#3 (A)
PHASE 1: HELL-FUTURE BEGINS
Chapter 3
Deindree's Story
TAK KUSANGKA kehidupanku di bumi ini mendapat kesempatan kedua. Bukan dari Sang Pencipta. Aku diciptakan kembali oleh mereka yang ahli gen, DNA, dan sel-sel manusia. Teknologi kloning yang mendapat kontroversi semasa hidupku sebagai manusia ciptaan Tuhan, di masa kini sudah menjadi hal yang lumrah karena sering digunakan.
Biasanya mereka yang memanfaatkan teknologi ini adalah orang-orang yang kecewa dengan kehidupan aslinya sebagai ciptaan Tuhan. Tapi aku berbeda.
Aku bahagia dan bangga dengan kehidupanku yang pertama. Justru karena prestasiku di masa lampau yang membuat gen dan DNA milikku terpilih untuk dilahirkan kembali.
Ketika aku terbangun sebagai manusia ciptaan, semua yang baru saja kualami sebelumnya seperti mimpi rasanya. Aku masih ingat saat kematianku, ingatan terakhir yang ada dan masih terekam di memori otakku.
Setelah penembakan itu, semuanya menjadi gelap gulita, dan aku terhenti -- untuk beberapa saat. Dan sewaktu membuka mata, aku sudah berada di dalam sebuah tabung kaca percobaan.
Saat otakku berfungsi kembali, semua memori kehidupan pertamaku muncul melintasi pikiranku. Aku juga masih ingat dengan jelas siapa diriku ini sebenarnya.
Dalam kondisi begini, aku masih belum mau bergerak.
Namaku Deindree Delstorm. Aku anak tunggal, dan aku menikmatinya -- tak pernah merasa kesepian.
Ayahku Daniel -- seorang mantan tentara yang menghabiskan sisa hidupnya sebagai pemadam kebakaran. Kedua profesi ini dijalaninya dengan tangguh dan gagah berani. Aku bangga mempunyai dia sebagai ayahku.
Dia menjadi sumber inspirasi dalam hidupku. Aku sangat ingin mengikuti jejaknya, menjadi tentara dan pemadam kebakaran. Tetapi ketika remaja, baru kusadari kalau tidak mungkin aku menjadi salah satu atau keduanya. Rupanya karakter dan jiwaku berbeda dengan ayahku itu.
Meskipun begitu, ternyata hidupku berjalan di luar dugaanku. Tadinya kupikir, dengan tidak menjadi seperti Ayah berarti diriku tak akan bisa menjadi apa-apa, dan kehilangan segalanya. Aku memang bukan sosok perempuan feminim pada umumnya, namun aku ini masih mengerti cara berdandan dan berpenampilan menarik -- biarpun biasa-biasa saja, tidak seperti layaknya selebritis. Herannya, justru aku malah yang terpilih menjadi model sampul sebuah majalah remaja yang cukup terkenal di usia lima belas. Dan berikutnya, tanpa disangka, sebuah 'meteor besar' 'jatuh' begitu saja di kehidupanku.
Pada saat pengambilan foto diriku, ada seorang pencari bakat yang kebetulan mampir ke lokasi. Setelah mengamat-amatiku -- begitu katanya -- dia tergerak untuk mendekati. Dia bilang kalau aku mungkin bisa menjadi aktris untuk produksi film yang sedang dalam perencanaan timnya. Dia yakin sekali bahwa aku ini orang yang selama ini mereka cari.
Kalau seandainya tidak menjanjikan masa depan, ya sudahlah -- yang penting, setidaknya aku mau mencoba satu kali saja. Kupikir ada benarnya juga, kuputuskan untuk mencoba ikut casting.
Akhirnya terbukti kalau itulah peluang emas terbesar dalam hidupku. Menjelang akhir masa remaja, aku menjadi aktris terkenal. Karierku meningkat pesat dalam waktu singkat. Dari satu proyek film ke proyek yang lain, lalu merambah ke beberapa serial televisi.
Banyak yang menggemari diriku sekaligus aksiku di layar lebar dan di layar kaca. Aku selalu kebagian peran (utama) jagoan, kebanyakan polisi. Mereka juga menyukai nama baikku serta penampilanku. Di sisi lain, namaku bersih dari hal-hal dan kehidupan negatif yang biasa dilakukan para selebritis, karena memang aku bukanlah tipe artis seperti itu.
Lambat laun, aku bosan dan jenuh dengan semuanya, terutama gaya hidup yang serba tidak teratur. Akhirnya kuputuskan berhenti di umur dua puluh tiga. Dan berganti profesi menjadi polisi -- peran yang kebanyakan kulakoni itu. Sejak masih menjalaninya, sebenarnya aku sudah memimpikannya.
Aku teringat lagi akan Ayah -- dengan menjadi polisi, akhirnya jejak hidupnya sudah kuikuti, dan berhasil menjadi seperti dirinya -- sosok yang tangguh, berwibawa, dan tak terkalahkan.
Ternyata, inilah saat-saat terakhir hidupku. Aku tertembak dalam tugas. Usiaku baru dua puluh delapan. Aku mati muda. Mati sebagai polisi yang bersih, jujur, dan berjiwa ksatria. Polisi yang dihormati dan dihargai oleh banyak orang, dengan sederet prestasi gemilang yang berhasil kuukir berkat kerja kerasku.
Aku bangga akan semuanya itu. Sukses menjadi aktris yang bisa memberi teladan baik bagi banyak penggemarnya. Polisi yang menjadi panutan bagi masyarakat tempatnya bertugas.
Jadi, untuk apa aku hidup lagi?
Kucoba untuk melihat suasana di luar tabung tempat diriku ini tersimpan. Kacanya terlalu berembun, sehingga tidak terlihat dengan jelas.
Kucoba mengetuk-ngetuk -- siapa tahu ada yang bisa mendengar. Begitu terus kulakukan, namun tak ada jawaban dari luar.
Udara di dalam tabung cukup dingin, membuat badanku agak menggigil.
Akhirnya kucoba pecahkan kaca tabung sekuat tenaga. Hasilnya, kaca itu retak, dan berhamburan keluar menjadi serpihan-serpihan kecil. Malah berserakan di hadapanku, justru menutupi jalan keluarku.
Aku tidak berani untuk melangkah. Tapi setidaknya, aku sudah bisa melihat ruangan seperti apakah lokasi aku berada ini.
Tidak ada siapa-siapa. Beberapa meja panjang dengan minimal satu layar monitor komputer berukuran sangat tipis di atasnya. Tidak ada pencahayaan -- sepertinya listrik sudah mati. Ruangan yang tidak seperti laboratorium ini agak berantakan. Banyak sekali barang berserakan di lantai.
Kulihat diriku. Tubuhku ini tertutupi pakaian seperti busana renang sambungan yang berwarna perak. Hanya bulatan besar di bagian perut, dan seluruh punggung terbuka. Terbuat dari logam khusus. Melihat bahan buatannya, aku jadi yakin kalau benda ini juga punya fungsi selain pakaian tentunya. Aku belum mengerti benar,
Kupandangi lagi jalan keluar itu yang terhalang oleh pecahan-pecahan kaca yang -- bodohnya -- kubuat sendiri. Terbayang rasa sakit yang teramat sangat di telapak kaki kalau sampai menginjaknya. Makin menambah rasa takutku.
Aku diam saja, berdiri mematung. Lalu terlintas pikiran untuk melompatinya saja.
Kuperhatikan lagi keadaannya dengan cermat, dan berpikir apakah mungkin lompatan itu bisa dilakukan tanpa kedua kakiku harus mengenai serpihan kaca. Jangkauan ke lantai yang aman terlalu jauh. Kalau menurut logika, kakiku pasti juga menginjaknya.
Tiba-tiba bertiup angin dingin ke dalam ruangan. Ternyata ada jendela cukup besar di sudut ruangan yang tidak tertutup. Dingin sekali, membuat badanku menggigil lagi.
Aku tidak bisa terus menerus di tempat asing ini. Maka, pilihanku hanya satu di antara dua gerakan -- berjalan melewatinya atau melompatinya.
Kupilih untuk melompati -- pasti akan lebih baik dari yang terburuk.
Maka, aku melompat -- wow, luar biasa sakitnya! -- dan melompat terus ke lantai yang sudah aman dari pecahan kaca.
Darah membasahi kedua telapak kakiku dengan cepat. Aku menjerit kencang, menahan sakit. Langsung saja kulihat semua luka yang amat parah itu.
Pikiranku berjalan lagi. Mataku melihat ke sekeliling ruangan untuk mencari sesuatu yang bisa mengobati kedua telapak kaki ini. Tidak ada benda yang berhasil kutemukan. Tapi rasa sakit itu hanya sebentar saja.
Kubalikkan lagi telapak kakiku. Semua kepingan pecahan kaca ukuran apapun keluar, dan copot begitu saja. Darah mengering dengan cepat.
Kudekatkan wajahku. Aku melihatnya -- semua luka itu bisa menutup sendiri. Menutup sendiri dalam waktu singkat. Padahal belum diapa-apakan -- dipegang pun belum.
Aku tertegun dalam sebuah pemikiran. Jangan-jangan aku ini bukan manusia biasa, alias hasil percobaan sekelompok ilmuwan yang mencoba menciptakan spesies manusia yang lebih unggul. Rasanya hampir tidak dapat dipercaya.
Ah, sepertinya diriku ini berkhayal saja. Terlalu banyak membaca cerita fiktif dan berperan di dalamnya pasti membuat imajinasi pikiranku semakin bertambah liar, sekaligus menambah kreatif daya hayal ini.
Kemudian, kukelilingi ruangan yang cukup besar itu. Tidak ada satu barang pun yang berguna bagiku, setidaknya sebagai pakaian.
Udara dingin dari alam di luar sana semakin menyengat. Satu-satunya pintu masuk rupanya sudah terkunci secara otomatis. Aku kaget dengan teknologi yang dipakai -- belum pernah kulihat seumur hidupku. Cuma jendela yang terbuka di ujung sana itu yang terus-menerus mengalirkan udara dingin.
Kudekati jendela. Memang aku ingin secepatnya keluar dari ruangan ini.
Awan tebal menggantung di langit. Angin makin kencang, menyibak dan membuat rambut panjangku menari-nari liar berantakan. Kencangnya angin juga memaksa mataku menutup.
Supaya bisa keluar, aku terpaksa melawan itu semua -- cuaca ekstrim yang teramat sangat.
Ternyata ruangan tempatku berada terletak di lantai tiga. Jarak ke bawah sekitar lima meter lebih. Aku harus melompat ke bawah. Tiupan angin kencang yang tak henti menghalangi pandangan mataku. Namun keberanianku muncul, mengingat semua luka di telapak kaki tadi yang bisa sembuh dengan sendirinya.
Intuisiku bilang kalau tubuh fisikku yang baru ini bukanlah manusia ciptaan yang biasa saja.
Aku jatuh tertelungkup. Tubuhku menghantam tanah. Tidak ada satu orang pun di daerah sekitar sini. Benar saja, seluruh badanku tidak mengalami apa-apa. Hanya terasa sakit sedikit yang cuma sebentar. Kalau fisikku ini manusia normal biasa, pasti sudah ada tulang yang patah, dan organ dalam yang hancur. Bisa kurasakan semua organ di dalam badanku baik-baik saja.
Manusia seperti apakah aku ini? Apakah aku bisa juga berubah menjadi monster atau sesosok makhluk yang mengerikan?
Jika dilihat sekilas, aku manusia normal biasa. Tapi kalau diingat dua kejadian tadi -- luka-luka yang sembuh sendiri, dan tidak terjadi apa-apa jatuh dari ketinggian lima meter -- badanku seperti badan superhero saja. Kebal terhadap apapun, dan dalam situasi apapun.
Jalan yang membentang di hadapanku sepi sekali -- tidak ada apa-apa sekaligus tidak ada siapapun. Angin kencang dengan udara dinginnya berseliweran.
Aku berjalan ke salah satu arah. Aku ingin berjalan cepat, tapi dahsyatnya angin menyulitkan langkahku. Mau tak mau, aku berjalan dengan sangat pelan dan berhati-hati.
Jalan itu cukup panjang. Aku sungguh tidak tahu sedang berada di daerah mana.
Awan semakin tebak, dan akhirnya mulai menurunkan titik-titik air. Hujan yang sangat lebat tak tertahankan lagi untuk turun.
Di pinggir kanan dan kiri sepanjang jalan hanya berdiri bangunan-bangunan tinggi dengan tembok besar berderet-deret. Semua bentuk anehnya baru aku pernah lihat. Tidak ada tempat perlindungan untuk berteduh.
Ujung jalan semakin tidak terlihat, dan sejauh mata memandang, hanya guyuran hujan sangat deras dari langit saja yang jadi pemandangan daerah ini.
Kuteruskan perjalananku menyusuri jalan itu. Meski tidak tahu harus melangkah ke mana tujuanku, apa yang harus kulakukan, dan masih belum tahu juga apa sebenarnya sosok diriku yang baru ini.
☆☆☆☆☆
Next: still PoV 1
Bingung ya jenis makhluk apakah si Deindree ini?
Simak terus saja cerita lanjutannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top