Bayangan Beban
"Aku duluan, ya!"
Naila pamit sambil melambaikan tangan kepada teman-temannya di ruang ekstrakurikuler paduan suara. Tidak ada latihan intensif selain latihan rutin untuk upacara bendera di hari Senin.
Ia membalas pesan di grup pertemanan miliknya bahwa ia akan menyusul ke tempat janjian mereka, sebuah kafe kecil untuk makan malam. Ruly sudah di tempat bersama Enya, menanyakan Naila ingin dipesankan apa.
Naila mengurut leher sembari menggerakan kepala tanda ia kelelahan. Ia sebenarnya ingin langsung pulang.
Tapi pulang pun ia tidak akan mendapati siapa-siapa selain Mbak Za dan Mang Udin. Makan malam di rumah sendirian membuatnya bosan. Jadi dia putuskan makan malam singkat bersama yang lain lalu langsung pulang.
"Ah..." Naila reflek berujar singkat ketika ia melihat Awang di sudut koridor. Hari ini tidak ada rapat rutin. Tapi cowok itu masih saja betah di sekolah.
Anak rajin sih.
Tapi Awang kali ini sendirian. Biasanya ada beberapa orang mengitilnya. Entah teman, entah penggemar. Jika ada Awang suasana menjadi 'hidup' karena hiruk pikuk manusia.
Tapi melihat Awang sendirian di sekolah yang nyaris sepi baru pertama bagi Naila. Awang tidak lantas 'redup'. Malah tampak lebih karismatik. Seperti serigala penyendiri yang dingin.
Bahkan binar matanya tampak antusias. Naila tidak pernah melihat itu. Binar Awang biasanya adalah ramah, tenang dan menyenangkan.
Kali ini tatapan Awang adalah seperti menanti sesuatu.
Apa yang membuat seorang Awang bisa tampak bersemangat?
Naila tanpa sadar malah mengamati cowok itu dari kejauhan dengan maksud yang jauh berbeda dengan kebanyakan gadis di Citra Nusa. Dia tidak punya intensitas seperti Ruly, Naila hanya penasaran.
Awang berhenti, berdiri di depan pintu kelas IPS yang setengah terbuka. Membuka tasnya dan menenteng sebuah bungkusan.
Kelas IPS? Ngapain? Lagi-lagi Naila membatin. Lalu mengapa cowok itu hanya berdiri di sana?
Tidak ada tanda-tanda Awang akan masuk. Ia masih berdiri di sana.
Sejurus kemudian gesturnya berubah kaku dan dingin.
Woa... Ada apa? Naila semakin tidak paham.
Beberapa menit kemudian, Awang memasukan lagi bungkusan itu ke dalam tasnya. Meninggalkan koridor kelas IPS dengan langkah lebar. Tampak tidak seantusias tadi.
Ia menatap dingin.
Tatapan yang tidak pernah ia tunjukan.
Naila masih memperhatikan dari tempatnya. Menggigit bibir karena peperangan batin merasa bersalah seperti penguntit dan rasa ingin tahu.
Naila tidak pernah sepenasaran ini dengan sesuatu. Tapi semenjak melihat sisi lain Awang dengan Farahita, Naila tidak bisa menampik jika ia tertarik.
Dia tidak bermaksud buruk. Hanya saja kadang ia tidak mampu melawan rasa penasaran.
Naila melangkahkan kaki menuju kelas IPS yang tadi dihampiri Awang. Belum sampai kesana, dua orang keluar. Tampak berbincang dengan bersemangat satu dengan yang lain.
"Aku juga nggak suka nanas. Apa sih? Teksturnya aneh. Kadang gigi sama mulutku gatel." Haikal menampakan wajah agak ngilu.
"Nah! Kalau dalam kasusku, tenggorokanku jadi aneh. Kayak mau kena radang." Farah mengangguk setuju.
"Iya. Dan biasanya kalau anak-anak pesen pizza terus ada nanasnya, seenak apapun itu pizza, aku nggak makan."
"Kan bisa diambil?"
"Bagiku, kalau udah kena nanas, semua berasa terkontaminasi."
"Astaga..." Farah tergelak, "itu agak berlebihan nggak sih?"
"Bodo amat." Haikal terkekeh "sebegitu nggak sukanya aku sama nanas. Lagian, ide siapa sih naruh nanas di pizza?"
Farah tertawa pelan, Haikal tertawa lepas.
Farah melihat jam tangannya.
"Aku harus ngejar bus, jadi aku harus buru-buru. Jadi besok aku tinggal menjilid saja kan?"
"Iya. Nanti pas mau presentasi kita bagi tugas lagi."
"Ugh aku benci presentasi."
"Kamu nggak bisa melarikan diri."
Naila melewati mereka.
Tapi dia terbelalak sendiri.
Farah yang pendiam itu tertawa?
Haikal yang hanya menggoda cewek-cewek kakak kelas itu menggoda seorang Farah?
Dan sikap Awang yang aneh, apa karena mereka?
Ada apa ini?
Naila menyipitkan matanya.
Dia tidak tahu apapun yang terjadi akhir-akhir ini di sekitarnya. Tapi ia yakin suatu hal;
Ada sesuatu antara Haikal dan Farah. Dan ada sesuatu dengan Awang.
******************
Farah menghela nafas panjang.
Lagi-lagi dia memasakan sarapan, batin Farah. Di atas meja makan ada telur orak-arik, sosis mentega dan roti bakar dengan krim custard.
Farah melihat jam dinding. Pukul setengah tujuh. Anak itu bangun dan berangkat jam berapa sih? Batin Farah takjub.
Farah membuang nafas.
Tiba-tiba ia merasa bersalah jika tidak memakannya. Jadi Farah akhirnya memasukan semua ke dalam tempat makan. Bermaksud membawanya ke sekolah.
Lalu Farah terpekur sejenak.
Semua kemarahan yang ia alami sebenarnya perlahan sudah menguap. Ia tidak dendam seperti dulu lagi.
Hanya saja, memulai hubungan yang sudah rusak kembali itu sulit. Jika pun Farah dan Awang bisa kembali layaknya kakak-adik seperti dulu, mereka tidak akan bisa seakrab yang lalu.
Dan lagi, Farah tidak mau lagi terlibat hubungan yang dalam dengan siapapun. Semua hubungan bagi Farah itu semu.
Farah menggeleng. Ia lalu menarik tasnya dan kembali ke rutinitasnya yang membosankan.
************
Awang hanya tersenyum kecil ketika Rena mengajaknya ngobrol di sisa sepuluh menit istirahat kedua.
"Jadi anak-anak ngajak ke Gunung Gede liburan tengah semester. Kamu mau ikut? Semuanya free kok, Wang."
"Kita kan nggak sekelas." Balas Awang tenang, masih tersenyum.
"Nggak apa-apa kok, Wang. Ini siapa aja boleh ikut, walau yang ngadain kelasku. Katanya kamu suka naik gunung kan?"
"Iya, biasanya naik gunung kalau nggak sibuk."
Rena kemudian agak tidak percaya diri meneruskan percakapan ini.
Awang memang membalas dengan ramah, tipikal dia sehari-hari.
Tapi entah kenapa benteng tak kasat mata itu kembali melingkupi Awang.
Seperti mengusir.
Bukannya semua tidak sadar akan hal itu. Tapi tidak ada yang mengutarakan secara gamblang. Bagi mereka maklum jika Awang memiliki tameng dibalik keramahannya.
Awang itu epitome dari selebriti.
Padahal Rena sudah merasa liburan tengah semester kali ini bisa mendekatkan dia dengan Awang.
Mereka memang beda kelas, tapi mereka sering ditugaskan untuk jadi panitia acara sekolah bersama.
Kadang Rena juga suka ikut hang out bareng beberapa pertemanan sekitar Awang. Hanya sekedar ngopi atau makan bareng.
Dan Rena yang sudah naksir Awang sejak penerimaan siswa baru, ingin mengukuhkan diri menjadi kekasih Awang yang tidak pernah dimiliki oleh siapapun itu.
Cewek sok dekat banyak. Tapi semua tidak ada yang berakhir menjadi kekasihnya.
Rena ingin menguji shaking bridge effect, dimana dia dan Awang akan mengalami perasaan yang sama karena keadaan yang mendebarkan dan menguras emosi seperti naik gunung.
Rencana Rena dimulai dari pendekatan di perjalanan, lalu pendakian bareng, di pos perkemahan, menikmati api unggun bersama di udara yang mungkin nyaris satu digit derajat celcius,
dan diakhiri ketika melihat puncak kehijauan bersama. Menyadari bahwa mereka cocok dan saling membutuhkan. Berpelukan sebagai pasangan yang baru 'lahir'.
Syahdu.
"Ehm, sudah ada acara?" Tanya Rena kembali dari angan-angan rencananya.
"Mungkin hanya ngumpul keluarga." Awang mengambil minuman ringan dari lemari pendingin kantin, memberikan uang pas ke penjaga kantin.
"Ayo dong Wang, kamu nggak ada acara juga kan? Masa' liburan seminggu cuma di rumah doang."
Rena memutuskan untuk tetap berusaha membujuk Awang. Toh dia sudah berniat biaya akomodasi Awang dia yang tanggung biar Awang tertarik, walau Rena tahu Awang dari keluarga cukup berada.
Hei, semua suka gratisan kan?
"Aku memang harus ikut ya?" Tanya Awang langsung dan dingin.
"Eh?" Rena kagok. Gelagapan.
"Memang acara wajib sekolah sampai-sampai aku harus ikut?" Lanjut Awang.
"Anu..."
Rena tambah gelagapan. Lebih gelagapan lagi ketika Awang menoleh memandangnya lekat-lekat.
Awang menatap Rena dalam. Membuat Rena blingsatan sehingga kesulitan berbicara. Tiba-tiba puluhan alasan lenyap dari otaknya.
"Apa aku benar-benar harus ikut?" Awang mengulang pertanyaannya, sedikit mendekat ke arah Rena. Nada suaranya tenang. Tatapannya ramah namun juga menakutkan.
"Yah, Sebenarnya nggak...." Rena akhirnya mampu bersuara "tapi, aku pengennya kamu ikut. Biar kita semua akrab."
Awang tersenyum simpul. Sedikit mendengus. Rena sampai mendongak untuk memastikan apakah Awang benar-benar mendengus.
"Terimakasih Rena, tapi aku bener-bener nggak bisa. Ayahku pulang dari luar negeri liburan tengah semester besok. Jarang sekali kita punya waktu bersama secara kuantitas, jadi aku ingin waktu kami berkualitas."
"Oh.."
Rena merasa lega dan kecewa sekaligus. Kecewa karena gagal mengajak Awang dan kesempatan untuk menjadi pasangan secara instan pupus.
Namun lega ternyata Awang tidak mendengus kesal. Mungkin dia hanya geli karena Rena terkesan blak-blakan mendekatinya.
"Aku mau kembali ke kelas." Awang mendahului Rena sambil tersenyum simpul, tapi kemudian dia berbalik lagi.
"Oh, ya. Ini buat kamu saja ya." Awang menyerahkan minuman ringan yang tadi dibelinya kepada Rena. Lalu berbalik.
Rena menerima minuman itu dengan gamang. Perasaan kecewa tidak bisa berlibur dengan Awang berangsur agak memudar karena pemberian kecil ini.
Apa dia memang semurah itu, bisa senang hanya dengan minuman ringan?
Rena tersenyum. Mungkin tidak kali ini dia bisa dekat dengan Awang. Masih banyak waktu dan cara.
Rena bersenandung, membuka minuman pemberian Awang dengan perasaan senang.
*****************
Pak Suryo, guru geografi, mempunyai hobby meminta siswa untuk membawa sesuatu ke kelas. Bisa buku, bisa edaran untuk wali murid, atau lainnya.
Kali ini korbannya adalah Farah.
Bermula saat istirahat dan Farah baru saja dari perpustakaan, ia ingin mengkosongkan kantung kemih. Jadi Farah segera ke kamar mandi.
Belum sampai tikungan, Farah bertemu Pak Suryo dan beliau sudah menyuruh Farah membawa buku paket seabrek untuk dibawa ke kelasnya.
Farah yang berusaha mengatakan bahwa dirinya ingin ke kamar mandi, malah jadi malu mengatakannya.
Jadi alhasil, di sinilah dia, tertatih ke kelas menahan berat buku dan menahan pipis. Farah hanya berharap dia tidak bocor saja.
Farah mengira-ngira jarak ke kelasnya lalu balik ke kamar kecil.
"Lihat, ini murid kebanggaan saya! Pulang dari Batam, dapet juara satu OSN."
Farah mendongak. Mendapati tiga sosok berdiri di depan kantor guru.
Wakil kepala sekolah yang baru saja datang entah dari mana langsung menepuk bahu seorang siswa. Kepala sekolah mengangguk takzim dan juga tampak bangga.
Farah tidak perlu memastikan kedua kalinya jika sosok ketiga adalah Awang.
"Tahun ini juga masih menjadi milik kita. Awang, kalau nanti kamu naik ke kelas duabelas, tolong bantu adik-adik ya?"
Awang tersenyum kecil "saya akan bantu sebisanya, bagaimanapun saya juga harus menpersiapkan diri ke perguruan tinggi."
"Awang, kamu itu sudah dipastikan masuk universitas unggulan negeri dari kompetisi akademikmu selama ini." Ujar wakil kepala sekolah.
"Atau kamu tertarik sekolah di luar? Kalau begitu nanti biar BK yang akan mencarikan beasiswa."
Farah tidak melihat bagaimana reaksi wajahnya, tapi dia yakin Awang memasang wajah ramah rendah hati khas anak baik-baik.
Farah memutar bola matanya. Semua guru tampaknya dengan senang hati mencarikan perguruan tinggi untuk Awang jauh-jauh hari. Beasiswa ke luar negeri.
Sedangkan siswa lain mungkin harus berusaha sendiri.
Farah tidak peduli. Baginya jika ia tidak lolos universitas negeri, Ayahnya tidak akan ambil pusing. Mungkin dia akan masuk swasta.
Farah kemudian mendapati tatapan Awang kepadanya. Tatapan datar dan tanpa senyum seolah mereka dua sosok asing tidak mengenal satu dengan yang lain.
Farah buru-buru mengalihkan pandangan. Ia segera berbelok ke koridor lain. Memutar.
Kenapa aku memutar? Aku kan bisa mengabaikan mereka? Aduh, Kantung kemihku, Farah membatin gusar.
Farah berusaha memikirkan hal lain ketika tiba-tiba seseorang mengambil sebagian buku yang ia pegang.
Awang, tanpa menoleh ke arah Farah, membawa beberapa buku. Hampir tiga perempat malah.
"Nggak usah," Farah berusaha mengejar langkah lebar Awang. Berupaya Mengambil lagi buku-buku yang dibawanya.
Awang tidak menjawab. Tetap berjalan dengan tenang.
"Hei, kembalikan!"
Awang tetap stoik. Farah menggigit bibir.
"Awang!"
Awang tidak menoleh, tapi langkahnya sedikit melambat.
"Wah, sudah mulai mau manggil nama." Gumam Awang sembari sedikit melirik dari sudut matanya.
"Astaga... Kekanakan." Ujar Farah kesal.
"Kita sama-sama kekanakan, iya kan?"
"Duh, kembalikan!"
Awang lalu berbalik secara tiba-tiba, Farah reflek mundur karena terkejut.
"Hei," Awang menatap Farah tajam "mau sampai kapan lo menolak kebaikan orang dan berhenti berpikiran negatif?"
"A...Apa?"
"Jangan jadi orang paranoid terus-terusan. Menganggap bahwa semua orang bakalan punya niat jahat sama lo." Ujar Awang dingin.
"Hei," balas Farah "lo nggak tahu apa-apa!"
Awang menghela nafas "Kalau begitu cerita. Kapan terakhir kali lo cerita sama orang soal masalah lo?"
Farah terkesiap. Pikirannya kembali ke beberapa tahun lalu.
Terakhir kali ia melakukan itu, berakhir menjadi bencana.
Farah sedikit gemetar. Entah karena ingat hal tersebut atau karena tatapan Awang yang membuatnya seperti buruan yang menunggu dimangsa.
Farah hampir menjatuhkan buku-bukunya, namun Awang dengan sigap menghalau.
Awang membuang nafas. Ia mengalihkan wajahnya.
"Ah," Awang berujar pelan "kalau lo sebegitu bencinya menerima perlakuan baik gue, setidaknya terima yang lain."
Farah tidak paham maksud Awang sampai kemudian ia mendengar namanya dipanggil.
"Farah!"
Haikal bersama seorang temannya menuju ke arah mereka berdua.
"Eh.." Haikal menunjuk Awang dan Farah bergantian. Farah sedikit gelagapan. Setengah mati ia menyembunyikan status mereka sebagai saudara malah ketahuan teman sekelasnya.
"Ah, kebetulan." Awang memotong "kayaknya ini buat kelas lo. Tadi gue lihat Farah kesusahan bawanya. Bisa minta tolong bawain, kan?"
Haikal paham. Ia mengangguk.
Farah masih kebingungan ketika semua buku yang ia pegang dibawa Haikal dan sebagian yang dibawa Awang. Sisanya dibawa Xavier---teman sekelas mereka yang bersama Haikal.
"Lo kok nggak manggil anak-anak cowok sih?" Xavier tiba-tiba bertanya kepada Farah "ini banyak banget loh."
"Tadi kebetulan ketemu Pak Suryo. Aku nggak sempat mikir lagi." Ujar Farah pelan.
Ketika Farah menoleh ke arah Awang, sosok itu sudah berjalan menjauh.
Lagi-lagi Farah menggigit bibir.
Ia tidak bermaksud kejam saat ini. Harusnya ia tidak menolak bantuan Awang. Bagaimanapun yang terjadi kepadanya tidak sepenuhnya salah Awang.
Bahkan mungkin hampir tidak ada sangkut pautnya.
"Farah, kamu ngapain?"
Farah mengerjap. Tersadar oleh pertanyaan Haikal. Farah menghela nafas.
Awang tidak harus tahu apapun dan biarkan mereka berjarak seperti ini.
Farah menggeleng pelan ke arah Haikal sembari menunjuk arah kamar mandi.
"Aku mau ke belakang. Nggak apa-apa kan aku tinggal?"
Tidak butuh persetujuan Haikal. Farah sudah berbalik arah dan menuju kamar mandi.
******************
"Gila... Ini bakalan bekas nggak sih?"
Farah menoleh ke arah cewek yang ada di wastafel di sebelahnya.
Farah memperhatikan seragam cewek itu. Basah dan ada noda berwarna keunguan.
Farah menunduk. Ia tidak harus peduli kan?
Tapi entah kenapa kalimat Awang mengusiknya.
"Ehm," Farah berujar pelan agak gemetar dalam nadanya "noda soda bisa hilang kok kalau kamu buru-buru basahi pakai kain basah. Lalu kamu cuci pakai deterjen biasa pas pulang nanti. Kalau terpaksa bisa pakai pemutih."
Cewek itu menyipit menatap Farah. Lalu dia menatap noda di seragamnya "nggak ada kain---"
"Kalau mau, bisa pakai sapu tanganku." Farah segera mengeluarkan sapu tangan dari kantung roknya "ini bersih kok."
Manik gadis itu makin menyipit, lalu terkekeh pelan "serius?! Hari gini masih ada yang bawa-bawa sapu tangan?"
Farah menggigit bibirnya.
Ha, inilah yang kamu dapatkan jika berbuat baik, batinnya.
"Sorry, sorry." Cewek itu meralat segera "aku cuma heran saja kok. Aku nggak maksud menghina. Sekarang kan pada suka bawa tissue."
Lalu gadis itu tersenyum "Jadi masih boleh aku pinjem?"
Farah balas tersenyum kecil. Mengangguk. Cewek itu menerima sapu tangan milik Farah lalu mulai membersihkan bajunya.
"Oh, ya kamu Farah kan? Anak IPS?" Tanya cewek itu memecah kesunyian. Farah mengangguk lagi.
"Kamu agak terkenal sih. Aku langsung tahu itu kamu. Tapi nggak tahu kamu kenal aku apa nggak." Cewek itu lalu mengulurkan tangannya "namaku Rena, anak sebelas IPA."
Farah bukannya tidak tahu ia tidak terkenal. Sejak kelas sepuluh dia sudah paham bahwa tabiat dan penampilannya akan membawa omongan.
Dia bukannya mau.
"Kenapa---" Farah berusaha mengumpulkan suaranya di antara rasa gugup "kenapa seragammu bisa kena soda?"
"Eh?" Rena tampak salah tingkah, lalu dia menggigit bibir "hmmm aku kurang hati-hati. Waktu aku buka, nyembur gitu."
Farah mengangguk seolah mengerti.
"Apa kamu nggak sengaja mengocoknya?"
"Ya, mungkin." Rena tampak berpikir "tapi aku langsung membukanya ketika diberi oleh Awang---"
Rena tidak sempat mengerem kalimatnya.
"Awang?" Tanya Farah menyerngit.
"Eh iya." Rena menggaruk pipinya "jadi tadi aku dikasih Awang. Masih baru. Lalu aku buka dan nyembur kena seragam."
Farah menunduk. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
Karena Farah mengenal Awang.
Ia bisa mengerjai orang yang tidak disukainya.
Dulu, sewaktu mereka sekolah dasar, Awang pernah membuatnya hampir dipukul Neneknya karena Farah menghabiskan cemilan milik Awang yang khusus dibelikan Nenek untuknya.
Padahal Awang waktu itu memberikannya kepada Farah dengan alasan kenyang.
Bagi anak kecil seusia mereka, siapa yang tidak suka cemilan coklat?
Lalu ketika cemilan tersebut hampir habis, Awang merajuk ke Nenek kalau dia lapar. Nenek yang heran kenapa Awang sudah lapar padahal baru saja makan cemilan, berkata bahwa cemilannya ada pada Farah.
Dan murka lah nenek mereka.
Nenek yang hampir kalap waktu itu, tersadar ketika Awang tiba-tiba menangis keras. Berujar bahwa ia takut melihat Nenek yang marah seperti monster.
Saat Nenek menenangkan Awang, raut wajah Awang mengerling Farah dengan nada puas. Sementara Farah menangis sesenggukan tidak mengerti.
Farah mencoba mengingat kenapa Awang berbohong kepada Nenek.
Lalu dia ingat, sebelum itu Farah dan Awang berebut komputer meja di kamar Ayah mereka sepulang sekolah. Berebut bermain game tentang zombie melawan tanaman.
Farah berhasil menguasai komputer. Menolak segala rajukan Awang bahkan ancaman darinya.
"Bilang aja sana sama Nenek, yang ada kamu malah disuruh belajar. Nenek kan nggak suka kamu main komputer! Ngerusak mata!" Farah kala itu bahkan ingat sempat menjulurkan lidah ke Awang tanda mengejek.
Benar, walau sangat sayang kepada Awang, Nenek juga disiplin kepadanya. Awang tidak diperbolehkan main di jam-jam belajar, tidak boleh bermain komputer selain akhir pekan, bahkan menjaga jadwal makan Awang.
Farah tidak yakin apakah itu sebabnya, tapi Farah belajar satu hal;
Anak kecil---apalagi yang lumayan cerdik seperti Awang---adalah manipulator ulung.
Farah menggeleng pelan. Berusaha melupakan hal itu. Tidak mungkin juga Awang berbuat seperti itu kepada Rena. Memangnya apa salah Rena?
"Yah, udah mending sih. Nggak basah-basah banget. Aku mau keringin di hand dryer." Rena kemudian menuju ke mesin pengering tangan.
"Oh, ya ini sapu tanganmu aku balikin besok ya? Aku cuci dulu di rumah." Rena melambaikan sapu tangan milik Farah. Farah mengangguk menyetujui.
"Yuk deh, Farah. Aku masuk dulu ya."
Lalu dia menghela nafas lagi memandang seragamnya, menggerutu pelan sembari keluar dari kamar mandi "Hah, kenapa warnanya jadi semi ungu gini sih?"
Farah memandang sampai sosok Rena menghilang. Farah lalu melepaskan kacamatanya. Mengurut pangkal hidung. Kepalanya tiba-tiba berat. Ia menyandarkan dahinya ke cermin wastafel.
Mengapa memikirkan Awang dan masa lalu bertubi-tubi seharian ini bisa berefek seperti ini?
****************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top