Anak Lelaki dan Emosinya

Awang melihat mereka sedang merokok di gang sepi belakang sekolah. Gang yang sebenarnya menuju ke sebuah perumahan dan cukup fenomenal bagi siswa Citra Nusa, sebagai tempat membolos.

Alka mengeluarkan asap putih dari mulut dan hidung. Bersandar di tembok tinggi belakang yang penuh coretan graffiti dan mural. Seragamnya sudah berganti; kaus dengan bawahan celana olahraga.

Salah satu geng Alka lah yang melihat Awang pertama kali. Ia langsung memberi isyarat kepada Alka.

Alka menoleh ke arah Awang. Bukannya terkejut, dia justru menyunggingkan senyum masam. Seperti sudah tahu bahwa Awang akan mencarinya.

"Wah, seperti yang gue harepin dari juara OSN Mat. Garcep bener." Alka menghisap rokoknya setelah berkata demikian.

Awang tidak bereaksi.

"Rokok?" tawar Alka.

"Juara OSN Kimia yang suka rokok. Ironis."

Alka tertawa sumbang "lo bisa bacot juga ternyata. Gue kira cuma bisa koar-koar pelecehan kayak cewek."

Alka kemudian membuang sisa rokoknya. Menuju ke Awang.

"Jadi, lo tahu darimana?" Tantang Alka.

"CCTV." Jawab Awang singkat "dan gelagat lo yang kayak maling. Kalau lo bolos, minimal enampuluh menit lo nggak balik. Tapi masih setengah jam udah keliatan lagi di CCTV."

Awang mendekat ke Alka, nyaris mendesis "kalau lo nggak punya niatan mirip dajjal, nggak mungkin lo buru-buru balik. Yang kayak gitu cuma maling yang ngelakuin, Bangsat."

Alka tertawa semakin keras.

"Ketua OSIS kita nih ternyata rusak juga ya mulutnya?" Alka berkata kepada teman-temannya.

Dua orang yang sama pemberontaknya, Dion dan Rian. Satunya satu kelas dengan Alka. Lainnya adalah anak Soshum.

Dion dan Rian terkekeh. Mereka tidak menjawab, tapi tatapannya tajam ke arah Awang.

Awang tahu, bahwa dibanding orang-orang yang bersimpati kepadanya, jumlah pembencinya cenderung jauh lebih sedikit. Tapi tetap saja ada. Dion dan Rian---Alka dan Gilang juga--- adalah kelompok itu.

"Terus lo mau apa? Laporin gue?" Alka lalu menepuk bahu "laporin. Gue malah seneng. Biar cepet kelar urusan gue disini."

"Itu jelas. Tapi nanti." Ujar Awang dingin "gue cuma mau ini diselesain secara pribadi. Alasan lo ngerusak properti sekolah adalah alasan pribadi ke gue. Sekarang selesaiin secara pribadi juga sama gue."

"Gimana?" Tantang Alka.

"Sesuai keahlian lo dan gue." Balas Awang.

"Wah," Alka bergumam mengejek "masalahnya kita nggak mungkin lomba adu cermat kayak dulu kan? Terus gimana dong?"

Awang tidak menjawab. Dia hanya menatap Alka hingga Alka tahu jawabannya.

"Ah, lo nantangin berantem?" Alka lalu menggeleng dramatis "bisa karate doang mah nggak jaminan buat bisa berantem, Cowok Cantik. Berantemnya beda sama berantem sungguhan, ckckck."

"Bonyok, dah." Gumam Rian kepada Dion, mengejek Awang.

"Lo takut?" Tanya Awang dingin.

Alka mendengus "heh, yang benar aja! Ngapain gue takut? Gue udah belajar beladiri yang beneran."

"Lo bukan takut sama gue." Ujar Awang "lo takut ego lo sebagai cewek--yang--lebih--superior--dari--- cowok runtuh ketika nanti lo kalah dari gue."

"Apa lo bilang?" Alka menautkan alisnya. Suaranya mulai berbahaya.

"Lo udah denger." Awang mundur beberapa langkah dengan gaya mengesalkan. Ia lalu merentangkan tangannya "gue nggak keberatan perkelahian intergender."

Lalu Awang balas menatap tajam Alka "itu kalau lo nggak takut kalah dari gue. Bagaimanapun, tenaga cewek jauh lebih lemah dari cowok, sekuat apapun lo mengubah penampilan biar mirip sama cowok."

Alka melayangkan tinjunya ke arah Awang tanpa aba-aba. Reflek Awang menyingkir. Nyaris mengenai dagu Awang dan Awang tahu dari tekanan udaranya, pukulan tersebut tidak main-main.

Awang tidak terkejut. Ia justru tersenyum kecil.

Ia bukan seorang misogyny. Dia hanya memancing emosi Alka.

"Tuh, kan?" Awang mengejek.

"Bacot lo!"

Awang harus menghindari beberapa kuda-kuda dan serangan jarak pendek dari Alka.

Awang harus menghindar dengan memprediksi arah serangan Alka. Alka tidak menggunakan tehnik karate yang ia ketahui. Tapi gerakannya terstruktur tidak asal-asalan.

Awang segera menyadari bahwa Alka adalah praktisi mix martial arts---beladiri campuran.

Jadi Awang juga meladeni seperti yang ia tahu. Namun Awang hanya bersikap defensif. Sama sekali tidak menyerang.

"Kenapa lo hah, Sialan?" Alka memaki setelah berhenti sejenak mengatur nafas "lo nggak ngelawan? Lo kira gue nggak bisa ngalahin lo?"

Alka muntab. Ia berusaha menerjang dan menendang Awang. Pukulannya semakin intens dan cepat. Namun Awang masih menghindar.

Keringat membanjiri tubuh Awang. Tidak melakukan serangan saja sudah membuatnya kehilangan tenaga. Apalagi ditambah harus cekatan dalam bertindak dan berpikir karena serangan Alka tidak bisa diprediksi.

Beberapa kali Awang terkena tendangan dan pukulan. Bukannya tidak sakit, malah terasa sakit sekali. Awang bahkan sempat kehilangan nafas sejenak.

Tapi tekad untuk membuat cewek ini menerima ganjarannya membuatnya menahan ngilu dan memar.

Awang tidak boleh memberi celah Alka untuk menjatuhkannya. Jika terjadi, maka selanjutnya akan berakhir. Awang akan berakhir babak belur.

Jadi dia menunggu Alka yang emosi dan terus menyerang terkuras tenaganya.

Sementara Dion dan Rian tidak melakukan apapun. Mereka hanya melihat sembari menghabiskan rokok mereka. Bagi mereka ini adalah perkelahian milik Alka, dan mereka tahu Alka tidak suka ada yang ikut campur.

Awang terdesak ke tembok, melindungi kepala dan dadanya dengan tangan. Alka, walaupun dia perempuan, dia adalah kombatan terlatih. Rasa sakit dan nyeri menghantam Awang bertubi-tubi.

Ketika Alka menyerang leher Awang, Awang segera menyambut tangan Alka dengan mencengkramnya, mengarahkan pukulan ke mata Alka dan kemudian menjatuhkan tubuh
Alka ke tanah. Awang bahkan menekan leher Alka dengan lengannya.

Alka tersedak. Kehilangan nafas. Tercekat. Ia kehilangan kendali dan tubuhnya meronta-ronta. Awang sekuat tenaga menekan tubuh Alka ke tanah.

"Kalau lo pikir gue bakal nganggep lo mudah karena lo cewek, lo salah." Desis Awang tajam.

Alka memandang Awang yang makin menekannya nyalang. Merasakan tenaga Awang yang justru semakin menguat.

"Apalagi lo yang bikin gosip soal Farah, Sialan!"

Alka semakin kuat memberontak. Awang goyah. Jelas melawan tubuh yang biasa berolahraga dan beladiri tidaklah mudah. Apalagi dengan emosi.

Awang bahkan tidak tahu sampai kapan ia bisa menahan tubuh cewek ini tanpa ia sendiri cedera.

Belum lagi Rian dan Dion segera berhambur ke arah Awang, berusaha menolong Alka dan mengeroyok Awang. Mereka menarik dan menyeret tubuh Awang dan memukuli Awang. Awang kembali melindungi dirinya dengan lengan.

Alka terbatuk, meringkuk muntah-muntah ditekan Awang.

"Hei! Berhenti!"

Suara Pak Kamsu, Pak Triman dan beberapa sekuriti menghentikan Rian, Dion dan Awang yang saling berjibaku.

Rian dan Dion pucat. Menjadi berandal sekolah adalah kerjaan mereka, tapi tidak dengan dikeluarkan dari sekolah karena menghajar Ketua OSIS. Apalagi posisi mereka sekarang tampak sepertri itu.

"Apa-apaan...." Pak Kamsu tampak kehilangan kata-kata. Lalu melihat Alka yang duduk kesakitan "lagi?!"

Pak Triman menatap Awang kecewa "Saya nggak membayangkan Ketua OSIS melakukan ini..."

Awang bangkit. Rasanya seluruh tangannya nyeri nyut-nyutan. Ia tidak berbicara, sama halnya dengan Alka dan yang lain.

"Tapi saya akan dengarkan apa yang terjadi." Pak Triman menghela nafas, lalu memandang Pak Kamsu yang masih menahan amarah "Semua ke ruang wakasek, sekarang!"

********

"Jadi saya rasa, saya tidak melakukan pelanggaran apapun---selama yang saya lakukan barusan di luar lingkungan sekolah."

Awang berdiri di ruang 'sidang' Wakil Kepala Sekolah. Setelah menjelaskan semuanya dari awal sampai Pak Kamsu dan yang lain menemukan mereka saling baku hantam.

Awang membela diri dari pasal sekolah yang menyatakan bahwa perkelahian di sekolah akan dikenai sangsi.

Selain Awang, ada segelintir guru yang hadir. Menatap Awang dengan raut mengerti. Namun tatapan berbeda mereka berikan kepada Alka, Dion dan Rian di sisi bersebrangan dengan Awang.

Dion dan Rian mungkin berandal Citra Nusa, namun jelas berada di ruang Wakil Kepala Sekolah merupakan yang pertama untuk mereka dan itu merupakan pertanda buruk. Wajah mereka tertunduk pias.

Sedangkan Alka, tampak tak acuh. Tidak peduli. Bahkan bersikap tidak gentar di hadapan para guru---sejenis tegar yang mengesalkan.

Pak Triman memandang rekaman CCTV yang diberikan Jonathan. Raut wajahnya mengeras. Tampak ingin berbuat kekerasan terhadap trio itu. Kemudian terdengar Pak Triman mengatur pernapasannya.

"Berarti saya rasa mereka bertiga juga bebas dari pasal tersebut, Pak." Tambah Awang diplomatis.

"Tapi tidak untuk pasal pengrusakan properti sekolah!" Bentak Pak Triman "Saya nggak akan biarkan mereka karena merusak acara yang ada dalam pengawasan saya!"

Semua terkesiap. Bahkan Alka sedikit menunjukan raut pucat. Bagaimanapun Pak Triman terkenal dengan sikap ramahnya.

Bukan karena bentakannya.

"Saya nggak akan biarkan mereka---walaupun Ibunya si Alka ini ke sekolah lagi dan lagi untuk membuatnya lepas dari hukuman apapun seperti yang sudah-sudah!"

Pak Kamsu mengangguk samar. Tampaknya jengah juga.

Awang tidak menjawab. Pak Triman lalu mengatur nafas lagi.

"Terimakasih sudah sejauh ini membantu saya, Wang. Tapi saya rasa tindakan gegabah kamu secara etika salah. Jika ada orang lain di luar sekolah---atau anak sekolah kita sendiri memergoki kalian berkelahi dengan seragam Citra Nusa, dan mengambil jejak digital dari itu, kamu pasti bisa bayangkan apa yang terjadi."

Awang tidak menyanggah. Ia tahu itu benar. Ia ceroboh. Bukan tipikal dirinya.

"Jadi saya rasa, setelah ini biar wakil kamu yang handle semua persiapan---bukan, saya nggak menganggap kamu nggak kompeten. Kamu yang punya ide-ide itu. Ini adalah bentuk hukuman dari saya agar kamu lebih waspada sebagai Ketua OSIS dan Siswa Citra Nusa."

Manik mata Awang melebar. Ini diluar prakiraannya. Perkataan Pak Triman membuatnya mati rasa.

Terdengar kasak-kusuk, bahkan beberapa guru termasuk Pak Kamsu melayangkan protes terhadap keputusan itu.

Pak Triman mengangkat tangannya.

"Keputusan saya final. Persiapan acara pensi sekarang adalah 'milik' wakil kamu sampai acara selesai. Hal-hal menyangkut itu termasuk rapat bukan tanggung jawab kamu. Kamu masih bisa pimpin rapat OSIS yang tidak berkaitan dengan pensi." Pak Triman berkata tegas. Namun tidak menatap Awang.

"Kamu pulang saja sekarang. Saya rasa nggak ada lagi yang bisa kamu kerjakan."

Rahang Awang mengeras. Tapi sejurus kemudian, dengan sopan yang kaku, dia pamit.

Diluar ruangan; Melinda, Jonathan, Nur, Maher dan Raka---wakil OSIS, menunggunya. Melinda menggigit bibir.

"Wang..." Melinda memanggil Awang. Awang hanya mengulas senyum singkat. Lalu dia menepuk bahu Raka.

"Kali ini lo yang bakal repot." Gumam Awang kepada Raka. Raka menatap Awang bingung, tidak mengerti. Awang tidak susah-susah memberitahu, lagipula Raka akan segera mengetahuinya langsung dari Pak Triman.

"Gue mau pulang. Istirahat."

Awang lalu melambaikan tangannya dan langsung berbalik. Tanpa ingin bertemu lagi dengan yang lain.

Ia melangkah dengan langkah yang ia tidak paham bagaimana ia deskripsikan. Mantap namun juga tidak tahu apakah kakinya masih memapak bumi.

Awang memutuskan untuk duduk di depan Ruang OSIS. Mengatur nafasnya. Menata emosinya.

Sekolah sudah nyaris sepi. Langit juga mulai menggelap. Yang tinggal hanya panitia yang bertugas; panitia dekorasi dan bagian antar jemput.

Dan biasanya Awang juga masih di sekolah hingga pukul sembilan.

Tapi sekarang, Awang tidak punya hak untuk itu.

"Wang,"

Awang mendongak. Mendapati Farah berjalan ragu ke arahnya.

Awang tidak tahu bagaimana ia harus merasakan ini; gembira, marah atau mati rasa.
Atau merasakan halusinasi.

Jadi, dia memilih diam sembari tetap menatap Farah.

"Astaga... Muka lo..." Farah tidak melanjutkan kata-katanya, yang ia lakukan kemudian adalah merogoh tas. Mengeluarkan sapu tangan---kebiasaan kuno yang masih ia lakukan, lalu menghilang dan kembali dengan sebotol minuman.

Farah membasahi sapu tangan dengan air mineral. Lalu menekan, mengompres dan membersihkan luka lebam di wajah Awang.

Farah tampaknya sudah mulai biasa dengan mengobati luka lebam semacam ini.

Ekspresi Awang datar dan dingin. Farah tidak tahu apa yang ada dipikirkan adiknya ini. Bahkan ia tidak berjengit sakit.

Satu-satunya tanda dari Awang bahwa ia kesakitan adalah tangannya akan semakin mengepal jika sentuhan Farah mengenai bagian yang perih atau luka lebar.

Tidak ada suara. Hanya tarikan nafas. Awang membiarkan saja apa yang dilakukan Farah.

"Nanti kalau sempet, lo ke Dokter Anton ya. Periksain lagi." gumam Farah sembari membersihkan sedikit darah kering di ujung bibir. Awang tidak menjawab.

Farah menatap Awang, lalu terdengar helaan panjang.

"Lo kenapa Wang? Gue denger lo berantem sama Alka---"

"Sekarang lo peduli?"

Farah terkesiap. Tangannya membeku di udara. Tidak melanjutkan membersihkan luka. Suara Awang dalam dan menakutkan. Awang menoleh ke arah Farah. Tatapannya sama dinginnya.

"Kenapa?" Tanya Awang "Sekarang lo tanya seolah lo sendiri punya hak buat bertanya apapun tapi gue nggak boleh tahu apapun tentang lo."

Farah mengatupkan mulutnya. Awang memang benar. Awang bertanya khawatir soal gosip itu tapi Farah malah mengelak.

Sekarang ketika Awang di situasi yang nyaris sama, Farah tersadar sekarang bahwa ia keterlaluan.

"Wang---"

"Jangan membela diri." Awang bangkit "mulai sekarang kita akan urus diri sendiri. Seperti kemauan lo, kan?"

Awang tidak mau melihat reaksi Farah. Jadi ia bergegas ke kelasnya mengambil tas dan pergi dengan motornya.

************

Dan sekarang setelah apa yang terjadi, Awang kembali dari emosi tidak terkontrolnya kemarin.

Memandang punggung Alka yang tadi memberikan hujaman amarah kepadanya menegang, seperti gadis itu siap untuk menghajar siapa saja yang dapat ia hajar.

Awang dengar tadi pagi, bahwa kemarin Ibu Alka benar-benar datang ketika dipanggil ke sekolah.

Dan Pak Triman benar-benar tidak memberikan toleransi apapun.

Akhirnya, pagi tadi, Kepala Sekolah turun tangan. Mungkin karena bujukan Ibu Alka, jadi Alka benar-benar tidak jadi dikeluarkan.

Namun sebagai gantinya, Pak Triman lah yang menentukan jenis hukumannya;
Alka terlibat dalam kepanitiaan Pensi. Pak Triman bahkan kabarnya menolak bantuan finansial Ibu Alka untuk membayar ganti rugi. Pak Triman menuntut Alka hadir di setiap kepanitiaan.

Membuat Awang merasa lebih kecut. Alka yang menyebabkan dia diberi hukuman Pak Triman, dan sekarang dia yang malah masuk menggantikan Awang.

Awang tidak tahu mana yang lebih membebaninya; hukuman Pak Triman, kebenciannya kepada dua bersaudara Alka-Haikal, kekesalannya kepada sikap antipati Farah atau kesal kepada dirinya sendiri yang melampiaskan kekesalan kepada Farah.

Awang masih bersandar di depan kelas ketika tatapannya tidak sengaja ke arah sosok gadis jangkung semampai yang membaca mading di tembok sisi timur kelasnya.

Mata bulat dengan bulu mata lentik itu tidak bisa lama-lama bertahan pura-pura membaca ke arah mading ketika ia sadar Awang menatapnya---ia berpaling ke arah Awang.

"Hai Wang," sapa Ruly sembari tersenyum manis, lalu tatapannya berubah prihatin cepat "Oh My Gosh... apakah itu yang katanya anak-anak gara-gara Alka?"

Ruly menunjuk wajah Awang dan menutup mulutnya simpati. Awang hanya tersenyum menanggapi.

Awang sebenarnya sedang tidak ingin berbicara. Dengan siapapun.

"Sakit ya?"

Awang mengedikkan bahu "lumayan. Terimakasih udah khawatir."

"She drives up the wall---dia tuh ngeselin banget---- really. Sejak pertama kali masuk! Dia ngatain aku brainless---nggak ada otak--- hanya karena aku, sorry to say, cantik.

Padahal ya yang lebih cantik dari aku juga banyak tapi yang dikatai cuma aku." Ruly mendesah sedih.

Ruly percaya, jika ia mengatakan bahwa Alka adalah musuh bersama ---yang mana memang benar adanya--- Awang akan memberikan kepercayaannya.

"Hampir semua anak sekelas nggak suka sama dia. Makanya dia malah berteman sama Rena yang beda kelas dan geng preman itu."

Ruly lalu menambahkan "yah, Rena juga nggak baik-baik amat sih. Rumor has it, she's a player."

Ruly sengaja memberi informasi tambahan tentang Rena. Bukannya Ruly tidak tahu jika Rena juga mengincar Awang secara terang-terangan.

Awang tidak menanggapi. Apakah Ruly pikir menceritakan semua tentang aib satu sekolahan akan membuat Awang tertarik untuk berbicar?

Namun demi kesopanan yang dingin, Awang hanya mendengarkan dan tersenyum hampa.

"Eh, mumpung inget," Ruly tetap berceloteh "kamu udah dapet materi Larutan Penyangga belum?"

"Sudah."

Ruly yang biasa bossy itu berubah sangat berharap "hmmm... Itu gampang nggak sih?"

"Relatif."

"Kalau menurutmu?"

Awang terkekeh sebagai jawaban, membuat Ruly bersemu merah jambu hanya karena mendengar kekehan merdu itu.

"Jadi, kamu bisa ajarin aku? Aku nggak paham bagian Kesetimbangan..." Tanya Ruly penuh harap.

Awang mengedikkan bahu "boleh. Besok sore di perpustakaan."

Tidak ada tawar menawar. Awang tidak berniat menawarkan apapun lagi, dan sebaliknya Ruly juga menerima apapun perkataan Awang.

Seandainya Awang tahu saat ini perasaan Ruly bagaikan festival Tahun Baru.

Penuh kembang api.

"Aku balik, ya? Persiapan pelajaran ketiga." Awang tersenyum kecil, lalu berbalik. Meninggalkan Ruly yang mengepalkan tinju dengan wajah penuh kemenangan.

**********

Farah tahu bahwa setelah kemarin, Awang tidak akan pernah menginjakan kaki lagi di rumah ini.

Tapi tetap saja ada perasaan mengganjal yang aneh ketika ia tidak menemukan sosoknya berkutat di dapur, suara penggorengan, aroma masakan, atau sinar temaran dari kamar Awang yang menandakan cowok itu sedang belajar.

Keberadaan Awang yang mungkin tidak setiap hari dan tidak sampai menginap---karena biasanya menjelang tengah malam dia pulang ke rumah Nenek--- sudah menjadi rutinitas.

Kadang menjengkelkan. Tapi tetap saja jika suatu rutinitas hilang, rasanya ada yang aneh.

Apa aku minta maaf saja? pikir Farah sembari duduk di sofa ruang keluarga.

Tapi dia sudah lama berhenti minta maaf kepada siapapun. Tujuan dia menghindari kehidupan sosial juga untuk berhenti merasa bersalah kepada orang lain.

Ternyata menyesakan juga.

Farah mengadahkan kepala. Kepalanya masih berat. Akhir-akhir ini semakin berat. Terlalu banyak yang terjadi dan dia tidak tahu harus bagaimana. Lalu matanya juga semakin berat. Ia lalu jatuh tertidur.

Ketika lamat-lamat ia membuka mata, ruangan sangat gelap, pun keadaan di luar. Farah bangkit melihat jam dinding. Pukul sembilan malam.

Lama juga ia tidur. Ia buru-buru menyalakan lampu dan mengatur keredupan dengan dimmer. Mengunci pintu. Namun ternyata pintu sudah terkunci. Alarm sudah terpasang.

Farah terhenyak.

Entah dia yang lupa atau memang Awang sempat kemari, tapi jika yang terakhir yang benar, perasaan berat kembali melingkupi Farah.

*************

Citra Nusa heboh, lagi.

Rentetan kejadian mulai dari Haikal-Farah, perkelahian Awang, hingga Alka yang menjadi panitia pensi serasa hilang dalam sekejap hari ini.

Ketika Ruly berjalan bersama Awang pagi ini. Bahkan Awang juga berbicara dengan hangat kepada Ruly. Mereka bahkan melempar salam ketika berpisah untuk ke kelas.

Naila menarik Ruly segera.

"Damn, gurl. Chill out." ujar Ruly sebal, membetulkan tata letak lengan kemeja seragam yang ditarik Naila.

"Itu tadi apa?" serang Naila dan Anin yang sudah menunggunya di dekat kelas. Ruly memutar matanya sok tapi wajah sumringahnya tidak dapat disembunyikan.

"Cuma ketemu di depan kok. Terus dia ngajak jalan bareng ke kelas." Ruly tampak ingin membicarakan ini seolah itu hal yang biasa, tapi tidak mungkin dengan binar mata yang tampak sebaliknya.

"Oh, tumben." gumam Anin sangsi.

"Ya..." Ruly mengedikkan bahu "dia juga ngajak belajar bareng. Kimia, you know. He's good at it, no he's almost perfect at everything."

"Sumpah lo?" Anin dan Naila berseru nyaris bersamaan. Ruly mengangguk nyaris antusias.

"Anjir, udah pro lo sekarang." Anin meledek, tapi ikut senang. Ruly terkikik. Naila tersenyum.

"Ikut?" tanya Ruly, lalu menambahkan "belajar bareng?"

"Gue IPS kalau lo lupa." Ujar Anin "kecuali kalau dia mau ajarin akuntansi."

"Dan lagi, lo yakin mau ajak kita saat lo ada kesempatan berdua sama Awang doang?" tambah Anin, yang kemudian disambut gelak tawa Naila.

"Of course. Cuma basa-basi doang gue, sebagai teman yang baik."

Baik Anin dan Naila langsung menghadiahi pukulan ke tubuh Ruly dan Ruly terkekeh, setelahnya dia sadar "eh, Enya mana?"

"Dia bilang dispen lagi. Kalau lo lupa lagi, dia kan anak emasnya Citra Nusa juga selain Awang." jawab Anin sambil lalu "acara apa sih? Oh karantina duta wisata."

Ruly menggigit pipi bagian dalam sambil berpikir. Dia selalu merasa Enya tidak lebih cantik dari dirinya.

Tapi Enya selalu menjadi langganan ikut kompetisi semacam itu. Bahkan Agustusan kemarin dia terpilih menjadi pembawa bendera di upacara kota.

Ruly sedikit tidak habis pikir, tapi toh dia rasa itu adil. Tidak semua hal harus dia yang jadi spotlight nya kan? Lagipula perasaan senangnya hari ini jangan sampai terusik dengan hal-hal sepele macam itu.

Tapi kesenangan itu tidak bertahan lama ketika pulang sekolah.

Manik cantiknya menangkap kenyataan bahwa mereka tidak hanya belajar berdua.

**********

Alka menatap satu per satu kelompok belajar absurd ini.

Ada si cupu dari kelasnya bernama Farrell, yang sok ngatur tapi aneh. Itu kacamata minus berapa sih? Tebel banget.

Cewek berwajah masam dan tipikal aktivis yang Alka tidak tahu namanya. Tidak tertarik juga untuk tahu.

Oh, astaga. Bahkan bakal ada lagi selain mereka dan Alka harus siap dengan kejutan.

Lalu ada dua orang anak IPA yang kelihatan sekali mereka terpaksa masuk jurusan ini. Salah satunya Rena.

Persamaan mereka---selain Alka dan Farrell yang didaulat sebagai tentor--- adalah mereka semua anak-anak IPA dengan nilai terendah se Citra Nusa.

Sekarang mereka menghadapi kenyataan bahwa mereka harus ikut kelompok belajar ini agar nilai KKM mereka memenuhi syarat.

Di kelompok dadakan ini ia hanya kenal Rena dan mereka dekat. Jika Rena cukup menikmati berada di sini ya Alka harus mencoba juga. Toh mau mengelak juga dia tidak bisa.

Semua berawal dari Guru Wakasek menyebalkan bernama Pak Triman yang berhasil diyakinkan oleh Ibunya untuk tidak mengeluarkannya.

Padahal ketika Pak Triman sudah akan menjamin dia dikeluarkan, Alka tidak bisa lebih senang lagi walaupun melihat guru yang bertampang ramah itu murka membuatnya ketakutan juga.

Tapi Ibunya malah membuat segalanya jauh lebih buruk; Alka harus mau menuruti semua perintah Pak Triman.

Mulai dari jadi panitia isidental tidak jelas hingga menjadi tutor kimia bersama si Aneh Farrell sepulang sekolah.

Ini adalah kompromi Ibunya dengan sekolah kapitalis ini.

Ternyata reputasinya sebagai juara OSN Kimia lumayan santer juga.

Jika Alka melawan---atau malah membuat semuanya semakin runyam, segala sokongan finasial akan ditarik oleh Ibunya. Sebebal apapun dirinya dan setidaksukanya terhadap sikap Ibunya, Alka masih membutuhkan uang.

"Lo nggak paham yang mana sih?" tanya Alka kepada Rena, hanya sebagai penghilang rasa bosan.

"Hmm... " Rena menggigit bibir "stokiometri?"

"Itu kan materi kelas sepuluh."

"Sejujurnya sih semua..." aku Rena agak merasa malu. Alka tidak menyahut. Dia tidak paham kenapa semua menganggap Kimia itu susah, baginya---setidaknya dulu--- pelajaran ini menantang.

Tapi dia tidak serta merta mengejek Rena. Semenjak mengenal Rena, Alka tidak perlu waktu lama untuk tahu bahwa Rena ini lumayan lemot.

Tapi Rena adalah sosok yang menyenangkan, bagi Alka.

Alka sedang mencoba mengajari rumus molekul kepada Rena ketika tiba-tiba terjadi kesenyapan yang ganjil diikuti bisikan tertahan.

Alka menoleh ketika dua orang langsung duduk di tempat mereka.

Manik mata Rena membesar, tampak terkejut namun senang.

Dan Alka terkejut, marah.

"LO?!" Alka reflek berujar keras. Tapi tampaknya yang ia hardik tidak bereaksi apapun.

Awang hanya menatap datar Alka. Semua menatap Alka tajam. Namun sebenarnya mereka semua lebih tertarik dengan apa yang akan terjadi.

Perkelahian Awang-Alka sudah menjadi buah bibir. Apa yang bakal terjadi jika mereka satu meja untuk belajar?

Guru perpustakaan yang mendengar sepak terjang Alka memperingatkan secara non verbal agar Alka menjaga sikap di dalam ruangan.

"Ini udah semua kan?" tanya Awang, tak acuh atas reaksi Alka. Alka menelan kemarahannya.

"Iya nunggu lo. Pacaran ya?" serang cewek berwajah masam mirip aktivis yang daritadi serius latihan soal sendiri. Nada suaranya sebal.

Awang bukannya marah, ia malah tertawa. Seorang lagi yang datang bersama Awang juga tersenyum agak jumawa.

Tampak senang dengan tuduhan itu dan reaksi Awang yang tidak menolak dituduh.

"Ih, lo apaan sih Mel!" protes Ruly setengah hati yang datang bersama Awang sembari tersenyum senang kepada Melinda.

Melinda mengabaikan.

Rena memberengut. Ia suka ada Awang, tapi tidak dengan tambahan si Princess wanna be--- Ruly.

Farrell, menatap mereka keruh.

Apalagi gosip soal mereka sedari pagi membuat baik Farrell maupun Rena menjadi meradang.

"Lo kan nggak perlu ikut ginian? Lo kan jenius ." Ejek Alka kepada Awang.

"Gue pendalaman." Jawab Awang singkat, yang tentu saja tidak dipercaya begitu saja.

"Ayolah nggak usah ngulur waktu." Ujar Farrell dingin.

"Sorry." Ujar Awang meminta maaf tulus, lalu ia duduk di samping Melinda dan Ruly yang memilih di sisi sebelahnya. Farrell kentara sangat kesal.

"ini kita belajar apa?" Akhirnya Farrell bertanya.

"Sesuai perintah Pak Triman, mungkin bisa mulai dari Kimia dulu. Kamu sama Alka tentornya kan?" Jawab Awang diplomatis.

"Oh, iya ya." Farrell salah tingkah, bangga karena dia dipilih untuk mengajar terutama dia bisa unjuk diri di hadapan Ruly.

Namun sayangnya, Ruly hanya terfokus kepada Awang.

Beberapa kali Ruly bertanya, bukan kepada Farrell yang notabene adalah tentor materi pertama mereka. Tapi malah merecoki Awang yang konsentrasi terhadap penjelasan Farrell.

Beberapa kali Awang harus memberi tanda telunjuk ke mulut lalu menunjuk ke Farrell kepada Ruly, agar Ruly memperhatikan. Tapi hanya bertahan lima menit.

Farrell kehilangan semangat untuk terus menjadi tentor.

Awang memandang Ruly dingin, dengan ujung bibir terangkat.
"Kamu bukannya nggak paham kimia? Saya sudah mengusahakan agar kamu bisa ikut."

Ruly akhirnya diam, namun mendekatkan diri ke arah Awang. Nyaris bergelayut.

Rena jengah. Beberapa kali terdengar suara helaan panjang.

Alka memandang dengan tatapan tajam.

Suara Farrell sudah mulai gemetar.

Dan lainnya tampak tidak tahu apa yang terjadi namun merasakan kurang nyaman.

Sebelum suasana bertambah kacau dan canggung, tiba-tiba Melinda berdiri lalu mengemasi barang-barangnya dengan buru-buru. Wajahnya tampak menyesal.

"Sorry, ya... Gue harus rapat sama guru." Melinda lalu melihat Awang dengan tatapan tajam dan memberi kode dengan mengedikkan kepala "cepetan oi, udah telat kita."

Awang lalu ikut berdiri, pamit dan pergi bersama Melinda yang sudah menyeretnya keluar.

Meninggalkan sisa kelompok yang masih mencerna apa yang terjadi. Bahkan Ruly tidak repot-repot menyembunyikan raut wajah kesalnya.

Keheningan untuk beberapa saat melingkupi kelompok belajar itu.

"Ah," decak Ruly "ngapain sih OSIS masih sibuk? Mau UTS juga!" Rutuk Ruly entah kepada siapa. Tidak menghiraukan keberadaan yang lain.

Alka yang sudah kesal, akhirnya berkomentar.

"Hei, half-baked, kalau lo cuma ngejar cowok daripada belajar, mending lo pergi dari sini terus ke perempatan Pasar Kembang. Lo itu sekolah apa ngel*nte sih?" Ejek Alka pedas.

Rena membulatkan matanya. Ruly, semerah kepiting masak.

"Heh! Mulut lo itu dijaga, You damn wh*re! Lo udah ngapain aja sama Dion hah?" Serang Ruly tidak terima.

Emosi Alka laangsung tersulut dan ia menerjang Ruly. Ruly yang sigap, balik mendorong. Hampir terjadi pertarungan jika saja Farrell dan yang lain tidak segera melerai.

Farrell, yang dalam hatinya ingin menolong Ruly namun juga merasa harus bersikap objektif, harus menjadi bulan-bulanan dua gadis tersebut karena ia berada di tengah-tengah.

Rena yang merasa kasihan karena Farrell terkena tamparan dan cakaran salah sasaran, akhirnya menyeret Alka keluar. Rena tidak mau sahabat nylenehnya ini terkena masalah lagi dan lagi. Mengabaikan Ruly yang juga memaki dirinya yang ditenangkan salah seorang siswa yang ikut kelompok tersebut.

Apalagi jika Alka sampai menghajar Ruly yang notabene adalah idola sebagian besar kaum Adam di Citra Nusa, Rena tahu kehidupan sosial Alka akan semakin terpuruk.

****************

Melinda dan Awang berhenti di depan ruang OSIS.

"Makasih ya." Awang tersenyum masam. Melinda memutar bola matanya.

Awang bersyukur punya teman yang peka terhadap situasi seperti Melinda. Dia tahu pesan untuk rapat tadi hanyalah fiktif.

Awang juga tidak ingin berada di sana, di kelompok belajar menyebalkan itu.

Tapi begitu tahu Ruly ingin sekali 'belajar' Kimia, tiba-tiba Awang ingin mengerjainya juga.

Ia menemui Bu Ina, guru Kimia untuk meminta ijin membentuk kelompok belajar Kimia bagi siswa-siswa yang KKM nya rendah.

"Loh Silakan aja. Kamu nggak ijin juga nggak apa-apa. Saya seneng malahan ada yang bantu." Ujar Bu Ina sumringah "kamu yang pimpin kan?"

"Tapi bukan saya tentornya Bu. Ada anak lain yang lebih bagus. Alka."

Bu Ina tampak tercenung. Agak keberatan "ah dia memang nilainya sempurna di Kimia. Tapi, apa dia mau saya suruh? Di kelas dia ogah-ogahan."

Awang tersenyum hormat "Ibu bisa minta tolong Pak Triman. Kalau dengan Pak Triman, dia pasti nurut. Dan satu siswa lagi Bu yang pandai menurut saya. Farrell dari kelas IPA 4."

"Ah iya iya. Saya akan masukan mereka dan anak-anak yang nilai KKM nya rendah. Saya akan langsung ke Pak Triman. Terimakasih ya Wang atas idenya."

Sebenarnya ide itu adalah pertaruhan Awang. Tapi ternyata berhasil.

"Gantinya lo ajarin gue! Nilai Kimia gue jeblok." Seloroh Melinda yang kesal. Awang tertawa.

"Kapanpun. Ajak siswa yang lain yang lo tahu nilainya jeblok. Tapi Ruly dan Alka jangan sampai tahu."

Melinda mengangguk. Lalu mereka berpisah. Awang segera ke parkiran untuk mengambil motor.

Setelah seringnya pulang terlambat karena kegiatan OSIS, sekarang dia merasa linglung karena tidak tahu harus berbuat apa.

Namun Awang akhirnya memutuskan kegiatan yang selalu menjadi rutinitasnya.

Awang akan berkendara ke kompleks rumahnya. Sekadar mengetahui bahwa pemilik satunya sudah pulang dan aman.

************

Farah sedang berusaha belajar latihan soal untuk UTS sore itu. Daripada konsentrasi, otaknya justru memaksanya untuk memikirkan hal lain.

Farah tahu gosip di Citra Nusa bisa berubah-ubah cepat. Tapi dia tidak menyangka gosip tentangnya berubah jadi gosip tentang Awang.

Dari Awang yang keluar dari kepanitiaan, Awang yang berkelahi dengan Alka, dan yang masih panas pagi tadi adalah gosip pacarannya Awang dan Ruly.

Farah merasakan ironi.
Ruly membenci dirinya apalagi karena kedekatannya dengan Kakak tirinya dulu.

Sekarang Ruly malah dekat dengan Adik angkatnya.

Jika sudah begitu, terlepas Ruly tahu atau tidak dia bersaudara dengan Awang, bolehkah Farah merasa benci kepada Ruly?

Tiba-tiba handphone Farah berbunyi.

Nomer asing. Alis Farah berkernyit heran. Dengan ragu ia mengangkatnya. Jika telepon tersebut merupakan telepon undian penipuan dia akan langsung menutupnya. Malas sekali meladeni.

"Halo?"

"Halo ini Farah?" Tanya suara di seberang "Farah temannya Haikal?"

Farah tahu bahwa telepon ini bukan penipuan.

"Iya saya sendiri. Ini siapa?" Farah menegakan tubuhnya.

"Ah iya ini Helio, Kakak sepupunya Haikal. Kamu pasti udah tahu kan?"

"Iya Kak." Jawab Farah. Ia ingat Kakak laki-laki kedua Alka. Helios Alkali. Sosok tinggi yang juga atlit basket di liga kampus.
Helios mengajaknya ngobrol banyak hal ketika ia menemani Haikal ke rumah Alka.

Mungkin dia tahu nomernya dari Ibu mereka yang sempat menanyakan nomer Farah jika Alka berani melukai Farah lagi.

"Maaf ya ganggu kamu. Tapi ini penting. Dari kemarin Haikal ngilang. Tidak bisa dihubungi. Ibunya kritis lagi di ICU. Aku punya nomer kamu dari Mama. Kamu tahu Haikal dimana?"

Hilang? Tapi kemarin Haikal masih sempat meneleponnya kan? Astaga tunggu...

"Maaf kak, aku ngggak tahu. Tapi aku akan coba cari tahu." Farah berusaha untuk tidak panik.

"Terimakasih ya Farah. Jangan repot-repot. Maaf ya ganggu kamu. Biar kami aja yang nyari. Aku cuma tanya aja."

Lalu setelah Helio pamit dia mematikan sambungan. Membuat Farah menjadi sangat gamang.

Kemarin Haikal ingin mereka bertemu. Apa ini ada kaitannya dengan hilangnya dia sekarang.

Tidak Farah.
Haikal sudah dewasa. Dia tahu apa yang ia perbuat. Jangan libatkan dirimu lagi. Haikal itu orang asing. Fokuslah kepada dirimu.

Farah memejamkan mata.

Tidak. Ia bahkan tidak bisa fokus kepada buku pelajarannya apalagi kepada dirinya sendiri.

Haikal memang sudah dewasa. Tapi bahkan orang dewasa pun bisa merasakan kegundahan yang lebih kompleks. Kadang tidak ada orang dewasa lain yang mau mengerti dan orang muda terlalu muda untuk dijadikan sandaran.

Dan Haikal bukanlah orang dewasa. Dia hanyalah remaja yang kebingungan dan mungkin tidak percaya dengan manusia. Sama seperti Farah.

Farah berdiri. Berjalan bolak-balik di kamarnya. Mencoba menelaah dimana kemungkinan-kemungkinan Haikal berada.

Selanjutnya Farah membuka grup kelasnya di aplikasi pesan. Menelepon satu per satu teman-temannya Haikal. Dia tidak peduli jika timbul gosip baru gara-gara ini.

Nihil. Tidak ada yang mengetahuinya.

Farah menggigit bibirnya. Mencoba berpikir lagi.

Sejurus kemudian dia membuka mata seperti mendapat ilham. Farah segera menyambar jaket dan dompetnya. Menghubungi taksi online lalu berlari keluar rumah setelah menguncinya.

Farah berharap Haikal berada di sana.
*************

Motor 400cc itu berhenti di depan sepetak tanah kavling yang belum di bangun, limapuluh kilometer dari rumah nomer 24 dengan pagar hitam.

Mata pengendaranya menyipit, lalu segera membuka helmnya.

Awang menatap heran. Lampu depan menyala tapi lampu di dalam rumah tidak menyala. Apakah Farah tertidur lagi seperti kemarin?

Awang melajukan motornya ke depan rumah mereka. Memeriksa pagar. Terkunci manual dan alarm juga menyala.

Dia segera masuk dengan kunci cadangan dan mendapati rumah kosong. Begitu juga kamar Farah.

Awang melihat jamnya. Sudah pukul enam lebih. Langit sudah menggelap. Jika Farah belum pulang dari sekolah, tidak mungkin lampu depan menyala.

Kemana Farah?

Awang mengambil handphonenya. Berusaha menghubungi Kakaknya. Lagi-lagi dialihkan, pertanda Farah tidak bisa menerima panggilan.

Awang memaki. Terlebih gundah.

Dia tidak mau terjadi apapun kepada Farah.
**************

To my current condition at wattpad (because one of my story removed by wattpad. The first one. Yang pertama membuat saya kenal banyak orang dan dikenal banyak orang.) :

Can't hold me down 'cause you know I'm a fighter.

(BTS. ON)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top