ARC 2 : RUMAH KECIL 2

Akhirnya setelah sekian lama kami menelusuri jalan yang becek dan berlumpur, terbitlah cahaya kecil terang dari ujung lorong.

“Sepertinya tujuan kita semakin dekat pada rumah kecil itu!” seruku penuh gairah.

Entah mereka menyadarinya atau tidak, kaki-kaki kami benar-benar penuh dengan lumpur. Tidak ada sesuatu yang kami temui di sepanjang lorong. Sewaktu lalu senterku pernah mati karena mungkin baterainya telah habis, tapi karena Devil’s Ivy milik Isabella yang masih aktif, sebuah tanaman yang sengaja kutaruh pada leher ayam, menyinari area sekitar, cahayanya seperti seterang waktu pertama kali Isabela mengeluarkannya saat di pesisir pantai lalu.

Cahaya terang di ujung lorong itu semakin dekat dan semakin besar menyilaukan mata saat kami berhasil keluar dari tempat lorong itu. “Uwaah! Silaunya!” sergahku sembari menutup wajah dengan sikuku.

Di luar, kami melihat pemandangan yang sangat menakjubkan namun miris. Sebuah gundukan sampah yang menggunung, ah bukan, tapi pegunungan sampah yang berdiri kokoh menjulang tinggi melingkar sempurna, Di tempat tersebut posisi kami layaknya mahluk kutu yang berada di dalam kawah gunung.

Akhirnya setelah sekian lama terjawab sudah pernyataan mengenai rumah keci. Tepat di tengah-tengah pegunungan dan hamparan sampah yang luas terdapat secuil bangunan rumah yang berdiri sederhana namun sedikit rapuh.

“Ini sih ...,” gumamku melirih.

“Akhirnya rumah kecilnya berhasil kita datangi!” seru Bocah Telur kegirangan.

Pletak!

“Auw!”

“Apanya yang rumah! Itu sih tidak lebih dari sekedar kamar!” teriakku meronta-ronta karena kesal.

“Hahaha, kalian ada-ada saja,” tawa Isabella, “baiklah, kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo kita ke sana!”

“Baiklah ayo!!!” teriak Bocah Telur tidak jelas.

“Palingan yang kita temui cuman tempat tidur bekas yang telah usang,” gumamku lemas.

“Dilihat-lihat ini seperti kamar,” ujar Bocah Telur dengan polosnya.

“Oi! Itu memang kamar, apa kau baru menyadarinya!” teriakku gemas.

Aku melihat papan kayu yang digantung di depan pintu kamar tersebut. Tulisan yang sudah usang tapi masih bisa dibaca, ‘Ruang kantor Bos’ dan beberapa kalimat di bawahnya bertuliskan, ‘Sebelum masuk hendaknya mengetuk pintu terlebih dahulu’.

“Apa ini?” kataku mendekati pintu kamar itu, “apa perlu pintu yang sudah ketinggalan zaman ini pantas kita ketuk?”

“Tentu saja, bukankah itu peringatan yang jelas dan terpampang pada tulisan papan tersebut?” sahut Isabella.

“Memangnya kita kemari untuk menemui seseorang atau bertamu? Tidak, ‘kan? Lagian di tempat tua dan luas di tengah-tengah hamparan sampah yang diapit pegunungan sampah mana ada orang yang mau tinggal di tempat kamar kumuh seperti ini.”

Isabella dan Bocah Telur hanya diam dan mendengarkanku.

“Tujuan kita kemari hanya untuk mencari informasi melalui berkas atau semacam barang petunjuk yang berguna.” Segeralah tanganku meraih pintu dan mendorongnya secara paksa.

Brak!

“Adududuh! Jidatku!” teriakku kesakitan.

“Sepertinya kau melanggar etika masuk kamar,” ejek Bocah Telur.

“Ya, kali, seorang pencuri memasuki kamar dengan mengetuk pintu,” ucapku sambil mengusap-usap jidat.

Bagaimana bisa pintu yang sudah tua dan bau keropos seperti itu susah didobrak dengan paksa? Malah saking kuatnya tanganku terpilir dan karena menganggap remeh membuat keseimbangan tubuhku goyah dan terdorong menabrakkan jidatku ke alas pintu.

“Hey! Kalian yang di luar, terutama tadi yang barusan mendobrakkan pintu! Kau tidak cukup kuat untuk merobohkan pintu yang aku kunci menggunakan papan dari dalam,” teriak suara yang keluar dari dalam kamar tersebut.

“Aih!!! Ada yang ngomong dari dalam!???” seru kami bertiga kaget.

“Bagaimana bisa kalian menjawab dengan berbarengan? Apa kalian kembar?” ucapnya lagi.

“Si-siapa kau!” sergahku.

“Kan sudah ada peringatan di depan pintu bagaimana bisa kau tetap menerjang mendobrak dengan kekuatan penuh?”

“Kutanya sekali lagi, siapa kau!?” tanyaku penuh penasaran.

“Namaku tidak penting, wahai Cucu!”

“Cu-Cucu? Katanya?”

“Yah. Aku berhak memanggilmu Cucu, karena didengar dari suaramu, kau seperti pria yang berumur sekitar 25 tahunan.”

“Ba-bagaimana bisa kau tahu! Itu usiaku sekarang!”

“Ah, benarkah? Aku kira, aku cuma menerka saja.”

Sesuatu yang konyol adalah ketika aku dan seseorang misterius di balik pintu kamar tersebut saling bersahutan tanpa mencoba untuk memeriksanya. Akhirnya Isabella beranjak berjalan dan berhenti di sampingku, dan mulai meraih pintu kayunya.

“Tok, tok, tok.”

“Ya, sebentar.” Sahut seseorang yang misterius dari dalam.

Seketika aku dan Bocah Telur hanya diam menganga serta mematung melihat apa yang dilakukan Isabella.

“Harusnya kau mengetuk pintunya seperti apa yang barusan Isabella praktekkan,” kata Bocah Telur dengan nada sedikit ketawa.

“Ugh ...,” keluh seseorang yang berada di balik pintu kamar.

“Ah, ada apa?” tanya Isabella.

“Ah! Kau seorang wanita?”

“I-Iya ....”

“Maafkan aku yang tidak bisa membuka pintunya, karena kedua kakiku dipasung.”

“Dipasung!?” batinku.

“Ah! Kau dipasung!” sergahku. “Ini tidak beres! Aku harus segera membuka pintu kamar tua yang menyebalkan ini!” gumamku.

Prak!

Aku hanya berhasil sedikit mematahkan lempengan kayu pada bagian tengah pintu. “Kau baik-baik saja di sana!?” tanyaku sembari membungkukkan tubuh untuk menengok ke celah yang barusan aku patahkan.

Seketika aku bergeming. Memandangnya dengan penuh tatapan yang tidak biasa.

“Kau melihat apa?” tanya Isabella.

“A-aku melihat ... seseorang yang terluka. Terbeku di kaki kayu ... diasingkan seperti orang pengidap kusta ... raga yang ditahan jeruji ketidakmampuan ... berusaha berteriak tapi tidak ada yang mendengar ... merintih dalam kekosongan ... terkurung dalam lembah kematian ... tidak ada kemuliaan dan harapan karena dirampas haknya ... jika aku ditakdirkan menjadi bom ... maka tanpa ragu aku akan meledakkan tahta tirani ...,” gumamku.

Brakkk!

Tiba-tiba pintunya roboh hanya dengan sentuhan telapak tangan Hellios. Pada saat itu aku merasa ada sesuatu yang aneh padanya, seperti ucapan yang tertahan dan aura gelap yang tiba-tiba muncul dari Hellios namun menghilang dengan secepat kilat. Tidak hanya aku yang merasa ganjil oleh sikapnya yang tiba-tiba dingin, kurasa Egg Boy juga merasakannya.

Kini Hellios berjalan memasuki kamar dan melepaskan kayu yang memasung kaki orang tersebut hanya dengan modal kekuatan jari-jemari. “Sekarang Paman bebas,” ucapnya.

“Hey! Apa yang telah kau lakukan! Kenapa kau melepaskan pasungnya!”

“Aih!? Bukankah alat pasung ini yang telah membuat Paman terkekang?”

“Aku sudah susah payah membuat kayu penghalang pintu dan juga pasung ini, kau menghancurkan keduanya dengan mudahnya!” teriaknya marah.

“Apa kau waras!?” sahut Hellios sembari menjatuhkan diri ke lantai karena merasa kaget dan aneh dengan apa yang diucapkan seseorang paman itu.


Thanks for your support

~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top