4. BlackEyes Hight School.

Luciavy menatap seragam sekolah yang tergeletak di meja nakas kamarnya. Ia menatap aneh seragam tersebut dengan sepucuk surat beramplop hitam dengan lambang api yang tengah menyala.

"Amplop macam apa ini? Apa mereka tak memiliki amplop lain? Mengerikan!"

Luciavy membuka amplop tersebut dan tertegun saat membaca isi amplop tersebut. Memang benar, beberapa hari lalu Gresya memberinya setumpuk kertas yang harus ia isi. Awalnya Luciavy heran karena semua tumpukan kertas itu berisi petanyaan yang mirip dengan ujian sekolah. Namun saat Albert menungguinya untuk mengisi semua kertas itu, Luciavy hanya bisa diam dan mengisi semua lembar pertanyaan.

Siapa yang menyangka, seluruh jawaban yang luciavy tulis hampir seluruhnya benar. Albert dan Gresya tak menyangka hal itu karena setahu mereka, Luciavy tak pernah duduk di bangku sekolah lanjutan atas. Jawaban itu membawa nasip Luciavy menuju sekolah BlackEyes Hight School. Sekolah tertinggi dan termahal dengan fasilitas yang mendekati sempurna untuk para murid di dalamnya. Tak hanya itu, BlackEyes Hight School adalah sekolah untuk para kaum iblis dan seluruh mahkluk kegelapan lainnya. Di mana kasta dan bangsawan kerajaan saling menunjukkan kepemimpinannya.

Dan hal lain yang tak mereka ketahui adalah nama Luciavy sudah ada dalam daftar siswa yang paling di nantikan. Sejak Arzraviel menemukan Luciavy, ia telah menyiapkan segalanya hingga ia tahu,  apakah Luciavy benar-benar orang yang mampu mengendalikan kekuatan ke abadian. Hanya sampai saat itu. Jika Luciavy bukanlah orangnya,  maka hidup Luciavy akan berakhir. Sama seperti para bayi yang Arzraviel temukan.

Luciavy tertegun saat tahu bahwa ia mendapatkan beasiswa dari seluruh jawaban yang ia isi. Antara senang dan sedih, Luciavy menggenggam isi amplop tersebut.

"Benar. Akhirnya aku bisa pergi dari rumah ini. Tak mengapa jika aku sendiri. Bukankah selama ini aku juga seperti ini?"

Luciavy mengangguk untuk memberi semangat pada dirinya sendiri. Dengan pasti Luciavy mengemas pakaian yang ia miliki ke dalam sebuah koper. Memasukkan seluruh benda yang harus ia bawa dan tak lupa lonceng yang selalu ia bawa ke mana-mana. Saat seluruhnya siap, Luciavy turun dan menatap Albert yang tengah menunggunya. Albert memasukkan koper Luciavy ke jok mobil lalu masuk ke dalam mobil.

Zefanya melambaikan tangannya dengan senyum penuh kemenangan. Zefanya sama sekali tak tahu bahwa Luciavy akan bersekolah di sebuah sekolah yang jauh lebih baik dari sekolahnya. Luciavy hanya menatap jalanan yang ia lewati. Keningnya mengerut saat mobil yang ia tumpangi menuju sebuah hutan liar.

"P-pa, kita mau ke mana?" tanya Luciavy mulai curiga.

Albert menoleh. "Menuju sekolahmu, BlackEyes."

"Ta-tapi ini jalan menuju hutan liar," ucap Luciavy lirih.

"Benar. Sekolahmu ada di dalam sana."

Mata Luciavy melebar. "Apa yang Papa bicarakan? Tak mungkin ada sekolah di dalam hutan liar,"

Albert menatap Luciavy sekali lagi. "Ada. Dan hanya para iblis yang bisa masuk ke sana?"

"..." Luciavy tak dapat berkata-kata. Hingga Albert melanjutkan kata-katanya.

"Dan hal yang tak kumengerti adalah kau terpilih untuk masuk ke sana. Aku tak yakin, tapi yang kutahu adalah kau, satu-satunya manusia yang bisa masuk ke sekolah itu."

"Pa, a-aku ingin pulang." ujar Luciavy dan menatap ke belakang.

Albert diam. "Masuklah ke sekolah itu. Kau akan tahu, kenapa BlackEyes menjadi sekolah terbaik."

"Ta-tapi,  Pa ... ahkkkk....!" ucapan Luciavy terpotong dengan teriakannya saat Albert menabrakkan mobilnya pada sebuah kabut hitam tebal.

"Buka matamu, kita baik-baik saja." ujar Albert searaya menatap Luciavy sesaat.

Luciavy membuka matanya dan menatap sekelilingnya. Sungguh sangat berbeda dari yang ia pikirkan. Sebuah jalan lurus dan sesekali berliku tampak asri dengan pohon-pohon di sekitarnya. Lalu di ujung sana, sebuah bangunan tinggi layaknya istana terlihat jelas kemewahannya namun terlihat gelap dan tak tersentuh.

"Pa, itu tadi-"

"Portal antara dunia manusia dan iblis. Kuharap kau ingat, bahwa Papa adalah manusia berdarah iblis. Mereka menyebut Papa, iblis  campuran."

Luciavy mengangguk. Tak lama ia turun saat mobil Albert berhenti tepat di depan pintu gerbang sekolah itu. Albert mengeluarkan koper Luciavy dan menatap gerbang sekolah yang masih tertutup. Luciavy tertegun takut saat melihat bangunan bernuansa gelap dengan lampu-lampu temaram layaknya sarang penyihir.


"Masuklah, orang luar dilarang masuk ke dalam sekolah ini. Akan ada orang yang mengantarmu menuju kamarmu." Albert menepuk pundak Luciavy dan memberikan koper di tangannya. "Berhati-hatilah, karena mulai hari ini hidupmu akan berat." Tentu akan berat karena hanya ada kau yang manusia di dalam sana.

Luciavy mengangguk. Berjalan mendekati gerbang dan menoleh kebelakang. Menatap Albert yang masih menunggunya masuk.

"Pa, aku tahu ini terdengar lucu. Tapi aku akan merindukan Papa dan Mama."

Albert tersenyum tipis. "Masuklah, Luc. Kau akan baik-baik saja tanpa kami," untuk pertama kalinya Albert menatap Luciavy lembut. Bukankah kami sangat kejam? Sebagai orang tua asuhmu, kami sangat-sangat kejam. Melemparkanmu dalam sarang iblis. Aku berharap kau bisa bertahan hidup hingga akhir.

Luciavy menurut. Ia menyentuh dinding gerbang hingga pintu itu terbuka lebar. Amplop hitam di tangannya ternyata memiliki segel yang saling terhubung dengan pintu gerbang. Di mana gerbang akan terbuka saat seseorang menyentuhnya dengan membawa amplop tersebut. Luciavy Menarik kopernya dan menatap seseorang yang tiba-tiba telah berdiri di sampingnya.

"Selamat datang di BlackEyes Hight School, Nona Luciavy Agsania. Silahkan masuk dan pilihlah kamarmu."

Luciavy mengangguk. Menatap seorang wanita paruh baya yang terlihat tegas. "Terimakasih, Mi-"

"Panggil aku,  Zalova. Ikuti aku."

Luciavy mengangguk. Mengikuti Zalova dengan menyeret kopernya dan menatap sekelilingnya. Berdecak kagum dengan keindahan sekolah barunya hingga ia berdiri di depan sebuah tangga. Meski terlihat gelap, mata Luciavy mampu beradaptasi dengan baik hingga mampu melihat semua kemewahan itu.

"Biar aku jelaskan. Tangga ini menuju kamarmu yang berada di lantai atas. Perlu kau ketahui, kamarmu berseberangan dengan bangsawan iblis. Yang artinya, jika kau membuat kesalahan maka riwayatmu akan tamat."

Luviavy mengangguk mengerti.

"Lalu, kau lihat lorong itu?" Zalova menunjukkan sebuah lorong di bawah tangga yang sangat gelap. "Itu adalah jalan menuju kamar para iblis tingkat rendah. Biasanya kaum iblis campuran juga berada di sana."

Deg! Luciavy membeku. Lalu bagaimana dengannya? Dia hanya manusia biasa.

Zalova mengerti hal yang dipikirkan oleh Luciavy. "Aku tak tahu siapa kau sebenarnya. Yang aku tahu kau terpilih dan memiliki tingkat yang sama dengan para bangsawan iblis. Mereka mengatakan kau miliknya, Tuan Besar Arzraviel Kevant."

Luciavy lagi-lagi hanya bisa diam saat nama pria yang belum pernah ia temui itu kembali di elukan. Langkah Luciavy berlanjut dan kembali terhenti di anak tangga yang menunjukkan lorong lain.

"Lorong itu adalah kamar untuk mereka para iblis menengah. Mereka terdiri dari iblis-iblis yang bekerja untuk kaum para bangsawan iblis."

Luciavy hanya diam dan kembali mengikuti langkah Zalova. Yang kembali berhenti di sebuah lorong yang sedikit terang dengan gaya yang mewah.

"Lorong  ini berisi kamar iblis golongan tingkat atas. Mereka biasanya terdiri dari para anak menteri dari penjuru kerajaan atau orang-orang yang memiliki jabatan di kerajaan iblis."

Luciavy semakin diam. Hatinya begitu miris. Bagaimana ia bisa sampai di sini. Di sebuah sekolah yang memperlihatkan secara jelas tingkatan kasta dalam berteman.

"Dan di sinilah tempatmu. Ini kamarmu,"

Luciavy mendongakkan wajahnya dan menatap lorong memanjang dengan ukiran emas yang terlihat indah. Luciavy mengikuti Zalova yang telah membuka sebuah pintu kamar dan memasukinya. Luciavy lagi-lagi tertegun. Ruangan besar dengan seluruh kemewahan yang ada di hadapan matanya terlihat berkilau dengan pernak-pernik berlian yang bersinar. Sangat berbeda dengan tampilan sekolah yang gelap dan tak memiliki cahaya terang. Luciavy sedikit merasa aneh karena ini bukan gayanya yang biasa hidup sederhana.

"Ini kamarku?" tanya Luciavy ragu.

Zalova menggangguk. "Kau tak menyukainya? Kami bisa menukar dengan yang lebih me-"

"Ti-tidak. Aku merasa ini terlalu berlebihan." potong Luciavy.

Zalova menatap Luciavy heran. "Kau gadis pertama yang merasa keberatan tinggal di kamar mewah yang Tuan Besar sediakan."

Luciavy mencerna kata "gadis pertama" . Itu berarti ada banyak gadis yang Arzraviel miliki selain aku.

"Istirahatlah. Kami menunggumu saat jam makan malam." Zalova menunduk sesaat lalu meninggalkan Luciavy sendiri.

Luciavy membuka sedikit gorden jendela kamarnya. Menatap ruangan-ruangan yang berseberangan dengan kamarnya.

"Lalu seperti apa ruangan para anak-anak Bangsawan iblis itu? Aku jadi penasaran," gumam Luciavy pelan.

Luciavy terpaku saat matanya bertemu pandang dengan tatapan tajam seorang pemuda yang juga tengah menatapnya. Luciavy dengan cepat menutup gorden kamarnya dan segera merapikan semua barang-barangnya.

"Astaga, aku tak sengaja menatapnya. Miss Zalova sudah memperingatkan aku sebelumnya. Aku harus jauh-jauh dari mereka. Atau aku akan berakhir di sini."

Luciavy membuka lemarinya dan tertegun saat melihat banyaknya pakaian kerajaan yang ada di lemarinya.

"Apa ini? Mereka tak bermaksud untuk menyuruhku mengenakan ini kan? Ini merepotkan dan ...," tiba-tiba Luciavy teringat dengan sosol Erzraviel. "... dan terlihat konyol seperti pakaiannya." lanjutnya.

Luciavy membereskan semuanya hingga menggenggam lonceng  yang selalu ia bawa. Ia menggoyangkannya lonceng tersebut.

Krincing!

"Ho ... kali ini lonceng ini tak berasap. Tapi bertukar warna. Aku baru tahu ini seperti sulap."

Krincing!

"Wah,  kali ini-"

"Kau terlalu lama untuk tak memanggilku,"

Luciavy membeku saat tubuhnya di peluk secara tiba-tiba oleh Erzraviel.

"Kau...! Bagaimana kau bisa ada di sini?"

"Karena aku selalu berasamamu."

"Dan apa yang kau lakukan? Lep-as!"

Erzraviel tertawa dan melepaskan pelukannya. "Bagus. Setidaknya aku tak khawatir jika kau jatuh ke dalam pelukannya."

Luciavy bersedekap. "Siapa?"

"Kembaranku."

"Dengar, aku tak mengenalmu atau kembaranmu. Namanya selalu di sebut-sebut hingga Papa dan Mamaku pun ikut membahasnya. Aku gak pernah sekalipun bertemu dengannya, jadi aku katakan ini. Aku tak mengenalnya dan tak ingin tahu tentang-"

"Kau terlalu banyak bicara. Apa kau tak lelah?" potong Erzraviel lembut.

"Persetan dengan kata-"

"Jangan berisik. Kau menganggu mereka," potong Erzraviel lagi.

Kali ini Luciavy semakin meninggikan suaranya. "Siapa?  Siapa yang-"

Tok ... Tok ... Tok  ...

Ucapan Luciavy terhenti dan Erzraviel tersenyum sambil menaikkan satu alisnya.

"Aku sudah memperingatkanmu. Baiklah, panggil aku dengan bunyikan loncengmu. Aku harus pergi dulu."

"Hey,  kau ma-"

Luciavy bengong saat melihat Erzraviel benar-benar menghilang. "W-wah, dia benar-benar jin penjaga loncengku."

Tok ... Tok ... Tok ...

Luciavy kembali menatap pintu kamarnya yang di ketuk. Dengan takut ia membuka pintu dan terpaku saat mata tajam itu menatapnya.
































***

Ok,  sampai di sini dan tokoh para pemain menyusul.







See you in next chapter. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top