#12 (B)
Chapter 12
John and Casey: Unforgettable Moments
(part 2 & 3; PoV 1)
Ternyata kebersamaan yang kulewati bersama Arbyl, Deindree, Susan, Casey, dan Miley -- lima pemudi tangguh yang akhirnya bergabung bertahan hidup dengan diriku -- tidak sampai tiga hari lamanya. Mereka bertemu di toko milikku, menyatukan persahabatan, dan akhirnya menjadi kompak untuk menghadapi tantangan hidup di dunia yang semakin tidak menentu ini.
Kami harus menghadapi orang-orang yang menjadi zombie pemangsa manusia normal, dan juga makhluk alien dengan pesawat super anehnya.
Istilah zombie dipakai Casey untuk menyebut mereka yang sudah terinfeksi virus mematikan -- sesuatu yang mampu mengubah seorang manusia biasa menjadi sesosok mayat hidup yang bertingkah laku seperti binatang liar.
Arbyl menceritakan kepada kami kalau pesawat super aneh dengan beberapa makhluk yang juga aneh di dalamnya berasal dari angkasa luar. Sosok-sosok itu disebutnya dengan alien.
Aku John Joostone, menyukai mereka berlima dengan segala keunikan karakter, fisik, dan kelebihan masing-masing. Seperti Deindree yang dapat mengubah wujud tubuhnya menjadi sosok atau bentuk apapun yang diinginkan serta dibutuhkannya sewaktu-waktu. Secara khusus, aku menyukai Casey yang akhirnya mengetahui kemampuan telekinesisnya -- menggerakkan benda-benda atau mewujudkan apapun lewat kekuatan pikiran -- secara tak sengaja dalam suatu keadaan terdesak.
Awalnya Casey terlihat sebagai sosok perempuan yang lucu dan menggemaskan. Dibandingkan teman-teman barunya, dia bertubuh paling pendek, serta berusia yang paling muda dengan sikap kekanak-kanakannya. Justru menurutku pribadi, dialah yang paling cantik sekaligus menarik dari kelima perempuan yang luar biasa itu.
Dalam waktu satu malam, hatiku terpikat dan langsung jatuh cinta padanya.
Tidak tahunya, dia menyukai diriku juga. Dalam perjalanan kami mencari dan memilih tempat tinggal terbaru yang lebih layak, aku menangkap sekaligus mampu merasakan getaran perasaan yang serupa dari dirinya. Tanpa berpikir panjang lagi, kutunjukkan empati dan kepedulianku padanya.
Kuselamatkan nyawanya dari kemungkinan besar menjadi zombie. Kuobati dan kubalut luka-lukanya dengan lembut dan penuh kehangatan.
Dia menatap diriku dengan pandangan berterima kasih sekaligus kasih sayang yang menyejukkan hati.
Kubalas dengan tanpa lelah menyemangati dirinya untuk mencoba dan terus melakukan kelebihan telekinesis yang baru saja disadarinya sendiri. Kurasakan rasa puas telah membantu dirinya menemukan dan selalu menggali karunia dirinya yang ternyata selama ini terpendam itu.
Kami berdua telah menemukan rumah yang cocok sebagai tempat tinggal yang layak bagi kami dan keempat teman lainnya. Kupikir tak ada salahnya juga bagi kami untuk berdiam beberapa jam saja untuk mencoba merasakan bagaimana tinggal di situ. Sekaligus merayakan selamatnya Casey dari bahaya menjadi zombie serta penemuan kemampuan telekinesisnya itu.
Kudapati sebotol besar anggur di ruang keluarga. Serta beberapa gelas kaca yang masih berada di meja yang sama. Maka, kuambil saja dua buah beserta botolnya ke ruang sebelahnya -- tempat kuobati Casey tadi.
Kini dia sedang berbaring di salah satu sofa panjang.
"Aku menemukan ini," kuumumkan penemuanku sambil mengangkat botol anggurnya.
"Dari yang kudengar, anggur merek ini sungguh enak sekali. Cocok untuk kita berdua, dan sepertinya tidak terlalu keras untukmu," kataku setelah melihat dan membaca semua yang tertulis di botolnya itu.
Casey mengubah posisinya dari berbaring menjadi duduk. Lalu aku duduk di sebelahnya. Setelah membuka tutup botol, dan menuangkan isinya ke dalam dua gelas kaca yang kutaruh tadi di atas meja kecil di hadapan kami.
Satu tangannya meraih daguku, dan digerakkannya ke arah wajahnya yang manis. Tatapan penuh arti dari jernihnya biru bola mata, serta betapa memukaunya lekukan alami wajah itu juga semakin menyihir hatiku.
Kami bertatapan cukup lama.
Aku belum pernah merasakan hal ini sebelumnya. Tidak ada seorang perempuan yang mau memerhatikan diriku selama aku mengelola toko yang kurintis sejak awal. Memang pastinya aku bekerjasama, dan punya relasi yang baik dengan banyak tipe perempuan, tapi itu semua hanya sebatas hubungan bisnis, dan paling dekat juga persahabatan biasa saja. Sampai kini kutemukan Casey.
Dapat kulihat dengan jelas dari balik tatapan matanya, hasrat untuk memadukan ketertarikan kami.
Kudapati diriku ini bagaikan salah satu kutub magnet. Dirinyalah kutub yang satunya lagi. Dan kedua kutub magnet yang berlainan itu bertemu. Akhirnya bersatu dengan cara merekat kuat -- seolah tak terpisahkan.
Kami mengambil perekatnya -- dua gelas kaca yang berisi anggur itu. Membuat kami terbenam dalam kebahagiaan. Perasaan yang mengangkat hati kami melintasi ruang paling tinggi yang tak mungkin dicapai mobil sehebat apapun.
Sebuah perjalanan pun dimulai. Bumi kami tinggalkan dalam sekejap. Perjalanan yang amat menakjubkan, dan teramat luar biasa.
Aku dan Casey menikmati petualangan luar angkasa pertama kami, yang ternyata juga menjadi yang terakhir kalinya.
Kami terbenam ke dalam keheningan yang sangat dalam, di mana tak ada satu orang pun yang sanggup menemukan kami berdua. Keheningan yang begitu hangat dan sangat menyenangkan. Sampai akhirnya, tiba sebuah pesawat alien yang entah dari mana asalnya mendekati, dan berhasil memisahkan kami dengan teramat kejamnya.
Itulah saat-saat terakhir diriku bersama Casey. Saat-saat yang tak terlupakan seumur hidup kami. Terakhir melihat dirinya, kutinggalkan diriku di kedua matanya, dan dalam ingatannya.
☆☆☆☆☆
Pertama kali bertemu dengan John, kupikir dia itu seorang pemuda yang biasa-biasa saja. Ternyata kudapati dia jauh di luar dugaan pertamaku tentang dirinya itu.
Dia menyelamatkan hidupku dari bahaya menjadi zombie. Lalu, dia mengobati dan menutupi luka-lukaku dengan seluruh isi hatinya -- bisa kulihat dari tatapan kedua matanya itu.
Dia juga nekat loh. Dalam perjalanan kami mencari dan menemukan rumah baru, tangannya menyenggol lenganku sewaktu berada di mobil. Spontan kutarik lenganku dan mengalihkan pandangan mataku, tapi hati ini tetap mengawasi dan memerhatikan gerak-geriknya.
Dia mengajak diriku mencoba tinggal beberapa jam saja di rumah itu. Tak kusangka, di situ dia mampu membawaku terbang menembus awan-awan. Tahu-tahu kudapati jiwaku sudah menyatu dengan jiwanya.
Dia memperlakukan aku dengan sopan -- meski nurani terdalamku bangkit menusuk hatiku dengan perasaan bersalah, aku memilih untuk diam saja.
Ketika aku membuka mata, ada selang masuk dari jendela. Selang yang sama yang menarik badanku, sebelum bersama Miley dan Deindree, kami akhirnya terdampar di toko John. Tentu saja aku berteriak-teriak membangunkan John.
Selang itu semakin dekat menghampiri kami berdua. Aku ketakutan sekali.
John membuka matanya. Sama kagetnya dengan aku melihat selang yang semakin mendekati kami itu.
"Sayang, tenanglah. Hentikan teriakanmu," bisiknya pelan.
Kami berdua bergerak saling menjauh. Selang itu menghentak ruang kosong yang kami ciptakan tadi. Waktu ini terjadi, rupanya John menyadari kalau harus ada satu di antara kami yang harus menjadi korban.
"Sepertinya mesti ada seorang di antara kita yang terambil selang ini," katanya pasrah, lalu memutuskan, "dan itu adalah aku."
Aku terenyak.
"Daripada ada selang lain yang masuk dan mengambil dirimu -- coba kau pikirkan. Aku tidak akan memaafkan diriku seandainya itu terjadi padamu, Sayang," katanya dengan nada pahit.
"Tapi John," mataku mulai berkaca-kaca. Aku tak rela kalau harus kehilangan dirinya saat itu juga. Tapi dia sudah keburu menangkap selang yang terjulur ke arahku, membelitkan ke badannya sendiri yang masih bertelanjang dada. Pakaian yang dikenakannya masih cuma celana boxer.
Tembok kamar hancur, dan muncul dua selang lagi yang masuk dari luar. Aku masih terpaku di tempatku duduk.
"Tuh benar kan apa kubilang tadi. Cepat lari, Casey!"
Satu selang mengarah ke tembok samping, dan satunya lagi menuju diriku. Aku menjatuhkan diri ke lantai -- lolos dari tangkapan.
"Cepat lari, Casey!"
Kulihat semua pakaian luarku di ujung dekat pintu kamar mandi. Aku merangkak, berusaha mengambilnya. Tapi sudah keburu diambil oleh selang yang merayap di tembok tadi.
Aku berdiri, dan terpukul selang yang tadi mencoba mengambil diriku.
Sempat kulihat pemandangan yang tidak kuinginkan itu -- John ditarik keluar jendela oleh selang yang membawa dirinya. Mata kami sempat saling bertatapan. Matanya seakan bilang padaku, "Aku mencintaimu, Sayangku Casey."
"Lari! Selamatkan dirimu, Casey! Jangan pedulikan aku!" itulah kalimat-kalimat terakhir John padaku. Memompa jantungku ini, dan semangat untuk bisa menyelamatkan diri.
Selang yang memukulku tadi mencoba meraih badanku untuk kedua kali. Untungnya aku berhasil menghindar -- terhempas ke tembok. Langsung lari keluar kamar.
Aku berbalik sebentar. Kedua selang itu makin memanjang, bergerak menghampiri diriku. Aku berlari lagi menuruni tangga.
Dari suara yang terdengar di belakangku, kedua benda terkutuk itu sedang berusaha mengejarku.
Akhirnya aku sampai di lantai bawah.
Selang-selang itu bergerak menuruni tangga.
Tembok di setiap ruangan di lantai tempatku berada tiba-tiba hancur berantakan. Debu dan kotoran memenuhi seluruh isi rumah.
Sekarang di setiap ruangan di lantai bawah juga menjulur selang-selang.
Untunglah sebelum naik ke lantai atas, aku dan John sudah berjalan mengelilingi rumah yang cukup besar ini. Ada lantai bawah tanah -- artinya aku harus ke sana. Pintu masuknya ada di dekat dapur.
Aku berlari menuju ke situ.
Dengan cepat kubuka pintunya. Napasku tersengal-sengal. Perasaanku bertambah tak karuan. Apalah jadinya kalau aku tidak selamat. Percuma saja John mengorbankan dirinya untuk aku.
Pintu itu berhasil kubuka. Aku langsung turun -- masuk ke dalam kegelapan pekat di dalamnya. Baru beberapa langkah, aku menegok ke arah atas di belakangku -- pintu itu belum tertutup.
Aku harus menutup pintu masuknya. Tapi sudah terlambat.
Ada selang yang menemukan tempat ini. Sedang berusaha untuk masuk.
Kupercepat langkahku. Kalau kali ini sampai tertangkap, tidak ada yang bisa menolongku. Tidak ada siapa-siapa lagi.
Aku langsung memasuki gelapnya ruangan. Untunglah tidak ada penerangan di tempat yang lembap itu, atau mungkin saja belum dinyalakan. Dan aku tidak sedang berusaha mencarinya.
Selang itu menuruni tangga, tapi terhenti sebelum mencapai anak tangga terakhir. Lalu bergerak-gerak mencoba untuk meneruskan. Rupanya jangkauan cukup sampai di situ saja, alias kurang panjang untuk sampai menangkap diriku.
Tak lama kemudian, benda sialan itu tertarik kembali ke luar. Aku bisa bernapas lega akhirnya.
Debu dan kotoran yang sangat banyak berhamburan dari atas. Diiringi suara sangat keras dari atas sana. Suara tembok-tembok dihancurkan. Suara-suara tembakan seperti sinar laser. Barang-barang pecah dan hancur berantakan. Seperti terjadi sebuah perang yang sangat dahsyat saja di atas sana.
Aku langsung menyadari bangunan rumah yang kutemukan bersama John sedang dihancur-leburkan oleh pesawat aneh alien itu. Dan aku ini -- si imut Casey cuma bisa menangis, menangis, dan entah sampai kapan terus menangis.
Awalnya pelan -- hampir tidak bersuara -- ketika pesawat jahanam itu masih beraksi menghancurkan semuanya. Waktu kemudian terdengar suara desingannya, aku juga masih memelankan suara tangisanku.
Kira-kira lima menit sesudah suara ribut terakhir, terdengar akhirnya mereka meninggalkan tempat ini.
Kulihat sekeliling diriku berada -- semuanya gelap. Listrik pastilah sudah tidak berfungsi lagi.
Aku menangis sepuas-puasnya. Kutumpahkan semua emosi yang memenuhi hatiku yang hancur ini. Rasa kepahitan yang teramat sangat. Rasa kesedihan yang sungguh luar biasa. Dan aku harus melalui semua pengalaman menyakitkan ini.
Aku tidak tahu berapa lama diriku berada di bawah sana. Tidak ada jam -- sepertinya aku tidak menginginkan waktu lagi. Hati ini sudah menjadi tawar sekali dalam menghadapi segalanya.
Kemudian aku bergerak seperti layaknya robot saja. Aku naik ke atas, dan menyaksikan pemandangan rumah yang sudah berantakan. Semuanya lenyap dan hancur begitu saja dalam sekejap. Sama seperti hatiku yang memang rapuh di dalam dada ini.
Harapanku sudah terbang melayang, tidak tahu ke mana arah perginya.
Matahari mengejek diriku dengan makin condong ke barat.
Kulihat mobil John masih tegak berdiri di kejauhan runtuhan bangunan ini. Aneh juga kalau dipikir-pikir, kenapa mereka tidak ikut menghancurkan kendaraan itu. Tapi di sisi lain, aku jadi teringat Arbyl, Deindree, Miley, dan Susan -- cuma mereka berempatlah harapan hidupku satu-satunya.
Aku berlari menuju mobil John. Teringat lagi kata-kata penyemangat pemiliknya yang membuat diriku percaya diri akan kemampuan telekinesisku.
Aku mencobanya pada mobilnya -- berhasil kunaikkan sampai setinggi hampir satu meter. Maka, setelah kuturunkan lagi, aku langsung masuk ke dalamnya, dan segera kuhidupkan mesin serta sistemnya -- semua kulakukan di dalam pikiranku saja.
Dengan kelebihan kekuatan pikiran yang jarang dimiliki orang pada umumnya -- begitulah kata John -- aku meninggalkan rumah yang sudah rata dengan tanah itu. Ternyata percuma saja penemuan rumah baru kami berdua pada siang ini.
Bersama dengan mobil kepunyaannya, aku kembali ke rumah kecil tempat pertama kali John membawa kami semua keluar dari tokonya. Di sanalah Arbyl, Deindree, Miley, dan Susan yang dengan setia menunggu kepulangan kami -- aku dan John.
☆☆☆☆☆
Sedih banget ya kisah asmaranya John dan Casey? 😢
Kasihan emang mereka, tapi begitulah konsep cerita HF yg merupakan petualangan kelima cewek jagoan ini.
Next: back to PoV 3
Akhirnya, sampailah kita di part terakhir kisah Arbyl, Deindree, Susan, Casey, dan Miley di cerita Chaos.
Apa ya yg bakal diceritain di situ sebagai penutup Chaos?
Adakah sesuatu yg penting bagi cerita petualangan mereka berikutnya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top