Dialog Bhanurasmi

"Mama nggak berhak ngomong hal seperti itu sama orang asing!"

"Orang asing? Sandrina itu Tantenya Awang! Adiknya Ranina, mantan tunangan kamu! Bisa-bisanya kamu bilang orang yang dulunya bakal jadi keluarga kita orang asing?"

Telinga Farah yang saat itu masih berusia empat belas tahun, mencuri dengar percakapan yang lagi-lagi tidak sengaja ia tangkap.

Bahkan percakapan kemarin saja masih belum gagal membuatnya menangis seharian.

"Mereka memang pernah dekat dengan keluarga kita, Ma. Tapi jelas sekali mereka ini orang asing! Hubungan kita sama mereka cuma karena wasiat agar menjaga Awang! Mama nggak jaga perasaan Farah? Dia tadi dengar semuanya!"

"Itu bukan sekedar wasiat!" Suara Nenek Farah nyaris melengking. Farah tidak pernah mendengar nada yang seperti itu. Sekalinya, Nenek hanya nyaris berteriak saat cemilan Awang dihabiskan olehnya.

Bahkan Farah tahu tanpa melihatpun pasti Ayahnya terkesiap mendengar suara Nenek.

"Walaupun Awang itu bukan cucuku, tapi dia jelas anak Ranina dengan suaminya... Anak sah! Sekarang kamu jujur, bener si Farah itu anak kamu?! Kamu dijebak kan? Dia bahkan nggak mirip kamu!"

Sekarang Farah tahu maksud perkataan Nenek waktu itu.

Di hadapannya sekarang, Ayahnya duduk dengan tenang sembari memakan masakan Awang. Sesekali mengobrol dengan Awang menanyakan sekolah.

Ayahnya tampan. Semacam hot daddy material.

Tinggi tegap dengan pundak lebar. Rambut yang ditata slick ke belakang. Walau habis bercukur---Farah dapat mencium aroma after shave--- tapi garis jambangnya terlihat.

Ayah dan Awang seperti punya dunia sendiri di ruangan ini bagi Farah; sama-sama tampan walau jelas ketampanan yang berbeda dan sama-sama pintar.

Jika tidak, Ayahnya tidak mungkin melalang buana di berbagai negara untuk menjabat di perusahaan multinasional.

Sedangkan di lain pihak, tidak ada ciri fisik Farah dan Ayahnya yang bisa dikaitkan. Pintar saja mungkin tidak.

Membuat Farah berpikir perkataan Nenek kala itu mungkin ada benarnya.

Farah merasa bukan keturunan dari Bhanurasmi.

"Farah, Sayang?"

Farah tersadar, Ayahnya menatap setelah memanggil dua kali.

"Ngg, ya Pa?" Farah menyahut, sedikit gelagapan. Awang tampak acuh tak acuh di samping Ayahnya.

"Bagaimana sekolah?" Tanya Ayahnya sembari tersenyum. Farah membalas.

"Baik kok." Jawab Farah pelan.

"Aduh Sayang, kamu jangan pelan gitu ngomongnya." Ayah Farah tertawa. Ia lalu mengambilkan Farah lauk "makan yang banyak. Kamu kurusan, Sayang."

Farah mengangguk, tersenyum hangat kepada Ayahnya. Ia memotong ikan menjadi kecil-kecil, memisahkan dengan durinya.

"Awang jaga kamu dengan baik, kan?"

Farah menoleh ke arah Awang sekilas "Iya, Pa. Setiap hari dia bikinin Farah sarapan."

Awang tampak tidak berpura-pura menyembunyikan senyum kecutnya.

"Ya harusnya begitu. Dia laki-laki." Ayah mereka tergelak "tapi kamu belajar masak juga. Kamu kan calon istri."

Farah tidak menjawab. Ia tidak tahu apa yang harus dijawab dari pernyataan Ayahnya.

"Mama kamu dulu jago masak. Papa suka rica-rica buatan Mamamu." Ayah Farah menata peralatan makan seusai makan sesuai table manner, lebih karena kebiasaan "apalagi kalau pas masak rica-rica ayam."

"Hmm Iya. Nanti Farah belajar masak..." Farah memberi jeda "...sama Awang."

Awang tiba-tiba terbatuk. Lalu dengan tenang ia minum dengan gaya yang sangat biasa saja. Ayah Farah menoleh ke Awang, menyuruhnya hati-hati.

"Hahaha belajar dari internet sana, jangan ganggu Adikmu dulu. Dia kan harus mengejar banyak ketertinggalan gara-gara ikut OSN. Lagipula Awang harus belajar memperdalam bahasa Inggrisnya."

Farah kembali berkutat dengan makanannya. Ia kehilangan selera lagi.

"Awang jelas sudah mempersiapkan diri ke luar negeri kan? Leiden bagus untuk permulaan. Atau Michigan, almamater Papa dulu?"

Awang mengangkat bahu "Awang belum tahu, Pa. Tapi Awang ingin ke Inggris."

Lalu terjadilah lagi percakapan mereka. Farah lagi-lagi seperti tersisihkan. Seolah Farah tidak bisa menjangkaunya.

Namun kemudian Ayah mereka menarik Farah dari percakapan.

"Tapi kenapa tadi kamu baru pulang? Sekolah kalian nggak pulang malam kan?" Tanya Ayah Farah ke arahnya.

Farah tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya nggak mau dicerca soal dengan siapa dia jalan tadi.

Apa yang musti dijelaskan soal Haikal memangnya?

"Banyak tugas, Pa. Terus temen kelompok Farah ngajak nonton." Farah sedikit berbohong. Tapi hei, aku memang banyak tugas kok, kilah Farah dalam hati.

Dia dan Haikal juga pernah jadi teman kelompok belajar.

"Wah pasti capek ya? Apa anak sosial sekarang banyak tugas?"

Farah mengangguk pelan "Memang banyak tugas. Tapi sekolah baik-baik saja."

Ayah mereka lalu menghela nafas "Yah tapi seharusnya tugas IPS tidak sebanyak itu kan?" Ayahnya mengomentari sambil lalu "sosial kan hanya sebatas ilmu masyarakat. Bukan ilmu pasti juga."

Farah terdiam. Menghentikan kegiatannya mengaduk makanan. Ia lalu menatap Ayahnya yang memberikan beberapa nasihat kepadanya.

Awang menatap Ayahnya dengan tajam. Lalu mengerling Farah yang sinar matanya meredup. Lebih redup daripada sebelumnya.

"Papa nggak tahu kenapa kamu dulu milih sosial bukannya kelas ilmu alam. Kalaupun kamu mau di kuliah di jurusan sosial, kamu bisa alih jenjang kan?"

"Itu---"

Ayah mereka memotong "Ya Papa tahu memang, kalau kapasitas kamu dan Awang sedikit berbeda." Ayah lalu meminum air putih.

"Tapi jika kamu minta ke kelas IPA, Papa bisa bilang ke guru bimbingan kamu."

Farah tidak suka arah pembicaraan ini.

Bagi Farah, mau Farah kelas sosial ataupun alam, bukan tolok ukur untuk Ayahnya megeneralisasi kemampuan seseorang.

Jika berbeda, bukan berarti yang satu jauh lebih dari yang lain atau sebaliknya.

Terlebih ini personal untuk Farah.

Dia lelah dibanding-bandingkan dengan Awang. Sejak kemunculan Awang di keluarga Bhanuresmi, Awang adalah semacam contoh hidup kesempurnaan. Panutan yang harus dilihat Farah. Segala yang diharapkan dari seorang anak.

Farah tahu Ayah dan Nenek bukannya berbeda. Mereka sama. Bedanya Nenek membandingkan dengan secara gamblang karena tidak mau repot menyembunyikan ketidaksukaan terhadap Farah.

Ayah melakukannya dengan lebih halus.

Itulah yang membuat Farah tidak nyaman jika harus ada pertemuan keluarga seperti ini. Hanya Awang yang tampak menantikan. Tapi Farah tidak.

"Farah sudah selesai makannya." Farah pamit kepada Ayahnya, lalu berjalan menuju kamarnya.

"Oh, ya istirahatlah." Ayah Farah melempar senyum kepada Farah saat gadis itu berjalan melewati meja makan.

"Ah, Farah," Tiba-tiba Ayahnya memanggil, menahan langkah Farah yang sudah di dasar anak tangga.

"Jangan lupa, besok kita sekeluarga menjenguk Nenek di Rumah Sakit."

Farah menoleh sejenak. Itu adalah perintah, bukan tawaran.

Farah mengiyakan dengan suara lemah.

Tatapannya kemudian bersiborok dengan tatapan Awang yang tertangkap mengikuti langkahnya.

Farah melempar tatapan tidak suka. Seperti menegaskan bahwa yang terjadi hari ini--- penyebab Ayah mereka pulang dan memaksanya bertemu Nenek adalah Awang.

Padahal sesungguhnya Farah tahu, Awang tidak harus bertanggung jawab akan apapun.

Farah membanting pintu kamar. Menghempaskan diri di tempat tidur sembari melihat langit-langit.

Ia tidak membenci Ayahnya, mendengar perkataan Nenek waktu itu pun tidak lantas membuatnya hilang kasih sayang kepada Ayahnya.

Ayahnya juga menyayanginya. Farah tahu itu. Farah masih menganggap dirinya adalah darah daging Arya Bhanuresmi.

Farah hanya menganggap bahwa dia segelintir orang yang memiliki hubungan yang kompleks dengan Ayahnya. Tidak semua orangtua sama, kan?

Namun sebenarnya yang mengganggu Farah adalah baik Awang maupun Ayahnya memiliki banyak kesamaan yang justru membuat Farah semakin membenci keberadaannya di keluarga Bhanurasmi.

Awang dan Ayah adalah pribadi yang suka memakai retorika; Membujuk. Persuasif. Manipulatif.

Yang mana sayangnya keduanya tidak mempan kepada Farah.

Farah jadi berpikir jika saja dia menuruti berbagai sederetan ekspektasi Ayahnya seperti tinggal bersama Nenek, akrab dengan Awang selayaknya saudara, masuk kelas Saintek, ikut les piano atau matematika, dan lain-lain,

Mungkin dia tidak harus menjadi dirinya yang sekarang. Mungkin ia akan dilibatkan dalam setiap pembicaraan serius soal kuliah.

Mungkin Ayahnya akan bangga mengenalkannya ke orang-orang sebagai anak yang habis menang olimpiade akademik.

Mungkin Neneknya akan sedikit menyukainya terlepas dari kebencian beliau terhadap Ibunya.

Atau mungkin sekarang dia dan Awang banyak menghabiskan waktu layaknya kakak dan adik.

Namun Farah sudah terlanjur menjadi sosok pemberontak, menolak setiap ekspektasi keluarganya sejak ia mengenal seseorang di masa lalu.

Sosok yang harusnya dia lupakan dan dia kunci di sudut ingatan. Tapi selalu lolos. Farah memikirkannya, seringkali.

Entah ia harus merutuk atau berterimakasih kepada sosok itu.

Kira-kira, bagaimana kabar dia sekarang?

Lamunan Farah buyar ketika dia mendengar suara ketukan. Farah reflek bangkit dan membuka pintu, yakin bahwa itu Ayahnya.

Namun ketika ia membuka pintu, sosok Awang yang dihadapinya.

Farah membuang nafas kesal.

"Ada apa?" Tanya Farah malas.

"Gue boleh masuk?" Tanya Awang.

Farah tidak melihat adanya kesempatan menolak. Ayah mereka ada di bawah. Jika Farah memulai pertengkaran, urusannya akan panjang.

Farah terlalu lelah. Ia membiarkan Awang masuk. Farah memilih untuk duduk di tempat tidur sembari berusaha mengerjakan tugas.

Awang mengambil duduk di meja belajar Farah. Membuka-buka buku pelajaran Farah dengan biasa saja.
Tampak tidak canggung.

Justru Farah yang menjadi kikuk.

"Gue suka pelajaran sejarah," tukas Awang tiba-tiba sembari membuka-buka buku pelajaran Sejarah di meja belajar "ada sesuatu yang misterius dari masa lalu."

Hmm baiklah aku tidak suka sejarah. Mulai beberapa detik yang lalu, batin Farah spontan.

"Hmm ya." Hanya itu yang Farah ucapkan sebagai gantinya. Ia lalu meraih buku catatan yang hanya ia bolak-balik halamannya.

Awang bertopang dagu sembari membaca halaman demi halaman "lo pernah tahu candi buatan Medang selain Borobudur atau Prambanan?"

"Angkor Wat?" Celetuk Farah reflek.

"Yakin lo itu anak Soshum?" Sindir Awang balik, sinis.

Farah menyatukan alisnya dengan kesal. Ia saja tidak tahu Medang itu nama sebuah kerajaan.

Kenapa dia tiba-tiba tanya hal itu sih?

"Emang lo sendiri tahu?" Balas Farah kesal.

"Ada hampir limapuluhan candi dari Kerajaan Medang." Jawab Awang "dan gue sebenarnya paling suka sama Candi Sari dan Pringapus. Tapi kalau untuk petualangannya, gue suka Candi Gunung Wukir."

Oh oke, dia tahu. Batin Farah.

Kali ini Awang mendapat perhatian Farah. Tertarik dengan pengetahuannya. Daya hapal Awang melebihi siapapun, memang.

Farah tidak berkomentar lagi. Awang pun tidak lagi melanjutkan percakapan. Ia tampak masyuk membaca buku Farah.

Terjadi jeda keheningan yang cukup panjang. Farah heran apa sebenarnya yang mau dibicarakan Awang sampai menyusulnya masuk kamar.

Atau jangan-jangan, memang bukan itu tujuan Awang.

Farah baru sadar dia belum berganti pakaian. Ketika ia menuju lemari, Awang mulai bersuara.

"Lo lagi deket sama Haikal?"

Farah menoleh reflek. Agak bingung dengan maksud pertanyaan Awang.

"Kalau maksud lo dekat melebihi semua spesies manusia yang gue kenal... Ya." Jawab Farah, melanjutkan memilih baju untuk ganti.

"Kenapa?"

"Hah? Kenapa apanya?"

Awang tidak mengalihkan pandangan dari buku yang ia baca "kenapa lo akhirnya bisa dekat dengan orang lagi? Setelah lo memutuskan untuk menyendiri?"

Oh, mulai lagi. Farah membatin sebal.

"Karena dia yang memutuskan untuk tidak lelah ngajak gue ngobrol? Lagipula apa urusannya sama lo, coba?" Farah bersungut. Mengambil satu pasang baju tidur model kaus yang sudah memudar warnanya.

"Apa bedanya sama gue?"

Farah menoleh ke Awang, dan Awang sudah berdiri. Menatap Farah dengan serius. Nada suaranya pun demikian.

"Ap---"

"Gue selalu mencoba ngajak lo ngobrol. Gue selalu mencoba mengembalikan masa-masa akrab kita. Tapi lo stoic, Fay. Lo nggak pernah berubah."

Fay. Sebutan itu. Sudah berapa lama Farah tidak mendengarnya?

Farah menghela nafas.
Dia berusaha menghindari pembicaraan seperti ini.

"Denger, Wang." Farah menatap Awang "keluarga ini lah masalahnya dan lo salah satu anggota keluarga ini. Gue seperti ini kurang lebih ada andil lo, Nenek, dan Papa."

Farah menambahkan cepat "Dan soal Haikal, itu memang pribadi dia yang mudah dekat dengan orang. Gue tidak terkecuali."

Awang masih tidak melepaskan tatapannya "lo nggak pernah curiga kalau dia ada maksud apa-apa?"

"Maksud lo?"

Awang terdiam sejenak sebelum melanjutkan "lo nggak mikir apakah Haikal punya motif lain deketin lo?"

Farah membuang nafas kesal "Oh, ayolah Wang! Lo kan yang bilang sama gue kemaren-kemaren kalau gue nggak boleh paranoid sama orang? Siapa sekarang yang bersikap paranoid?"

Awang terdiam. Ia lalu membuang muka, menatap tajam ke arah lain.

Farah memelankan nada suaranya "Gue tahu gue nggak ada daya tarik, tapi kalau cuma temenan sama Haikal gue juga bisa sedikit percaya diri, kok."

Farah lalu secara reflek membuka kancing seragamnya "dia kan nggak kayak lo yang nggak tersentuh."

Awang menyipitkan matanya. Ia lalu menatap datar ke arah Farah. Farah ganti memandang bingung.

"Apa?"

"Lo mau ganti baju di depan gue?" Tanya Awang. Farah sudah melepas hampir sebagian besar kancing seragamnya.

"Kenapa? Gue pakai tank-top kok." Tukas Farah masa bodoh "lagian sejak dulu kan udah biasa kita ganti satu kamar."

Farah sudah melepas satu lengan ketika tiba-tiba tubuhnya terbanting di tempat tidur. Memekik kaget.

Dengan Awang di atasnya.

Menindih Farah.

Manik Farah membelalak terkejut. Tapi mata Awang dingin. Saking terkejutnya, rahang dan bibir Farah kelu.

"Untuk ukuran orang yang paranoid bahkan sama saudaranya sendiri, lo ini nggak ada pertahanan sebagai seorang perempuan ya?"

Suara Awang mencekat. Dingin dan tajam. Sekarang, kuduk Farah di lengannya meremang.

"Kalau lo merasa jadi kayak gini karena gue atau Nenek, harusnya lo nggak lagi pamerin tubuh lo di depan gue."

Pergelangan tangan Farah kelu. Dicengkram Awang.

"Fay," panggil Awang tajam "mau gue bantu ganti baju?"

Suara Awang menakutkan. Tenang namun dingin menusuk.

Farah reflek mendorong Awang, tapi tidak bisa. Sejak kapan Awang jadi sekuat ini?

Dulu saja Farah selalu menang melawannya dalam adu fisik apapun, tapi sekarang tenaganya seperti dikunci.

Farah menatap Awang ketakutan.

Awang lalu melepaskan diri, mengangkat kedua tangannya sembari beringsut dari Farah.

"Masa hal seperti ini gue harus ngajarin lo?" Gumam Awang tenang "bahwa lo nggak bisa nganggep enteng semua laki-laki termasuk gue."

Farah masih menatap Awang dengan kebingungan yang bercampur ketakutan.

"Kalau lo mau ganti baju, pastikan kamar lo kekunci." Awang menuju keluar, Farah merapatkan lagi seragamnya. Menatap Awang dengan pandangan nyalang.

"Keluar lo!" Bentak Farah ketika Awang menuju pintu. Awang hanya tersenyum masam sembari menutup pintu dari luar.

Gigi Farah gemeletuk. Menahan luapan emosi dan rasa malu.

Namun sepercik hal yang Farah sadari dan dia merasa ngeri.

Itu tadi adalah Awang yang berbeda. Jauh berbeda dari yang ia kenal.

Farah melihat laki-laki dalam diri Awang. Bukan lagi sosok adik.

Farah masih terpekur untuk setengah jam selanjutnya. Ia masih tidak habis pikir.

Setelah pikirannya kembali, ia menarik nafas. Entah kenapa perlakuan Awang tadi dirasanya bukan sebagai pelecehan.

Ini berbeda. Ia tahu bedanya.

Farah menggeleng pelan. Ia menutup semua tirai jendela, berganti baju dengan gamang, lalu mematikan lampu.

Ia butuh istirahat.

Ia berharap kegilaan ini hanyalah akumulasi rasa lelah yang ia rasakan akhir-akhir ini.

*****************

Awang berjalan ke arah kamar ketika Ayahnya dari ruang keluarga sedang melihat tayangan televisi berbayar.

"Hei, Nak." Ayahnya memanggil, menepuk tempat duduk di sebelahnya.

Awang tidak punya pilihan selain menuruti. Menghempaskan tubuhnya di sofa. Menyandarkan kepalanya di sofa.

Suara berita luar negeri berbahasa Inggris memenuhi ruangan, menggantikan keheningan keduanya.

Ayah mereka meminum kopi sembari mengganti ke beberapa saluran.

Awang memejamkan mata. Memikirkan apa yang tadi baru saja ia lakukan.

Farah sama sekali tidak mempunyai pertahanan diri sebagai perempuan. Sedangkan dia sendiri hampir lepas kendali sebagai lelaki.

Ya Tuhan Awang, dia kakakmu. Batin Awang resah.

"Pa," panggil Awang sambil melihat langit-langit rumah "aku boleh kuliah di Indonesia saja?"

"Hmmm? Kenapa?" Tanya Ayahnya.

Awang menelan ludah "kalau Farah kuliah di sini mending aku juga---"

"Awang, kamu nggak perlu mencemaskan Farah." Ayahnya memotong "dia akan Papa titipkan ke teman Papa yang sekarang dosen di Jakarta."

"Farah bisa kuliah di luar kan Pa?"

"Tidak." Tolak Ayah tegas "dengan keadaan Farah yang sekarang Papa ragu Farah mampu kuliah di luar negeri. Farah bukan kamu. Nggak seperti kamu."

Awang mengusap wajahnya dengan pelan. Tiba-tiba kalimat selanjutnya terlontar begitu saja.

"Kalau Farah sama Awang menikah mungkin Awang bisa sekaligus menjaganya di luar negeri."

Ada keheningan yang panjang. Bahkan kemudian Awang merutuk dalam hati tentang kalimatnya.

Ayah mereka mungkin akan murka.

Tapi selanjutnya yang terjadi hanyalah gelak tawa lepas dari Arya, Ayah mereka.

"Awang, sudah sebesar ini ternyata kamu masih protektif sama kakakmu ya?" Ujar Ayahnya di sela tawa "kalau kamu begitu terus, nggak bakalan ada cowok yang akan mendekati kakakmu."

Awang hanya menyunggingkan senyum tipis.

Lebih baik begitu.

"Wajar, kan Pa?" Awang berdiri, bermaksud ke kamarnya sendiri "dia kan kakak kesayangan. Kami hanya memiliki satu dengan yang lain."

**************

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top