Tugas Kelompok Untuk Si Introvert

"Duh Haikal, nakal ih."

Haikal memagut bibir seorang cewek kelas dua belas di dekat koridor ruang kesehatan yang sepi.

"Salah sendiri suka cowok nakal." Cengir Haikal. Cewek itu terkikik.

"Kalau ketahuan gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana." Jawab Haikal tak acuh. Ia lalu mencium lagi cewek itu sembari tangannya menjelajah.

"Ih dasar." Cewek itu lalu beringsut, kemeja seragamnya yang tidak terkancing sempurna terlihat menggoda "nggak jadi juara liga kota, pelampiasannya nakutin."

"Apaan sih..." Haikal setengah kesal diingatkan tentang kekalahan tim basketnya di final.

Ia memang terkenal suka bermesraan dengan kakak kelas, dalam tingkatan yang berbahaya. Haikal cukup dikenal sebagai playboy. Dia bisa bermesraan dengan cewek manapun---kebanyakan kakak kelas--- tanpa harus menjalin hubungan dengan mereka.

Haikal mencium garis telinga cewek itu ketika ia melihat sosok mungil berkacamata keluar dari ruang istirahat.

Farah keluar sembari membetulkan rambutnya yang belum ia kucir.

Baik Haikal dan Farah sama-sama terbelalak.

Farah lalu membuang mukanya, menganggap apapun yang ia lihat sepersekian detik tadi tidaklah ada.

Farah terkejut, agak syok juga. Tapi dia tidak peduli hal-hal tersebut sebenarnya. Salah satu hal yang dia 'syukuri' sebagai penyendiri adalah dia tidak mau ikut campur urusan orang lain atau menyebar aib orang lain.

"Ada apa sih?" Cewek itu menoleh ke belakang karena Haikal berhenti mencumbunya. Ia memaki "kita ketahuan? Duh kalau dia nyebarin gimana?"

Haikal memandang sosok Farah yang menghilang di tikungan. Ia lalu menggeleng pelan.

"Kalau dia orangnya, nggak mungkin."

Cewek itu menatap sangsi "yakin?"

"Hahaha. Yakin. Dia kan bisa dibilang introvert. Gue yakin juga dia bukan tipe ember." Tukas Haikal.

Cewek itu mengangguk pelan "oh itu yang kata anak-anak cewek aneh di kelasmu?"

Haikal mengangkat bahu ringan "nggak aneh kok menurut gue. Anak-anak aja yang lebay." Haikal lalu melihat sekelilingnya "udahan ah. Pulang yuk."

"Mau kemana? Ada latihan?" Tanya cewek itu.

"Nggak. Gue mau main PlayStation sama anak-anak di rumah Vino." Haikal lalu membantu membetulkan seragam cewek di depannya "langsung pulang. Jangan kelayapan."

"Duh, kayak pacar aku aja." Cewek itu terkikik. Lalu mereka berpisah ketika di depan gerbang. Sekolah hampir tidak ada penghuni selain kegiatan ekstra dan tugas.

Haikal melambaikan tangan ketika cewek kelas duabelas itu naik ke taksi online yang dia pesan.

Haikal sendiri akan beranjak menuju ke parkiran mengambil motornya ketika tatapan Haikal menangkap sosok Farah yang berdiri di halte ujung jalan, menunggu bus dengan beberapa anak.

Haikal tidak akan memperhatikan gadis itu jika saja dia tidak melihat sosok lainnya,

Awang si ketua OSIS yang duduk di atas motornya sembari melihat ke arah halte di tempat yang menjadi titik buta dari arah halte. Tampak sengaja menyembunyikan diri di sana.

Lalu sejurus kemudian, Awang memakai helmnya. Ia lalu menstarter motornya dan berlalu dari tempatnya.

Tepat setelah bus yang biasa menjemput anak-anak Citra Nusa datang dan melaju pergi.

Haikal menyerngit, lalu menggeleng pelan. Mengabaikan apapun yang tidak ia ketahui dan memilih untuk bersenang-senang.

***********************************

Farah tidak suka ini.

Tapi ia harus menghampiri sosok itu. Yah tapi menghampiri siapapun juga agak merepotkan buatnya.

Namun gara-gara dua hari lalu dia melihat Haikal melakukan hal panas di balik lemari piala dekat ruang kesehatan, perasaan Farah jadi jengah. Kepala Farah sakit dan memutuskan tidur sejam dua jam di ruang kesehatan.

Ketika sudah agak mendingan dan memutuskan pulang, dia malah disuguhi pemandangan tidak senonoh.

Ia tidak suka berurusan dengan orang lain, apalagi orang yang main-main dengan perasaan seperti Haikal.

Farah menghela nafas. Ia meneguhkan diri bicara kepada cowok itu.

"Haikal!"

Haikal yang sudah menaikkan tasnya di bahu dan siap-siap meninggalkan kelas, menoleh. Agak terkejut dipanggil oleh Farah dengan suara lirih.

Haikal menaikkan alisnya. Apa yang akan dibicarakan cewek itu sehingga mau bertegur sapa dengannya terlebih dahulu?

Nggak mungkin soal kemarin kan?

Farah lalu menyerahkan lembaran-lembaran kertas kepada Haikal. Haikal membaca sekilas.

Makalah tugas, sebagian besar tugas yang sudah dikerjakan. Farah sengaja serahkan tugas itu pulang sekolah ketika kelas sepi.

Haikal ingat dia diberitahu bahwa ia satu kelompok dengan Farah. Ia memandang cewek di depannya. Farah tidak berani menatap Haikal langsung.

"Hmmm aku sudah mengerjakan semua. Referensinya dari internet dan buku. Kamu tinggal ngasih kesimpulan saja." Farah berujar sambil menunduk.

Haikal membaca makalah di depannya lagi dengan tatapan yang tidak bisa dibaca. Membuat Farah salah tingkah.

Duh, aku mesti ngomong apalagi?? Apa dia nggak suka kerja kelompok sama sepertiku? Apalagi kerja kelompok dengan aku pula! Tapi aku kan sudah mengerjakan hampir semua supaya nggak terlalu sering ketemu... Gawat...

Farah mengalami perang dalam pikirannya.

Ia tahu bahwa kurikulum yang sekarang tidak akan membiarkannya sendiri; ia harus menghadapi kerja kelompok. Apalagi dia jurusan Sosial Humaniora. Atau biasa disebut kelas IPS.

Jelas sekali akan sangat banyak kegiatan kelompoknya.

Sebagai orang yang sudah membangun benteng diri dan kesulitan berinteraksi jelas ini membuatnya kelimpungan dan cemas berlebih.

Apalagi tiba-tiba pelajaran Sosiologi minggu lalu Farah dipasangkan dengan Haikal yang kebetulan tidak masuk sekolah.

Farah menganggap bahwa tipikal Haikal  bukan tipe pekerja. Dia pasti ikut berkelompok tapi bukan bagian yang mengerjakan. Dia adalah tipe yang akan membacakan presentasi di kelas.

Lagipula Farah juga tidak biasa bekerja dalam kelompok, jadi dia berinisiatif untuk mengerjakan hampir seluruh tugas sendirian.

"Atau aku kerjakan kesimpulannya juga, nggak apa-apa. Kamu tetap aku tulis dalam laporan---"

"Farah, aku yang ngerjain kesimpulannya. Lalu kamu tinggal ngasih sumber-sumber apa aja yang bisa aku baca." Potong Haikal tiba-tiba.

"Eh?"

"Kenapa?" Haikal balik bertanya.

"Ngg... Nggak. Aku kira..."

Haikal tersenyum simpul "kamu kira aku nggak mau ngerjain tugas kelompok dan lebih milih presentasi saja, gitu?"

Mulut Farah membuka, tapi kemudian dia mengatupkan rahangnya. Ia lalu menunduk.

"Iya sih, anak-anak macam aku bakalan dikira tukang nitip nama doang. Tapi serius, kalau tugas kelompok kita niat kok. Disuruh ngeprint sama fotokopi juga mau." Tambah Haikal sambil terkekeh.

Farah semakin menunduk. Dia merasa bersalah menciptakan stereotype kepada Haikal. Terlepas dari kelakuan Haikal yang cenderung liar, tapi Farah harusnya tidak buru-buru memberi stigma sembarangan.

"Maaf, Kal."

"Hahaha nggak apa-apa." Haikal lalu membaca sejenak "begini, aku bukannya nggak menghargai usahamu, Farah. Tapi laporan buatanmu agak berantakan. Terutama di bagian kajian pustaka sama metode."

Farah mengerjap pelan. Secepat itu Haikal bisa menyimpulkan? Padahal dia tampak membaca sambil lalu.

"Kita kerjakan lagi dari awal gimana? Kebetulan aku bawa laptop."

Farah menggigit bibir, menimbang.
Dia tidak pernah kerja kelompok seperti ini. Sebelumnya, anak-anak lain akan membagi tugas dan Farah mengerjakan bagiannya di rumah.

Farah selalu mangkir jika mereka harus berkelompok atau menyempil agak jauhan.

"Kenapa sih? Kamu nggak nyaman kalau cuma berdua?" Tanya Haikal "kamu bisa panggil teman kok sekarang. Aku nggak akan menyerangmu kayak aku nyerang Nena kayak kemarin itu."

Wajah Farah langsung memerah. Ugh kenapa Haikal membahas itu sih? Dia nggak mau tahu juga.
Bukan itu juga masalahnya, batin Farah.

Dia tidak nyaman bersama orang lain, dia terlalu bergantung pada kesendirian. Nggak mungkin juga dia punya teman untuk sekadar menemani tugas kelompok.

"Ehm bagaimana kalau aku kerjakan lagi di rumah?" Tanya Farah "aku akan benerin yang kajian pustakanya."

Haikal menghela nafas "ini tugas kelompok, loh. Apa gunanya kita kerjakan sendiri-sendiri?"

"Ngg... gini, aku biasanya mengerjakan bagianku di rumah dan yang lain tidak keberatan sebelumnya." Kilah Farah.

Iya, kenapa Haikal jadi ribet sih? Ini bisa selesai tanpa harus memaksanya mengerjakan bersama.

"Lah itu kan yang lain. Kita cuma berdua, kan lebih enak kalau kerjakan sama-sama biar masing-masing paham materinya." Jawab Haikal.

"Kamu bisa ajarin aku garis besarnya saja sekarang." Tukas Farah bersikeras.

"Gini, Farah," Haikal menjelaskan dengan sabar "Mumpung aku luang dan nggak ada pertandingan basket. Kalau kita niat, nilai kita bisa bagus banget loh." Tambah Haikal.

Farah tidak lupa jika Haikal adalah atlet basket sekolah. Alasan Haikal tidak masuk minggu lalu adalah dua hari ada pertandingan basket antar sekolah.

Setahu Farah, selain olahraga, tidak ada satu pun pelajaran yang bisa membuat Haikal seserius ini.

Haikal meneruskan "jadi biar nilainya jadi bagus kita---"

"Kal," potong Farah, ia mendongak "kenapa kamu niat banget sama tugas kelompok ini? Bukannya aku mau ngejek, tapi aku tahu sendiri kamu nggak seantusias ini sama pelajaran lain."

Haikal akan membuka mulutnya. Tapi kemudian dia urungkan. Ia menatap Farah yang untuk pertama kalinya menatap lawan bicara langsung ke matanya.

Farah buru-buru memutuskan kontak mata, tersadar. Ia menunduk sembari menutup mulutnya.

"Sorry, sorry Kal. Aku nggak maksud---"

"Aku pengen kuliah jurusan antropologi."

Tiba-tiba Haikal berujar serius. Farah mendongak lagi. Agak terkejut dengan pernyataan Haikal.

Farah kira Haikal adalah tipe yang akan meneruskan jadi atlit, ekonomi atau manajemen, semacam ilmu komunikasi atau politik.

Antropologi? Sangat tidak Haikal menurut Farah.

"Iya, aku memang ingin jadi antropolog. Selain passing grade nya kira-kira bisa aku jangkau, aku juga suka ilmu budaya. Makanya aku suka pelajaran yang berhubungan dengan itu. Sosiologi, geografi---"

Farah masih tidak bereaksi.
Ia tampak menimbang.

Kemudian Farah menghela nafas panjang. Ia lalu mengangguk pelan. Ia menyerah "baiklah. Ayo kita selesaikan sekarang."

Jadi begitulah. Akhirnya Farah dan Haikal menjadi penghuni satu-satunya di kelas mereka. Masing-masing terpekur dengan tugas di hadapan mereka.

"Kalau kita masukan kesimpulan yang kayak di internet, ini kayak ngasih stigma kalau suku di sana memang sifatnya kayak gitu. Padahal aslinya kan konflik itu bukan masalah primodial saja. Kita harus pakai kesimpulan dari berbagai sudut pandang.."

Haikal menjelaskan kepada Farah. Farah mengangguk takzim, mengerti.

"Jadi kita jelaskan dari sudut pandang selain budaya kan? Ekonomi dan sosial gitu?"

"Nah. Kita juga jangan bikin kesimpulan yang mengarah ke justifikasi."

Farah lalu mulai mengerjakan bagiannya lagi, sesekali melihat Haikal yang mulai mengetik di laptopnya dari kesimpulan yang mereka buat.

Sekali lagi, Farah terpengarah bahwa Haikal ternyata bisa sangat cerdas di beberapa pelajaran tertentu.

Haikal lalu melihat Farah, menangkap pandangan gadis itu. Terlambat bagi Farah untuk menghindar.

"Ada kesulitan?" Tanya Haikal. Farah menggeleng.

"Aku hanya terkejut." Jawab Farah jujur "kamu ternyata bisa membuat kesimpulan sebagus itu. Kurasa memang kamu pantas jadi antropolog."

Farah lalu menambahkan "Dan lagi, kamu sudah tahu mau nerusin kemana. Aku saja sampai sekarang masih tidak punya gambaran apa-apa."

Haikal terdiam cukup lama. Tapi dia hanya tersenyum kecil sembari mengamini ucapan Farah.

Haikal mengerling Farah.

"Hmm sebenarnya, dari dulu aku cukup penasaran sama lagu-lagu kamu." Ujar Haikal. Farah mendongak.

"Ha?"

"Kamu kan selalu dengerin lagu di bangkumu kalau istirahat. Dimanapun malah. Aku kadang penasaran lagu-lagu apa yang disukai seorang Farah."

Farah terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

Kapan terakhir kali seseorang menanyakan hal yang bersifat kasual seperti ini?

"Ugh yakin kamu ingin tahu?" Tanya Farah.

"Memangnya kenapa? Apa sebenarnya kamu malah nggak dengerin apa-apa?"

"Ya bukan begitu... Hanya saja..." Farah melihat langit-langit, lalu menghela nafas "hmmm agak tidak biasa."

"Coba sebutkan." Tantang Haikal menghentikan kegiatannya, lalu menelengkan kepala ke Farah.

Farah menggigit bibirnya "Vivaldi, Bach, Handel, kalau yang lebih modern Rachmaninoff dan Carl Orff. Kalau yang sekarang  Maksim Mrvica dan Ramin Djawadi."

Haikal mengerjap. Lalu dia tergelak "sungguh, kalau kamu nggak nyebutin Ramin Djawadi aku nggak tahu loh kalau kamu tadi nyebutin musisi instrumen."

"Eer, kamu lihat Game of Thrones?"

"Itu kan acara sejuta umat." Jawab Haikal sambil tertawa, Farah terkekeh kecil setuju.

"Tapi pasti aneh ya kalau aku dengerin yang seperti itu. Maksudku, aku dengar lagu yang populer juga, tapi aku lebih suka musik klasik orkestra." gumam Farah.

"Selera orang kan beda-beda. Kalau kamu suka dangdut itu pun juga selera. Kamu nggak bisa memaksakan untuk ikut arus kan?" Haikal lalu mengetik lagi sebelum akhirnya nada khas progam komputer dimatikan terdengar.

"Dan kupikir kamu cukup menyenangkan juga diajak mengobrol." Tambah Haikal sembari memandang Farah "kukira kamu itu tidak terjangkau dan benci orang."

Farah agak tercengang dengan pernyataan Haikal. Tidak terjangkau? Apa itu tidak berlebihan? Lagipula bukannya benci orang sih, lebih tepatnya Farah merasa bukan orang yang enak diajak ngobrol.

"Semuanya tinggal kita print saja. Lusa sudah bisa dikumpulkan. Aku saja yang ngeprint di rumah, kamu tinggal menjilidnya pas istirahat. Bagaimana?" Haikal memecah lamunan Farah.

Farah mengangguk pelan. Dia cukup puas tugas kelompok kali ini dia paham dan terlebih tidak membuatnya canggung.

Haikal lalu pamit untuk pulang terlebih dahulu. Meninggalkan Farah yang termangu di dalam kelas. Sosok Haikal membuatnya teringat akan seseorang dari masa lalu.

Seseorang yang begitu hangat laksana matahari, namun pergi laksana badai.

*****************************************

Farah tidak terkejut lagi ketika ia mendapati rumahnya tidak terkunci.

Dan mendapati Awang yang sudah di dapur, memotong-motong sayuran dan masih memakai seragamnya.

Farah menghela nafas. Sudah terlalu sering Farah menolak masakannya, tapi kenapa cowok itu tetap melakukan hal yang sia-sia.

"Kalau masak seenggaknya pakai celemek." Celetuk Farah sembari mengambil air minum "seragam lo bisa susah dicucinya."

Awang tidak menjawab. Sebagai gantinya, hanya suara pisau beradu dengan talenan dan suara renyah sayur teriris.

"Apalagi noda getah sama minyak." Tambah Farah.

"... diucapkan oleh orang yang bahkan tidak pernah mencuci pakaiannya sendiri." Gumam Awang.

Farah mengerling tajam "apaan sih?"

Awang tidak menjawab. Tapi Farah paham. Dia memang memakai jasa laundry untuk pakaiannya kecuali pakaian dalam.

Mau tidak mau Farah merasa tertohok.

Hal itu diperparah dengan kenyataan bahwa Awang jauh lebih mahir dalam urusan rumah tangga padahal dia cowok. Membuat Farah semakin kesal dengan kesempurnaan adik angkatnya itu.

"Hei," panggil Farah  sembari bertopang dagu di meja makan "lo tahu kan gue nggak bakal makan masakan lo? Kenapa lo masih susah-susah melakukannya? Kalau sekedar menggoreng telur atau merebus mie instan, aku masih bisa."

Awang menumis bumbu halus. Membuat seluruh dapur berbau gurih bawang putih dan rempah.

"Gue nggak masak buat siapa-siapa." Jawab Awang datar.

Lalu buat siapa? Buat setan?

Tatapan Farah tidak sengaja beralih ke tempat cuci piring. Teronggok mengenaskan satu kotak makan dengan isi berhamburan bak sampah di bak cuci piring.

Dari penampilan tidak seperti makanan basi. Tidak juga seperti masakan gagal.

Farah akan membuka mulutnya untuk bertanya, tapi dia urungkan. Ia lalu menarik tasnya dan naik menuju kamarnya. Meninggalkan Awang yang berkutat dengan apapun dan Farah tidak peduli.

Interaksi antar mereka bagi Farah tidak boleh lebih dari seratus kata perhari.

**************************************

*Maafkan kebiasaan saya yang sering gak sengaja publish. Sungguh itu bukan suatu kesengajaan :(.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top