian terdengar riuh. Luciavy mengangguk dan menghampiri meja saji lalu membawa piringnya ke meja yang telah Zalova tunjukkan.

Luciavy menatap sesaat wajah-wajah rupawan dan cantik yang terlihat tidak bersahabat. Dengan berat Luciavy berjalan melewati beberapa dari mereka untuk mencapai bangku paling ujung. Bangku kosong yang sedikit jauh dari beberapa Bangsawan. Langkah Luciavy kian berat saat sebuah kaki sengaja menghalangi langkahnya. Tubuh Luciavy condong ke depan dengan begitu cepat di iringi tawa dan teriakan kecil.

"Ahk...!" teriak Luciavy pelan.

Prang...!
Piring yang Luciavy bawa pecah. Namun tubuh Luciavy tertahan dalam sebuah dekapan. Ucapan wah terdengar jelas. Membuat Luciavy mendongakkan wajahnya sedikit. Deg! Mata itu! Wajah itu dan tatapan dingin itu! Luciavy lagi-lagi membeku.

"Siapa yang melakukannya?" ucap pemuda itu dingin.

Hening!
Luciavy menunduk dan sedikit menjauh. Menatap piringnya dan berusaha membereskan makanannya yang tumpah.

"Siapa yang melakukannya!" teriak pemuda itu menggelegar hingga suasana kian hening. "Dan kau, apa yang kau lakukan?! Itu bukan tugasmu!" ucap pemuda itu dingin pada Luciavy.

Beberapa iblis dari kalangan bawah langsung tergopoh-gopoh dan membereskan piring milik Luciavy.

"Ahk, tidak. Biarkan aku sa-"

Ucapan Luciavy terhenti saat sebuah tangan menarik tangannya untuk berdiri. Luciavy menatap pemuda yang sama dan terlihat bingung.

"Jangan rendahkan dirimu! Apa kau tak belajar dari kerajaanmu?!"

Deg! Luciavy terpaku.

"Tidak. Apa yang telah terjadi di sini? Mereka berpikir aku golongan dari mereka? Ini buruk," Luciavy menatap tangannya hingga pemuda itu menatap tangannya yang masih menggenggam tangan Luciavy.

"Maaf," ucapnya pelan lalu melepaskan tangan Luciavy.

Seluruh keributan ini berhenti saat Zalova membawakan makanan pengganti untuk Luciavy. Luciavy duduk di bangku ujung dan menatap makanan yang ada di piringnya. Matanya menatap sekitar dan memperhatikan mereka yang tengah makan. Luciavy mengikuti cara mereka makan. Belum terisi penuh perutnya, Luciavy harus menyudahi makannya karena pemuda yang telah menolongnya berdiri.

"Vion," panggil seorang gadis cantik yang duduk di sampingnya.

Vion hanya menatap gadis itu sesaat lalu menatap Luciavy sesaat. Luciavy menunduk dan meletakkan sendoknya. Usai kepergian Vion, seluruh murid yang ada di ruangan itu pun menyudahi acara makan mereka. Luciavy pun mengikuti arah bubarnya acara makan malam ini. Berjalan menuju kamarnya dan menggerutu pelan.

"Makan malam apa itu? Itu bahkan lebih buruk dari acara makan malam di rumah. Ah, perutku hanya sedikit terisi."

Luciavy mendesah dan mencoba mengobrak-abrik seluruh ruang di kamarnya. Luciavy kembali mendesah saat hanya menemukan makanan ringan yang ada dalam kopernya. Luciavy menikmati makanan tersebut dan mencari lonceng miliknya. Menggoyangkannya beberapa kali hingga suara yang ia kenali itu kembali menyapanya.

"Wah, kau benar-benar jin penjaga loncengku, ya?" sapa Luciavy saat melihat Erzraviel tengah tersenyum padanya.

"Hey, aku bukan jin."

"Aku tak peduli itu." jawab Luciavy ketus.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Erzraviel nengambil duduk tak jauh dari Luciavy.

"Aku masih kelaparan," jawab Luciavy sedih.

"Hahaha, apa ini? Apa mereka tak memberimu makan?"

Luciavy mengangguk. "Hanya sedikit. Tidak, harusnya semua masih menikmati makan malamnya jika saja iblis bernama Vion itu tetap duduk."

"Vion?" tanya Erzraviel.

Luciavy mengangguk. "Vion. Bukankah namanya lucu?"

Alis Erzraviel terangkat sedikit. "Lucu apanya?"

"Vion. Pion. Pion lampu."

Erzraviel tertawa. "Hey,  kau dengan mudahnya mengatakan itu."

"Itu benar. Namanya mirip pion lampu."

Erzraviel tersenyum sekali lagi. Menatap Luciavy dan berkata, "Dari pada itu, apa kau tak ingin pergi tidur? Atau kau tak ingin jalan-jalan?"

"Jalan-jalan?" tanya Luciavy tak yakin.

Arzraviel mengangguk. "Aku akan menemanimu."

"Ho ... kali ini kau bersikap layaknya jin penjagaku."

"Hey, hey, aku sudah katakan. Aku bukan jin."

"Lalu apa?"

"Aku ...,"

Luciavy menunggu kata-kata Erzraviel. "Aku adalah jin," sambung Luciavy sambil terkikik geli. Ia keluar kamar dengan tawa yang tertahan.

Erzraviel mengikuti Luciavy dan sesekali berkata kesal dengan ke usilan Luciavy. Entah sejak kapan, mereka menjadi akrab. Tanpa mereka sadari, Vion menatap heran sosok Erzraviel. Terlebih saat Erzraviel keluar dari kamar Luciavy.

"Ada sesuatu yang tersembunyi sangat dalam di dirimu. Aku bisa merasakannya. Dan entah kenapa, matamu memikat dan membuatku ingin menyentuhmu,"






























***


Ok,  see you in next chapter.





Aku akan berusaha semaksimal Mungkin agar ceritanya sesuai harapan kalian.

Dan sedikit butuh bantuan.
Aku membutuhkan beberapa nama pemain laki-laki dan beberapa perempuan. Mengingat tokoh yang di gunakan akan banyak.

Aku akan senang jika kalian mau berbagi nama atau menyarankan nama yang unik.

Terimakasih.

Exsli.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top