ARC 2 : RUMAH KECIL

Setelah di cermati oleh mata memandang, yang dibicarakan Bocah Telur mengenai rumah kecil yang diapit pegunungan sampah memang benar adanya, tapi apa yang kulihat lebih dari sekedar ucapannya. Hampir seperti gurun sampah yang sangat luas, aku tidak menyangka bahwa di puncaknya pun penuh dengan kabut berwarna hijau. Aku yakin itu semacam zat Green Wine yang telah menguap terpapar sinar matahari setelah sekian lama tertumpuk-tumpuk kepanasan dan kehujanan.

Lahan mati, tempat pembuangan terbesar sepulau Island, kekeringan yang luar biasa, atmosfer panas yang membara sehingga kerap terjadi kebakaran pada hutan mati serta kuburan massal para tumbuhan semuanya lengkap di pulau ini, ternyata pegunungan sampah adalah pusat wabah penyakit dan jantung kematian bagi pulau Fruit Island sendiri.

Kami berjalan di atas sampah. Berbagai sampah terurai menjadi satu, di antaranya adalah botol dan tabung bekas Wine, aku mengetahui Wine karena melihat sendiri tulisan pada cap yang setengahnya gosong bekas terbakar. Bau menyengat tidak mengenakkan membuat kami menggunakan masker punya Isabella yang didapatkannya dari para Agent misterius.

“Aku yakin semakin kita berjalan ke arah menengah pusat bau menyengat ditambah virus yang bertebaran akan menyerang kita, kita akan mengandalkan kemampuan milik Isabella.”

“Apa aku perlu berubah menjadi burung besar? Untuk melintasi puncak yang melingkari rumah kecil?”

“Tak perlu. Lagian aku sudah mengikat kait eratkan tali tambangku pada barang-barang perlengkapan pada punggungmu mana mungkin kita bongkar ulang, itu akan memakan waktu.”

“Kalau begitu aku akan menggunakan Devil’s Ivy.”

Akhirnya kami berjalan menelusuri sampah dengan bantuan skill Isabella untuk menjaga dari serangan virus. Semakin berjalan mendekati kaki gunung sampah semakin lebat pula kepulan hawa zat beracunnya. Berkat Devil’s Ivy semua virus yang bertebaran di udara secara otomatis menjadi menghindar dan menjauhi area skillnya.

Sesampai di kaki pegunungan sampah kami mendapati sebuah bongkahan dinding yang telah hancur. Hingga menyelidikinya lebih dalam lagi dengan cara berkeliling di sekitarnya. Akhirnya kami berhasil menyimpulkan bahwa area pegunungan sampah dulunya adalah sebuah fondasi bangunan yang sudah lama hancur.

“Bangunan tua?” ucap Bocah Telur.

“Ya, prediksiku mengatakan seperti itu. Setelah kita keliling-keliling aku melihat dinding yang telah lama hancur berjejer luas hampir pegunungan sampah adalah bangunan raksasa itu sendiri.”

“Ba-bangunan raksasa?”

“Tapi aku belum memastikan kebenarannya sebelum mendapatkan informasi lebih detail dari sang pemilik atau pemimpin pemegang wilayah masing-masing.”

“Benar. Kita harus mencari petunjuk terutama pada tujuan kita, yaitu rumah kecil,” ucap Isabella.

“Jika ini memang bangunan raksasa, pastinya ada sesuatu lorong yang bisa mengantarkan kita ke pusat tanpa harus terbang melintasi puncak yang tinggi itu.”

“Aku rasa bangunan ini sudah rata dan hanya mensisakan fondasi dan puing-puing dindingnya saja.”

Sejenak aku melirik dan mengamati susunan dinding yang aneh. Tampak semua puing-puing dinding jelas akan terlihat sama karena memang sudah hancur, tapi jika dilihat dari warna cat yang sudah terkelupas. Antara jarak dinding dari ujung ke ujung sekitar kurang lebih 200 hektar atau sekitar 2 kilometer itu cat dari dindingnya memiliki 2 variasi warna yang selang-seling, antara lain hijau muda dan hijau tua. Jika dilihat dari dekat warnanya terlihat pudar namun bila dipandang dari arah kejauhan maka warnanya akan nampak kelihatan.

“Sebelum kemari dari kejauhan, apa kalian pernah sempat mengira bahwa puing-puing dinding ini seperti buah semangka yang dibelah?”

“Mmm ... aku tidak terlalu memerhatikan,” jawab Bocah Telur.

“Dasar kau ini, apa dari tadi yang kau lihat hanyalah sampahnya saja?” selorohku.

Seketika aku melihat lubang di bawah puing-puing dinding. Menyorotinya bagian dalam lubang gelap itu dengan menggunakan senter.

“Apa kau melihat sesuatu di dalam?” tanya Isabella.

“Aku melihat jalan air di dalam lubang ini.”

“Jalan air?”

“Ya, seperti tempat bekas pembuangan limbah.”

“Benarkah?” sahut Bocah Telur mengintip.

“Aku yakin sebenarnya lubang ini besar tapi karena penumpukan sampah yang membuatnya terbenam dan terkubur membuatnya tersembunyi tidak terlihat.”

Bocah Telur pun beranjak berjalan penasaran untuk melihat lebih dekat pada lubang yang aku maksud. “Apa ini lubang yang kalian mak-”

Blosss!!!

“Uwaaa!” teriak kami histeris.

Tidak disangka ternyata kami terjatuh ke bawah lubang tersebut akibat transformasi Bocah Telur yang menjadi ayam membuat timbunan sampah tak mampu menopang beratnya dan amblas, membawa kami masuk ke dalam diikuti dengan sampah yang mengalir longsor.

“Ouh tidak! Kita terjebak!” teriak Bocah Telur.

“Apanya yang terjebak, karena bobot timbanganmu membuat celah lubang tadi membesar.”

“Haha. Itu akan mempermudah kita untuk masuk dan keluar dari dalam pegunungan sampah ini,” ujar Isabella.

Kemudian, kembali aku melihat-lihat dalam lorong itu. “Seperti yang kuduga, ini adalah tempat pembuangan aliran limbah.”

“Hmmm ... tempat ini membuatku tidak nyaman, dalam transformasi mode ayam aku tidak dapat leluasa berjalan dengan santai, karena ukuran luas lingkar lubang ini hampir sama dengan ukuran tubuhku dan beberapa barang di atas punggung.”

“Ah, ya. Kalau begitu kau tinggal ikut berjalan di belakangku, dan Isabella kau berjalan di sampingku,” kataku sambil menyoroti atap lorong.

“Bilang saja kau ingin berdu-”

“Isabella!” seruku sengaja memotong perkataan Bocah Telur.

“Iya?”

“Apa kau merasa jijik jika berjalan di tanah yang becek dan berlumpur?”

“Aku tidak terlalu paham.”

“Baguslah, itu artinya kau sedikit membaca novel genre horor.”

“Ah!? Horor? Memangnya kenapa?”

“Karena kita akan menelusuri jalan di dalam lorong yang gelap dan kotor seperti di novel-novel horror.”

“Aku tidak masalah!” jawab Isabella bersemangat.

Di sepanjang perjalanan lorong.

“He-Hellios! Di sini gelap sekali, aku takut!” gumam Isabella merinding hebat.

“Aih!? Bukannya waktu lalu kau bersemangat untuk masuk?”

Isabella hanya memegang erat baju belakangku dan sesekali menggigit bibirnya.

“Maka dari itu berjalanlah di sampingku agar kau tidak terlalu ketakutan, aku bisa menjagamu setiap saat. Lagian kita sudah terlanjur memasuki lorong ini mustahil kembali lagi, karena melihat ukuran lorongnya yang pas-pasan dengan ukuran ayam kita mana mungkin ‘kan kita berpurat arah dan menyaksikan ayam kita berjalan mundur.”

“Hahaha, kau membuatku tertawa.”

“Aku tidak tahu harus membalas apa,” batin Bocah Telur.


Thanks for your support

~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top