Anak Gadis yang Berulah
Farah tidak tahu berapa lama untuk sebuah gosip bisa berakhir. Yang ia tahu gosip bisa berjangka sehari-dua hari atau melebihi satu bulan.
Dalam kasus Farah, gosip yang beredar malah berkembang ke hal-hal yang lain.
Farah sudah biasa dibicarakan karena penampilannya yang unik. Atau karena sifat ekstrim antisosialnya selama dia berada di Citra Nusa.
Secara dursila, ini baru yang pertama di Citra Nusa.
Gosip yang semula hanyalah 'Haikal ke rumah Farah dan menginap' menjadi liar bahwa dibalik kata menginap itu menyimpan banyak konotasi sumbang; bahwa Haikal melakukannya untuk sebuah permainan yang disebut 'taruhan'.
Sebuah gosip dari satu orang ternyata berbuah gosip lainnya dari orang lain. Penyebar gosip tentang Haikal menginap di rumah cewek aneh ansos bernama Farah adalah Alka.
Dengan niatan dendam karena kesal kepada Haikal---belakangan Farah karena cewek itu berani mencakarnya.
Lalu gosip tentang taruhan itu datang dari orang lain yang sama sekali berbeda. Dengan niatan yang bahkan tidak buruk.
"Hah? Haikal nginep di rumah Farah? Astaga sebegitunya dia pengen menang taruhan. Kasihan itu si Farah." cerocos Jonathan di sela-sela istirahat rapat panitia pensi sekolah.
Efeknya adalah taruhan yang hanya diketahui komunitas lelaki basket dan tidak berkenan sampai keluar, akhirnya menyeruak layaknya pintu air sungai di kala hujan deras.
Jonathan yang tidak tertarik lagi dengan taruhan itu---apalagi karena banyaknya sponsor yang tertarik dengan softwarenya--- dengan sedikit rasa bersalah menceritakan asal mulanya.
Permainan konyol namun laknat itu terjadi ketika salah seorang teman satu ekstra basket Haikal---Onan, menyeletuk dengan nada merendahkan;
"Gee... Haikal katanya lo satu kelompok sosiologi sama si Aneh di kelas lo, ya?"
Haikal menaikkan alisnya ketika anak-anak basket nongkrong di kantin setelah latihan ekstra.
"Farah?" Xavier, yang satu kelas dengan Haikal dan Farah menimpali.
"Iya. Siapa lagi yang Aneh di kelas lo, sih? Bisa dibilang ter Aneh satu sekolahan malah."
"Nggak aneh, ah." Jawab Haikal sambil lalu, lebih tertarik dengan game yang ia mainkan di gawainya.
"Ecie yang belain." Onan tetap kukuh. Haikal tidak menjawab. Terlalu malas.
Lalu anak-anak yang lain yang semula mendengarkan saja, mulai turut berkomentar
"Hati-hati Kal, nanti lo malah demen." seru mereka "Atau dia yang demen sama lo. Tipe-tipe Farah kan kalau suka orang bisa nakutin. Ntar lo diikutin kemana-mana hiii---"
"lalu kalau lo ada cewek lain bisa-bisa lo dikejar-kejar pakai gergaji listrik---" sahut yang lain.
"Anjing dah. Sakit kalian semua." Haikal akhirnya pecah konsentrasi. Ia terkekeh "kebanyakan lihat film pembunuhan lo!"
"Eh tapi ada yang penasaran nggak sih bentukan Farah kalau dia nggak pakai poni sama kacamata aneh gitu?" tanya Alif yang daritadi diam "gue penasaran sumpah."
"Nah iya sih. Jangan-jangan dandan dikit malah kayak Alexandra Daddario." Xavier setuju.
"Nggak mungkin, ah!" Onan yang memulai percakapan ini membantah "semua nggak kayak di film. Buluk ternyata cantik. Aslinya orang cantik mah mana ada yang nyembunyiin kecantikannya. Penampilan itu prestige! Privilege yang nggak semua punya."
"Tapi kalau gitu kebangetan tuh kalau lo jodohin sama Haikal. Lihat yang pernah cipokan sama dia. Qini, Vanya, Berliana... beuh." Xavier menambahkan. Haikal mengumpat ketika skandalnya dibicarakan. Semua tergelak.
"Ya biar dia ngerasa sih gimana cipokan sama yang nggak selevel." Onan tergelak puas.
"Wah parah mulut lo." seru yang lain.
"Tapi gue masih penasaran Farah tanpa poni...." Alif tetap penasaran.
"Gue lebih penasaran Haikal jalan sama Farah." Xavier tersenyum licik.
"Kalau Farahnya nggak mau? Gue kok sangsi itu cewek nggak suka cinta-cintaan."
"Ya mungkin seleranya bukan tiga dimensi kayak kalian. Atau dia lebih demen sama Oppa daripada Cowok Kentang macam kalian."
Haikal menghela nafas mendengar omong kosong bersahutan ini. Sepertinya dia harus pulang lebih awal---ralat, ngeluyur kemana saja asal tidak di sini atau di rumah.
Ke tempat Berliana juga nggak bisa. Berliana sedang kencan dengan pacar resminya. Sialan.
"Gue nggak tertarik apapun omongan kalian." gumam Haikal memasukkan gawainya ke tas. Ia merasa hari ini sedang mengesalkan dan tidak mau harinya jadi jauh lebih buruk.
Mungkin lebih baik dia berkendara sampai malam. Keliling kota menghabiskan bensin.
"Wah nggak bisa. Lo objeknya di sini." Onan menyeletuk.
"Cih, k*ntol lo." maki Haikal bersiap pergi, diikuti protes-protes dan hujatan yang lain.
"Kenapa kalian nggak taruhan aja sih daripada ribut?" Jonathan yang sedari tadi anteng menghabiskan es akhirnya mengeluarkan idenya "kalau kalian penasaran Farah cantik apa nggak, atau Haikal bisa macarin dia apa nggak. Simple."
Lalu Jonathan menambahi "Haikal juga nggak bakal bisa lolos kalo dia ikut taruhan."
Tampaknya ide spontan Jonathan diakui sebagai solusi jenius bagi yang lain. Sebagian besar menyetujui dengan suka cita.
Haikal menyipitkan matanya "nggak ikut-ikut gue."
"Nggak, Kal." Onan menggoyangkan jarinya "lo itu mau nggak mau harus ikut."
"Jadi gimana Jo?" Tanya Alif meminta penjelasan lebih lanjut.
"Gini," Jonathan memulai lebih serius "Yang taruhan dua kubu nih; yang dukung Haikal diterima Farah dan kubu yang ingin Haikal ditolak. Ini kan pas ada enam orang disini kecuali Haikal."
"Terusin." tuntut Xavier.
"Gini aja deh, gue ambil kubu Haikal bakalan dapet Farah sebagai pacar. Siapa sama gue? Gue cuma butuh dua orang." Jonathan mempersingkat penjelasannya.
Alif dan Yahya mengacungkan tangan. Mereka bersama Jonathan mendukung Haikal jadian sama Farah.
"Nah berarti Xavier, Onan, sama Sandi ambil kebalikannya. Kalian yang skeptis si Haikal jadian sama Farah. Gimana?" Tidak ada yang protes.
"Nah kita masing-masing per orang kecuali Haikal pasang tigaratus ribu---sebentar, kalau lo semua protes kenapa jumlahnya dikit, lo harus ingat ini cuma main-main. Apalagi jangka waktunya tuh cuma sampai acara pensi, ya? Dan jelasnya gue lagi bokek."
Jonathan menerima umpatan. Tapi dia tidak peduli. Haikal menghela nafas kesal. Kenapa dia masih mendengar omong kosong ini?
Jika mereka memang kelebihan uang, sebaiknya digunakan ke hal yang lebih penting.
Anak-anak orang kaya ini sepertinya agak miskin otak, batin Haikal lelah.
"Kalau lo bisa pacarin Farah Kal, lo dan yang dukung lo jadian bakal dapet tambahan sembilan ratus ribu dari yang kalah. Tapi kalau lo gagal dan lo ternyata bukan selera si Farah, lo nggak harus bayar. Nothing to lose buat lo."
Haikal tidak menanggapi. Dia berjalan keluar kantin setelah berkata "Terserah lo dah. Bodo amat."
Dan ternyata mereka tidak main-main melaksanakan permainan ini.
Sekarang Farah tidak tahu mana gosip yang menyebalkan; Haikal bermalam di tempatnya atau Dia objek taruhan Haikal.
Rasanya dia ingin segera meminta penjelasan Haikal sendiri. Namun masalahnya, sudah hampir satu minggu Haikal absen. Atau kadang hanya masuk jam kedua lalu hilang lagi saat istirahat dan tidak kembali.
Awalnya guru-guru mencari Haikal, terutama Bimbingan Konseling. Namun kemudian seakan maklum, ketidakhadiran Haikal dapat dimengerti pihak sekolah.
Tampaknya kedatangan Ibu Alka ke sekolah sebagai Tante Haikal beberapa hari yang lalu menjelaskan masalahnya ke khalayak guru.
Dan kini, Farah seperti ditinggalkan sendiri. Seolah dikhianati. Menghadapi gosip yang bahkan sebagian tidak ia mengerti.
Ia menghembuskan nafas lelah. Beberapa kali ia mengalami muntah-muntah. Mungkin karena merasa stress. Tapi sebenarnya daripada tertekan, Farah justru mati rasa.
Seperti berkali-kali sudah dikecewakan manusia dan dia hanya merasa sedikit kebal.
Dan yang lebih membebaninya lagi adalah Awang, seperti bukan tipikal dirinya kemarin.
Farah menyeka wajahnya yang basah sehabis ia cuci di wastafel sekolah, untuk menghilangkan rasa pusing yang semakin menyiksa. Ia melihat jam di handphone nya. Istirahat akan selesai sekitar sepuluh menit lagi.
Farah menuju ke Taman Biologi. Tempat dimana yang ia tahu selama gosip ini beredar adalah tempat anak-anak Citra Nusa yang merasa apatis dengan berbagai drama di sekolah mereka.
Disana, Farah merasakan damai sejenak. Merasa seperti dirinya. Kadang Pak Wawan Si Tukang Kebun mengajaknya ngobrol.
"Nah awewe yang kayak cowok itu kemarin saya lihat udah lebam satu matanya." Komentar Pak Wawan suatu hari kepada Farah. Beliau membicarakan Alka.
Rasain. Batin Farah gembira. Tapi wajahnya statis.
Farah puas gadis itu mendapat ganjarannya. Farah memberi alasan pada dirinya sendiri bahwa senang terhadap bencana orang lain yang menyebalkan diperbolehkan apalagi jika orang tersebut membuatmu kesulitan.
Farah sedang mendengarkan lagu dari handphonenya sambil memberi makan ikan ketika dia mendapat pesan masuk.
Farah tidak terkejut, namun juga tidak menyangka bahwa itu pesan dari Haikal.
Fay.
Farah memandang beberapa saat. Ia tidak tahu apakah ia akan membalas atau mengabaikan. Agar Haikal tahu bahwa dia kesal dengan taruhan itu.
Ya Kal?
Namun Farah tetap membalasnya. Tidak ada jawaban lagi setelahnya. Hanya terbaca saja oleh Haikal. Mungkin mengerjai Farah sudah jadi hobi baru bagi Haikal.
Tapi kemudian nada pesan masuk kembali berbunyi,
bisa ketemu?
Farah tidak melihat Haikal masuk kelas. Tidak juga beredar dimanapun di sekolah.
ngomongin apa, Kal? kamu dimana? kapan?
Satu pesan untuk menjawab semua pertanyaan yang ingin disampaikan Farah.
Banyak. Sekarang kalau bisa. Aku di belakang sekolah.
Farah tidak mengerti maksudnya. Apa maksud Haikal? Ia mengetik lagi.
Kamu pengen aku bolos?
Jawabannya datang tidak sampai tigapuluh detik.
Iya.
Farah yang tidak segera menjawab. Ini membuatnya gamang. Apa-apaan menyuruh seperti itu? Haikal hutang banyak penjelasan kepadanya tapi jika menyuruh bolos rasanya agak berlebihan.
Bukannya Farah merasa sebagai siswa teladan atau apa. Farah malah sering bolos di masa lalunya. Tapi jika permintaan seenaknya seperti ini, rasanya kok kesal ya?
Farah ingin mengabaikan saja pesan Haikal, toh jika ia memang ingin bicara, Haikal bisa ke sekolah menemuinya. Atau langsung saja ke rumahnya seperti yang sudah-sudah.
Farah bangkit dari tempatnya duduk. Tidak tertarik lagi menikmati tanaman dan memberi makan ikan. Bahkan tidak tertarik mendengarkan lagu.
Namun handphonenya kembali berbunyi. Kali ini bukan pesan. Namun panggilan masuk. Farah menerimanya.
"Fay," panggil Haikal "Maaf kalau permintaanku berlebihan. Tapi kamu satu-satunya orang yang aku ingin temui.Sekarang. Aku ingin kita bolos hari ini."
"Kal, sebentar... Ini ada apa? Kalau mau ngomong sekarang juga bisa lewat telepon." jawab Farah tenang.
"Farah," nada suara Haikal lemah. Tampak lelah dan putus asa "Aku pengen ketemu kamu. Setelah itu mungkin nggak akan ada lagi pertemuan antara Haikal-Farah seperti dulu."
"Tunggu, ini maksudnya gimana?" cerca Farah "Kal?"
"Aku hanya mau jelasin secara langsung. Tatap muka. Kalau kamu setuju, ada pintu keluar di kantin paling pojok. Biasanya anak-anak yang akrab sama pemiliknya bisa bolos dari situ."
Farah semakin tidak mengerti. Haikal terdengar seperti bukan 'Haikal'. Ini seperti Haikal yang datang ke rumahnya tengah malam.
Sinis dan rapuh.
"Haikal, ada apa ini?"
"Aku janji setelah ini keadaan akan baik buat kita. Terutama buat kamu." balas Haikal tanpa menjawab detail pertanyaan Farah.
Farah tidak menjawab. Dia tidak bisa memberi putusan secepat itu.
"Kalau kamu setuju, bilang saja sama pemilik kantinnya kalau kamu akan ketemu sama aku di luar. Aku akan jemput kamu di gang belakang sekolah."
"Kal, kamu bisa ngomong di sini sekarang tanpa perlu masuk kelas. Kalau kamu nggak nyaman sama gosip yang beredar," Farah menekankan kalimat terakhir, agar hanya Haikal tahu Farah juga butuh penjelasan "kita bisa ketemu pulang sekolah."
"Fay---"
"Maaf, Kal. Tapi aku tahu skala prioritas. Prioritasku adalah untuk tidak 'menyiram bensin di api yang berkobar."
Tidak ada jawaban dari Haikal. Lalu helaan kekecewaan terdengar.
"Baik. Aku ngerti, kok Fay. Maaf ya sudah ngrepotin macam-macam." Terdengar suara Haikal yang lapang dada "terimakasih buat semuanya."
Sambungan putus. Farah terpekur. Ia tetap memandang layar handphone nya untuk waktu yang lama.
Farah merasa benar. Ia merasa telah melakukan hal yang benar untuknya dan ia bangga.
Ia bangga bahwa ia memberi Haikal peringatan agar Haikal tidak mempermainkan dirinya.
Ia bangga bahwa akhirnya Awang berhenti merecokinya---walaupun Farah turut sedih dengan apa yang terjadi.
Namun entah kenapa, dia tidak merasa lega.
********
Awang duduk terdiam di bangku kelasnya. Diluar kesadaran, jemarinya mengetuk-ngetuk meja pelan dan ritmis. Melinda yang duduk di depannya sembari membaca kisi-kisi ujian tengah semester, terganggu.
"Wang, sumpah ya." Melinda menahan kesal "berisik, tau."
Tapi Awang tampak tidak peduli. Gosip-gosip aneh yang ia dengar akhir-akhir ini serta hal-hal yang terjadi dengannya kemarin jauh lebih mengganggu daripada sekadar gerutuan Melinda yang pecah konsentrasi.
Gosip soal Farah.
Dan soal bahwa kenyataannya sekarang ia di'hukum' oleh Pak Triman. Tapi sekarang setelah dipikir-pikir, hukuman itu tidak ada apa-apanya
Awang tidak tahu awal mula atau secara lengkap gosip tentang Haikal-Farah . Dia hanya mendengar bahwa kakaknya itu berhubungan dengan Haikal.
Dan masalahnya---yang membuat Awang terusik--- adalah hubungan itu bukan sejenis pacaran. Lebih kacau dari itu.
Farah membolos dan tidur bareng Haikal? Yang benar saja. Kakaknya itu bahkan tidak pernah berani menatapnya dalam waktu yang lama.
Tapi... jika itu Haikal, yang mana Awang pun tahu reputasinya dengan siswi-siswi di sini, mau tidak mau perasaan Awang jengah juga.
Apalagi Awang pun tahu Haikal adalah satu dari amat sedikit orang yang sekarang ini bisa mendekati Farah.
Dan taruhan yang ia tahu sejak lama itu sekarang telah menyebar ke seluruh sekolah.
Padahal Awang juga berupaya membuat Jonathan terlalu sibuk untuk sekadar mengingat itu, tapi toh bocor juga.
Melinda menyerah. Ia lalu menutup buku, lalu membalik kursi menghadap Awang.
"Lo kepikiran gosip soal Farah? Atau kepikiran soal keputusan Pak Triman?" Cerca Melinda.
Awang mengangkat bahu. Enggan menjawab verbal. Tipikal Awang jika ada yang mengganggu pikirannya. Apalagi sampai diingatkan hal yang kurang menyenangkan. Melinda tahu itu.
"Jujur aja, kalau soal keputusan Pak Triman gue nggak bisa bantu." Ujar Melinda ada nada simpati "tapi kalau soal Farah, gosip itu bikin Farah keliatan negatif. Jatohnya jelek semua buat dia."
Awang tahu. Ia lalu menyandarkan diri sembari melihat keluar jendela.
Ia tahu mana yang lebih mengusik otaknya saat ini.
Gosip Haikal menginap di rumah mereka dan hanya berdua dengan Farah membuat imej Farah bagaikan cewek murahan.
Atau cewek kuper---kurang pergaulan--- putus asa yang merendahkan diri agar dekat dengan lelaki.
Gosip Farah dijadikan ajang taruhan juga bukannya membuat imej Farah membaik, justru semakin buruk. Farah dicap sebagai cewek yang putus asa mengejar perhatian lelaki namun berakhir tragis karena hanya dipermainkan.
Andai saja waktu itu Awang tidak kembali ke rumah Nenek mereka. Jika saat itu Haikal datang, Awang tinggal mengusirnya tanpa peduli masalah Haikal, tidak peduli Haikal nantinya menyebarkan fakta bahwa Awang dan Farah tinggal serumah.
Fakta Awang-Farah serumah dan saudara angkat jauh lebih baik daripada gosip Haikal-Farah tidur bersama.
"Gue ada ide sebenarnya soal Farah." Ujar Melinda. Awang menoleh, menatap Melinda, meminta dia mencetuskan pikirannya itu.
"Pertama, lo minta Jonathan ngumpulin siapa-siapa yang ikut taruhan. Minta mereka menghentikan permainan konyol mereka dan bilang ke anak-anak taruhan itu cuma bercanda. Cuma asal ngomong."
Jika ada kata 'pertama', pasti ada ide yang lain.
"Kedua---uhm gue nggak nyaranin sih, cuma gue kesel aja--- temuin Haikal terus hajar. Minta dia minta maaf sama Farah secara terbuka."
Awang sebenarnya sudah punya rencana itu tanpa perlu Melinda mengutarakannya.
Menghajar Haikal adalah hal pertama yang ia pikirkan ketika gosip tentang kakaknya beredar.
Tapi apa yang terjadi ketika emosinya lebih maju dulu? Akibatnya adalah kejadian kemarin. Jadi Awang sekarang harus berpikir dua kali jika ingin menggunakan tangannya untuk baku hantam.
"Ketiga, lo nembak Farah." Melinda menambahkan "nanti gosip itu anyep, soalnya ada yang lebih heboh.
"Ngawur."
Melinda terkikik "tapi lo pengen kan?"
Awang tidak menjawab, hanya memandang tajam Melinda lalu ia berdiri, keluar kelas.
"Hei, jangan keluar kalau muka lo lebam kayak gitu! Nanti penggemar lo menggila!" panggil Melinda, tapi Awang tidak peduli. Melinda menggelengkan kepala.
"Pake malu-malu segala. Noh lihat telinganya, merah." Gumam Melinda meringis melihat reaksi malu-malu Awang yang tidak kentara itu sembari melanjutkan membaca rangkuman.
Sumber pengganggu belajar sudah pergi.
*****
Awang keluar. Bersandar di dekat kelasnya sembari melamun. Ia jadi teringat beberapa hari lalu. Ketika ia memergoki beberapa geng cewek membuli kakaknya. Menjodohkan kakaknya dengan anak aneh lainnya.
Bagi mereka mungkin lucu. Tapi bagi Awang tidak.
"Siapa memangnya cocok?"
Awang masih ingat menatap cewek bernama Ruly itu tajam. Tatapan Ruly seketika membulat terkejut.
Sebenarnya Awang tidak perlu bertanya. Awang tahu bahwa Ruly dan temannya menjodohkan kakaknya dengan Farrell, cowok yang sebenarnya pintar. Hanya saja tipe yang kikuk dalam pergaulan sosial. Bahkan kabarnya sangat 'Anak Mama' dan pakaiannya yang amat sangat---geek.
Jika itu bukan Farah, Awang mungkin akan setuju. Atau justru tidak peduli.
"Farrell sama Farah," jawab Ruly cerah, menguasai keterkejutannya dengan baik "cocok kan? Bukan karena penampilan mereka loh... Tapi kayaknya mereka tuh setipe. Apalagi inisial namanya."
Farrell dan Farah. Awang membatin.
"Tapi memang Farah kenapa?" Tanya Awang dengan intonasi yang biasa "bukannya tadi... Sama Haikal?"
Melihat kakaknya mengejar Haikal lah akhirnya membuat Awang berada di sini. Kenapa Farah dan Haikal membuat adegan mencolok begitu? Membuat banyak pasang mata menonton lalu berakhir dikerjai oleh cewek-cewek sial ini.
"Oh itu mungkin karena gosip itu." Cewek satunya yang menyahut. Awang tahu namanya Anin, salah satu siswi yang cukup terkenal karena sering melabrak adik-adik kelas.
Astaga, tipikal. Batin Awang.
"Gosip?"
Tapi Awang tidak tahu ini. Gosip apa? Apa yang terjadi?
"Jadi tuh gini," Ruly akhirnya bercerita dengan penuh semangat, tatapannya berbinar menatap Awang . Memberikan hasil percakapan grup kelas yang menjadi awal mula gosip heboh di sekolah mereka pagi itu.
"Aku nggak peduli sama hal-hal macam gini, kayak nggak worth buat kita, kan?" komentar Ruly ketika dia selesai menceritakan semua "tapi nggak bagus juga buat nama sekolah."
Awang tidak menjawab. Rahangnya mengeras dan lehernya berkedut.
Mendapati Awang tidak menanggapi, Ruly menyadari bahwa dia salah berucap. Dia tidak tahu alasannya, tapi perasaannya mengatakan demikian.
"Tapi aku sebenernya kasihan sama Farah. Belum tentu juga itu benar. Makanya aku tadi bilang Farah tuh cocok sama Farrell. Ya siapa tahu kan gosip nggak enak itu jadi hilang gara-gara Farah dan Farrell jadian. Ya kan, Nin?" tanya Ruly meminta legitimasi atas perkataannya. Anin reflek mengangguk.
Tapi Awang hanya terdiam. Ia menyerahkan lagi handphone Ruly, menggumamkan kata terimakasih yang nyaris tidak terdengar lalu melangkah pergi dengan langkah lebar.
Awang saat itu ingin menghajar Haikal, menghajar Alka, bahkan menghajar Farrell. Tapi yang ia lakukan hanya meninju tembok hingga tulang phalanges nya nyeri. Awang hanya bergumam pada dirinya sendiri bahwa dia tidak boleh gegabah.
Setelahnya dia berusaha menelepon kakaknya itu. Tapi tidak pernah tersambung. Akhirnya malam harinya, dia pulang. Mendapati Farah sudah tertidur.
Baru di pagi harinya, ia dapat mencerca Farah perihal gosip itu. Namun jawaban Farah hanya beberapa kalimat pendek.
"Lo nggak perlu khawatir. Pulang ke rumah Nenek aja. Di sana lebih butuh lo."
Jujur saja Awang gusar. Gemas juga dengan jawaban pasrah nan ambigu Farah. Lagi-lagi bersikap seperti orang asing. Tembok tak kasat mata itu masih berdiri di antara mereka.
Apa Farah pikir dia protagonis sinema elektronik dimana masalah itu bisa selesai dengan sendirinya dengan berkata 'gue nggak apa-apa'? Seperhatian apapun Awang kepada Farah, Awang memiliki toleransinya sendiri.
Tidak sadarkah cewek itu bahwa dia dikhawatirkan?
Dan akhirnya Awang mengambil pilihan yang diminta Farah. Ia pergi.
Mau berapa jarak lagi yang akan dia ciptakan jika ia mendorong Farah terlalu jauh?
Lagipula Awang sudah terlanjur membuang kesempatan untuk memperpendek jarak itu.
Awang hanya ingin mengamati sampai kapan gosip itu bertahan, tapi yang terjadi malah terjadi rentetan gosip lainnya yang membuatnya semakin tidak tenang.
Sial. Awang sungguh ingin menghajar Haikal lalu meninju dirinya sendiri.
Awang menghela nafas lagi. Masih bersandar di dinding sembari menjawab beberapa sapaan siswa-siswi lain.
Meladeni kekhawatiran mereka terhadap sudut mulut dan mata Awang yang berwarna biru pudar. Bahkan terlihat agak membengkak. Beberapa guru pun bercengkrama sejenak dengannya. Memberi dukungan.
Bagi sebagian penghuni Citra Nusa, melihat Awang terlihat seperti itu, menganggur dan melamun sangat jarang terjadi.
Tapi bahkan hal tersebut tidak mengurangi karismanya.
Tatapan Awang bersirobok dengan tatapan tajam seseorang ketika ia selesai berbicara dengan guru kesiswaan. Tatapan yang tidak peduli bahwa siswa lain memandangnya menghakimi, cenderung mencemooh.
Tatapan seperti ingin menghajar Awang. Lagi.
Namun bukannya takut, Awang malah membalas dengan tenang.
Alka, si pemilik tatapan, lalu melengos. Lebam di wajahnya masih keunguan. Lebih parah karena sebagian matanya tertutup.
Awang hanya mendengus. Setidaknya yang ini mendapat balasannya, batin Awang.
Noda kebiruan di wajah Awang adalah perbuatan Alka. Sebaliknya, Awang lah yang menciptakan lebam di wajah Alka tersebut.
*******
Dan semua terjadi bermula ketika Awang melihat latihan ekstra beberapa beladiri untuk pertunjukan pensi, dua hari setelah gosip Farah-Haikal menjadi buah bibir di sekolah mereka. Sehari setelah Awang mengetahuinya dari Ruly.
"Jadi ini nanti ditampilin waktu kapan Wang?" Pak Sofyan pembina karate bertanya. Di sampingnya ada Taruna, anak kelas duabelas sekaligus ketua karate.
"Sebelum acara puncak yang malam hari itu, Pak. Semua beladiri bakal tampil setelah pertunjukan Pramuka. Karate, judo, pencak silat sama tae Kwon do memperagakan bersamaan."
"Hah? Emang nanti nggak ribet?" tanya Pak Sofyan.
"Venue kita besar, justru lebih hemat waktu dan lebih meriah. Ini idenya Kak Widya pelatih pencak silat waktu ikut PON kemarin."
"Oh, iya iya," Pak Sofyan mengangguk "Jadinya gimana nanti?"
"Begini," Awang membuka catatan dan mulai mencoret-coret, membentuk sketsa asal-asalan "kiri kanan nanti diisi tim kata karate sama judo. Nanti mereka akan gerakin tehnik mereka, lalu mereka nanti pindah ke belakang---"
Awang membuka catatan baru "ini nanti tim tae kwon do yang maju. Mereka nampilin aerobic tae kwon do. Nah di sela-sela mereka nanti setelah lagu tae kwon do selesai, tim pencak silat maju ke depan, nampilin artistic pencak silat."
"Lah nari sama gerakan dong mereka? Emang legal?"
Taruna kemudian ikut berceloteh "Nggak apa-apa Pak. Kan namanya juga seni beladiri. Ada 'seni' nya juga. Bapak buka yutub pasti banyak kok Pak."
"Nah, tim karate kita kok nggak kayak gitu juga?" serang Pak Sofyan "kalau kata* doang ya nggak seru."
"Repot, Pak!" kilah Taruna "tau sendiri anak-anak karate kita susah banget disuruh-suruh apalagi disuruh bikin gerakan tari sama tehnik. Ntar malah mogok latihan semua."
Pak Sofyan menggeleng pelan "salah rekrut ketua nih kayaknya"
Awang menahan tawa, Taruna menahan senyum kesal. Taruna dan Awang ditinggal berdua.
"Eh, Alka itu anak kelas lo bukan?" Taruna tiba-tiba bertanya setelah berseru kepada anak kelas satu yang salah gerakan.
"Bukan." jawab Awang singkat. Tiba-tiba rautnya keruh sekilas "kenapa?"
"Dia dulu pernah ikut kejuaraan karate nasional pas SMP, kan? Masa lo nggak tau?" ujar Taruna "waktu masuk dulu gue sempet nawarin dia. Tapi dia nolak."
Awang tidak menjawab. Dia sudah dengar banyak rumor tentang anak itu.
Perundungan, perkelahian, merokok, membolos, melanggar banyak aturan dan berpenampilan bertolak belakang dengan gendernya.
Tapi Awang juga tahu bahwa anak itu dulu waktu SMP selain pernah menjadi atlit karate, juga pernah satu karantina dengannya untuk mengikuti olimpiade sains---hanya saja berbeda bidang.
Yang terbaru, dialah yang membuat Farah menjadi bahan obrolan di sekolah.
"Sengak banget waktu gue nawarin dia. Apalagi bilangnya karate so yesterday gitu. Asem bener." Taruna lalu menoleh ke Awang "Kayak lo."
Awang hanya tersenyum miring sembari mendengus.
"Lo beneran nggak mau lanjut lagi nih?" tanya Taruna.
"Mungkin pas kuliah." jawab Awang singkat.
"Lo pasti banyak lupa tehniknya. Lama nggak latihan gitu."
"Nggak bakal. Gue kan pinter."
"Asem."
Taruna mendorong bahu Awang kesal sambil tergelak bersama.
"Gue mau lihat latihannya judo ya." Awang menepuk bahu Taruna, dan dibalas dengan lambaian tangan oleh Taruna.
Awang memang sempat ikut karate hingga dan satu---tingkatan pertama dalam sabuk hitam. Namun Awang berhenti karena banyaknya kegiatan dan ia lebih mengejar nilai akademik. Anggota karate di dojo tempat dia biasa latihan menyayangkan keputusannya namun juga maklum.
Bagaimanapun Awang bukanlah orang serba bisa. Dia punya limit---tidak bisa melakukan semuanya sekaligus. Harus ada skala prioritas. Bahkan sekarang dia meninggalkan ekstra apapun yang pernah dia ikuti untuk lebih konsen di OSIS.
Baru beberapa langkah ia menuju tempat judo, langkahnya terhenti ketika melihat dua orang siswi yang agak gelagapan di belakangnya.
Rena. Gadis kelas sebelah yang pernah mengajaknya naik gunung.
Dan Alka, yang memandang Awang dengan tatapan marah namun juga ingin tahu. Sejenis ingin tahu yang meremehkan.
Speak of the devil.
"Halo Wang." Sapa Rena. Ramah dan bersemangat. Rupanya ketika Awang memberinya kejutan soda itu, Rena tidak menganggapnya sebagai kesengajaan.
Awang mengamati penampilan Rena; memakai dogi---seragam karate. Dengan sabuk kuning. Berarti dia belum lama ini ikut ekstra bela diri ini. Tubuhnya berkeringat.
"Sekarang ikut karate?" Tanya Awang tersenyum kecil.
"Ah, iya..." Sahut Rena malu-malu sembari menggaruk lehernya "disaranin Alka sih. Katanya biar lebih sehat."
Awang menatap Alka sekilas. Tidak mau ikut tapi malah menyarankan orang lain.
Awang tidak ingin terlalu lama berbasa-basi, jadi dia berniat pamit. Namun Alka malah berseloroh.
"Flower boy kayak lo ternyata pernah ikut karate, ya?"
Rena mendelik ke arah Alka. Awang menautkan alis. Mereka mendengar pembicaraannya dengan Taruna ternyata. Awang tidak tahu kenapa Alka harus terdengar sekesal itu. Mereka tidak menjelek-jelekan dirinya.
Tapi dibilang tampan dia sudah terlalu sering. Dijuluki flower boy?* Ini jelas pertama baginya.
"Oh." Jawab Awang singkat " Iya pernah."
Ia tidak tahu rasa kesalnya karena seloroh Alka tentang dirinya, atau fakta bahwa dialah yang membuat rumor tentang kakaknya.
"Kenapa? Biar nggak keliatan loyo?" Celetuk Alka pedas. Awang tertawa dalam hati. Nyinyir juga cewek tomboy ini.
"Ah, gue harus ke klub sebelah ya." Awang pamit. Tidak mau meladeni. Tapi tampaknya Alka tidak ingin membuatnya menjadi percakapan singkat.
"Udah sabuk apa lo? Taruna bilang apa aja soal gue?"
Awang menghela nafas sabar "Taruna cuma menyayangkan kenapa lo nggak ikut karate."
Alka berdecih. Rena semakin mendelik, menyenggol bahu Alka berkali-kali. Tapi Alka bergeming. Tatapannya kepada Awang semakin tajam.
"Jadi, lo udah sabuk apa cowok cantik?" Tuntut Alka.
Awang sebenarnya cukup lelah menanggapi. Ia ingin diam dan tidak peduli maka dia hanya tersenyum pendek lalu segera berlalu dari hadapan mereka.
Melihat Alka saja sudah membuat dirinya jengah. Apalagi jika harus meladeni polahnya. Dia ingin segera menghirup udara segar untuk mendinginkan kepalanya.
Tapi Alka malah menarik bahu Awang keras. Ia tersinggung diabaikan oleh Awang.
"Heh cemen! Gue belum selese---"
"HEI!" Bentak Awang. Tiba-tiba kepalanya penuh. Emosinya keluar begitu saja.
Awang menyadari hal tersebut. Tapi baginya terlambat untuk menguasai diri. Terlambat untuk menampilkan sosok dia yang biasanya.
Lagipula, cewek ini harus diberi sedikit pelajaran.
"Kamu nggak tahu ini namanya pelecehan?!" Awang menghardik keras. Seluruh anggota karate di dalam dojo langsung berhenti berbicara,bahkan bergerak. Taruna bahkan sampai lupa menutup mulutnya
Suasana tiba-tiba menjadi tegang. Pandangan semua mata bertanya-tanya.
Suara Awang yang terkenal dalam menentramkan dan ramah tiba-tiba menggelegar seperti itu jelas sekali ada yang salah. Salah banget.
Semua mengamati ketiga orang yang masih berdiri di dekat pintu masuk dojo karate Citra Nusa.
Rena, yang tidak melakukan apapun, melihat sekeliling dengan salah tingkah. Ia serba salah di tempatnya.
Alka melebarkan matanya terkejut. Dibentak di hadapan banyak orang dengan tuduhan yang baginya nggak masuk akal.
"Ap---Apaan sih lo? Gue nggak ngapa-ngapain lo!" Desis Alka tersinggung. Agak gelagapan juga.
"Kamu pegang-pegang saya padahal saya nggak suka. Kenapa kamu kekeuh harus mendengar omong kosong kamu soal saya ikut karate ?" Awang memakai bahasa yang agak baku, merendahkan suaranya.
Seolah percakapan itu hanya untuk dia dan Alka.
Tapi seluruh orang di tempat itu bisa mendengar mereka. Karena tidak ada yang bersuara. Senyap. Dengan begini, semakin menekankan bahwa Awang tidak main-main.
"Cih, pelecehan apaan sih? Lo itu cowok!" Tantang Alka, justru sekarang dia yang mengeraskan suaranya. Ia butuh membela diri. Mana ada cowok yang merasa terlecehkan?
"Pelecehan itu nirgender. Mau kamu itu laki-laki, perempuan, transpuan sekalipun---kalau kamu nggak suka dipegang orang lain, namanya pelecehan. Jangan bawa-bawa kelamin untuk membela diri!" Awang mendesis tajam. Justru suara dalam dan beratnya membuat desisan itu semakin mencekam.
Awang tidak perlu melanjutkan perkataannya, ia melangkah menjauh. Dengan begitu dia akan menegaskan bahwa di dekat Alka, dia tidak nyaman.
Dan itu akan memberi persepsi kepada orang-orang dalam ruangan itu bahwa Alka lah pihak yang salah.
Apalagi hal ini akan semakin berhasil karena Alka dikenal sebagai pembuat masalah.
Sebagian orang akan berpikir bahwa Awang berlebihan, tapi Awang tahu bahwa apa yang ia lakukan justru memberi efek sebaliknya kepada sebagian besar yang lain.
Khalayak akan menjadi pejuang keadilan sosial bagi Awang. Dan itu benar.
Sepeninggalan Awang, semua mata tertuju untuk menyalahkan Alka. Apalagi bagi anak-anak karate yang merasa direndahkan oleh Alka sejak awal, momen ini adalah saat yang tepat untuk menjadikannya pesakitan.
Dan rumor Alka yang berbuat kurang ajar kepada Awang dengan cepat menyebar. Tidak ada yang berani merundungnya, memang.
Tapi tatapan benci dari siswa bahkan banyak guru serta hujatan dan sindiran membuat Alka jengah juga.
Awang mengira itu sudah cukup untuk membalas apa yang dia lakukan kepada Farah. Namun ternyata lagi-lagi Awang bisa salah soal Alka.
Alka bukanlah orang yang diam menyepil jika menjadi musuh publik. Dia adalah pendendam. Dan targetnya kali ini adalah Awang.
Tepat dua hari kemudian, hal itu terjadi.
Awang yang sedang mengerjakan dan menerangkan soal-soal latihan untuk Ujian Tengah Semester bersama beberapa teman sekelasnya sepulang sekolah, dihampiri salah seorang panitia dengan raut pucat dan tergopoh-gopoh.
"Ngg... Kak Awang bisa ikut sebentar? Ini penting..." Nada suaranya tercekat dan Awang tahu ada yang salah. Awang segera membereskan bukunya dan mengikuti siswa tersebut.
Mereka sampai di gudang belakang, tempat beberapa peralatan untuk persiapan Pensi di simpan.
Di sana, Awang mendapati beberapa anak OSIS, panitia dan Dewan Siswa sudah ada di sana dengan raut yang sama ngerinya.
Gagas, Ketua Dewan Siswa mendekati Awang dengan raut serius.
"Ada yang nyabotase, Wang."
Awang menatap Gagas dengan pandangan bertanya, tapi dia tidak menunggu jawaban. Awang maju untuk melihat sendiri jawabannya.
Dan mendapati kain-kain tenda untuk bazaar kelas telah rusak. Tercabik-cabik. Papan-papan yang rencananya untuk pembatas antar both pun rusak dengan kerusakan yang seperti disengaja.
Jonathan yang ada di sana memaki. Bahkan Gilang pun menatap bingung dan sama kagetnya, walaupun dia agak menikmati kesulitan yang dialami anggota OSIS, terutama Awang.
Tampaknya, nggak hanya gue yang mau terang-terangan musuhin ini Bangsat, batin Gilang. Agak puas bahwa masih ada pembenci Awang di sekolah ini.
Awang berkeliling melihat kerusakan. Rencananya, mereka akan membuat bazaar kelas seperti exhibition atau pameran modern; berada di bawah tenda luas seperti tenda sirkus dengan masing-masing both di pisah papan kayu.
Namun dengan kain yang sebagian besar rusak dan papan hancur, Awang tampak sedikit gamang.
"Kemarin udah kita kunci. Semua baik-baik aja sampai tadi pagi." suara salah seorang panitia bagian dekorasi mencicit gemetar. Syok.
"Berarti ada yang masuk setelah itu?" tanya Awang.
"Iya..."ujar yang lain lemah "Maaf, kita lupa kunci lagi setelah cek."
Rahang Awang mengeras. Mereka jelas tidak bisa mengeluarkan dana lagi untuk menyewa ataupun membeli bahan-bahan yang ada.
"Kita nggak pakai kelas aja kayak tahun kemaren?" tanya Jonathan memberi usul.
"Ruang kelas harus steril tahun ini. Tahun kemarin karena dibuka untuk umum, beberapa kelas sempat mengalami kerusakan sama barang inventaris hilang. Makanya tahun ini bazaarnya diganti di lapangan." Sahut Maher, salah satu anggota OSIS dari Sekbid Ketakwaan.
Semua terdiam lagi. Termangu.
"Pak Triman dan pihak sekolah harus tahu ini." Ujar Awang tenang "Bagaimanapun yang seperti ini pihak sekolah harus tahu. Jangan bertindak sendiri sebelum ada keputusan dari Dewan Guru. Kalau ceroboh, urusan akan semakin panjang."
Dewan Siswa menyetujui pendapat Awang. Hal sebesar ini tidak mungkin disembunyikan dari pihak sekolah.
Urusan pihak sekolah lepas tangan atau membantu nantinya, itu urusan belakangan.
Gilang malah memutar mata mengejek. Baginya OSIS sangat pengecut dan mati pikir karena ditempa kesulitan 'kecil' seperti ini.
Sampai-sampai harus mengadu ke guru segala.
Awang melihat Naila, sosok dari sekbid Bakat Minat yang melihat-lihat situs pencarian gambar.
Awnag seperti tersadar sesuatu.
"Boleh pinjem?" Awang menunjuk handphone Naila. Naila yang sedikit terkejut, mengangguk. Awang terlihat melihat layar handphone dengan serius.
Awang lalu mulai mencoret-coret di buku catatan soalnya, tampak bersemangat. Untuk beberapa saat tidak ada yang berani mengganggunya.
Setelah beberapa saat, Awang menatap satu per satu yang hadir di sana. Lalu menyodorkan catatannya.
"Ini adalah konsep baru kita. Aku akan ke Pak Triman melaporkan hal ini sekaligus mengusulkan konsep baru, jika kalian setuju."
Awang dan yang lain segera berembuk dadakan di tengah gudang. Konsep baru yang Awang buat tidak memakan banyak biaya, masih bisa tercover dengan sisa uang.
Semua kagum dengan konsep baru Awang, lebih tepatnya kagum dengan pemikiran cepatnya.
"Kalaupun nanti kurang, aku bersedia untuk ikut nyumbang. Nanti tulis saja di PJ itu dana bantuan lain-lain." Gagas menimpali, disetujui oleh yang lain. Gilang memilih diam.
Jadi setelah menemui Pak Triman, guru pembina OSIS dan pembina acara pensi, Awang sempat mengantar Pak Triman melihat kerusakan yang terjadi.
Wajah Pak Triman sama kerasnya dengan Awang tadi.
"Bapak nggak keberatan sama konsep yang baru tadi,malah kayaknya lebih bagus." Ujar Pak Triman tegas "tapi jelas Bapak ingin tahu siapa pelakunya dan apa tujuannya? Kurang ajar sekali sampai merusak seperti ini."
Awang juga ingin tahu jawabannya.
Tapi Awang yakin, entah intuisi dari mana, bahwa pengrusakan hari ini ada kaitannya dengan dirinya.
Pak Triman akhirnya memutuskan untuk tidak memberitahu Kepala Sekolah masalah ini karena sudah terselesaikan dan mencegah keadaan semakin rumit.
Hanya saja beliau tetap ingin mencari tahu pelakunya.
Jonathan melirik Awang, seperti isyarat non verbal bahwa ia ingin menunjukan sesuatu. Awang beringsut ke arah Jonathan.
"Gudang nggak punya CCTV." Ujar Jonathan. Awang mengangguk. Gudang ini sangat jarang dipakai. Tempatnya yang terpencil dan tersudut menjadi tempat yang kurang populer untuk siswa.
Kecuali siswa tersebut berniat bolos satu atau dua mata pelajaran.
Dulu bekas kelas lama, tapi karena semua kelas di pindah ke gedung baru yang lebih bagus dan terpusat, maka kelas ini lama-lama diabaikan dan menjadi ruang penyimpanan bangku rusak.
Tidak ada yang istimewa dari tempat itu, bahkan sering beredar rumor horor tentangnya. Maka dari itu pihak sekolah tidak memasang CCTV di sana.
"Tapi ada satu CCTV aktif di lorong sana. Karena lorong itu satu-satunya jalan kalau mau kesini, jadi kita bisa lihat siapa aja yang kesini hari ini."
"Jadi kita tinggal minta rekaman di ruang sekuriti depan, kan?"
Jonathan mengangguk "tapi nggak usah. Gue udah minta tadi. Pake surat pengantar OSIS, hehehe."
Awang menepuk punggung Jonathan sebagai ucapan terimakasih.
Begitu semua sudah bubar dan Awang membiarkan para panitia bekerja lagi, dia dan Jonathan lalu melihat rekaman tersebut di ruang OSIS.
Pagi hari, seperti cerita dari salah satu panitia tadi, hanya dua orang panitia yang melewati lorong. Dua kali.
Lalu beberapa kumpulan siswa bandel yang tampak tertawa-tawa di layar. Enampuluh menit kemudian mereka kembali melewati lorong tersebut untuk pergi---mungkin kembali ke kelas mereka.
Mereka hanya sekumpulan siswa yang membolos satu mata pelajaran.
Setelah itu sepi untuk beberapa saat sebelum akhirnya muncul tiga orang siswa.
Salah satunya Alka.
Namun tidak sampai tigapuluh menit, mereka kembali melewati lorong.
Jonathan membuka suara setelah rekaman selesai di mana panitia melewati lorong lalu kembali lagi dengan berlari "Berarti selain panitia, ada dua kelompok tersangkanya---"
"Gue udah tahu." Potong Awang. Rahangnya kembali mengeras. Ia menahan semua luapan emosi. Lalu ia melihat Jonathan.
"Gue udah tahu siapa yang ngerjain kita."
************
*Kata (dalam karate): bentuk/pola gerakan jurus.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top