Selamat Datang di Keluarga Disfungsional

"Makan gih, gue bikin ayam pop kesukaan lo."

Awang mengedikkan dagunya ke arah meja makan, menawari Farah sepiring penuh ayam pop yang aroma gurihnya menguar.

Jika tawaran itu keluar dari mulut orang lain, mungkin nggak butuh dua kali untuk mengiyakan. Jadi Farah hanya diam sembari menuju kamar.

"Salam, kek." Awang menyindir sembari menghela nafas. Suaranya memang tidak keras, tapi jelas memang dimaksudkan untuk didengar Farah.

"Lo ngomong apa barusan? Maaf telinga gue budeg gara-gara ada yang iseng ngirim lagu metal." Ujar Farah datar.

"Sepengetahuan gue, lo nggak bakal budeg di bawah level 190 dbA." jawab Awang sambil mengedikkan bahu.

Farah menyerngit. Dia ngomong apa sih? Duh aku ini anak IPS. Batin Farah. Tapi dia tetap diam, pura-pura tidak mendengar.

"Dan ampuh buat alarm." Tambah Awang.

"Lo nge prank. Bukan bangunin gue."

"Oh, telinganya gak jadi budeg?" Balas Awang.

Asdfghjkl.

Farah menghela nafas kesal. Ia lalu melempar tasnya ke anak tangga. Menuju ke kulkas di dekat Awang. Mengambil minum.

"Lo ngapain kesini? Bukannya lebih enak tinggal dirumah Nenek?" Farah bertanya dingin, berusaha mengabaikan aroma ayam berwarna pucat namun menggairahkan nafsu makan.

"Hmmm mungkin Lo lupa dua minggu gue dikarantina olimpiade. Jadi gue nggak nginep dirumah Nyonya besar." Jawab Awang sambil mendulit bumbu ayam dan memasukan ke mulutnya dengan gerakan yang menggoda ( untuk para fans Awang dan untuk perut lapar),

sebagian tindakannya itu bermaksud untuk menggoda Farah.

"Wah, hebat. Jenius." Farah bergumam datar sambil meneguk air putih, berharap melegakan kerongkongan

"OSN udah selese minggu lalu, kan? Kemarin-kemarin lo nggak pulang kesini. Sekarang ngapain lo di sini?"

"Itu tadi kayak kalimat istri yang nginterogasi suami yang nggak pulang-pulang." balas Awang.

Saklek.

Farah memutar bola matanya.

"Teserah deh. Gue nggak minat buat tahu lo tidur dimana juga. " Farah segera menuju kamar sambil membawa segelas air penuh.

"Nenek diopname." Tiba-tiba Awang berkata, menghentikan langkah Farah.

Tanpa berbalik, Farah hanya meneleng sedikit.

"Oh." Jawab Farah singkat.

Ada perasaan aneh. Tapi Farah mencoba tak acuh. Ia naik lagi ke beberapa anak tangga.

"Gue nelpon Papa. Papa bilang sebaiknya Lo ke rumah Nenek." Lanjut Awang.

Farah tidak bisa mengabaikan ini.

"Lo jangan lancang!" Teriak Farah.

BRUK!!

Farah melempar tasnya ke arah Awang. Awang dengan reflek menangkis dengan lengannya. Ia hanya menyipitkan matanya. Tapi dia tidak menghardik Farah.

Farah memandang nyalang sosok tenang Awang yang bahkan tidak menampakan ekspresi terkejut. Farah mengatur nafasnya.

"Dengar, hentikan semua ini. Lo udah paham kan kenapa gue ogah berurusan sama Nenek? Berhenti peduli tentang apapun!"

Awang hanya diam sembari menatap lurus Farah. Dia terlihat santai duduk di kursi ruang makan namun ada kesan berbahaya.

"Gue bilang sekali lagi, Nenek diopname dan lo lebih baik tinggal lagi di rumah nenek."

"Kenapa gue harus kesana? Gue tinggal di sini ataupun di rumah nenek nggak akan mengubah kondisi kesehatannya kan? Malah mungkin tahu gue balik tinggal di sana, bakal tambah parah."

Awang membuka tangannya "Beliau Nenek lo."

"Nenek gue? Bukannya Lo yang cucunya?"

"Farah, just stop it."

"Lo yang harusnya berhenti ngurusin hidup gue, tahu?!"

Awang diam, tapi dengan gestur santai berdiri menuju tempat sampah, membuang seluruh isi piring ayam pop ke dalamnya.

Dengan ekspresi datar.

Farah menyipitkan matanya.

Apa-apaan sih itu? Maksudnya apa?

Setelah meletakkan piring di bak cuci, dia mencuci tangan, mengeringkannya, dan berjalan santai ke arah Farah sehingga mereka berhadapan.

"Terus Lo mau apa? Gue pergi?" Tanya Awang tenang "kalau lo lupa, rumah ini sebenarnya dibangun Papa untuk kita berdua. Bahkan seharusnya sudah ada nama kita di sertifikatnya."

Farah tercenung.

Tersentak dengan pikirannya sendiri. Farah tidak ingin Awang disini, tapi memang bagaimanapun Awang punya hak.

Awang membuang muka, lalu menghela nafas.

"Gue disini cuma mau ambil barang."

Awang melangkah pergi ke arah tempat yang bisa disebut kamarnya. Ruangan dekat ruang tamu. Menutup pintu sehingga Farah nggak tahu apa yang dia lakukan.

Aroma Awang masih tercium di hadapan Farah. Aroma menyesakkan dan menyedihkan. Menyesakkan karena seolah-olah aroma ini juga mengatakan apa yang Awang ucapkan benar.

Ini memang rumah Ayah mereka tapi dibangun di tanah milik Neneknya.

Nenek adalah 'patron' Awang.

Jadi sekarang gara-gara kalimat Awang, Farah merasa tidak punya hak lagi disini.

***************************************

Farah membaca buku sambil membuka jendela lebar-lebar.
Berusaha menangkap maksimal oksigen yang ada di luar.

Pandangannya sesekali menangkap pemandangan luar, hanya untuk melamun beberapa menit.

Awang tidak keluar dari kamarnya sejak tadi sore. Mungkin dia juga malas bertemu dengan Farah---sama halnya Farah yang muak ketemu dia.

Entah kapan dia akan kembali ke rumah nenek yang lebih sering dia tempati untuk tidur.

Farah menghela nafas. Teringat Neneknya yang kata Awang diopname.

Nenek yang dimaksud adalah ibu dari Ayah. Rumahnya terletak di kawasan tenang pinggiran kota. Rumahnya besar, dengan taman luas yang asri serta beberapa pegawai yang siap mengurus rumah dan kebutuhan beliau.

Seharusnya selama Ayah mereka masih berkutat dengan pekerjaannya di luar negeri, Farah dan Awang tinggal di rumah Nenek mereka sejak mereka kecil---dalam kasus Farah, sejak bayi.

Tapi sejak kelas tiga SMP Farah bersikeras pindah ke rumah kedua ini dan memutuskan menempati rumah ini sendirian.

Karena  Farah mengerti Neneknya tidak pernah menyukai Farah, walaupun awalnya dia tidak paham alasannya.

Saat Farah masih kecil, Farah selalu heran kenapa Neneknya berbeda dengan Nenek orang lain.

Nenek sebelah rumah misalnya, ketika lebaran atau liburan panjang, beliau menyambut cucunya seakan tamu kehormatan. 

Atau neneknya Yoga ---teman masa kecil yang sudah pindah entah kemana--- ketika beliau masih hidup, dengan sabar dan hangat menyuapi Yoga kecil yang lebih suka berlarian kesana kemari.

Nenek Farah, cenderung hanya menatap dan menyuruh-nyuruh dengan nada dingin. Jika Farah akan mengajaknya bicara, beliau selalu berdalih sibuk.

Saat makan, beliau membiarkan Farah makan sendirian sementara beliau mengurung diri di kamar.

Jika kelakuan Farah hanya nonton TV atau bengong saja, Neneknya akan menyindir dengan kalimat yang bisa diartikan 'buat dirimu berguna' dan yang parah 'kau merusak pemandangan'

Yah nggak segamblang gitu juga.

Pernah waktu kecil, Farah berlarian di halaman rumah. Dia terjatuh dan berdarah tepat di hadapan Neneknya yang sedang membaca majalah.

Reaksi Neneknya bukannya cemas.
Beliau hanya berdecak pelan dengan dingin, memanggil salah satu asisten rumah tangganya untuk mengobati dan membersihkan kekacauan yang Farah buat.

Atau ketika Farah membuat kotor ruang keluarga dengan pasir untuk mainan warna-warni. Farah sudah siap menerima amarah, apalagi wajah Neneknya sudah murka sedemikian rupa. Namun Nenek tiba-tiba hanya terdiam sambil memanggil salah satu asisten rumah tangga.

Namun Farah menangkap ucapan Neneknya yang nyaris mirip desisan.

"Dasar anak sial."

Farah tidak tahu maknanya waktu itu, tapi merasa tersakiti.

Farah lalu mengabaikan. Menganggap bahwa memang begitulah sifat Neneknya. Membenci setiap orang termasuk Farah.

Yang jelas interaksi Farah dengan Nenek ---semacam interaksi layaknya nenek-cucu--- sangat jarang sekali.

Namun sikap Neneknya berubah ketika Awang datang sebagai saudara angkat yang dibawa Ayah mereka.

Neneknya menjadi ramah, menawarkan ini itu, menyuruh asisten belanja dan masak besar, membelikan mainan dan menemani main.

Tapi hanya kepada Awang.

Farah sempat berpikir mungkin karena Awang yatim piatu makanya Neneknya lebih bersimpati.

Tapi, Farah kan sudah piatu sejak umur tiga tahun. Seharusnya Nenek juga lebih bersimpati dengannya.

Dia kan cucunya.

Namun semua rasa penasaran Farah selama bertahun-tahun lenyap ketika mendengar sendiri kenyataannya.

Saat itu Farah tanpa sengaja mendengar pembicaraan Nenek dengan seseorang.

Nenek benci almarhumah ibu Farah. Lalu imbasnya benci Farah.

Selanjutnya kalimat yang didengar seperti udara kosong. Jadi Farah mencoba melupakan pembicaraan yang  ia curi dengar dari neneknya saat itu.

Lalu karena Nenek membencinya, Farah juga mulai bersikap dingin terhadap beliau. Lalu Farah juga mulai membenci cucu kesayangannya, si Awang.

Benar-benar lingkaran setan.

Mata Farah panas.

Dia menutup jendela dan berusaha tidur. Dia benci hal asin macam begini. Apalagi hal asin itu adalah bagian dari drama hidupnya.

*************************************

"SMA CiNus!"

Seperti biasa kondektur memberitahu pemberhentian SMA Cita Nusa.

Farah  melangkahkan kaki malas seperti biasa. Hari ini dia tidak hampir telat lagi. Rekor dua hari berturut-turut.

Ketika Farah berjalan, samar-samar terdengar suara mesin halus motor yang tidak asing diantara beberapa suara mesin motor lainnya.

Suara  mesin motor 400cc yang berat dan halus.

Ada banyak anak CiNus yang memakai motor tipe ini, tapi entah kenapa Farah tahu bahwa yang ini adalah milik Awang.

Awang meninggalkan rumah tadi malam pukul sebelas.

Farah jadi teringat sesuatu lagi.

Ada sandwich smoked salmon di kulkas.

Farah tahu Awang yang membuat.
Farah tahu maksudnya, walau tidak ada tulisan tertempel di wadahnya: hangatkan dan makanlah.

Awang sudah mahir masak sejak SMP karena mereka sering ditinggal berdua.
Awalnya cuma sambal dan telur dadar. Lama-lama  skill nya bertambah.

Farah sangat menyukai masakan Awang. Menganggap adiknya bisa menjadi chef terkenal.

Suatu hari dia pernah keceplosan mengatakan itu kepada Ayahnya saat beliau pulang. Berkumpul makan malam keluarga yang jarang terjadi.

Dan mendapat tanggapan sinis dari neneknya.

"Awang adalah laki-laki. Nggak pantas dia di dapur. Kamu jangan konyol. Bahkan masak pun kamu bergantung kepada Awang."

Selanjutnya Farah jadi malas memakan masakannya Awang  Kalaupun termakan, itu terpaksa karena lapar dan tidak ada makanan sama sekali.

Kadang akal sehat Farah masih jalan untuk tetap bertahan hidup daripada mementingkan ego harga dirinya.

Ah, tapi sandwich di kulkas itu tidak dia sentuh sih. Jadi mungkin harga dirinya yang lebih menang daripada lapar kali ini.

Ia masih marah karena kelancangan Awang yang menelepon Ayah mereka.

Setengah puas dengan tebakannya tentang motor Awang atau bukan, Farah melihat Awang melaju melewatinya dan beberapa siswa.

Dia tidak tahu keberadaan Farah, dan tidak repot-repot peduli akan hal itu.

Para cewek yang berjalan di belakang dan di depan menggumamkan nama Awang. Bergosip. Sejenis gosip tentang idola.

"Njir, jaket sweaternya keren. Cocok aja ya sama motor gede."

"Kak Awang mah pake apa aja jadi keliatan dua kali lebih mahal ya."

"Kalau gitu harusnya dia jadi model atau bintang sinetron, bener nggak sih?"

"Tapi kok sayang ya sama otaknya kalau ujung-ujungnya malah jadi artis. Dia itu kan pinter."

Dua cewek kelas sepuluh di depan Farah mengelu-elukan Awang.

"Pinter dan ganteng. Ini sih boyfriend material banget."

"Dih, biasanya yang komplit udah sold out."

"Nah! Gue denger katanya lagi deket sama Kak Ruly, iya nggak sih?"

"Nenek centil itu aja yang kegatelan. Gue tanya kak Awang langsung, dia masih nggak pengen pacaran kok."

Farah jengah.
Bisa tidak mereka menggosip sesuatu yang lain? Dia bosan mendengar nama anak itu dielu-elukan.

Farah ingat saat Awang masuk ke dalam keluarga Bhanuresmi. Awang dulu adalah anak dekil, kurus, pendek, dan selalu menunduk takut-takut.

Sekarang dia adalah Awang yang berbeda, dimana dia ternyata tidak hitam tulen ---hanya dekil karena keseringan main--. Kulitnya memang tidak jadi putih, tapi cerah, tegap dan tinggi. Dengan tatapan mata dan gestur percaya diri.

Tiba-tiba Farah merasakan perasaan kesal yang aneh. Ia ingin menyangkal sesuatu.

Farah tiba-tiba kesal karena orang asing membicarakan Awang. Kesal karena dia berubah tidak seperti Awang yang dia kenal.

Kesal karena Farah agak menyesal menjadikannya orang asing sehingga dia berubah.

************************************

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top