Angin Sebelum Badai
Sona terkapar di lantai sasana. Mengelap darah dari ujung bibirnya. Keringat membanjiri setiap pori-pori tubuhnya.
"Udah makin jago aja lo nge hook nya." Komentar seorang pria yang berdiri di ujung luar sasana. Ia lalu mengacungkan jempol kepada teman sparing tinju Sona yang sudah berada di pojok ring. Dengan luka yang sama.
Sona tidak menjawab. Masih mengatur nafas. Ketika ia selesai mengembalikan ritme nafasnya, ia terduduk. Agak sempoyongan ke pojok ring.
"Bokap lo nggak ikut, tumben." Pelatih tinju Sona memberikan air yang segera diguyurkan Sona ke tubuhnya sendiri.
"Nggak. Lagi pacaran." jawab Sona. Lalu ia meneguk sisa air dingin itu. Ada rasa besi dan mineral di mulutnya.
Pelatihnya mengangguk paham namun juga canggung karena mengetahuinya.
"Eh, lo masih sekolah di Citra Nusa nggak sih?" Tanya pelatihnya lagi, mengalihkan pembicaraan.
Sona meneguk sejenak "masih. Tapi nggak tahu semester depan."
"Bangsat." Pelatihnya terkekeh.
Sona tersenyum sinis "emang kenapa tanya sekolah gue Pak?"
"Nggak ada apa-apa. Cuma kebetulan inget ada anak Citra Nusa lain ikut latihan mixed martial arts di sini."
"Oh." Respon Sona masa bodoh "kirain, mau gantiin Ayah biayain sekolah gue."
"Sialan. Nggak lah. Kaya bokap lo." Ujar pelatihnya.
Sona merasakan kenyamanan ketika ritme nafasnya sudah teratur.
"Nah itu." Ujar pelatihnya "baru juga diomongin. Anak Citra Nusa yang ikut latihan di sini."
Reflek kepala Sona menoleh. Lalu menyipitkan matanya. Kemudian dia menoleh ke arah pelatihnya lagi.
"Yakin dia ikut mixed martial arts?" Tanya Sona sangsi.
"Iya dia ikut Brazilian jiu-jitsu. Malahan katanya dulu atlet karate walau cuma sampai kejuaraan kota aja." Jawab pelatihnya.
Sona menatap sosok itu lagi. Lalu tersenyum miring sembari terkekeh.
"Kayaknya itu ketua OSIS di sekolah gue, Pak." Jawab Sona sembari memandang agak sinis "komuknya nggak cocok olahraga ginian."
Sona masih memandang Awang yang mencoba berlatih tehnik Bridging tanpa terlihat susah payah.
Pasti bagus sekali kalau suatu waktu dia dan Awang adu kekuatan, batin Sona.
"Buat ukuran orang yang jarang sekolah, lo tau ketua OSIS sekolah lo? Gue aja dulu rajin masuk sekolah tiga kali ganti OSIS nggak hafal-hafal." Seloroh pelatihnya sambil tergelak.
Sona mendengus "soalnya gebetan gue suka sama dia, Pak. Kan Bangsat."
Tawa pelatihnya meledak. Sona hanya menggeleng pelan.
"Lagian," lanjut Sona "dia tuh kayak artis. Banyak yang nge gebet. Tapi dia sok kalem. Ya makin klepek-klepek aja tuh cewek-cewek."
"Bisa cemburu juga hidup lo. Gue kira cuma suka berantem sama males doang."
Sona memaki sembari terkekeh.
Ya bagaimana pun, dia masih terkejut karena Awang berlatih beladiri juga. Ia selalu merasa bahwa putaran hidup Awang adalah organisasi-sekolah-nilai bagus-ngartis.
Bagaimana jika cewek-cewek itu tahu bahwa idola mereka juga jago membanting dan menendang orang?
Lagi-lagi Sona terkekeh.
*****
***
Farah dan Kamila keluar dari sebuah toko bahan-bahan makanan kala langit Metro sudah jingga keemasan.
Sinar matahari yang hangat menuju lembayung menerpa wajah mereka. Silau tapi tidak menyakitkan.
Ya memang hari ini Farah dan Kamila pulang terlambat. Karena tadi dia dan murid lainnya ditahan Bu Suci untuk rapat panitia bazaar.
Tentu saja, selain satu orang. Sona bolos.
Acara pensi sudah tinggal seminggu lagi. Setiap hari mereka rapat hingga selepas siang. Farah menghadiri rapat dengan ogah-ogahan. Kekhawatirannya lebih ke hari dimana nanti dia akan sebar brosur.
Namun hari ini berbeda.
Awal minggu ini, sudah sibuk melaksanakan tugas masing-masing. Farah bahkan membantu sedikit bidang lain terutama dekorasi.
Dan dari duapuluh siswa kelasnya, lagi-lagi secara sembarangan Bu Suci memilihnya untuk menjadi panitia yang sibuk.
Farah kira cobaannya hanyalah dipilih sebagai penyebar brosur saat Pensi.
Tapi ternyata Bu Suci memberikan ujian hidup yang lain; memesan bahan-bahan untuk keperluan bazaar Pensi.
Farah menghela nafas. Mendengar helaan tersebut, Kamila lantas melirik Farah dari sudut matanya setelah memeriksa daftar yang harus dipesan.
"Melelahkan ya?" Tanya Kamila tiba-tiba.
"Eh? Ah… ng---nggak." Bantah Farah. Tapi kemudian menambahkan "sedikit…"
Kamila tersenyum kecil "untuk ukuran introvert yang agak ansos seperti kamu, pasti melelahkan kan? Eh aku bukannya menghina kok. Malahan aku kagum. Kamu nggak menghindari tugas Bu Suci walau sebenanya kamu bisa protes."
Farah agak terkejut dengan penuturan Kamila.
"Aku… Aku nggak bisa bantah… Bu Suci kan guru…" Gumam Farah.
"Iya. Tapi sejak kita masuk toko tadi, kamu yang bicara sama pegawainya. Memang kamu yang ditugasi Bu Suci bawa catatannya, tapi kamu nggak memanfaatkan aku yang nemenin kamu." Ujar Kamila
"padahal kamu dan semua anak sekelas tahu kalau aku lebih nyablak. Lebih berani ngomong. Tapi kamu nggak memanfaatkan itu karena kamu tahu itu tanggung jawab kamu."
Farah menggaruk lehernya, meringis.
Benar juga. Bisa-bisanya dia tidak terpikirkan untuk minta tolong Kamila. Dengan begitu, semua urusan beres sejam yang lalu tanpa perlu pegawai toko susah payah mendengarkan Farah yang gagap mendadak saking paniknya.
Ck. Telmi sekali, batin Farah menyesal.
"Ta… Tapi, makasih…" Farah menatap Kamila langsung untuk pertama kali hari itu "kamu mau nemenin aku… Padahal aku tahu---aku tahu kamu sering pulang bareng Quini dan Delia…"
"Oh itu karena nanti yang ngurus masaknya kan kelompokku. Quini dan Delia kelompok make up. Aku harus tahu dong kita belanja apa aja."
"Ka---Kalau gitu kenapa nggak kelompokmu saja yang pergi ya? Kenapa… Kenapa aku?" Tanya Farah bingung.
Kamila berdecak, nyaris tertawa "Duh, kamu masa nggak paham-paham motifnya Bu Suci sih? Bu Suci itu kan pengen siswa kelasnya yang penyendiri kayak kamu dan yang punya attendance-issue macam Sona aktif dalam kegiatan sosial. Biar nggak punya pikiran macem-macem. Bahkan aku yakin kok, kalau tadi Sona masuk, yang bakal disuruh jalan pasti kamu dan Sona."
Farah agak ngeri membayangkan hal tersebut. Apa jadinya jika benar-benar dia dan Sona yang disuruh pesan kebutuhan bazaar?
Kamila kemudian menambahkan
"Bu Suci itu punya pikiran berlebihan dibalik sikap santainya. Semacam paranoid kalau ada muridnya yang punya keinginan bundir gitu…" Kamila lalu menoleh cepat ke arah Farah "tapi kamu nggak, kan?"
"Ngg… Nggak lah!" Farah membantah.
Kamila reflek mengangguk tenang.
Farah menerawang "tapi bukannya bagus… Punya wali kelas yang---yang perhatian?"
"Ya bagus. Cuma nyebelin nggak sih kalau terlalu diusik gitu?" Seloroh Kamila.
Farah menyetujui. Agak menjengkelkan memang ada orang dewasa, asing, yang seenaknya memberi stigma lalu mencampuri hidup kita yang udah seperti ini sejak dulu.
Tapi, di sisi lain, jika memang ada yang butuh perhatian tersebut, bukannya itu juga bisa disebut pertolongan?
"Lagian, niat mengakhiri hidup itu kan nggak mesti dilihat dari 'anak ansos' atau 'anak introvert.'" Kamila bergumam, lalu memberi jeda sejenak
"Banyak kejadian kan, kemarin ketawa-ketawa sama temen-temennya, ngobrol santai sama keluarganya, eh besoknya mengakhiri hidup.Pas ditelusuri apa yang salah,dia ternyata capek sama hidup. Capek sama rutinitas. Yang dia tunjukin ke orang-orang itu palsu."
Farah terhenyak. Ia tidak tahu Kamila bisa melontarkan kalimat barusan. Farah hanya tahu, geng Kamila terutama Kamila-nya, adalah geng cewek berisik di kelas.
Mereka tertawa lepas bersama, suka bergosip, suka blak-blakan, kadang bertingkah berlebihan jika gebetan mereka lewat depan kelas atau saling melontarkan ejekan dengan geng anak cowok. Atau berpose norak ketika berswafoto.
Dan penampilan mereka pun tipikal; anak-anak yang memodifikasi seragam untuk ajang kepopuleran serta memakai 'no-make up look' make up, walau jelas sekali mereka memakai eyeliner tipis dan warna-warna perona nude tipis.
Farah merasa bersalah. Ia sering menganggap bahwa kelompok seperti kelompok Kamila hanyalah gadis-gadis yang menjalani kehidupan remeh.
Tampaknya, Farah harus berhenti membuat gambaran dangkal tentang orang lain. Ya mungkin Kamila memang seperti itu--- menjalani kehidupan yang remeh, tapi Farah tidak boleh memandang rendah.
Apalagi jika Kamila begitu perhatian dengan orang lain.
Kamila tahu Farah susah payah berinteraksi dengan orang asing. Belum lagi pertolongan-pertolongan geng Kamila hari-hari lalu.
Ketika selesai dengan pikirannya, Farah menyadari bahwa hari sudah hampir petang. Langit sabur limbur. Matahari senja menyilaukan menjadi redup.
"Ehm… Kayaknya---Kayaknya aku harus pulang dulu…" Ujar Farah.
"Pulang naik apa? Ojek online?"
"Hmmm Bus.."
Kamila berkernyit heran.
"Kenapa masih pakai bus sih? Rumahmu jauh ya? Aku perhatiin juga kamu pulang-pergi sekolah naik bus."
"Ngg… Nggak… Di Kawasan Gardenia Garden.." ujar Farah dengan sedikit goyah.
"Lah deket banget dari sekolah. Kenapa nggak pakai angkutan online sih? Kalau naik bus kan harus muter dulu."
Farah bukannya tidak pernah. Ia pernah sekali dua kali memakai jasa angkutan online dan dia kapok. Tidak, bukan karena pelayanan yang buruk. Justru bagus sekali.
Hanya saja, dua kali memesan ojek online, secara kebetulan, Farah mendapat sopir yang mengajaknya nyerocos dari tempat penjemputan hingga tujuan.
Farah yang terlalu kikuk dalam obrolan, seketika berkeringat dingin dan pikirannya menjadi berlebihan. Ia jadi overthinking.
"Aku suka naik bus…" Jawab Farah lemah.
Ya, kalau di bus, jika dia sudah membayar ongkos dan berpura-pura tidur, maka tidak akan ada yang mengajaknya berbicara selain pengamen atau penjaja makanan.
Kamila terkikik "selera kamu tuh lucu ya?"
Farah tahu itu bukan ucapan jelek. Itu hanya komentar biasa yang terucap begitu saja. Dan Farah merasakan kegembiraan aneh karena dikomentari seperti itu.
Farah menghela nafas. Untuk beberapa kali di tahun keduanya di Citra Nusa, akhirnya ia dapat mengobrol lagi dengan orang seperti itu setelah bersama Haikal.
Rasanya seperti sudah bertahun-tahun.
Rasanya rindu.
Perasaan rindu yang diikuti rasa takut.
Farah takut, kedekatan dengan Kamila kelak akan berakhir seperti yang sudah-sudah. Dengan Haikal saja berakhir aneh. Jika dengan Kamila berakhir buruk kelak, maka akan lebih menakutkan.
Karena berakhir buruk dengan seorang teman wanita---bagi Farah sejauh pengalamannya---lebih mengganggu daripada berakhir buruk dengan seorang teman pria.
"Tapi daripada repot-repot naik bus, ayo aku antar aja sekalian." Kamila membuyarkan pikiran Farah.
"Ta---tapi rumahmu kan beda arah?"
"Terus?"
"Ngerepotin kamu…"
"Apaan sih? Kalau aku udah nawarin kayak gitu berarti aku nggak merasa direpotin. Ayo, nggak usah sok nolak."
Farah tidak bicara lagi ketika Kamila menyeretnya ke parkiran motor di seberang toko.
**********
"Kenapa?"
Awang mendongak dari motornya sembari menyeka tangannya yang kotor. Seseorang baru saja bertanya.
Awang sebenarnya tidak begitu menyukai sosok itu. Ia tahu dia.
Sona. Ia teman sekelas Farah yang pernah tinggal kelas setahun, berandal, dan menurut kabar yang Awang dengar sosok itu dipasangkan dengan Farah pada bazaar kelas.
Untuk alasan terakhir, Awang tahu itu alasan konyol untuk tidak suka kepada seseorang. Tapi ia tetap tidak menyukainya.
"Nggak tahu. Nggak mau nyala." Jawab Awang datar untuk sopan santun. Balasan karena Sona bertanya saat dia kesusahan walau mungkin hanya sekadar basa-basi.
Sona tidak menjawab, tapi mengamati. Lalu ia ikut berjongkok di samping Awang. Awang menatapnya tajam, tapi toh dia memberi ruang kepada Sona untuk memeriksa motornya.
"Ah." Celetuk Sona untuk beberapa saat kemudian "fuel pump lo kesumbat. Kotor tuh."
Awang memastikan, lalu ia melihat Sona "oh. Gue harus nyari bengkel kalau gitu."
Ia menuntun motor besarnya, agak kepayahan karena body motor yang lumayan.
Sona menatap Awang beberapa saat. Tampak berpikir dengan raut dilematis. Namun kemudian ia mengejar.
"Tinggalin di gym ajalah. Gue anter lo pulang. Rumah lo mana sih?" Tawar Sona sembari menunjuk motornya sendiri; sebuah matic retro berwarna putih tulang. Sangat tidak Sona.
"Nggak usah." Balas Awang sembari tersenyum kecil. Ia tidak ingin berurusan dengan Sona.
Terutama, jika ia menuruti, Awang tidak punya alasan untuk mengecek ke rumah apakah Farah sudah aman di rumah apa tidak.
"Ck, ayolah. Gue telponin orang bengkel kenalan gue biar motor lo diambil sama dia. Lo ambil di bengkel dia besok." Lalu Sona menambahkan "tenang, dia bukan maling motor. Lo tahu Crossfire Racing daerah Tambunan kan? Nah dia yang punya."
Awang sebetulnya tidak tahu Crossfire atau apalah itu. Sebelum ia sempat menolak lagi, seseorang menepuk bahunya.
Pelatih Brazilian jiu-jitsunya sudah di belakangnya.
"Bareng Sona aja sana, Wang. Tongkrongan dia kan anak-anak motor jadi dia tahu bengkel bagus. Aku jamin, deh motor lo nggak bakal kenapa-kenapa."
Awang sepertinya tidak punya alasan untuk menolak kali ini
********
Farah melihat langit yang semakin petang. Bus terakhir biasanya hingga jam sepuluh malam. Tapi Farah tidak pernah pulang selarut ini sebelumnya.
Kamila mengendarai motornya dengan santai, padahal Farah ingin segera sampai ke rumah, bergelung di kamar dan berselimut rasa nyaman. Bukan kelayapan dengan suara aktifitas manusia sibuk dan udara malam.
"Laper. Mampir makan yuk!" Tawar Kamila diselingi suara angin.
"Kamu aja…" Ujar Farah susah payah agar terdengar "aku pulang saja…"
Tapi akhirnya motor Kamila berhenti di mini market di ujung jalan. Kamila membeli roti isi dan memanaskannya di kasir. Farah membeli air mineral kemasan dan meneguk hingga nyaris setengah kosong.
Udara malam ini kering.
Ketika mereka menanti kembalian, di sampingnya berdiri anak cowok tinggi menatap kasir dengan santai.
"Mas, Rokok X ya. Yang Mild." Ujarnya.
Farah mengerling. Memakai kaus hitam dengan bawahan seragam sekolah.
Memangnya kalau di bawah umur boleh beli rokok ya? Batin Farah.
Anak cowok itu tampak tidak peduli dengan keberadaan Farah. Ia lalu keluar setelah mendapat apa yang ia inginkan dan membayarnya.
"Yuk, lanjut." Suara Kamila membuyarkan lamunan Farah. Ketika mereka keluar, sudah ada beberapa anak sekolah lainnya duduk-duduk di tempat duduk minimarket sembari menyesap kopi. Mereka berbicara keras. Berisik.
Namun seketika mereka terdiam ketika Farah dan Kamila melewati mereka.
"Citra Nusa nggak tuh?" Celetuk salah satu dari mereka. Telinga Farah yang menangkap itu seketika menjadi waspada.
Memangnya kenapa dengan sekolahku? Batin Farah.
"Emang SOP* mereka tuh harus nyentrik gitu ya? Yang cewek berandal lah, yang mirip l*nte lah. Nah yang itu malah kayak capung. Lihat aja kacamatanya, gede men."
Lalu kemudian terdengar suara gelak tawa meresahkan.
"Tapi yang kayak l*nte lumayan tuh. Bohay."
Mereka terang-terangan membicarakan Farah dan Kamila. Wajah Farah merona merah.
"Hei---" Kamila sudah akan mengeluarkan semua emosinya tapi ditahan Farah.
Tidak ketika mereka lelah dan ketika mereka kalah jumlah. Farah tidak mau terjadi apa-apa kepada Kamila.
"Jangan!" Desis Farah cemas.
"Tapi mereka tuh kurang ajar! Harus dikasih pelajaran!"
"Nggak bakal mempan kalau mereka rame-rame gitu… Mereka cuma sekumpulan pengecut. Kalau rame mereka nggak bakal takut kamu mau marah kayak apa! Mereka tambah ngelunjak." Sergah Farah.
"Widiiih marah… " Mereka semakin senang karena Kamila memakan celetukan mereka.
Tuh kan. Sialan. Batin Farah.
"Anji----" Kamila semakin emosi. Melihat Kamila semakin memakan umpan mereka, salah satu dari mereka malah menuju ke arah mereka.
Farah tahu jika sudah begitu akan semakin runyam. Jadi Farah segera menarik Kamila.
"Jangan hari ini." Pinta Farah "ini nggak sebanding…"
"Loh kok kabur?" Celetuk mereka.
"Wei biarin aja yang bohay maen sama kita, Cewek Capung Aneh!"
"Sialan Lo!" Bentak Kamila. Agak meronta. Tapi Farah bersikukuh bahwa sebrengsek apapun mereka, kali ini Kamila jangan sampai kena masalah.
"Tolong… Aku cuma mau cepat pulang…" Farah mendesah lelah. Ia hanya ingin mereka berdua selamat.
Kamila tidak tega dengan raut Farah. Tapi dia tidak terima baik dirinya dan Farah dikatai seperti itu. Dibilang 'lumayan' oleh mereka itu bukan pujian, tapi pelecehan bagi Kamila karena intensitasnya berbau tidak senonoh.
Kamila mengatur nafasnya. Farah benar. Jangan terlibat dengan anak-anak seperti mereka jika keadaan seperti ini.
Lagipula, baik Farah maupun dirinya juga sudah lelah.
Farah melangkah cepat-cepat membujuk Kamila agar segera naik motor. Farah memang biasa dibicarakan seperti itu, tapi rasanya tetap saja menyesakan. Apalagi jika orang asing yang melakukannya.
Belum lagi kalimat tidak senonoh mereka kepada Kamila. Jika Kamila orang asing, Farah risih tapi dia tidak akan peduli. Tapi Kamila sekarang berbeda, Kamila bukan orang asing dan Farah benci mereka mengatakan hal-hal cabul kepada Kamila.
Terlebih, jika Kamila melabrak mereka, urusan ini akan lebih rumit.
"Loh marahnya kok udahan?" Dan terdengarlah tawa mereka lagi, namun sejurus kemudian memutuskan untuk tidak mengejar Kamila dan Farah karena pegawai-pegawai minimarket sudah berkumpul dari balik pintu kaca untuk melihat apa yang terjadi.
Mereka lalu mengabaikan Farah dan Kamila karena tatapan tajam para pegawai mini market.
"Ngomong-ngomong soal Citra Nusa, si Alka brengsek itu jadi emangnya kesini?"
Mendengar kalimat itu---walau terdengar sayup--- Farah memelankan langkahnya. Ia menoleh lagi ke arah anak-anak itu dengan terkejut.
Memang tidak mengherankan jika anak sekolah satu dengan yang lain saling kenal. Bisa saja mereka dulu satu sekolah waktu sekolah dasar atau sekolah lanjutan pertama. Bisa saja teman satu kompleks atau banyak faktor lain.
Tapi Farah tahu yang ini berbeda. Entah kenapa bagi Farah, yang tadi bukan omongan akrab penuh persahabatan.
Itu tadi lebih mirip ketika Haikal marah kepada Alka.
Farah menggeleng. Memutuskan untuk tidak peduli. Bukan urusannya. Apalagi jika itu menyangkut Alka, lebih baik dia menjauh.
Lebih baik ia menjauhkan dirinya dan Kamila dari bahaya.
*********
Hanya saja tidak segampang itu.
Farah merutuk untuk sifat sok ikut campurnya. Sekarang sifat itu membawanya di antara rasa ingin tahu dan rasa ingin menolong.
Karena benar saja, ketika motor Kamila akan keluar dari mini market, ia melihat motor trail dual-sport dengan mesin 144cc melaju berpapasan dengannya.
Di belakang Alka, dua motor dual sport lainnya melaju beriringan. Seragam Citra Nusa.
Farah tidak perlu menebak. Ia tahu pengendara motor itu adalah Alka walau seluruh kepalanya terlindungi helm off-road.
Dan dua lainnya adalah temannya; Rian dan Dion.
Alka terkenal dengan hal-hal garang dan maskulin yang berseberangan dengan gendernya.
Farah memiliki firasat bahwa apapun yang akan dilakukan Alka dan anak-anak itu, bukanlah sesuatu seperti reuni atau temu kangen penuh persahabatan.
"Itu tadi Alka kan?" Kamila menghentikan motornya, menoleh ke belakang.
"Uhm… Yah…" Farah mengiyakan.
"Ngapain dia sama anak-anak itu?"
Farah dan Kamila melihat dari tempat mereka ketika Alka turun dari motor dan menuju ke gerombolan anak-anak SMA lain itu.
Kamila dan Farah tidak tahu apa yang dibicarakan tapi dari mimik wajah mereka, mereka seperti menelan cairan empedu. Pahit.
Wajah mereka tegang.
Benar saja, tidak berapa lama mereka saling berteriak, dan Alka mendorong beberapa dari mereka. Seseorang hampir saja menonjok Alka namun dihalangi Rian.
Beberapa pegawai minimarket dan pembeli bahkan sampai keluar. Melihat. Bahkan ada yang berusaha melerai.
Tidak tahu bagaimana persisnya, kemudian mereka mengendarai motor mereka masing-masing. Berlalu dari parkiran mini market dan berkonvoi ke arah gang kecil di seberang minimarket.
"Gimana nih?" Gumam Farah.
"Ya nggak gimana-gimana. Bukan urusan kita." Ujar Kamila kesal. Kesal karena tadi emosinya kepada anak-anak itu belum tersalurkan.
"Tapi… Tapi Alka nggak bakal kenapa-kenapa kan?"
Kamila menoleh ke belakang, memandang Farah heran di boncengan "eh Alka ini pernah bikin gosip soal kamu dan Haikal loh. Lagian dia bawa temen."
"I…Iya tahu. Aku juga masih sebal… Tapi…" Farah menoleh ke gang tadi "gimanapun Alka kan cewek… Dan mereka kalah jumlah. Masa kita diem aja mereka dikeroyok gitu…"
"Kamu yakin mereka bakal berantem?" Tanya Kamila sangsi "mungkin aja itu emang gaya temenan mereka, kan?"
"Ya… Mungkin… Tapi…"
Kamila menghela nafas. Gemas. Sebenarnya dia kesal. Kesal dengan anak-anak tadi, kesal dengan Alka yang baginya adalah anak nakal, dan kesal dengan Farah yang harus bersikap baik di saat yang tidak tepat.
Farah bisa saja mengabaikan Alka. Bukan urusannya. Toh Alka juga berkontribusi atas gosip tentangnya di sekolah.
Tapi lagi-lagi Kamila tidak tega. Ia merasa kalah dengan wajah memelas Farah.
"Ya udah deh." Kamila mengedikkan bahu "kita ikutin. Kalau ternyata mereka nggak ngapa-ngapain---Alka nggak dalam bahaya, kita langsung cabut."
Farah dan Kamila mengendarai motor mereka mengikuti konvoi Alka dari jarak aman memasuki wilayah pedesaan di dekat jalan tol lintas kota. Tempat langka di metropolitan.
Farah dapat melihat kontradiksi antara truk-truk, mobil dan minibus di jalanan abu-abu dengan gedung pencakar langit terang benderang sebagai latar area persawahan dan ladang hijau yang menggelap.
Temaram dengan lampu jalan yang tiangnya terbuat dari bambu.
Mereka menahan nafas ketika motor tersebut berbelok di sebuah jalan persawahan dan berhenti di sebuah warung kopi di depan ladang jagung.
Di warung tersebut, sudah ada beberapa orang yang tampaknya sama-sama satu sekolahan. Seperti menunggu.
Kamila menghentikan motornya. Memarkir di dekat pohon dan bersembunyi bersama Farah.
"Astaga… Kenapa dia main ke tempat begini sih?" Gumam Kamila.
"Kalau hanya sekedar main, kita nggak perlu secemas ini…" ujar Farah, berharap kata-kata Kamila benar. Bahwa Alka memang hanya bermain atau sekedar nongkrong.
Tapi tidak.
Hanya dalam hitungan menit, terdengar kegaduhan. Pekikan jeritan pemilik warung yang berusaha meredam keributan dan suara perkelahian.
Baik Farah maupun Kamila tidak siap melihatnya. Belum lagi suasana sore yang sudah menuju malam membuat pemandangan kabur.
"Gimana ini…" Kamila mendesis panik. Ia tahu mereka tidak akan bisa melakukan apapun. Ini pertarungan Alka dan teman-temannya.
Tapi apa yang terjadi jika Alka, Dion dan Rian kalah?
Ini benar-benar pengalaman baru bagi mereka berdua.
Farah lalu mengeluarkan handphonenya, memeriksa grup kelas yang hampir tidak pernah ia berpartisipasi di dalamnya. Lalu menekan nomer di daftar anggota grup.
"Kamu nelpon siapa?" Tanya Kamila.
"Sona."
Kamila membulatkan mata "eh kenapa?"
"Dia jago berantem kan?"
"Iya kalau mau nolong. Kalau nggak?"
"Dia harus."
Lalu terdengar suara sambungan telepon.
********
Awang tidak tahu bagaimana hubungan Sona dan Farah. Awang tahu siapa dan siapa yang berinteraksi dengan kakaknya.
Sona jelas bukan salah satunya.
Bahkan terpilihnya mereka sebagai panitia berpasangan saja tidak bisa dibilang interaksi.
Tapi Awang yakin bahwa yang menelepon Sona adalah Farah.
"He Cewek Poni, kenapa gue harus ikut campur? Kalau dia mau berantem ya itu urusannya." Sona yang semula cukup terkejut ditelepon cewek poni aneh di kelasnya, sekarang malah heran dengan permintaan Farah.
Menolong Alka berantem dengan anak sekolah lain?
Sona tidak mengenal Alka. Dia hanya tahu Dion dan Rian. Itupun bukan dalam keadaan baik karena dua bocah tengil itu pernah menantang Sona. Dan berakhir dengan dua bocah itu masuk klinik bersamaan.
Tapi Sona tergelitik juga ingin ikut dalam suatu kancah pertempuran. Hanya ingin tahu seberapa pencapaiannya.
Pelampiasan hormon dan adrenaline yang kadang tidak cukup hanya di sasana. Alasan bodoh.
"Kalau kamu nggak mau nolong, balikin pensilku yang kamu pinjem."
Sona berkernyit lalu teringat "ah elah pensil gitu doang pakai nyuruh gue berantem. Beli lagi kek---"
"Aku nggak ikhlas! Ati-ati aja dicatet sama malaikat."
"Lah kok jadi bawa-bawa malaikat?" Astaga cewek poni ini omongannya absurd juga, batin Sona. Ia mengusap wajahnya.
Ya mungkin ini kesempatan yang Tuhan berikan untuk menyalurkan hobi baku hantamnya, batin Sona
"Ya udah dah. Share loc. Gue kesana. Gue tolong kalau masih berantem. Lagian juga gue udah gatel pengen mukul orang. Tapi kalau udah kelar ya udah ya?" Sona memberi janji lalu menambahkan "dan lo jangan ikut-ikutan ya? Jadi penonton aja lo."
Sona mematikan handphone lalu menoleh ke belakang, ke arah Awang.
"Gue ajak ke tempat lain dulu nggak apa-apa kan---"
"Kenapa Farah nelpon lo?" Awang memotong tajam. Tatapan Sona melebar. Terkejut untuk kesekian kalinya.
"Eh lo kenal Cewek Poni?" Tanya Sona.
Awang bergeming. Sadar bahwa Awang tidak akan menjawab, Sona tersenyum miring.
"Nggak tahu. Tuh cewek tiba-tiba pengen gue ikut berantem buat nolong Alka. Ajaib nggak tuh?"
"Alka?" ganti Awang yang terkejut.
Sona mengedikkan bahu "Kita bakal tahu pas kesana entar."
Awang tidak berkata-kata lagi. Dia hanya ingin Sona segera melaju menuju ke tempat Farah saat ini juga.
************
Tapi tampaknya susah untuk tidak terlibat, terlebih karena tidak sengaja.
Ketika Kamila mengajak Farah untuk pergi secara diam-diam karena merasa bahwa Sona akan membantu, tapi ternyata beberapa dari mereka yang tidak terlibat perkelahian dan hanya melihat, memergoki mereka.Farah dan Kamila segera berlari menuju motor mereka.
Motor Kamila sudah melaju, ketika tiba-tiba Farah merasa tasnya ditarik ke belakang.
Tubuh Farah segera jatuh terjengkang, yang untungnya terlindung tas ranselnya dan tubuh penariknya yang ikut terjengkang.
Kamila berhenti, berteriak nama Farah khawatir.
"Lari!" Pekik Farah menahan sakit "lari!!!" Farah berteriak nyaris suaranya serak. Ia benar-benar tidak ingin terjadi apapun kepada Kamila.
Kamila menggigit bibir, tapi kemudian ia berpaling dan pergi. Sebisa mungkin mencari pertolongan.
"Hah sialan…" Maki salah satu anak-anak berandal itu "kabur cuy temannya."
"Pasti dia lapor polisi tuh. Atau warga."
"Ck. Nyusahin. Anak-anak Citra Nusa emang sialan semua."
Mereka menarik tubuh Farah yang masih linu di beberapa tempat. Farah meringis dan mengaduh. Membawanya ke dekat perkelahian.
"Van, gue bawa mata-mata. Anak Citra Nusa. Tadi dia mau kabur. Temennya berhasil kabur sih…"
Seorang dari mereka, sepantaran namun tampak lebih menakutkan dengan aura yang kejam menatap Farah.
"Goblok." Dia memaki entah kepada siapa. Tanpa disadari, anak-anak yang membawa Farah tampak langsung menciut. Agak takut. Farah bisa menebak bahwa Revan---berdasar nama di seragamnya---adalah ketua mereka.
Farah mengamati atribut pakaian seragam mereka dan baru menyadari bahwa mereka mengenakan seragam khusus dan logo Garuda Jaya.
Alka yang masih berkelahi, mendadak terkejut melihat Farah di dekat warung. Dia bertanya-tanya kenapa gadis itu ada disana.
Revan melihat keterkejutan Alka, lalu mencibir. Mendekat ke arah Farah.
"Lo temennya si Alka tomboy itu, hah?" Tanyanya.
"Heh, lepasin dia! Bangsat lo!" Teriak Alka nyaris serak. Dion dan Rian juga sama terkejutnya.
"Temen lo ya? Gue kerjain sekalian hah? Biar Citra Nusa ada berita."
Alka tidak menjawab karena tiba-tiba dia harus menghalau pukulan salah satu penyerangnya.
"Aku bukan--bukan temennya…" Desis Farah menahan amarah dan rasa sakit. Serta rasa takut dan gugup yang menyertainya.
"Lah terus? Ngapain lo di sini?"
"Aku hanya---hanya penasaran… Aku penasaran kenapa orang yang paling aku benci--benci di sekolah harus mengundang banyak masalah buat dirinya…"
Revan terdiam dengan raut mencerna. Lalu dia tertawa kering.
"Gue suka yang goblok kayak begini. Nggak nyangka Citra Nusa yang isinya katanya pinter-pinter itu punya anak goblok juga." Komentarnya mengejek.
Farah terdiam. Namun setelah mengamati seragam Revan, ia memandang Revan dingin "emang boleh ya, kalian bikin masalah lagi?"
Raut muka Revan berubah "apa?"
"Bukannya kalian udah dapet peringatan dari Dinas Pendidikan? Kalau ada satu masalah lagi yang kalian timbulkan, sekolah kalian akan ditutup permanen?"
Farah meyakinkan diri, bahwa seberandalnya anak-anak SMA Garuda Jaya, mereka tidak akan membunuh orang, bukan?
Tidak. Farah tahu kenyataannya.
Garuda Jaya terkenal suka membuat masalah terutama dalam hal tawuran. Banyak korban dari kegiatan kekerasan itu baik dari Garuda Jaya ataupun dari lawan mereka. Belum lagi kasus penindasan yang berujung maut di sekolah mereka.
Benar. Sekolah itu hampir saja ditutup karena berbagai masalah yang diakibatkan murid-muridnya.
Hanya saja, sekolah itu termasuk sekolah yayasan terkenal dengan sokongan yang tidak main-main. Hingga wacana penutupan sekolah itu diundur. Dengan satu kesempatan terakhir.
Revan mendengus.
"Gue nggak peduli, tuh. Biar ditutup sekalian sekolah nggak guna gitu."
Farah tidak terpengaruh, ia melanjutkan "mungkin kamu nggak peduli. Tapi ortu kamu sebaliknya. Kamu anaknya pengusaha Catur Mardika Group, kan? Aku mau tahu apa yang bakal terjadi kalau dia tahu anaknya bikin ulah seperti ini ketika publik bakal tahu duluan."
"Hah?"
"Revan Jourdan Mardika. Kamu anaknya Daud Mardika."
Sebenarnya Farah mengetahui pemuda di depannya adalah anak orang kaya pemilik perusahaan peralatan medis dari media sosial. Revan pernah terlibat kasus balapan liar. Dari komentar-komentar yang ia baca, Revan hanya diberi peringatan karena diduga anak orang berpengaruh.
Farah berusaha berbicara mati-matian "temenku tadi yang kabur, berhasil ngambil gambar kalian."
Bohong. Farah hanya menggertak.
Revan terdiam, kaku. Tatapannya marah. Tapi sejurus kemudian dia malah tertawa nyaring.
"Lapor! Laporin aja! Toh bokap gue sama aja, nggak bakal gubris omongan orang!" Revan lalu mencondongkan tubuhnya ke Farah "asal lo tahu, ya? Bokap gue punya banyak cara agar bungkam skandal-skandal yang ngelibatin anaknya. Lo pikir bokap gue pengusaha kemaren sore?"
Lalu Revan mendorong Farah minggir. Ia lalu berjalan ke arah Alka.
"Nih, lo liat, ya? Gue bakal bikin cewek tomboy itu sekarat. Lo benci dia, kan? Nggak masalah kan kalau dia mampus?" Cengirnya.
Farah terdiam. Berdiri mematung di tempatnya tanpa bisa melakukan apa-apa ketika pemuda itu menghampiri Alka yang sudah dikunci penyerangnya.
Menghajar Alka membabi buta.
Dion dan Rian tidak banyak membantu. Mereka sendiri sudah terkapar. Sehebat apapun ilmu beladiri mereka, ternyata keroyokan di kehidupan sebenarnya jauh lebih menakutkan.
Aliran darah Farah terasa berhenti. Sekelilingnya mendadak sunyi.
Ia melihat Alka yang berdarah dan lebam, menciptakan horor sendiri dalam pikirannya. Farah mengalami syok. Hingga ia sendiri tidak bisa berteriak sebagai reaksinya.
Namun demi melihat Alka, seorang cewek yang walaupun mengesalkan dan seperti laki-laki,babak belur dan hampir sekarat walau ia mencoba melakukan perlawanan, Farah gemetar hebat.
Dan entah dorongan apa, Farah berjalan, meraih apapun di dekatnya---sisa botol minuman soda di meja warung dan tanpa seorangpun menyadarinya, membenturkan botol itu ke kepala Revan.
Keras.
Bunyi pecahan dan nafas yang tercekat memenuhi udara yang semakin dingin dan langit yang sudah menggelap.
Suara kendaran di jalan bebas hambatan di belakang terdengar lalu.
Farah tidak tahu bagaimana awalnya, tiba-tiba dia terlempar ke belakang dengan keadaan sulit bernafas. Revan mencekik Farah. Tatapannya menggelap dan memaki-maki Farah.
"Van! Dia cewek Van! Dia beda sama Alka…" Bahkan yang lain memperingatkan dengan takut, merasa ngilu.
"Bacot! Ini Sundel sebelas duabelas sama Alka! Berani bikin gue kesakitan!" Revan tidak peduli. Ia langsung menghempaskan tubuh Farah hingga membentur jejeran bangku panjang depan warung.
Kepala Farah pusing. Pandangannya gelap. Menangis. Tubuhnya gemetar.
Dia hanya ingin menyelamatkan Alka. Dia tidak punya motivasi sebagai orang baik untuk melakukannya. Farah hanya tidak mau diliputi perasaan bersalah.
Alasan Farah adalah untuk dirinya sendiri. Ia tidak ingin perasaan bersalah menghantui.
Farah terbatuk. Matanya berair. Dia seperti melihat iblis dengan luka gores sepanjang pelipis dengan aliran merah deras. Konon katanya, bagian itu paling banyak mengeluarkan darah jika terjadi luka.
Farah mencengkram pergelangan tangan pemuda menakutkan itu, menendang-nendang dan berhasil mengenai bagian yang Farah tidak mau menduga itu apa.
Tapi dampaknya jelas, Revan melepaskannya sembari meringkuk. Farah terbatuk, mengambil oksigen yang berkurang dari paru-parunya.
Ini benar-benar pertama kali ia mengalami hal seperti ini. Dicekik.
"L*NTE!" Revan mengerang, memaki Farah. Ia menerjang Farah, bersiap akan sesuatu yang Farah tidak tahu. Tapi Farah tahu, Revan di puncak emosi kepadanya.
Farah reflek meringkuk melindungi dirinya tapi yang ia dengar adalah erangan kesakitan.
Farah memberanikan diri mendongak, melihat beberapa orang berhambur menyerang anak-anak Garuda Jaya. Seketika pemandangan kembali menjadi adu perkelahian, kali ini seimbang.
Farah tersadar bahwa orang-orang baru tersebut adalah anak-anak Citra Nusa ketika ia melihat tubuh Sona setengah melayang dan mendaratkan tendangan ke seorang anak Garuda Jaya. Mereka tidak memakai seragam mereka.
Ia tahu ada salah seorang teman sekelasnya yang ikut ekstra futsal saling melempar pukulan dengan salah satu anak Garuda Jaya. Atau dia tadi melihat anak kelas sebelah juga ada di hadapannya.
Farah tidak begitu mengenal yang lain.
Farah melihat Revan, yang sudah mengerang di tanah. Didekatnya, berdiri sosok yang menatap Revan nyalang.
Awang.
"Hoii!"
Farah mengalihkan pandangan, menatap manik tajam di depannya. Manik yang memancarkan kecemasan.
Seluncur nama akhirnya membuat Farah kembali tersadar, membuka mulutnya bersuara.
"…. Sona?"
Sona memaki ketika ia melihat Farah di depannya akhirnya merespon. Memandang Farah yang lusuh bekas tendangan dan terjatuh.
Manik Farah beralih ke belakang bahu Sona lagi memandanga Awang, yang sekarang berdiri memandang Farah.
Awang memandang dingin tubuh Farah yang gemetar. Lusuh dan kotor. Dengan wajah kuyu bersimbah air mata, tanah dan keringat.
Sedetik kemudian Awang berbalik cepat lebih dahulu, berlari lalu menendang Revan yang bersiap membalas pukulan Awang yang membuatnya jatuh tadi.
Begitu Revan terjatuh, ia memukuli Revan membabi buta. Bahkan teman-teman Revan yang mengeroyoknya terkena hantaman siku dan pukulan Awang. Lalu kembali menghajar Revan.
Baik rahang Sona dan Farah membuka lebar melihat pemandangan barusan.
"Sialan… Kenapa sama si Ketua OSIS---" Sona bergumam pelan, tertegun dengan perangai Awang yang liar. Tidak seperti yang ia tahu.
Farah pun tertegun. Pertama kali melihat Awang seperti kerasukan. Tidak setenang dan mengesalkan seperti biasa.
"Anjing…" Sona lalu tersadar "Woi, Ketua OSIS! Sisain!"
Tidak lama, Sona bergabung dalam perkelahian Awang.
Awang menoleh ke arah Farah, tahu bahwa Sona akan mengurus sisanya, lalu segera menarik tubuh Farah dan membawanya ke Kamila yang menunggu bersama dua orang lain dengan khawatir.
"Faraaah!" Pekik Kamila setengah menangis. Ia langsung menarik dan memeluk tubuh Farah "Kamu---kamu nggak apa-apa? Aku langsung balik ke sekolah---untung masih ada anak-anak main futsal. Mereka langsung ikut aku waktu aku cerita---"
Farah tidak bisa mendengar lagi. Lagipula Kamila tidak mampu meneruskan, berganti isak.
"Kalian langsung balik aja! Biar kita yang ngikutin kalian dari belakang!" Salah seorang anak kelas tiga langsung dengan sigap membantu Farah naik motor Kamila. Cowok itu segera menstarter motornya sendiri berboncengan dengan temannya, memberi instruksi agar Kamila segera meninggalkan tempat itu.
Farah menoleh ke belakang, ketika motor Kamila sudah melaju. Ia mencari sosok Awang.
Awang masih berdiri sejenak, mengangguk ke arah pengantar Farah dan bergumam terimakasih pelan. Lalu ia berbalik.
Punggung Awang yang berkeringat adalah terakhir yang ia lihat dari tempat itu.
***"*"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top