#5 (A)

PHASE 1: HELL-FUTURE BEGINS

Chapter 5
Susan's Story

ALAM SEMESTA sudah kucintai sejak kecil, dan aku bangga akan hal itu.

Hanya sedikit sekali manusia zaman serba canggih ini yang masih peduli akan alam sekitar. Tapi yang justru terjadi di tahun 2050 ini, aku malah ikut ambil bagian dalam kegiatan eksperimen yang akhirnya merugikan alam.

Tidak hanya alam saja, tapi juga membawa epidemi bagi seluruh umat manusia.

Aku sungguh menyesal telah terlibat dalam percobaan yang sebenarnya tidak kuketahui dengan baik itu. Tepatnya, aku dijebak -- terperangkap di dalamnya tanpa bisa berbuat apa-apa.

Berawal dari pertengahan tahun 2049 yang lalu. Secara tak sengaja aku melakukan suatu kesalahan fatal di tempat kerjaku -- sebuah proyek penelitian kecil. Tidak hanya dipecat saja, aku juga terancam dipenjara. Atasannku menawarkan sebuah solusi lain. Aku bisa terhindar dari itu semua asalkan bersedia terlibat dalam sebuah proyek percobaan dengan posisi yang jauh lebih rendah -- pengawas biasa.

Tentu saja aku mau menerimanya -- tidak ada pilihan lain lagi yang lebih baik.

Aku mulai menjadi pengawas di awal tahun 2050 ini. Kuusahakan untuk bekerja dengan sebaik mungkin. Markas percobaan besar terletak di tepi sebuah padang gurun di Benua Asia.

Ternyata proyek yang mengerjakan hal-hal yang berbahaya sekali itu sangat rahasia. Aku hanya ditempatkan di bagian yang aman saja. Sama sekali tidak mendapat izin untuk bisa tahu inti percobaan yang sesungguhnya. Jadi, aku benar-benar tidak mengerti semua yang dilakukan di situ.

Hingga sebuah musibah besar datang di suatu hari di pertengahan tahun 2050, aku masih belum juga mengerti kejadian maut yang kusaksikan dari jauh. Beginilah cerita lengkapnya.

Pagi itu, aku masih memasuki bagian yang menjadi pekerjaanku. Tiba-tiba, salah satu atasanku meminta diriku ke ruangannya. Aku disuruhnya untuk membantu melakukan sesuatu -- hanya menekan sebuah tombol saja. Dia bilang kalau itu bakal meningkatkan suhu satu mesin pemanas.

Suara komputer mengatakan kalau mesin itu akan bekerja dengan sempurna. Setelah satu jariku mengerjakan perintah ini.

Aku kembali ke bagianku, akan meneruskan tugas pengawasan milikku di situ. Begitu aku ke sana, atasanku yang lain memberitahu kalau pekerjaanku tidak dibutuhkan lagi. Meningkatnya suhu salah satu mesin pemanas saja akan berimbas secara tidak langsung pada mesin yang dikerjakan oleh orang-orang di bawah pengawasan diriku -- begitulah katanya.

"Mesin yang ada di divisimu dapat secara otomatis dioperasikan melalui komputer. Satu orang saja dari anak buahku dapat melakukannya. Jadi, kau dan orang-orang di bawah pengawasanmu untuk hari ini boleh pulang. Apa gunanya kalian berada di sini kalau cuma untuk melamun saja?"

Dengan berat hati dan setumpuk rasa kecewa, kuberitahukan mereka -- orang-orang yang selalu kuawasi. Kuungkapkan juga rasa penyesalan pribadi telah bersedia menekan tombol itu.

Salah seorang bereaksi dengan mencoba mencari tahu tombol apa yang kutekan, dan kuceritakan saja semuanya.

"Aku pernah mendengar kalau mesin itu hampir tidak pernah ditingkatkan suhunya," katanya dengan mengernyitkan dahi.

"Kurasa aku tahu alasan kenapa mesin itu tidak pernah ditingkatkan suhunya," timpal yang lain, "supaya tim kita ini bisa bekerja dengan mesin bobrok ini!" sambil meninju perangkat yang sudah dimatikan di hadapannya.

"Sudahlah, jangan emosi," rekannya yang lain menenangkan suasana.

Sosok yang masih terpancing emosi itu kembali menyalahkan diriku. Aku minta maaf lagi. Sisanya mencoba mendinginkan suasana, meski mereka masih marah terhadapku -- kami sudah seperti layaknya sebuah keluarga. Aku berada dalam posisi yang serba salah.

Ternyata tidak hanya itu saja. Nantinya apa yang kulakukan sebelumnya malah berakibat lebih fatal lagi pada peralatan serta markas percobaan secara keseluruhan.

Aku segera berkemas untuk pulang begitu tidak dibutuhkan lagi. Mereka pulang lebih dulu. Jam masih menunjukkan pukul sebelas siang waktu setempat.

Kuhidupkan mesin mobilku. Sesaat kemudian, mobilku sudah terbang melintasi gurun. Mataku masih bisa melihat markas dari kaca spion.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan sangat keras dari arah belakang. Telingaku hampir mau pecah rasanya.

Meski masih dalam kecepatan terbang standar, mobilku bergetar kencang, dan sampai terpental di udara beberapa kilometer, dan akhirnya berhenti. Sekarang, mobilku menghadap ke arah markas.

Pemandangan di depanku tak dapat kulukiskan, bagaikan bom atom yang meluluh-lantakkan Jepang di pertengahan abad 20 silam.

Markas hancur meledak. Bukan ledakan biasa di film-film Hollywood. Bola api ledakan besar sekali dan menyebar. Dari bola api itu muncul gas-gas maut dalam jumlah yang besar, mulai menyebar ke udara. Semua gas yang mengandung zat-zat kimia sangat berbahaya jika terkena atau terhirup manusia. Dapat terlihat dari warna pekat kimianya. Telah terjadi kebocoran di dalam markas.

Awalnya membumbung ke atas -- tinggi sekali. Sesaat aku sempat terpana menyaksikannya. Lalu bereaksi dengan cepat pada udara di sekelilingnya.

Tentu saja kusetel mobil dengan kecepatan terbang yang sangat tinggi. Langsung melintasi gurun secepat kilat.

Aku bernapas lega ketika markas sudah tidak terlihat lagi di kaca spion. Tapi awan maut itu masih seolah mengejar. Menjauh, menjauh, dan akhirnya menghilang. Lama kelamaan di sekeliling mobilku sudah terhampar padang gurun yang amat luas.

Langsung aku berpikir tentang apa yang sudah terjadi. Jangan-jangan karena efek dari mesin pemanas itu. Rasa bersalahku makin membesar. Gawat, aku sudah melakukan suatu kesalahan terburuk dalam hidupku.

Lalu kuhidupkan radio di mobil. Terdengar sebuah lagu yang cukup merdu untuk menentramkan hati ini. Tapi setelah lagu itu, dibacakan sebuah informasi -- suatu kabar buruk.

"Telah terjadi epidemi... (suara agak tidak jelas) ...suatu virus yang tidak diketahui jenisnya telah mewabah ke semua tempat... orang-orang di manapun telah terjangkiti virus ini. Yang sudah terkena menularkan penyakit dengan menyerang orang-orang yang sehat... kekacauan terjadi di mana-mana. Militer tidak mampu mengatasi keadaan yang tak terkendali ini, mereka juga menjadi korban..."

Kulihat jam di dasbor. Markas meledak kira-kira lima menit yang lalu. Pasti gas-gas itu mengandung virus maut. Kabar buruk disiarkan dari India, belasan kilometer di selatan markas. Awan gas itu rupanya menyebar dengan kecepatan tinggi di udara.

Kemudian, bahan bakar mobilku habis. Kendaraan ini terhempas di tanah padang gurun yang gersang.

Aku keluar dari mobil. Sejauh mata memandang di sekelilingku, hanya samudera pasir saja. Debunya bertebaran di mana-mana.

Rasa bersalah masih kurasakan, dan sekarang berkembang menjadi putus asa. Mungkin lebih baik aku mati saja. Apa gunanya lagi aku ini hidup.

Aku berjalan menyongsong salah satu arah gurun. Entah mata angin manakah yang kupilih itu aku tidak peduli. Berjalan menyusurinya dengan panas terik matahari menyengat di kepala.

Aku mau mati di gurun saja. Mungkin lebih baik begitu. Tidak ada seorang pun yang tahu. Tidak ada yang bisa menemukan mayatku.

Tenggorokanku mulai terasa kering. Tubuh ini mulai lemas dan lemah. Mati karena dehidrasi, itu cara yang lebih cepat -- pikirku.

Aku terhempas ke tanah. Membiarkan nyawaku direnggut oleh alam. Aku telah berdosa terhadap alam yang justru kucintai sejak kecil.

☆☆☆☆

Mengharukan sekali ya pembuka dan penutup kisahnya?
Itulah sebabnya kenapa saya masukkan drama sebagai genre yang terakhir,
karena bagaimanapun, scifi pasti berkorelasi dengan yang namanya drama.

Semua cerita genre scifi pasti 'bersuara' soal kehidupan;
dari kemajuan teknologi (ala efek buruk mesin menguasai manusia)
sampai apocalypse yang menceritakan kesengsaraan hidup akibat 'kiamat'

Next: still PoV 1

Apakah akhir cerita Susan yang sekaligus juga menjadi 'part' terakhir Phase Hell-Future Begins bakal menyingkap sedikit dari semua misteri yang sudah tersebar?

Satu yang pasti, berdasarkan struktur alurnya,
akhir chapter 5 berhubungan dengan akhir chapter 4 sebelumnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top