ARC 3 : ISLAND of DESPAIR 3


Kali ini aku dan Isabella berada di atas punggung seekor laba-laba yang besar, berjalan memanjat di dinding beton pondasi berwarna merah hati. Entah aku sangat senang sekali karena memiliki Egg yang mempunyai keahlian multitalenta serba guna.

“Apa di transformasi ini kau pun juga bisa mengeluarkan jaring?”

“Eggegege, tentu saja bisa, jika kau ingin tahu coba perhatikan apa yang aku akan lakukan,” ucapnya sambil menembakkan jaring ke atap dan bergelantungan.

Swing! Swing!

“Oey! Oey! Jangan berayun-ayun! Aku dan Isabella bisa kapan saja terlempar dari punggungmu!”

“Ups! Tadi kau mau lihat aku mengeluarkan jaring.”

“Aku hanya bertanya doang, bukan berarti kau harus melakukan aksi layaknya spaidermen!”

“Eggegege! Ma-maaf-maaf.”

Lantai 1


Setelah menempuh perjalanan sekitar 6 menit, 1 menit terpakai oleh atraksinya Egg Boy, tapi akhirnya kami bertiga berhasil menjejakkan kaki di lantai pertama. Di lantai pertama, tidak banyak yang kami lihat selain pemandangan para lansia yang berlalu lalang dan duduk meringkuk menggunakan sarung. Sama sekali tidak ada satu pun pemuda atau pun anak-anak yang berada menemani masa tua mereka. Penampilan masing-masing dari mereka sangat lusuh sekali, mereka tidur di dalam perumahan yang sudah dibangun memanjang dari ujung ke ujung lantai pertama.

“Di sini gelap, hanya ada beberapa petromax pada beberapa rumah, itu pun redup,” ujar Egg Boy.

“Untungnya pandangan mereka tidak melihat dan merasakan adanya kedatangan kita. Kau harus segera ubah wujudmu ke tubuh asli, mereka akan beranggapan bahwa kau adalah monster yang akan siap melahap mereka.”

“Lelucon konyol,” jawab Egg Boy sambil melengos pergi.

“Hehe, kau membuatnya dongkol,” sahut Isabella.

“Dia benar-benar telur yang sensitif dan mudah retak.”

“Nak? Apakah itu kau Vinto?” tanya seseorang di baik kegelapan.

“Ah? Vi-Vinto? Bu-bukan.”

“Maaf, aku kira kau Vinto. Kami sangat lapar sekali dan haus, tumben-tumben begini dia tak kunjung kemari,” ucap orang tua yang keluar dari kegelapan bayangan pilar beton.

“Ka-kek?” seru Isabella.

“Ah!? Kau mengenalnya?”

“Tidak, aku pernah membaca suatu buku, jika ada kerutan di wajah dan berjalan sedikit membungkuk serta beruban banyak, berjenis kelamin pria, ciri-ciri orang tersebut dipanggil kakek,” tutur Isabella.

“Kau banyak belajar, Bella. Jadi ini pertama kali kau melihat seorang lansia?”

“Ah, iya.”

“Lalu kalau Paman Jack? Kau tak sebut dia lansia?”

“Aku mengira dia masih muda jadi aku sebut Paman.”

“Paman Jack sebenarnya sudah tua, hanya saja dia memiliki tubuh yang gendut dan besar, jadi tidak terlalu kelihatan tuanya.”

Segera aku menurunkan tas ransel ke lantai dan membuka risletingnya. “Kek, ngomong-ngomong ada berapa orang yang tinggal di sini?” ucapku sambil memberikannya air minum dalam botol yang waktu lalu aku isi dengan air filteran di antara kaki Isabella.

“Ah, air minum! Te-terima kasih, Nak. Wah, kau membawa banyak botol air mineral rupanya.”

“Hehe, iya. Ini sengaja untuk memasok kebutuhan air kami, tapi kurasa ini terlalu banyak dan berat pula saat tasnya digendong.”

“Oh, iya, begitukah, hehe. Untuk jumlah kami para orang tua di sini, sangat sedikit, Nak.”

“Sedikit? Ada sekitar 500 orang?”

“Lebih tepatnya 20 orang.”

“20 orang? Ba-bagaimana jumlahnya sedikit sekali? Bukannya rumah di sana sangat banyak dan kulihat hampir memanjang sampai ke ujung?”

“Kau benar, rumah yang dibangun di lantai ini memanglah banyak namun penduduknya itu tinggal segini, yang lainnya sudah meninggal, kamilah sisa yang masih bertahan hidup.”

“Sudah meninggal?”

“Ya, bagi kami tempat ini seperti sudah menjadi simulasi pra-kematian. Masa muda kami sudah lama berakhir, tenaga kami sudah tidak butuhkan lagi dan sekaranglah masa-masa di mana kami sebentar lagi siap menunggu ajal.”

“Lalu, orang yang sudah meninggal mereka ke manakan?”

“Mereka diletakkan di masing-masing rumah yang tidak memiliki lampu petromax.”

“Ja-jadi, rumah-rumah yang tak berlampu sampai ujung sana itu ....”

“Ya, itu adalah rumah serta sebagai kuburan mereka, kelak kami pun akan bernasib sama. Akan selalu bergantian siklusnya,” tuturnya.

“Maksud dari siklus, apa?”

“Ada 3 siklus di lantai ini. Siklus pertama adalah orang dewasa yang sudah beranjak lansia atau yang muda namun cacat/tidak berguna dari lantai atas akan dipindahkan ke lantai ini.”

“Mereka pendatang baru yang dikirim ke sini?”

“Benar.”

Tiba-tiba datang seseorang menggunakan kursi roda. “Contohnya seperti aku,” sahut seseorang tersebut.

“Kau masih muda.”

“Ya, aku masih muda, usiaku sekitar 25 tahun, namaku Clodoveo Espinosa. Aku mendapatkan kecacatan ini karena kecelakaan sewaktu bekerja di pertambangan emas. Kedua kakiku hancur dan kini hanya tinggal sepasang paha saja.”

“Umurmu sama sepertiku, kau masih memiliki usia panjang, apa kau juga berencana menunggu kematian seperti yang lain!?”

“Usia tidak ada yang menjamin kapan orang akan berakhir dalam kematian, pada usia anak-anak atau pemuda sepertiku pun yang namanya kematian tak bisa dihindarkan. Namun sayangnya di pulau ini yang sangat diprioritaskan adalah tenaga untuk bekerja, jika tidak ada yang bisa dilakukan maka akan berakhir sepertiku. Di pulau ini, otak yang pas-pasan akan dibuang, karena tidak mau dibuang maka semua orang akan mengerahkan segala segenap tenaganya, mereka berani bekerja hanya demi makan walau digaji kecil atau tidak seimbang dengan gaji yang mereka peroleh.”

“Harusnya kau tidak berada di sini, bukankah kau masih memiliki kedua tangan? Kau masih bisa bekerja, kan?” ucap Isabella.

“Tanpa adanya kedua kaki, yang ada aku hanya menghambat pekerjaan saja, mereka para Agent Elit yang mengawasi pertambangan emas akan segera memecatku,” sahut Espinosa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top