MINI ARC : SHARKTAURANT 3

Kini Megalodon tengah duduk di kursi meja yang lalu aku dan Bocah Telur tempati. Bersedekap, memandang keluar melalui jendela kaca restoran yang besar sambil ditemani oleh segelas kopi dan gantungan kunci berupa boneka yang berbentuk seekor ikan hiu.

“Takdir memang unik dan tidak bisa ditebak,” gumamnya, “seperti peristiwa kemarin.”

Megalodon pun mengusap-usap kepala boneka ikan hiu dengan jempolnya yang besar.

______________________________________

Kemarin sore

Di belakang pulau, Megalodon tengah mengaitkan tali kapal pada tiang besi yang ditancakpan ke tanah. “Sepertinya tali ini cukup kuat untuk mengikat kapal,” katanya sambil mengecek permukaan talinya.

“Aku tidak tahu akan sampai kapan aku mengoleksi semua kapal-kapal yang kurampas ini.”

Tiba-tiba mendung dan mulai berjatuhan rintik-rintik hujan dari langit. Megalodon segera bergegas masuk ke restorannya dan menutup semua pintu.

Megalodon duduk di tempat seperti biasa, sementara di luar 10 orang pendatang datang berbondong-bondong dari arah perairan air tawar menggunakan kapal boatnya. Melompat dan berlarian mencari tempat untuk berteduh di depan teras restoran.

“Ah! Ada ramai-ramai apa saat hujan begini di luar?” gumamku sambil bangun dari tempat dudukku dan berjalan keluar restoran.

Mereka?” batinku.

“Pa-Paman tolong kami, kami tengah dikejar oleh para agen! Mereka mencoba untuk menangkap kami dan jika tertangkap maka kami akan dieksekusi!” rengek seorang anak muda.

Seluruh tubuh basah kuyup itulah yang dialami oleh seorang bocah dan 9 orang tua pekerja berat, terlihat dari penampilannya. Salah satu pekerja orang tua memegang erat tanganku, aku kaget saat orang tua tersebut menaruh setengah kilogram emas di telapak tanganku.

“Emas? Kalian dapatkan ini dari mana?” tanyaku dengan penuh rasa kaget.

“Kami pekerja di tambang emas Tuan! Terimalah emas ini asalkan kami bisa berlindung dan bersembunyi untuk sementara di tempat Tuan!” seru salah satu pekerja berat penuh tergesa-gesa.

Tanganku segera membukakan pintu kaca restoran. “Tentu saja aku akan mengizinkan kalian berlindung di tempat ini, tapi.”

Belum selesai aku melanjutkan omonganku mereka langsung berlarian masuk ke dalam restoran dan bersembunyi di dapurku.

“Oh. Hey! Kalian jangan bersembunyi di dapu-” ucapku terpotong, dengan menghembuskan napas batinku berkata, “ya, sudahlah.”

Seketika saat aku  memasuki dan menutup pintu, aku melihat kapal feri dan beberapa speed boat mengarah kemari dari perairan air tawar. Aku memastikan bahwa mereka datang dari arah Barat Laut.

“Mereka sudah menjejakkan kaki mereka di pulau ini dan berjalan ke restoran ... aku harap mereka bersedia menerima ganjaran apabila mereka melakukan keonaran,” gumamku menggertakkan geraham gigiku.

Lebih dari 500 orang membanjiri depan restoran sedangkan 1.000 lainnya masih menunggu di atas kapal. Mereka berjalan dengan seenaknya menendang-nendang pot-pot bunga yang aku letakkan sebagai hiasan di setiap pohon palem.

“Wah! Aku baru pertama kemari. Ternyata di perairan air tawar yang luas ini ada pulau sebesar pulau sampah toh?”

“Apa ini!? Sepatu-sepatuku penuh dengan untaian bunga!”

“Ah? Benarkah?” ujarnya sambil melirik ke sepatunya dan sepatu teman-temannya yang lain.

“Oalah! Sepertinya kita telah menginjak-injak hiasan pemilik pulau ini, hahaha!”

“Orang gila mana yang mendirikan sebuah restoran di tengah-tengah perairan air tawar?” ucapnya setelah melihat tulisan besar yang terpampang jelas di atas restoran, Sharktaurant.

“Tapi kulihat-lihat restoran ini cukup mewah juga!”

“Sesuatu yang mewah selain milik Tuan Bos wajib dihapuskan.”

“Apa jangan-jangan pulau ini milik Tuan Bos?”

“Kurasa aku tidak pernah dengar Tuan Bos memiliki wilayah di bagian perairan air tawar.”

Seketika mereka berhenti berjalan setelah sampai tepat di depan teras restoran. Sedangkan aku hanya diam di tempat dan tidak berpindah selangkah pun dari tadi saat menutup pintu.

Mereka hanya menatapku di balik kaca pintu. Memandangiku dengan aneh. Seraya mereka mulai berucap, “Ngomong-ngomong aku melihat pemilik restoran yang tidak sopan. Dia hampir sama sekali tidak memperkenankan kita masuk atau menyambut dengan hangat serta ramah.”

“Menyambut dengan hangat? Apa yang kau bicarakan, buka matamu lebar-lebar. Lihat mukanya! Dia hampir tidak memiliki tempat untuk senyum di bibirnya,” ejek salah satu dari mereka.

“Lihat dari tadi dia diam saja seperti patung!”

“Apa mungkin dia terdiam karena kaget melihat kedatangan kita yang seramai ini?”

“Bisa jadi. Toh dia ini cuma segelintir etnis orang-orang pedalaman yang tidak mengerti bahasa,” celotehnya.

Seketika aku membukakan pintu, berjalan keluar menemui mereka dan menutup kembali pintunya dengan tangan kiri.

“Oh rupanya dia mengerti maksud kita. Dia keluar.”

“Baiklah langsung ke intinya saja. Hey! Paman bertubuh besar. Apa kau melihat beberapa orang budak yang menculik seorang anak laki-laki? Kami lihat saat pengejaran mereka membawa speed boat yang mengarah ke pulau ini.”

“Aku melihatnya.”

“Ah! Benarkah!?”

“Sekarang mereka bersembunyi di tempat dapurku.”

“Oalah! Kau sangat membantu kami! Kalau begitu izinkan kami untuk masuk sekarang juga!”

“Tidak bisa,” ucapku dengan dingin.

“Ah? Kenapa begitu? Padahal tadi aku hampir melupakan dosamu karena terlalu lama mengabaikan kami dari balik kaca pintu kaca itu lho.”

“Seorang sepertimu berbicara mengenai dosa?”

“Iya? Memang kenapa?”

“Hanya ada tersisa 10 stok kursi di dalam, aku tidak menerima pelanggan yang jumlahnya ratusan.”

“Kurang ajar kau! Tiba-tiba mengalihkan pembicara-” teriaknya terhenti ketika teman di belakangnya menepuk punggungya, sebuah kode untuk tidak lama-lama. “Mmm ... baiklah untuk mempersingkat waktu, fiuh. Kalau begitu tak apa-apa,” ujarnya menghela nafas.

“Tapi sebelum 10 kandidat itu masuk tidak akan seru jika tidak ada pesta kecil bukan?” kataku menyeringai tajam.

“Pesta kecil?”

“Ya. Biarkan aku tunjukkan sedikit dosa yang sebenarnya.”

______________________________________

25 menit kemudian.

Aku berdiri di halaman. Berdiri di tengah-tengah sekumpulan mayat yang tergeletak mengenaskan. Untaian bunga yang bercampur darah membercak di seluruh tubuhku. Tapi karena derasnya hujan sore kala itu, tanah yang kupijaki itu bermandikan darah.

Seketika aku melepaskan cengkeraman tangan kiriku pada kepala seseorang yang 25 menit lalu membicarakan mengenai dosa. Dari 1.490 pengunjungku tewas tak berdaya dengan luka yang serius.

Aku menghela napas. “Begini jadinya kalau emosiku tidak terkontrol, kalian merusak pot bunga, mengotori halaman dengan jejak sepatu kalian, dan berlagak sombong seakan-akan ini adalah pulau kalian. Kalian berbuat seenaknya, itulah yang memicu bangunnya singa yang tengah tertidur,” kataku sambil menjatuhkan gergaji es di depan 10 orang yang sengaja aku sisakan.

Aku berjalan menuju pintu restoran, 10 orang sisanya hanya gemetar tak kunjung henti setelah aku melewati mereka. Sesampainya aku membuka pintu.

“Apa kalian hanya akan berdiam mematung sambil kehujanan? Kalian akan sakit jika di luar terus. Cepat masuk.”

Seketika aku memalingkan ke arah apa yang ada di hadapanku. Para pekerja tambang yang bersembunyi menatap wajahku dengan tidak biasa.

“Siapa kau? Apa kau seorang agent kelas tinggi? Pemimpin Shinigami? Atau semacamnya?” tanya salah satu orang tua pekerja tambang.

“Aku hanya seorang yang berprofesi sebagai tukang masak,” jawabku.

“Tukang masak?”

“Ya, tukang masak. Orang rendahan yang penuh dengan dosa,” ucapku yang lalu pergi menuju kamar mandi.

______________________________________

Setelahnya.

Kini 10 orang yang dikejar dan 10 orang yang mengejar duduk di kursi dan saling berhadapan di satu meja yang sama. Aku meletakkan 5 piring besar di atas meja yang isinya antara lain masakan Tuna Sirip Biru, Kaviar Almas, Lobster Frittata, Posh Pie, dan Lucifer’s Fingers.

Setelah menghidangkan makanan untuk mereka aku segera bergegas kembali ke dapur untuk menyiapkan minumannya. Kulihat dari jendela mereka semua duduk termenung sama sekali tidak ada yang bergerak sedikit pun, aku kembali mengingat pada emosiku 25 menit yang lalu, rupanya aku telah melakukan hal yang terlalu berlebihan. Mungkin apa yang telah aku lakukan membuat mereka semua syok akan perbuatanku, ya sudahlah toh nasi sudah menjadi bubur. Orang-orang yang sudah menjadi mayat tidak akan bisa bangkit lagi, tidak usah dipikirkan.

Tunggu!” batinku.

“Dari tadi aku tidak melihat bocah it-”

“Paman!”

“Aaah!” Teriakku kaget.

“Ada apa denganmu?”

“Bagaimana kau bisa ada di sini, bukankah aku meminta kalian untuk sabar menunggu di kursi restoran?” ujarku sambil membuka botol minuman soda.

“Bagaimana bisa aku duduk diam termenung mengikuti mereka? Sedangkan dari tadi kau melakukan pekerjaan ini dengan kerepotan, aku sedikit takut saat kau membawa 5 piring berukuran sangat besar sendirian.”

“Kau takut piring-piringnya jatuh?”

“Ya tentu saja.”

“Kau tidak takut padaku?”

“Takut untuk apa?”

“Takut akan sesuatu yang baru-baru ini telah terjadi?”

“Yang di luar?”

“Ya. Apa kau sama sekali tidak takut padaku? Aku sama sekali tidak melihat sedikit pun raut syok pada wajahmu saat menatapku?”

“Apa yang telah kau lakukan itu luar biasa Paman.”


<><><><><><><><><><><><>><><><>

Egg Boy : Dari sini aku menemukan keganjalan, apakah dia bocah psikopat?

Hellios : Entahlah ... terkadang manusia sekelas mulia seperti bocah pun dapat berubah karena melihat kejadian yang menurut kita mengerikan namun tidak pada bocah, dia menangkap sesuatu yang lain, melihat dari sudut aksinya.

Isabella : Benarkah?

Thanks for your support

~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top