Konfrontasi
Farah tidak bisa menahan rasa gentar ketika melihat tempat yang ada di hadapannya. Lebih ke arah bingung. Bagaimana ia bisa masuk kesana untuk mencari Haikal.
Taman Bibit Gandatura.
Jika Haikal kemari di siang hari, Farah tidak perlu takut. Selain karena masih terang, biasanya banyak orang berwisata di sini.
Tapi ini nyaris pukul sembilan malam.
Selain karena tidak ada siapapun kecuali pemancing dan mungkin beberapa pasangan yang hanya Tuhan yang tahu apa yang mereka lakukan, Farah merasa berada di tempat gelap dengan pohon-pohon tua raksasa menciptakan kesan mistis tersendiri.
Farah tidak takut tempat gelap, dia hanya takut apa yang ia tidak ketahui di dalamnya.
Farah celingukan, bersikap waspada. Dengan mengabaikan rasa takut dan mensugesti diri bahwa apa yang ia takutkan tidak nyata, Farah masuk dengan mantap.
Walau tengkuknya terasa meremang.
Farah merapatkan jaketnya sembari melihat sekeliling dengan bantuan lampu taman yang temaram. Beberapa kali ia terkesiap karena bajing, kelelawar atau hewan lain melintas menimbulkan suara gemerisik.
Farah merutuk. Memaki kenapa ia harus menyusahkahkan diri sendiri.
Tapi ia harus menemukan Haikal. Sudah kepalang basah ia di sini.
Haikal pernah bercerita bahwa ia sering main di tempat ini karena tempat ini adalah tempat paling asri di jantung kota, luas, dan sejuk.
Sangat enak untuk membolos. Sangat jelas.
Dan dia pernah bilang bahwa beberapa kali dia kemari diajak temannya bermain game. Farah tidak tahu bagaimana persisnya---dia buta soal begituan, tapi Haikal bilang di tempat yang lebih mirip hutan ini sering diadakan kompetisi game lokal. Biasanya game telepon pintar yang sedang hits atau game PC.
Selain itu Haikal pernah mengatakan dengan nada sentimentil bahwa memandang pepohonan entah mengapa bisa membuat sebagian keresahannya menghilang.
"Biasanya aku kesana kalau ada hal-hal yang menyebalkan terjadi. Kadang bisa sampai pagi jika masalahku terlalu besar." Ujar Haikal di depan kamar inap ibunya saat mereka membolos itu.
"Kamu mau nyoba? Jangan salah sangka, aku nggak mau macam-macam kok sama kamu. Aku cuma mau nunjukin kalau malam hari, tempat itu bagus sekali. Apalagi kalau kunang-kunangnya keluar semua." imbuhnya.
"Ehm, aku rasa... Aku nggak begitu tertarik sama kunang-kunang... Kalau jam segitu aku lebih tertarik tidur saja." tolak Farah datar.
"Astaga..." Haikal tertawa "kamu ini jiwa 'tua' ya? Mana jiwa petualanganmu?"
Farah lebih suka jiwa tua yang menjauhkannya dari berbagai masalah.
Farah tidak mengerti, bagian mana dari pepohonan besar, gelap dan menyeramkan ini bisa menghilangkan keresahan. Bagi Farah ini malah menambah pikiran. Pikiran bahwa mungkin saja ada Mbak-mbak pucat berambut panjang duduk meratap di dahan pohon.
Farah sudah mencari hampir setengah wilayah tempat ini. Kakinya lumayan kelu. Ia memandang jam digital di handphonenya. Hampir satu jam dia berputar-putar dan dia tidak menemukan Haikal.
Farah cukup beruntung bertemu beberapa orang pemancing dan orang-orang yang sekadar olahraga malam---mereka benar-benar jogging, Farah tidak habis pikir kenapa mereka tidak istirahat saja di rumah--- yang bisa ia tanyai.
"Eh sebentar," seorang pemancing tampak berpikir lalu menengok ke beberapa anak muda seusia Farah yang juga memancing "Rio, Haikal itu temen maen lo bukan?"
Seorang cowok yang konsentrasi di alat pancingnya menoleh "Haikal anak Citra Nusa? Iya. Lagi tidur di teras sana noh. Kenapa?"
Farah melihat arah telunjuknya. Sebuah bangunan di tengah pepohonan. Hampir semuanya terbuat dari kayu selain tembok. Tidak begitu besar, masih kalah besar dengan bangunan utama kebun ini, yang merupakan kantor pusat informasi-data-pembibitan.
Jadi bangunan apa itu?
Farah mengucapkan terimakasih pelan, lalu menuju kesana. Mungkin ada sekitar limaratus meter dari telaga pemancingan.
Ketika ia sampai, ia melihat Haikal disana. Terduduk lesu ditemani seseorang.
"Kal..?" Farah memanggil lamat-lamat, memastikan.
Haikal dan orang yang duduk di sampingnya mendongak. Orang itu menyipitkan mata, Haikal malah melebarkan matanya. Tampak ada sedikit binar.
"Farah? Kok kamu bisa kesini?" Haikal bingung, tapi entah kenapa Farah merasakan ada kelegaan di nada suaranya.
"Nanti aja ceritanya... Aku..." Farah melirik orang di samping Haikal "anu, Kak Helio tadi telepon... Ibumu.."
Rahang Haikal mengeras, ia langsung berdiri.
"Mama kenapa?" Cerca Haikal. Farah menggigit bibir. Ia tidak tahu mulai dari mana.
Makanya kalau ngilang-ngilang, seenggaknya tuh handphone nyala! Rutuk Farah.
"Ibumu... Ibumu kritis. Lagi di ICU. Semua nyari kamu---"
Haikal langsung melesat, berlari. Farah mengekor di belakangnya dengan tergopoh-gopoh.
"Kal!" pemuda itu memanggil Haikal "gue yang anter!"
Farah lega karena pemuda itu langsung mengeluarkan kunci mobil. Karena Farah tidak mau Haikal mengendarai motornya dengan kondisi emosi seperti itu. Sangat rawan.
"Kamu ikut juga, ayo." ajak pemuda itu. Farah ingin menolak karena ia merasa tugasnya sudah berakhir.
Tapi melihat punggung Haikal yang menahan gemetar dan tampak akan jatuh kapan saja, Farah menelan kata-katanya.
Farah menghela nafas panjang. Berharap Ibu Haikal akan baik-baik saja.
*********
Xavier, Alif, dan dua orang anak basket yang merupakan teman Haikal ternyata menunggu di depan kamar ICU. Farah tadi memang menelepon Xavier untuk bertanya soal Haikal, orang yang ia tahu terlihat dekat dengan Haikal.
Ternyata mereka berinisiatif menunggu Ibunya Haikal bersama keluarganya Alka---minus Alka tentunya.
Xavier tidak tampak lebih lega lagi ketika melihat Haikal. Farah tidak tahu sejauh mana persahabatn mereka, tapi Farah lega ternyata teman yang baik.
Haikal segera berbaur dengan mereka. Farah memilih menjauh, melihat dari ujung lorong ruang ICU. Wajah tegang Haikal tidak mengendur, tapi tampaknya jauh lebih baik karena dia ada disini.
Farah rasa dia harus pulang. Sudah hampir pukul sebelas.
"Aku antar pulang, ya?" Farah hampir melupakan sosok yang membantu mereka. Farah melirik. Farah tidak mengenalnya, mungkin teman main game Haikal. Mungkin kelas duabelas SMA atau anak kuliahan. Bahkan lebih tinggi Haikal.
Tapi yang pasti dia bisa membaca pikiran Farah. Farah memang ingin pergi dari sini.
"Ehm, kamu nggak ikut menemani Haikal?" tanya Farah.
"Nggak." dia mengedikkan bahu "kami nggak sedekat itu sampai-sampai aku harus ikut menemaninya. Itu urusan dia sama keluarganya."
Farah menyetujui dalam hati "tapi nggak usah, aku bisa naik taksi."
"Nggak apa-apa. Sekalian aku mau balik. Ini udah malem banget. Kasian kalau pulang sendiri" dia tersenyum kecil. Farah lalu menimbang sejenak sebelum menyetujuinya.
Ketika di mobil, pemuda itu menanyakan alamat rumah Farah. Beberapa kali mengajaknya mengobrol.
Tapi lebih seringnya mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tampaknya saling diam adalah kenyamanan bagi mereka.
"Jadi kamu Farah yang sering disinggung sama Haikal." ujarnya memecah keheningan beberapa saat kemudian. Farah tidak menjawab. Dia tidak tahu harus membalas apa.
"Haikal kayaknya tertarik sama kamu---"
"Nggak. Dia sama teman-temannya menjadikanku target taruhan." potong Farah, lalu buru-buru menambahkan
"awalnya mungkin dia nggak bermaksud apapun, tapi semakin kesini motifnya semakin jelas. Semua anak membicarakannya."
"Apa? Terus kamu nggak marah?"
Farah memejamkan mata. Bibirnya membentuk garis tegang "marah. Marah banget. Tapi aku nggak punya siapa-siapa di sana buat ada di pihakku. Kalaupun ada, mereka kayaknya memilih apatis."
"Hah?"
"Ya. Kayaknya ngeliat anak aneh dijadiin bahan taruhan itu hiburan."
"Wah kelewatan." komentarnya, reflek memaki "masih jaman gitu ya main taruhan cewek? Kalau jamanku bisa dihajar satu sekolahan itu."
Jamanku? Memangnya dia kelas berapa?
"Kamu sekolah dimana sih?" tanya Farah spontan. Ada jeda sepersekian detik. Seperti ragu untuk menjawab.
"SMA Garuda Jaya." ujarnya singkat. Ah pantas, ujar Farah dalam pikirannya. Sekolah itu adalah sekolah anak-anak orang kaya.... yang bermasalah. Tidak heran ia sedikit ragu mengatakannya.
Suasana kembali hening. Pikiran mereka lebih mendominasi.
"Tapi bukannya kamu terlalu sinis sama orang lain? Siapa tahu sebenarnya yang mau nolong kamu nggak sedikit." Cercanya lagi kepada Farah.
"Aku bukannya nggak memikirkan itu... Tapi aku selalu ketakutan." Farah menoleh ke arah pemuda itu "aku akan cerita sama kamu saja karena kayaknya kita nggak bakal ketemu lagi dan kayaknya nada suaraku normal-normal saja kalau ngomong sama kamu."
Dia tertawa "memangnya nada suaramu kenapa kalau ngomong sama orang?"
Farah menggigit bibirnya "gagu mendadak, terlalu pelan, atau nyaris berteriak.... Saking takutnya."
"Wah makasih loh kalau aku ternyata punya dampak yang baik." Guraunya "memang kamu ketakutan kenapa?"
Farah mencoba duduk dengan rileks "ya takut karena ternyata akhirnya siapapun yang dekat denganku, akan meninggalkanku begitu saja. Tanpa alasan. Tanpa ngasih tahu sebenarnya salahku apa."
"Oh, makanya Haikal bilang kalau kamu tuh nggak terbiasa sama hubungan yang dekat. Jadi kamu ini takut." Pemuda itu mengambil kesimpulan "tapi Farah, kamu harusnya tegas kalau kamu nggak suka dipermainkan. Sekalipun Haikal yang melakukannya."
Farah spontan mendengus lalu terkekeh "Haikal cerita banyak ya?"
Kemudian Farah terdiam lama. Ia mencari kata-kata dalam pikirannya.
"Aku pikir juga semua ini ada kaitannya sama kepribadianku yang aneh. Andai saja saat awal masuk sekolah aku layaknya anak lainnya dan mencoba berinteraksi, aku yakin nggak akan ada yang menganggap aku pantas dipermainkan."
"Hei," panggil pemuda itu tegas, menoleh tajam ke Farah "itu bukan alasan kamu pantes dapat perundungan. Se aneh apapun dirimu, anak-anak yang lain nggak berhak melakukannya. Jangan merendah seperti itu!"
Farah terkesiap juga diberi wejangan oleh orang yang baru beberapa jam ia kenal. Apalagi mungkin rentan jarak umur mereka juga tidak terlalu jauh.
Jadi Farah kembali membisu. Memainkan jemarinya untuk mengusir rasa kalut akibat pembicaraan barusan.
"Kamu berapa kali kecewa sama manusia, sebegitu dalam?" tiba-tiba dia bertanya lagi.
Farah reflek menoleh. Tidak menyangka bahwa dari tadi pertanyaannya bisa berat begitu. Seperti sesi tanya jawab dengan ahli jiwa.
Tapi kemudian Farah melihat ke arah luar. Ke denyar jalanan.
"Yah... Kalau kasus Haikal bisa masuk sih, aku nggak bisa hitung. Saking seringnya." ujar Farah datar, lalu dia terkekeh kecil "Kalo kamu Nest?
Ernest, teman Haikal itu, tampak berpikir "Yah... katakan sampai sekarang masih banyak orang yang membuat kecewa disekitarku."
"Kamu nggak belajar dari pengalaman?" serang Farah.
"Apa pengalamanmu membuatmu jadi agak anti manusia seperti itu?" serang Ernest balik.
Mereka tergelak.
"Awalnya aku pikir apa se ekstrim itu. Tetapi ketika bertemu denganmu secara langsung aku jadi nggak meragukan perkataan Haikal. Jadi sekarang aku tahu jawabannya."
Farah tidak tahu mengapa ia bisa berbicara begitu dalam dengan orang asing. Biasanya Farah akan lebih memilih diam saja.
"Aku bukannya nggak belajar dari pengalaman." kata Ernest "hanya saja aku nggak bisa menghindari. Sejak kecil, aku sudah melihat banyak pengkhianat, banyak kekecewaan. Berbagai bentuk. Jadi aku mengikuti alurnya. Membereskannya kalau bisa."
Membereskan? Bagaimana? Farah ingin tahu jika ia bisa.
Ernest lalu mengangkat bahu ringan "Tapi nggak ada yang lebih menyakitkan daripada kecewa dengan diri sendiri, kan?"
Farah tidak tahu pengakuan Ernest itu fakta atau hanya dramatisasi. Tapi kemudian Farah mengangguk setuju.
"Benar. Kecewa dengan diri sendiri itu menyebalkan. Kecewa kenapa tidak seperti orang lain; berprestasi, disayang, tangguh, tegar, ambisius, menyenangkan... aku melihat diriku kebalikan dari itu semua."
Anehnya, dalam berberapa hal, sebagai orang asing mereka sepakat.
Farah menghela nafas "Tapi aku berharap ini hanyalah fase masa sekokah, semacam life crisis atau pubertas---"
"Tapi kadang itu bukan hanya sekadar fase." potong Ernest "orang-orang terlalu meremehkan emosi anak muda. Terlalu memandang rendah kesedihan mereka---atau menganggap mereka berlebihan, sampai-sampai ketika mereka menyadarinya, semua terlambat."
Farah tercenung "aku nggak sampai punya pikiran bunuh diri loh."
"Ya jangan." gelak Ernest tapi bernada serius "nggak hanya bunuh diri, jadi orang jahat atau gila juga contoh akibatnya."
Farah tidak tahu Ernest yang berasal dari sekolah yang bisa dibilang sarang anak urakan itu bisa mengatakan hal-hal yang filosofis. Cenderung sok tua malah.
"Ya pokoknya aku hanya berharap jangan terlalu kecewa sama dirimu. Jangan ngerendah. Kamu pasti punya banyak hal yang belum ditunjukan, itu aja. Dan tegaslah kalau ada yang nyakitin kamu." Ernest melanjutkan
"Dan kalaupun Haikal jahat sama kamu, nggak mungkin dia hampir tiap kali curhat selalu ada kamu sebagai topiknya. Eh rumahmu belok blok ini, kan?"
Farah mengiyakan. Pikiran Farah kembali berputar.
Selain karena taruhan, apa Haikal benar-benar menganggapnya teman? Tapi seorang teman nggak akan dengan gampang mempermainkan seperti itu.
Ketika mobil Ernest semakin dekat, Farah melihat seseorang menunggu di depan pagar rumah.
Farah tidak perlu bertanya-tanya. Farah tahu siapa.
Ketika Farah turun bersama Ernest dari mobil, Farah dapat merasakan aura menyesakkan dari Awang.
Awang segera menyusul ke arah mereka. Awang menatap Ernest dengan pandangan menghujam. Sedangkan Ernest, bersikap santai layaknya tidak merasakan tekanan apapun.
Awang tidak mengatakan apapun, membuat suasana menjadi semakin dingin dan canggung baginFarah.
"Ya sudah, aku balik. Kalau ada apa-apa sama Haikal, hubungi aku saja." Ernest segera memberitahu nomer ponselnya kepada Farah. Dengan gerakan yang juga sama kasualnya, Farah menyimpan nomer Ernest.
Awang melirik semua tindak-tanduk Farah.
Siapa lagi ini? Kenapa Farah bisa bersama orang ini? Apalagi Farah tidak tampak canggung seperti dia menghadapi orang kebanyakan, pikir Awang.
Tapi toh Awang tetap bersikap statis seperti yang biasa ia tunjukan.
Sekali lagi, Ernest pamit. Ia mengedikan kepala kepada Awang sebagai tanda perpisahan lalu berlalu dengan mobilnya. Awang bahkan tidak repot-repot membalas salam perpisahan tersebut.
"Lo darimana?" tanya Awang tenang namun tajam setelah keadaan hanya mereka berdua.
"lo nggak bisa dihubungi."imbuh Awang.
Farah buru-buru mengecek handphonenya. Ada sekitar sepuluh panggilan tidak terjawab dari Awang.
Farah tidak tahu apakah harus merasa bersalah atau kesal dengan persistensi Awang.
Farah mengatur nafasnya. Berusaha agar tidak tertekan dengan keberadaan Awang.
"Haikal ngilang." jawab Farah sembari masuk ke rumah. Awang mengikuti, rautnya berubah tajam.
"Itu bukan urusan lo."
"Ibunya kritis di ICU." ujar Farah "aku hanya kebetulan tahu dimana dia mungkin berada."
Rahang Awang mengeras. Dia terdiam. Tapi kemudian dia membuka mulutnya
"Itu tetap bukan urusan lo. Lo nggak berkewajiban memperbaiki apa yang mungkin bikin Haikal nyesel nantinya, dan lagian lo nggak belajar dari pengalaman? Pengalaman buruk lo semua bermula dari Haikal akhir-akhir ini!"
Farah menghadap Awang.
"Bukannya lo nggak mau tahu urusan gue lagi?" serang Farah "terus ini apa?"
Awang menghembuskan nafas lelah "terus kalau lo ngilang, apa yang musti gue katakan ke Papa? Gue emang nggak mau tahu urusan lo. Terserah juga lo kena gosip apa lagi. Tapi kalau ada apa-apa sama lo itu lain soal!"
Wajah Farah yang kedinginan berubah bersemu merah karena marah dan malu. Perkataan Awang ada benarnya.
Farah tidak membalas. Dia malas adu argumen sekarang. Ia lelah.
"Terus itu tadi siapa?" Awang tidak berhenti.
"Ernest, temannya Haikal." Farah menjawab malas.
"Kenapa Haikal temenan sama Om-om?" Awang bertanya heran. Farah lebih merasa heran lagi dengan pertanyaan Awang.
"Om-om apanya? Dia masih sekolah kok." Sanggah Farah.
"Lo nggak liat apa? Jelas Om-om kok."
Mulut Farah terbuka lalu menggeleng cepat "dia anak SMA Garuda Jaya. Memang terlihat urakan gitu, tapi aku nggak melihat dia seperti Om-om."
"Terserah." Awang menyerah "tapi kalau lo masih mau denger omongan gue, jauhi orang itu. Dia berbahaya."
"Apa---"
Awang tidak menjawab. Ia menutup pintu pagar kasar dan berlalu dengan motornya. Suara mesinnya yang keras menandakan bahwa dia marah.
Hah, coba anak-anak Citra Nusa lihat yang barusan! Si Tenang Pujaan Umat ternyata bisa merengus seperti itu. Batin Farah kesal.
Farah memijat leher belakang, merasa lelah. Dia memang merasa lega bisa menemukan Haikal dan menghindari penyesalan Haikal nantinya.
Haikal masih mempunyai Ibu, apapun takdir Ibunya kelak, Farah hanya ingin Haikal tetap berada dekat Ibunya.
Tidak seperti dirinya yang ingatannya kabur akan sosok Ibu karena ditinggal sejak usia yang sangat belia.
Farah tidak menganggap apa yang ia lakukan adalah sebuah kebaikan, tapi jika memang itu sebuah kebaikan,
ternyata berbuat baik itu melelahkan.
***********
Hingar bingar menjelang hari akhir ujian tengah semester sudah terasa di Citra Nusa.
Euforia melepas stress sekaligus menyambut diadakannya pesta akbar ulang tahun Citra Nusa terasa bahkan kelas Farah pun heboh.
Ketua kelas bahkan membagikan selebaran di tengah-tengah istirahat ujian. Sebuah poling pilihan apa yang akan dipakai untuk bazaar.
Farah membaca satu per satu. Total ada empat pilihan; bazar buku, warung kopi, kedai toast, atau hobby stuff---yang mana merupakan ajang penjualan komik, action figure, model kit, manga, dvd anime, drama negeri Sakura dan Gingseng, serta album Kpop.
Farah menimbang. Lalu akhirnya memilih bazar buku---dengan alasan tidak terlalu merepotkan. Tapi toh dia nanti nggak bakal ikut menjaga atau terlibat yang lain.
Pengalaman Farah tahun lalu hanya ikut even wajib. Bahkan saat acara puncak, Farah memutuskan untuk menghabiskan hari di rumah menonton televisi.
Farah rasa tahun ini pun sama.
Farah menghela nafas. Melihat bangku Haikal yang kosong.
Haikal memilih ujian di rumah sakit, dengan satu orang guru pengawas sebagai dispensasi---dan juga pengaruh Ibu Alka.
Tidak ada kabar lagi dari Ibunya Haikal selain keadaan yang fluktatif. Farah tidak tahu apakah ia masih marah kepada Haikal atau tidak.
Farah memutuskan mengeluarkan buku sejarah untuk belajar ketika tiba-tiba beberapa anak laki-laki datang ke mejanya.
Dua diantaranya teman sekelasnya; Alif dan Xavier. Sisanya Farah hanya tahu mereka ikut ekstra basket.
Farah langsung gugup. Terasa ciut. Ada apa ini?
Tapi mereka juga sama gugupnya, saling menyenggol lengan. Farah tidak bisa bertanya apa mau mereka, lidahnya kelu mendadak.
"Uh... Eh, halo Farah..." Akhirnya Xavier memulai "makasih ya bantu nyari Haikal..."
Farah tidak menjawab, hanya mengangguk. Kejadian itu sudah dua hari lalu dan mereka memutuskan untuk berterimakasih sekarang.
Tapi Farah yakin tujuan mereka bukan hanya itu.
"Hmm Anu Farah," akhirnya Alif memulai bicara lagi "kami... Kami mau minta maaf."
Farah mengedip, lalu menatap heran "So... soal?"
"Yah..." Alif tampak salah tingkah, ia menggaruk lengannya yang tidak gatal "yah kamu tahu, kan... Gosip soal taruhan itu..."
Wajah Farah beku.
"Tapi itu bukan gosip kan?" Tanya Farah nyaris berbisik "itu fakta."
Farah seketika menyadari bahwa kelas menjadi hening dan semua pandangan menatap mereka.
Alif melirik teman-temannya dan mereka melirik Alif "Iya... Itu bukan gosip. Itu beneran. Maaf ya Farah... Kami nggak sengaja."
Farah terdiam lagi. Ia tidak merasa lega dengan itu. Ia tidak tahu bagian mana yang membuatnya masih merasa dongkol.
"Itu bukan nggak sengaja. Ketika kalian memutuskan untuk bikin permainan itu kan kesepakatan dengan kesadaran kalian."
Farah tidak tahu darimana kelancaran kalimat barusan. Tapi mulutnya lancar saja.
Hanya pikirannya yang tiba-tiba mati.
Anak-anak lelaki itu menatap Farah dengan pandangan tidak percaya. Lalu setelah mereka menangkap kalimat Farah, mereka semakin merasa bersalah.
Mungkin kecuali satu orang.
"Eh sorry nih, kita sebenarnya nyempet-nyempetin buat minta maaf sama lo padahal kita sendiri juga pengen belajar buat uts mapel terakhir." Onan membuka suara "tapi lo malah sengak."
Farah menatap Onan dengan pandangan marah "a---aku..."
"Sebenarnya juga lo nggak perlu repot nyari Haikal walau lo suka sama dia. Kita minta maaf itu juga kita nggak mau ya masalah sepele gini jadi omongan satu sekolah. Kesannya kita jahat sama lo. Padahal itu cuma bercanda."
Farah memejamkan matanya, lalu dia menatap Onan dengan pandangan tajam "Bercanda? Nyakitin mental kayak gitu kamu bilang bercanda?"
Onan agak mundur ketika Farah meninggikan nada suaranya.
"Aku nggak berkewajiban ngasih maaf buat kalian setelah apa yang kalian lakukan, yang kata kalian main-main!" Farah nyaris berteriak "kamu bisa saja bilang itu bercanda! Tapi buat aku nggak!"
"Elah" Onan memutar bola matanya "jangan baper! Itu buat lucu-lucuan. Lo itu lucu soalnya---eh gue nggak lagi ngehina. Orang lo seneng kan dijodohin sama Haikal?"
Farah menggenggam kepalan tangannya yang memutih. Xavier dan yang lain mendelik ke arah Onan.
"Diem lo..." Desis Yahya gemas.
"Nggak gini rencananya bego!" Imbuh Sandi tambah merasa bersalah.
"Kalian diem dulu, gue cuma mau ngelurusin sama ini cewek!" Ujar Onan, lalu memandang Farah lagi "nah gara-gara lo playing victim, anak-anak mau ngelaporin ke BK gara-gara ini! Lo itu terlalu ansos! Makanya hidup lo kaku kayak kanebo, ngerti?"
Kapan aku playing victim? Dan apa karena akan masuk BK jadi mereka memutuskan minta maaf? Batin Farah panas. Tengkuk hingga kepalanya berdenyut ngilu.
"Aku nggak tahu kenapa kalian jadiin aku sasaran buat lucu-lucuan kalian. Tapi yang jelas itu nggak lucu, Sialan!" Bentak Farah "kalaupun aku memang suka Haikal, itu adalah urusan pribadi! Kalian nggak berhak jadiin permainan!"
Farah lalu mendekat ke arah Onan. Kemarahan terlihat di maniknya yang terhalang kacamata kebesaran dan poni yang menusuk pelupuk.
"Asal tahu aja ya, biasanya yang salah itu yang paling galak!" Sindir Farah "lo yang playing victim! Lo yang gaslighting!"
Ernest benar. Walau dia aneh, anak-anak ini tidak berhak memperlakukannya dengan semena-mena.
Onan ternganga, ia membuka suaranya lagi "He---"
"Woi berisik!"
Farah menengok, ke arah Dwi. Ketua kelas mereka yang anak Paskib dan terkenal pendiam dan tegas. Ia menatap tajam.
"Gue mau belajar. Kalau nilai gue anjlok dan nggak bisa masuk sekolah dinas praja, gue cari kalian!"
"Heh, bukan urusan lo!" Onan tersulut emosi.
"Lo yang diem, cowok ember!" Bentak Kamila dan gengnya "kasihan Farah, tahu!Lagian daritadi tuh kita udah eneg banget ya sama kata-kata lo!"
"Ho oh! Kalian tuh ngeroyok Farah nggak ngotak!"
"Eh Babi, dilihat darimana pun, kelakuan kalian itu udah kebangetan! Farah nggak ngasih maaf juga wajar!"
Onan tersudut, tapi tidak mau kalah "Anjing ini cewek-cewek malah ikut campur---"
"Apa?" Tantang Kamila "lo yang bikin masalah! Dateng ke kelas orang gayanya sok penting!"
"Bisa diem, nggak?" Balas Onan yang segera ditarik Xavier dan yang lain supaya tidak menyerang Kamila.
"He cupu!" Tiba-tiba suara dalam dan membuat begidik melenyapkan ketegangan. Tapi menciptakan ketegangan baru.
Sona---salah satu berandal sekolah yang satu kelas dengan Farah, yang baru datang setelah membolos ujian jam pertama tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu.
Sona yang tinggi itu memandang Onan rendah.
Xavier memaki. Jika Sona sudah ikut campur, itu berbahaya. Yang lain juga merasakan hal yang sama. Onan yang tahu reputasi Sona juga menjadi kelu mendadak.
"Berantem sama cewek. Sparing sama gue, berani kagak?"
Onan menciut. Ia memandang anak-anak yang ada di kelas yang ganti memandangnya dengan tajam dan marah. Begitu pula teman-temannya.
"Cih," Onan berdecih "terserah lo deh. Kita udah minta maaf. Lo yang dosa nggak ngasih maaf!" Dia lalu menatap Xavier dan Alief.
"Anak-anak kelas lo pecundang semua!" Maki Onan. Onan buru-buru pergi. Meninggalkan teman-teman yang tadi bersamanya.
"Lah... Bangsat tuh anak." Sona justru terkekeh geli melihat kepergian Onan.
"Idih amit-amit cowok kayak gitu."
"Makanya nggak laku."
Yang lain menggeleng sebal, lalu melanjutkan belajarnya. Sebagian masih berbisik-bisik dan menatap geng Xavier kecewa.
Kecewa karena Farah adalah teman sekelas mereka dan hampir tidak pernah berbuat kesalahan terhadap mereka---saking anti sosialnya.
Dwi mengedik ke arah Xavier dan kawan-kawannya "eh sana selesain urusan kalian sama Farah."
"Eh ya..." Xavier mengambil alih "intinya kita minta maaf. Kita emang salah. Onan tadi kebangetan. Biar kami yang ngasih pelajaran sendiri."
"Lo nggak maafin juga nggak apa-apa kok Farah. Itu hak lo." Imbuh Yahya.
"Iya bener. Kita tulus kok minta maafnya. Cuma kita harap kita tetep temenan. Kan nggak enak satu kelas tapi diem-dieman." Tambah Alif.
"Tapi aku kan selalu diem di kelas. Nggak ngaruh juga kita diem-dieman." Gumam Farah dingin.
Hampir semua menahan tawa. Sona tergelak.
"Ya... Pokoknya nggak enak aja kalau kita berantem." Alif meralat.
Farah menghela nafas "ya udahlah kalian balik. Mau masuk juga."
"Makasih ya Farah..."
"Makasih..."
"Dimaafin ya Farah..."
Farah tidak mengacuhkan. Ia malah membuka bukunya lagi. Bentuk peringatan bahwa dia tidak mau diganggu lagi dan menyuruh mereka pergi.
Astaga... Padahal keadaan sudah tenang untuknya. Tapi kenapa malah ada yang beginian sih?
Mood Farah jadi jelek seketika.
"He, punya pensil 2B nggak?"
Farah menoleh takut-takut kepada Sona yang duduk di belakangnya. Tingkat kehadiran Sona tidak pernah limapuluh persen. Dia bahkan terancam drop out. Hobinya berkelahi.
Jika Dion, Rian, dan beberapa tukang cari masalah lainnya 'hanyalah' berandal di lingkungan sekolah, maka Sona adalah wujud dari kata berandal sesungguhnya.
Tidak ada yang tahu apa yang ia lakukan di luaran sana. Seringnya membolos dan ketika muncul di sekolah sering ada tempelan plester atau bebat perban, penampilan urakan dengan rambut semi gondrong awut-awutan, mata tajam seperti orang yang tengah tidur tapi dibangunkan paksa, serta tidak pernah mengindahkan perkataan guru.
Jika Farah dianggap antara ada dan tiada oleh teman sekelasnya, atau halusnya ditolerir sikap anti sosialnya,
Maka Sona benar-benar dianggap tidak ada. Saking takutnya anak-anak terhadap eksistensinya di kelas yang bisa saja hanya seminggu dua kali. Ikut ujian kali ini saja sudah pemandangan yang langka.
Farah sendiri heran, kenapa tidak dari dulu anak ini dikeluarkan. Tidak ada maksud lain, Farah hanya penasaran.
"Hei ada nggak?" Suara dalam Sona membuat Farah sadar. Farah segera menyerahkan pensil cadangannya.
Sona menerima tanpa mengucapkan terimakasih. Ia bersandar di bangkunya sembari memainkan pensil Farah. Menunggu ujian berikutnya tanpa susah payah belajar.
"He nama lo Farah kan?" tiba-tiba dia memanggil Farah lagi. Farah tidak berbalik, tapi menjawab pelan dari tempatnya.
"I---Iya..."
Tidak ada suara lagi. Farah tidak paham maksud Sona. Kenapa dia manggil-manggil gitu? Apa tujuannya? batin Farah.
"Ke... Kenapa?" tanya Farah balik. Kali ini dia menengok ke arah Sona, agar terlihat sedikit sopan. Ada keheningan sejenak sebelum Sona menjawab.
"Tanya aja. Nggak boleh?" Raut wajah Sona yang tegang itu membuat Farah terintimidasi.
Farah tidak menjawab, Ia buru-buru kembali membaca buku, menghindari tatapan Sona. Kecanggungan terjadi, tidak dapat dihindari. Farah seperti merasakan tatapan Sona menusuk-nusuk punggungnya. Farah tidak yakin apakah Sona menatapnya, tapi Farah dapat merasakan hal tersebut.
Akhirnya Farah terbebas dari keadaan tersebut ketika guru pengawas masuk dan membagikan lembar jawaban dan soal. Untuk sementara konsentrasi Farah lebih terpusat di ujian.
Dan enampuluh menit kenudian, pikiran Farah langsung blank seketika.
Ia tidak tahu apa yang ia kerjakan barusan.
Dan ketika Farah masih mengumpulkan sisa-sisa pikirannya yang berceceran akibat dipaksa mengingat-ingat pelajaran masa lalu sembari menunggu bel pulang, tiba-tiba Sona seperti biasa sudah menenteng tas terlebih dahulu. Ia mencuri start pulang.
Tapi bukannya langsung pulang, cowok itu berhenti di samping Farah.
"He, Farah." Panggilnya, Farah sontak mendongak dengan panggilan itu.
Wajah Sona yang mengeluarkan aura mengintimidasi membuat Farah tidak bisa berpaling saking kakunya.
"Kalau lo mau marah sama orang, tunjukin mata lo. Poni lo ganggu."
Sona berlalu begitu saja setelah mengatakannya dengan dingin. Membuat Farah melongo beberapa saat.
Bahkan ketika bel berbunyi, Farah masih mencerna.
"Ah." Farah bergumam lirih "dia nggak ngembaliin pensilku."
*************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top