Selalu Ada Cewek Seperti Ini Dalam Kisah Remaja

Manik bulat dan indah itu menatap dari kejauhan. Lalu menyipit seolah menatap sesuatu yang kurang menyenangkan.

"Gue nggak tahu lagi deh. Ngapain dia masih sekolah juga." Gumamnya kemudian.

"Ha? Apa?" Cewek disebelahnya mendongak dari buku.

Pemilik manik bulat nan cantik itu menunjuk dengan dagunya "tuh."

Cewek itu lalu melihat sosok berkacamata berponi lebat yang menatap kosong sembari memakai earphone.

Semua kenal sosok itu.

"Farah? Kenapa memangnya?"

"Ya aneh aja. Ngapain sih ansos* gitu pakai sekolah segala? Home schooling kek." Ujar si mata bulat dengan nada ketus.

"Ya buat belajar. Apalagi?" Naila menatap antara Farah dan Ruly bergantian. Kenapa tiba-tiba temannya ini mengurusi orang lain?

"Hah yang benar saja." Gadis manik cantik bernama Ruly itu menoleh ke arah Naila, sahabatnya "tipikal banget jawaban lo, dear."

Naila masih tidak paham. Ruly memutar bola matanya gemas.

"Hello My Dear Naila, school actually is about social life*. Jadi intinya, lo nggak hanya sekolah. Bergaul dong."

Naila menggumam pelan "tapi kan---"

Naila tidak habis pikir.

Ruly lalu memotong "Begini, sekarang ini sekolah itu bukan buat belajar doang. Nyari temen, pembuktian diri, dan yang terpenting ngasih tau status lo sama orang lain."

Naila paham. "Ya bener juga. Tapi, hubungannya sama Farah?"

Ruly berdecak kesal "Ya Tuhan sayang, lihat si Farah itu. Dia kemana-mana sendiri. Nggak punya teman. Jarang interaksi sama manusia. Jangan-jangan interaksinya sama mahkluk tak kasat mata."

Ruly lalu berdecak "belum lagi penampilannya. Apa sih itu poninya? Sumpah mengganggu."

"Penting gitu nyari banyak temen? Itu hak dia kan mau ansos atau ekstrovert. Mungkin saja justru temennya dia di luar sekolah." Naila berujar deklamatis.

Lalu Naila menambahkan "circle gue juga dikit; cuma lo, Enya sama Anin. Dan gue merasa baik-baik saja."

Ruly menghela nafas sembari mengibaskan rambut panjangnya.

"Gini gue kasih tau lagi; Sekolah itu adalah pondasi karir. Selain belajar,  pertemanan itu penting. Pas Lo udah di lingkungan kerja, bisa bantu Lo nyari koneksi.

Ruly lalu memegang pundak Naila dramatis "dan lo emang nggak perlu temenan deket sama yang lain selain kita. Karena nggak level. Cukup sapa, ngobrol baik-baik seperlunya."

Naila mengangkat alisnya. Kalimat Ruly agak kontradiktif baginya.

"Ya cuma jadi anak terkenal aja. Siapa tahu pas lo ngikutin jejak Nyokap lo jadi anggota dewan, mereka-mereka ngasih lo suara sambil bilang ke keluarganya 'hei, ini dulu temen gue SMA. Orangnya baik dan ramah'. Nah, get it?"

Naila menggeleng geli "pemikiran lo lumayan nakutin ya? UN saja belum, eh sudah kepikiran jadi caleg ."

"Sorry ya kalo gue udah memikirkan masa depan sahabat gue kelak." Jawab Ruly sarkas.

"I'm not kinda smart ass and bold like you, indeed. But honestly I'm more curious about the things between Farah and you." Ujar Naila.*

"Ih, nggak ada apa-apa gue sama Farah. Mimpi aja ogah disangkut-pautin sama dia." Jawab Ruly dengan ekspresi jijik.

"Tapi, lo kayak benci banget sama dia. Dari kelas sepuluh lo malah sibuk ngomongin si Farah yang---"

Ruly merebut buku paket Naila lalu membacanya sekilas. Menghentikan ucapan Naila.

"Nggak butuh alasan kok buat benci seseorang. Sama kayak suka sama seseorang. Apalagi kalo orang itu memang mudah dibenci kayak dia."

Naila agak merasa kesal kalimat ya terpotong "Kok bisa sih lo kayak gitu? Maksud gue, bisa gitu ya benci sama orang tanpa alasan?"

"It's simple as ABC, Darling. Gampang banget benci seseorang seperti itu."

Ruly mengibaskan rambut hitam sepinggangnya yang lurus ke belakang bahu. Lalu menatap Farah lagi.

Naila memperhatikan pandangan sahabatnya sejak kecil itu. Walau mereka kerap berbeda satu dengan lain hal, Naila tahu alasan Ruly tidak sesederhana itu.

Dan kali ini Naila merasa Ruly, untuk pertama kalinya, menyembunyikan sesuatu darinya.

Coba diingat, memang mereka temenan sejak kecil, sejak SD. Tapi waktu SMP mereka berempat terpisah Sekolah. Enya dan Ruly yang sama-sama pintar masuk ke SMP  Tunas Paramitha yang unggulan.

Naila dan Anin melanjutkan ke sekolah negeri. Walau begitu mereka tetap sering hang out bareng. Apalagi Naila dan Ruly bertetangga. Lalu waktu SMA, mereka satu Sekolah lagi.

Ada apa sebenernya waktu mereka SMP? Nggak mungkin kalau sekadar tidak suka.

"Kakak lo katanya mau balik ke sini ya?" Naila mengalihkan pembicaraan, dia nggak suka kenyataan bahwa dia penasaran. Jadi dia memutuskan bertanya hal lain.

Manik bulat cantik itu berbinar. Membicarakan sosok berbeda, berdampak juga pada sorot matanya.

"Iya, mungkin bulan depan. Si Tika lagi nunggu berkasnya selesai."

"Kelas sebelas ya? Samaan sama kita?" Tanya Naila memastikan.

Ruly mengangguk "Nanggung banget sih dia itu, pindah pas akhir tahun. Yah, dia dulu pindah ke Australia cuma dua tahun itungannya nanggung juga."

Naila akan membuka mulutnya ketika datang seorang cowok menghampiri mereka.

Sosok yang bisa di bilang agak culun.

Farrel, si rajin tapi canggung nan pendiam yang merupakan salah satu anggota kelompok tugas mereka.

"Nah ini setipe nih sama Farah." Bisik Ruly pelan lalu terkikik. Naila ikut tertawa kecil, tapi karena tidak enak hati dia memukul lengan Ruly.

"Ruly, nanti yang bagian kamu maunya jawaban buku paket atau buku diktat pemerintah?" Tanyanya malu-malu. Sambil memandang Ruly menghamba.

Naila mengangkat sebelah alisnya.

Kentara sekali si Farrel ini, seperti membaca buku. Tatapan naksirnya nggak bisa ditutupin, batin Naila hampir tertawa.

Yah, sebenernya tidak perlu ditutupi juga.

Rulita Prameswari sudah biasa mendapat tatapan seperti itu.

Kagum, naksir, cemburu, atau perpaduan ketiganya. Dia punya aura bak putri. Bahkan nama Prameswari saja merupakan serapan bahasa sanserkerta  dari permaisuri, si calon ratu.

"Memangnya ngaruh sama tugasnya ? Emang bedanya apa?" Tanya Ruly dengan tatapan (sok) polos dan seperti tidak bisa apa-apa. Padahal sebenernya dia sedang bertingkah bossy.

"Kalo buku paket biasanya lebih rinci dan jelas, tapi Pak Rizal lebih suka pakai buku diktat pemerintah kalau dibuat sumber. Isinya agak bertele-tele dan--"

"Oh oke stop, ya aku paham sih. Ya udah terserah kamu nanti ngerjainnya kayak gimana." Jawab Ruly sembari mengibaskan rambutnya lagi.

"Jadi?" Tanya Farrel.

"Pokoknya aku maunya nanti ngumpulinnya sekalian sama punya kamu." Jawab Ruly sembari tersenyum.

Farrell tampak kesusahan menyembunyikan senyumnya.

"Aku kan nggak bisa apa-apa. Masuk IPA juga pakai nilai pas-pasan. Untung sekelas sama kamu, ya?"

Telak. Ruly memukul Farrell telak, batin Naila.

Farrell akan menjadi salah satu 'hamba' Rully ketika gadis itu mengeluarkan 'senjata' nya; kalimat bernada manja, memainkan rambut indahnya, berlagak lemah.

Lalu diakhiri kalimat merendah seperti damsel in distress ---butuh pertolongan si Pangeran Berkuda Putih---

Naila sebenarnya tidak menyukai ini. Baginya tidak baik mempermainkan perasaan dan psikologi orang.

Tapi Ruly adalah sahabatnya. Orang yang menerimanya sejak duli. Jadi Naila membaca buku sembari mengalihkan pandangan dari adegan opera sabun di depannya.

Itu bakat alam Ruly yang dipuja pangeran-pangeran dengan sosok bak putri itu, batin Naila.

Sayangnya, Farrel lebih mirip pengagum menyedihkan ketimbang Pangeran Berkuda Putih.

Kemudian Farrel pergi sembari membawa mandat dan titah dari Sang Tuan Putri Ruly. Naila memandang Ruly yang asyik mencoret-coret buku.

"Anak orang lo suruh-suruh kayak babu." Gumam Naila.

"Loh dia nawarin kok. Dia tuh malah seneng berguna di mata gue. Win-win solution." Tukas Ruly tidak terima.

"Sly Fox."

"Whatever it takes to the top."

Naila menggeleng sembari mendengus. Ruly sebenarnya sangat pintar namun manja.

Dia tahu apa yang dia mau dan tahu cara menggunakan orang lain untuk tujuannya.

"Eh, buset. Si Aneh itu udah tidur aja disitu. Apa gue kerjain aja ya, mumpung sepi."

Ruly berdiri bermaksud menghampiri Farah yang tertidur di salah satu bangku di taman.

Naila segera mencengkeram lengan Ruly "Rul--Ruly, mau ngapain Lo?"

"Apaan sih, cuma gue isengin bentar, " kibas Ruly.

"No, no! Jangan kelewatan Rul! Udah biarin aja!"

"Kelewatan apaan? Iseng doang gue! Mau gue teriak di deketnya biar dia kaget!" Desis Ruly

"Nggak usah! Apaan sih, kasihan tau!"

"Oh come on. Gue nggak sejahat itu walau gue benci dia."

"Ruly---" tapi Ruly sudah lepas dari cengkraman Naila. Mengendap-endap.

Tapi belum sampai kesana, Ruly berhenti. Dia lalu berbalik dengan wajah panik namun senang.

"Oh Tuhan! Awang, Nay! Pelajaran olahraga! Dia mau lewat sini!" bisik Ruly heboh. Naila ternganga sejenak. Lalu terkikik.

Naila tersenyum simpul.

Satu kelemahan Ruly.

Ruly mempunyai kecenderungan untuk menyukai cowok yang dirasa tampan, menarik dan tentu populer.

Kebanyakan dari mereka juga kagum dan naksir Ruly bahkan bersedia melakukan apapun untuknya.

Kategori ini masuk Pangeran Berkuda Putih bagi Ruly.

Tapi Awang lain.

Dia tampan dan populer. Pintar dan dapat diandalkan. Akun media sosial dia tidak pernah sepi pengikut walau dia jarang memperbaharui sesuatu di sana.

Katakanlah, Awang adalah sosok yang hampir tidak tergapai, walau secara kontra sebenarnya dia cukup ramah.

Awang terkesan menanggapi semuanya termasuk Ruly hanya ala kadarnya. Cenderung acuh tak acuh, malah.

Nah, bagi Ruly, tipe sulit seperti ini adalah Raja.

Bahkan tipe ini bisa membuat Ruly melupakan niat isengnya terhadap Farah. Awang sudah menjadi pusat dunianya

"Gue mau jaga image ngerjain tugas, pura-pura kalo dia nggak disitu. Entar lo sapa dia ya? Kalo perlu ajak ngobrol disini." Ruly mendesis, bersemangat

"Hah? Kok gue?" Naila protes.

"Lo kan OSIS sama kayak dia!" Erang Ruly tidak sabar.

"Aduh terus gue bisa seenaknya manggil dia gitu? Deket aja nggak. Mau ngomong apa coba?" Naila bingung.

"Apa, kek! Tugas, acara! Apapun!!Please Nay, demi gue!"

Naila menghela nafas berat. Kalau soal begini saja, mendadak Ruly bertingkah seperti gadis SMA kebanyakan yang bertemu gebetan.

Naila menggigit bibir. Ia tidak terlalu dekat dengan Awang. Mereka beretemu beberapa kali di OSIS. Ngobrol masalah organisasi, rapat, dan terkadang bercanda seadanya. Tapi ya cuma itu.

Sementara Ruly pura-pura mengisi lembar tugas, Naila memandang Awang sambil memikirkan cara untuk memulai interaksi dengannya.

Ngomongin folder map OSIS sekolah kenapa pake warna merah, misalnya. Atau bertanya kenapa setiap rapat OSIS selalu banyak makanan tersedia.

Namun mendadak Naila terdiam kaku.

Dia melihat sesuatu yang menurutnya akan sangat berbahaya jika Ruly mengetahuinya. Bisa-bisa cewek di depannya ini akan meledak.

"Nay, dia udah jalan kesini belum, sih?" Ruly mendesis pura-pura membaca buku.

Naila masih bingung.

"Nay? Nay? Naila!"

"Eh... Aduh kayaknya dia dipanggil temennya." Naila bermaksud mengalihkan perhatian Ruly.

Tapi Ruly penasaran siapa teman Awang itu.

Atau dalam kamus Ruly, teman ini hanyalah seorang cowok atau cewek ganjen menyebalkan.

Maka Ruly menoleh.

Demi mendapati Awang duduk di samping Farah yang tertidur sambil memainkan handphone Farah.

Ruly mengernyit tajam.

"Itu... itu ngapain si Awang sama si Poni Aneh?" Desis Ruly nyaris berbisik.

Naila tidak menjawab. Ia pun ingin tahu sebenarnya.

"Gue nggak lagi salah lihat kan Nay? Ngapain dia duduk sama Farah?" Tanyanya lagi. Ada nada yang aneh dari suara Ruly.

"Gue nggak tau..." Naila menjawab lamat-lamat. Dia lalu memandang Awang dan Farah.

Itu tadi---Awang dan Farah--- melakukan interaksi yang tidak biasa menurutnya.

Ah lebih tepatnya, Awang menyeka rambut jatuh Farah.

Itu yang dilihat Naila sebelum Ruly sempat melihatnya.

Mereka saling kenal? Kenapa mereka sedekat itu?

Naila ganti memandang Ruly takut-takut.

Ruly memang tidak meledak. Tapi tatapannya seperti lubang hitam. Menelan bulat-bulat.
Dan ini berbahaya.

Naila tahu, siapapun yang dekat dengan Awang--- kalau itu cewek--- dia resmi menjadi musuh Ruly.

Termasuk cewek yang bahkan tidak selevel dengan dia, secara fisik maupun intelegensia.

Sekarang, Ruly pasti punya alasan baku untuk membenci Farah.

********

Awang tersenyum simpul.

Berhasil mengirim sebuah lagu di handphone Farah tanpa membuat gadis itu terbangun. Lalu mengaturnya agar terputar di playlist pada urutan tertentu.

Awang yang berniat ke kamar mandi di sela-sela permainan sepak bola, malah mendapati kakak angkatnya tertidur. Entah apa yang di lakukan cewek ini di jam segini.

Jadi dia ingin iseng.
Sudah lama ia tidak melakukan hal ini.

Poni-poni Farah mengganggu. Reflek, Awang menyibaknya lembut. Ada manik terlelap di balik bingkai kacamata tebal itu.

Awang menghela nafas.
Ini juga sudah lama.

Kapan terakhir kali Farah menatapnya langsung dengan manik itu? Tanpa intensi untuk menyerang atau mempertahankan diri seolah dia musuh?

Tatapan yang menyiratkan bahwa mereka saudara.

Awang ingin membangunkannya, duduk berdua sembari menyelesaikan apapun yang membebani mereka.

Tapi Awang tidak bisa. Farah tidak akan mau. Dan Awang, tidak pernah bisa memaksa apapun kepada gadis itu.

Awang menghela nafas lagi. Lalu tersenyum simpul.

Setidaknya dengan berlaku kurang ajar seperti ini, Farah akan menyadarinya.

Menyadari bahwa ia memiliki adik yang sudah lama ia abaikan.

********************
*

Ansos: anti sosial. Penyendiri.

*sekolah itu sebenernya buat bergaul.

*aku tidak pintar dan berani kayak kamu, emang. Tapi aku lebih penasaran ada apa sama kamu dan Farah.

((Ini Ruly-Naila emang anak jaman sekarang ya, kalo ngobrol sok British emang :( saya sampai bingung gimana bikin percakapan sok iyes gini))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top