Ketika Akhirnya Mereka Bertemu
Farah tahu dia pelupa.
Dan kadang dia melupakan sesuatu di saat yang penting.
Seharusnya hari ini dia membawa tugas membuat peta kedatangan bangsa Eropa di pelajaran Sejarah. Tapi karena fokus dengan PR matematika di pelajaran pertama, dia melupakannya.
Farah kadang setuju bahwa beberapa sejarah patutnya dilupakan saja, tapi jika Guru Sejarahnya adalah Bu Ismi, dia harusnya tidak boleh melupakan apapun.
Farah akhirnya maju ke depan bersama beberapa anak lainnya. Setelah menerima hujaman kata-kata tentang pentingnya disiplin dan masa depan dunia yang bisa bermenit-menit lamanya, Bu Ismi menghela nafas.
"Yang tidak membawa buku dan mengerjakan PR, Anda boleh keluar sekarang juga. Tolong berhenti memotong waktu jam pelajaran saya."
Farah mengangkat alisnya, kan bukan dia yang marah-marah hampir lima belas menit. Tapi toh dia hanya diam. Farah akhirnya mengekor ke arah beberapa anak lain yang dihukum bersamanya.
Farah mengamati 'teman senasib' nya. Semuanya cowok dan yang lebih membuat Farah nelangsa adalah mereka memang langganan tidak mengerjakan tugas. Ketika Farah merasa malu karena seumur hidupnya di SMA Citra Nusa dia tidak pernah melanggar apapun selain penampilan dan kehidupan sosial, sekelompok anak itu sudah biasa melakukan tindakan sejenis tidak mengerjakan PR bahkan pada pelajaran guru killer .
Farah dapat merasakan tatapan menusuk dari anak-anak di kelasnya. Kasak-kusuk dan bisikan sebelum akhirnya dihentikan oleh gelegar peringatan Bu Ismi.
Farah memandang suasana koridor yang lengang.
"Farah? Tumben kamu ikutan nggak rajin." Tiba-tiba salah satu dari anak-anak yang dihukum menoleh ke belakang, menyeletuk.
Farah mendongak. Mencoba mengingat namanya.
Ah, namanya Haikal.
Farah tahu dia dan kelompoknya adalah pentolan di kelas mereka. Mereka adalah golongan anak-anak nakal terhadap peraturan, bukan tipe nakal sombong yang suka merundung.
Buktinya, setahun lebih sekelas dari kelas sepuluh ke awal sebelas, mereka tidak sekalipun mengganggu Farah dengan ke'ajaiban'nya. Tidak ada pula kabar bahwa mereka memalak atau menggencet anak lain.
Farah hanya terdiam.
Ini adalah efek gugup dan canggung. Dia tidak bermaksud sombong, tapi kaget disodori pertanyaan secara tiba-tiba begitu.
"Kal, ke kantin aja ah, buruan!" yang lain memanggil Haikal. Haikal terlihat menunggu Farah berbicara, tapi karena ackward space yang terjadi, Haikal menyerah.
"Yuk Farah, duluan" ujarnya menjauh bersama komplotannya.
Sekarang Farah bingung. Gelagapan.
Seharusnya dia ikut mereka ke kantin, tapi pasti aneh mengikuti mereka dengan diam dan canggung seperti bayangan.
Sekarang Farah bingung bagaimana akan menghabiskan enam puluh menit kedepan.
Perpustakaan memang menyenangkan, tapi mereka hanya punya buku tebal non fiksi dan buku dari pemerintah. Buku fiksi dan buku non-fiksi yang bagus ada di lantai dua dan itu hanya dibuka waktu istirahat.
Mungkin sebaiknya aku di taman sambil mendengarkan lagu, batin Farah. Dengan langkah gontai ia menuju ke taman.
Di taman hanya ada segelintir siswa yang datang untuk mengerjakan tugas. Farah merebahkan pantat di tempat duduk kayu keras sambil memandangi anak-anak yang mengikuti pelajaran olahraga bermain basket di lapangan.
Farah selalu tidak pandai olahraga.
Jika ada permainan kelompok seperti basket, kelompok yang bersamanya tampak memaksakan diri untuk menerima eksistensinya. Tersenyum dan menyemangati, tapi Farah cukup tahu itu palsu. Tidak sulit untuk tahu.
Apa dia memang semenyedihkan itu?
Farah merebahkan kepala di meja taman. Menikmati alunan musik dari headset.
Dulu dia ingin sekali keluar dari keadaan ini, berharap ada satu saja yang menonjol dari dirinya yang bisa membuatnya diterima.
Tapi karena dia tidak menemukan apapun potensi dan bakatnya, akhirnya dia nyaman sendiri dan menerima betapa menyedihkan dirinya.
Suara alunan musik instrumen mengalun memenuhi rongga telinga dan nampaknya mulai mengendorkan syaraf-syaraf tubuhnya.
Tombol ngantuk menyala otomatis.
Entah sudah kebagian mana, Farah mulai tertidur.
**********************************
"Blast off it's party time!!"*
Farah sontak terkejut karena tiba-tiba suara keras memekakan telinganya. Reflek dia mencabut headset dari telinganya.
Farah tertidur entah dalam waktu berapa lama dan tiba-tiba ada suara teriakan. Hampir dia terjatuh dari tempat duduk. Jantungnya berdegup seperti berloncatan.
Farah mengatur nafasnya. Ia melihat sekelilingnya. Tidak ada siapapun. Lalu Farah memeriksa handphonenya.
kenapa tiba-tiba ada lagu metal. Ia menatap playlist aplikasi musiknya.
System of A Down, B.Y.O.B.
Farah menyerngit, dia tidak pernah punya lagu ini. Kapan dia mengisinya di playlist?
Lalu ia melihat tanda berbagi file. Dia mengecek. Ada satu kiriman dari handphone yang berbeda merk dengan miliknya. Secara Farah tidak pernah berbagi apapun dengan yang lain, Farah bingung.
Dan yang lebih aneh lagi, dia baru saja berbagi sekitar sepuluh menit lalu. Jelas sekali dia masih tertidur.
Tapi Farah teringat. Tipe handphone ini.
Farah memandang sekeliling lagi. Mencari.
Sekelompok anak-anak yang selesai pelajaran olahraga berbondong-bondong dari arah kamar mandi.
Tatapan Farah terarah kepada seseorang yang dikerubuti beberapa temannya. Farah tidak heran.
Dia tampan, tegap dan tubuh yang sehabis diguyur air setelah berkeringat malah membuat sex appeal nya menguar.
Seperti seekor alpha di barisan binatang buas lainnya yang mampu menggaet pengikut dan lawan jenis.
Farah memandangnya dan sosok itu sadar dipandangi Farah.
Dia tersenyum kecil.
Farah menunduk, dengan hati kesal.
Beberapa cewek yang melihat kontak sosial satu arah itu menyerngit sinis dan murka ke arah Farah. Sosok itu tersenyum kepadanya saja sudah dianggap pelanggaran, apalagi Farah mengabaikan senyum itu pasti dianggap dosa.
Farah memutuskan beranjak. Sudah waktu istirahat, dia merasa butuh kalori untuk berpura-pura dalam keadaan baik. Karena tampaknya hari ini semakin buruk saja.
*************************************
Matahari sudah seperempat tenggelam saat Farah pulang. Matahari sore yang lembut sedikit menyilaukan. Tapi suasana hangat seperti ini membuat perasaan pulang sangat menenangkan.
Farah membuka pagar yang selalu lupa dikunci karena nyaris kesiangan setiap hari. Farah tahu tidak akan ada siapa-siapa dirumah selain dirinya dan asisten rumah tangga yang datang di pagi hari lalu kembali pulang siangnya.
Rumah Farah berlantai dua dengan halaman tidak terawat. Tidak ada apapun selain furniture dan televisi layar datar serta seperangkat komputer. Jadi tidak akan ada yang berniat mencuri.
Tapi ketika membuka pintu rumah yang dipaksakan ingat untuk dikunci semepet apapun dengan waktu berangkat, Farah seperti terkena serangan jantung mendadak. Tidak terkunci.
Dia lupa atau ada yang berusaha masuk?
Tapi tak ada tanda-tanda pengrusakan.
Lalu seketika Farah tersadar, kenyataan yang jauh lebih tidak menyenangkan daripada lupa mengunci pintu atau kemalingan.
"Sudah pulang?"
Kemarin-kemarin ruangan ini kosong. Sekarang sesosok makhluk kasat mata ada disana sambil duduk dengan menyilangkan kaki. Menanyakan pertanyaan retoris.
"Makan gih, gue bikin ayam pop kesukaan lo." Ujarnya mengedikkan dagu ke arah meja makan.
Awangkasara Bhanurasmi.
Atau biasa disebut sebagai Awang, antitesis dari keberadaan Farah di sekolah.
Farah mengatupkan rahangnya.
Awang adalah salah satu orang yang punya akses masuk ke dalam rumah Farah. Mereka saat ini punya hak sama besar atas rumah yang sudah ditinggali Farah.
Awang adalah adik angkat Farah. Diadopsi ketika mereka masih sama-sama usia kanak-kanak.
Adik yang kini lebih menjelma sebagai mahkluk pengganggu.
*****************************************
Farah menatap bocah berusia sepuluh tahun itu.
Mau tidak mau jadi membatin.
Dia tidak lucu. Hitam, dekil, dan matanya seperti menangis tiap hari. Jadi ini yang Ayah bilang bahwa aku akan punya adik? Ujarnya dalam hati.
Coba Farah ingat lagi; adik Syarina lucu dan menggemaskan, adik Yoga malah masih bayi; merah, mungil dan gigit able--seperti ingin digigit--- dan pastinya semuanya menggemaskan.
Tapi dia tidak lucu dan tidak menggemaskan, bahkan mungkin sepantaran dengan Farah. Daripada merasa gemas, Farah cenderung merasa kasihan. Apa dia harus tetap memanggilnya adik ?
"Farah, ini Awang. Ini adik yang Ayah omongin ke kamu kemarin. Sekarang dia akan jadi adik kamu dan tinggal sama kita. Sekolah bareng, makan bareng, main bareng..." Ayah Farah mengenalkan dengan dengan nada membujuk samar, tapi Farah tahu itu.
Farah menatap anak bernama Awang itu dengan perasaan perpaduan ingin tahu, terpana dan agak kecewa karena tidak sesuai ekspektasi.
Awang balas menatapnta, tapi Farah tahu tatapannya tidak kemana-mana. Tatapannya... Kosong.
"Ajak main ya?" perintah Ayah Farah
Farah menoleh ke Ayahnya sebentar lalu mengangguk. Lalu Farah menggandeng tangan Awang, tersenyum kecil lalu bergumam pelan,
"Ayo lihat kartun sama aku."
Mungkin Farah tidak butuh adik lucu menggemaskan yang masih degendong. Atau adik bayi merah yang rapuh.
Adik sepantaran saja cukup.
Apalagi jika dia memiliki tatapan mata seperti Farah.
****************************************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top