V : Asal mula wabah
Melewati semak belukar, bebatuan terjal, hingga mengarungi sungai. Itu semua tidak sia-sia dengan Verze yang sampai di sebuah rumah kecil, tempat yang menjadi tujuan pemuda itu, dia masuk setelah mengetuk pintunya sebentar. Sementara itu, Verze hanya bisa mengamati dari balik semak-semak dan menunggu dia keluar.
"Leina, apakah kamu sungguh tidak memerlukan ku untuk ikut denganmu?" tanya pemuda itu yang keluar bersama seorang gadis berambut hitam.
"Kamu bisa menunggu di perpustakaan, ini tidak akan lama—"
Verze terjatuh dan menimbulkan suara ketika tiba-tiba muncul seekor ular besar di depanku dengan menunjukkan taringnya.
"Siapa disana?! Keluar atau akan ku hanguskan!!" seru gadis itu sambil mengangkat tangannya yang berkobar api biru.
Verze terkejut melihat api itu dan menelan ludah gugup, teringat dengan perkataan kakak tentang bahaya api biru. Entah kenapa aura gadis itu cukup kuat sehingga para hewan menjauh seolah merasakan predator dan bergegas sembunyi. Sebelum Verze bisa bertindak apapun, api biru menyala dan melahap semak-semak tempatku bersembunyi, api itu tidak mudah untuk dipadamkan. Bahkan bisa menghanguskan manusia sekalipun. Api biru dengan cepat melahap semak-semak tanpa sisa, sementara Verze terpaku sambil melihat api yang perlahan mengecil dan padam.
Tidak ada jalan keluar, dia juga tidak berniat untuk melarikan diri saat ini, jadi tidak ada pilihan selain dia maju dan menyapa mereka. Dilihat dari raut wajah kedua remaja itu, mereka cukup waspada terhadap kehadiran orang yang tidak diinginkan. Verze mengangkat bahu, berjalan ke depan sambil menatap keduanya dengan tenang tanpa riak di netranya.
Alih-alih merasa terancam dan langsung menyerang, raut wajah keduanya justru melembut dan gadis itu menghela napas lega.
"Ternyata hanya kelinci," ucap gadis itu.
Mengangkat alis heran, Verze berbalik hanya untuk melihat seekor kelinci yang gemetaran di belakangnya seolah-olah melihat ajal di depan mata.
'Mereka ... tidak melihatku,' batinnya sambil termenung.
Ketika Verze kembali berbalik, hanya pemuda itu yang ditemukan dan akan menutup pintu. Tidak banyak waktu untuk memikirkan kemana perginya gadis itu, dia berlari dan bergegas masuk sebelum pintu terbanting pelan di belakang. Berjalan pelan sambil melihat sekeliling rumah ini, ternyata suasananya cukup nyaman hingga membuatnya memiliki niat untuk duduk di kursi dan menyeduh secangkir teh.
Namun Verze mengurungkan niat dan melangkahkan kaki mengikuti pemuda itu, dia menuju ke sebuah ruang perpustakaan kecil, semua buku-buku itu tampak usang dan berdebu, hanya ada satu rak yang berisi buku-buku terawat.
Pemuda itu bersenandung pelan, melangkah mengitari rak-rak buku untuk mencari yang diinginkannya. Sedangkan Verze secara sengaja melihat-lihat buku yang sudah tua, itu tampak lebih menarik dari buku yang memang terawat. Sejarah kota batu, misteri pulau putih, suku kulit biru, pedalaman kota hutan akar. Seulas senyum muncul di wajahnya, Zoey akan menyukainya jika Verze membawa buku-buku ini, dia berbalik melihat pemuda itu menulis di selembar kertas dengan antusias, tapi dia tidak akan membawa buku ini, ada sesuatu yang lebih penting untuk Verze ketahui. Instingnya merasa akan ada sebuah peristiwa untuk beberapa waktu kedepan dan dia percaya itu akan terjadi dalam waktu dekat.
Verze berdiri di belakang pemuda itu, melihat kata demi kata yang dia tulis di kertas. Tulisan ini ... dia tersenyum tipis, menyenderkan punggungnya di rak sambil melihat perubahan raut wajah pemuda itu dari waktu ke waktu. Dengan sentuhan akhir, pemuda itu menyelesaikan tulisannya dan mengangkat kertas puas.
Tanpa diduga, pemuda itu menoleh ke sekeliling sambil mengusap leher bagian belakangnya. Verze mengangkat alis, apakah dia menyadari keberadaan orang lain disini? Verze melihatnya yang seolah menemukan ide dan mengabaikan perasaan sebelumnya.
"Akan sangat biasa jika aku hanya memberikan surat ini, aku harus membuat sesuatu yang dia sukai ...."
"... ah, tentu saja, sihir!" Pemuda itu memekik riang, mendekati rak yang berisi buku-buku tua, dia mengambil sebuah buku tipis dengan sampul usang kemudian membaliknya dan membaca berulang-ulang, berusaha untuk memahaminya sebelum mengambil beberapa bahan-bahan di ruang penyimpanan dan kembali ke perpustakaan, meletakkannya di meja.
Dengan buku di meja sebagai arahan, Verze yang sedari tadi hanya melihatnya mulai mendekat dan melihat buku yang terbuka pada halaman tengah.
Batu cahaya api.
Dibawahnya tertera bahan-bahan serta langkah-langkah membuat batu itu, batu yang sangat dicari karena dapat menambah kekuatan seseorang pada tingkat yang tinggi, tapi dengan bahan-bahan yang langka membuat batu itu hanya ada beberapa di dunia, bahkan di pasar gelap sekalipun. Melirik kertas yang tadi dia kerjakan, dia teralihkan pada tulisan di baris terakhir.
Kayn, yang sepertinya adalah nama pemuda itu. Verze melihat semua bahan-bahan yang dia kumpulkan di meja dalam diam, mengamati di bawah pancaran sinar matahari yang menembus kaca, namun tidak ada bayangan yang dihasilkan. Sementara pemuda itu tengah sibuk meracik ramuan kedalam kuali dan mengaduknya dengan serius, setiap langkah-langkah yang dia kerjakan tampak sangat berhati-hati dan sering melihat kembali ke buku dan tidak menemukan kesalahan.
Cairan di dalam kuali mulai berubah perlahan dari ungu menjadi merah terang hingga sedikit menggelap, asap hitam perlahan muncul dan semakin banyak, menutupi perpustakaan ini. Verze berdiri tegak dan mendekat, pemuda itu panik dan sibuk mengevaluasi semua langkah-langkahnya untuk mengetahui apa yang salah.
Brak.
Gadis yang Verze yakini namanya adalah Leina membuka pintu dengan keras dan langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling, dia sangat panik dan langsung menarik Kayn menjauh dengan Verze yang mengikuti mereka. Ketika kami melewati hutan, terdengar suara dentuman dari rumah Leina, bahkan angin bertiup ke segala arah, menyebarkan asap tipis lalu melebur dengan udara.
Leina berhenti di dekat sungai yang mengalir deras, lalu terduduk di bawah pohon dan menghela napas panjang. Kayn yang diliputi rasa bersalah dan juga bingung, duduk di sebelahnya.
"Apa yang sedang kamu lakukan tadi?" tanya Leina.
Hening sesaat, Kayn tampak bingung harus menjawab apa, namun akhirnya dia menyerah untuk menyembunyikan apa yang dia lakukan beberapa saat lalu.
"Aku sedang membuat batu cahaya api untukmu," jawab Kayn pelan sambil memandang kerikil di depannya.
Leina terdiam dan mengerutkan kening, "bagaimana kamu membuatnya?"
"Buku di perpustakaan mu, aku melihat ada langkah-langkah untuk membuatnya," ucap Kayn menoleh pada Leina.
"Seharusnya asap yang keluar berwarna putih, bukan hitam," ujar Leina.
"Aku tidak tahu, aku sudah mengikuti semua arahan yang ada dibuku itu." Kayn termenung, sementara Leina terdiam dan berusaha mengingat apapun yang berkaitan dengan batu cahaya api.
Semuanya sia-sia, mereka tidak menemukan apapun penyebab insiden tadi. Leina menghela napas, lalu menoleh pada Kayn yang tertunduk diam.
"Kayn," panggil Leina, Kayn menoleh, melihat seulas senyum di wajahnya.
"Sebaiknya kamu pulang sebelum matahari terbenam," ucap Leina.
"Bagaimana denganmu?" tanya Kayn.
"Aku akan tinggal di gua itu," kata Leina sambil menunjuk gua tidak jauh dari sini.
"Kenapa kamu tidak ikut—"
"Tidak akan," potong Leina dengan cepat.
Kayn menghela napas pelan.
"Jaga dirimu, besok aku akan kembali menemui mu disini."
Leina mengangguk, melihat Kayn yang berjalan keluar hutan dengan perasaan tertekan, setelah punggungnya tidak terlihat, Leina segera menuju gua untuk beristirahat.
Verze yang melihat interaksi keduanya dari tadi memilih untuk mengikuti Kayn daripada Leina. Setelah keluar dari hutan, kami melewati pedesaan selama beberapa menit sebelum sampai di sebuah bangunan tinggi dengan menara di sebelahnya.
TBC
Selalu butuh kritik dan saran, jangan lupa vote dan comment nya buat dukung aku, follow akunku juga boleh.
24/7/21
1140w.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top