I : Bermula dari perang
Matahari timbul semakin tinggi, derak kuda terdengar beriringan dengan logam yang bergesek. Ketegangan seolah menyatu dengan udara, disinilah mereka berada, pada gurun pasir yang luas dan panas.
Panglima Cown mengangkat tangannya, seluruh pasukan serentak berhenti ditempat dalam posisi tegap dan siap berperang. Verze menatap pasukan lawan, lalu menatap sang panglima. Dialah Cown, sang panglima perang Kerajaan Eventgarde, mendapat julukan the dark blood. Dia menumpas pasukan musuh dengan berbagai teknik mematikan yang mengecoh musuh.
Verze berbaris di bagian tengah pasukan, mengamati Panglima Cown yang tengah menganalisis kekuatan musuh dalam mata tanpa riak itu. Seseorang menyenggolnya dari samping, Zoey. Verze menoleh lalu mengangkat alis, Zoey berdecak malas.
"Jangan lupakan surat-surat yang kuberikan padamu, itu harus sampai pada keluargaku jika aku tidak kembali," ucapnya dengan serius.
Verze menyipitkan mata kearahnya.
"Hei, aku juga tidak menjamin bisa kembali setelah ini."
"Lalu bagaimana suratku akan sampai pada keluargaku?" tanya Zoey.
"Taruh dalam botol dan hanyut kan ke sungai," kata Verze asal.
"Dimana ada sungai di tempat seperti ini, hah?!" teriak Zoey.
Idiot!
Verze merutuk dalam hati kemudian bergidik merasakan lirikan dari Panglima Cown, dan dia yakin bahwa yang lain juga merasakannya. Melihat Zoey yang langsung tidak bergerak dan terdiam membuatnya ingin tertawa dengan tingkahnya. Verze kembali pada posisi siap dan mendengarkan percakapan basa-basi Panglima Cown dengan panglima lawan, Pinc. Tidak banyak yang dia tahu tentangnya, hanya ada satu fakta dari Panglima Pinc, dia adalah sword kingdom. Dan Verze meyakini bahwa perang kali ini akan menjadi perang yang panjang serta sengit. Dia mengeluh membayangkan perang panjang yang seakan tiada habisnya.
"Perlukah membicarakan sesuatu yang sia-sia sebelum perang?" Panglima Pinc mengangkat suaranya yang setajam pedang.
"Aku pikir kita perlu meredakan udara untuk para prajurit, hahaha."
Verze menyenggol Zoey yang menggigil ringan mendengar tawa Panglima Cown.
"Santai, Zoey."
"Bisakah santai ketika aku merasakan kematian yang seakan hendak menggenggam tanganku," geram Zoey lalu mengeratkan pegangannya pada pedang dan perisai yang dibawa.
Verze mengangkat bahu lalu tersenyum.
"Aku pikir kamu siap untuk berperang."
"Ya, aku sudah siap sejak panglima melirik kita tadi." Zoey menghela napas, sedangkan Verze terkekeh mendengarnya.
"Demi kerajaan, kami pertaruhkan nyawa dan wilayah yang abdi," ucap Panglima Cown dan Pinc seraya mengangkat tangan di dada dan hormat. Seluruh prajurit meniru gerakan panglima mereka masing-masing dan mengucapkan kalimat tadi dalam hati.
"Prajurit, maju dan tumpas."
Suara dingin Panglima Cown secara tidak langsung membuat semua prajurit berkobar dan maju menyerang, sementara pasukan Panglima Pinc juga bergerak maju.
"Semoga beruntung Zoey!" seru Verze bersemangat.
"Doakan aku tidak mati hari ini," ucap Zoey setengah bercanda.
Verze tertawa ringan.
"Kamu tidak akan mati hari ini."
Verze hanya diam di tempat ketika semua prajurit Avantgarde maju, bahkan dia bergerak perlahan kebelakang.
"Kamu akan lari, Verze?"
Verze memutar mata dan berbalik.
"Maaf mengecewakanmu, tapi aku lupa kaos kakiku dan hendak mengambilnya."
Max mengangkat alisnya.
"Masih sama seperti dulu."
"Sepertinya kamu mengenalku dengan baik, lalu biarkan aku mengambil kaos kaki sekarang." Verze berbalik dan berjalan asal tidak tentu arah. Suara tajam pedang dari belakang membuatnya waspada dan menghindar kesamping.
"Maaf mengecewakanmu, tapi aku tidak lupa dengan misi ku disini," ucap Max sambil meniru gaya bicara Verze tadi.
"Oh, lalu apakah misi itu?" tanya Verze tersenyum.
Max menyerang dengan cepat, dan dibawah matahari yang terik itu, Verze menghindar dengan santai. Namun tidak dipungkiri bahwa jantungnya berdetak kencang melihat kegesitan Max.
Verze tersenyum miring, lalu maju menyerang Max dengan brutal secara sengaja. Dia benci saat melihat Max ataupun teman-temannya, mereka tersenyum seolah-olah tidak memikirkan penderitaan kakaknya.
"Membunuhmu," ujar Max dingin.
Napas Verze terengah-engah, melihat Max yang tersenyum tipis membuatnya yakin dia beranggapan bahwa Verze sudah lengah dan banyak celah untuk menyerang, sungguh orang yang berpikir sederhana. Kemudian saat Max mulai menyerang dengan mengerahkan semua kekuatannya, tiba-tiba waktu melambat selama beberapa detik.
Pupil Verze melebar dengan sorot terkejut, telinganya berdenging selama beberapa saat.
Ketika Verze mengedipkan matanya, hamparan hijau terpampang disekitarnya.
Apa ini? Sepertinya aku melupakan sesuatu?
Berjalan di sekitar taman dengan linglung, Verze sepertinya familiar dengan tempat ini. Taman asri yang mana dekat dengan hutan, terdapat bangku tua yang masih kokoh disudut, tunggu dulu. Dia ingat bangku itu, berjalan mendekat dengan mata berkeliling, semakin bersemangat ketika yakin dengan dugaan yang dia buat.
Hingga akhirnya Verze melihat seorang pria paruh baya, dia tampak sepertinya, sangat persis. Dia ayahnya.
"Verze?"
Satu kata yang terucap darinya membuat Verze membeku sesaat, sudah sangat lama sejak terakhir kali dia mendengar suaranya. Regardian, itulah namanya. Ketika Verze berumur empat belas tahun, ayahnya pergi hanya dengan meninggalkan sepucuk surat, dan dia sendiri di rumah bersama kakak laki-lakinya, Tieze.
Sementara ibunya telah meninggal sejak dia berumur delapan tahun, bahkan Verze hampir lupa wajah sang ibu karena tidak ada satupun potret tentangnya. Lalu Tieze, dia sama seperti ayah, dua hari setelah dia pulang dengan luka parah, kemudian menghilang, tanpa sepucuk surat atau apapun.
Verze tidak tertarik untuk mencarinya, sifatnya yang keras kepala tidak terhindarkan hanya akan membuang waktu, menurutnya ada dua kemungkinan sang kakak menghilang. Pertama, dia berada dalam bahaya dan tidak ingin mengikutsertakannya dalam target lawannya. Lalu yang kedua, dia berada dalam masalah yang berkaitan dengan ayah.
Tidak mungkin bagi kakak Verze untuk dibunuh atau diculik, karena bahkan dalam keadaan terluka parah, dia seperti menyimpan kekuatan cadangan dan Verze bahkan tidak pernah menang melawannya, kemampuan berpedang nya bahkan sudah melebihi Panglima Cown dan Pinc. Dan sudah dua tahun semenjak kakaknya menghilang, Verze hanya bisa menunggunya di rumah atau menyelamatkannya di medan—
Tunggu.
Perang, bukankah tadi aku sedang berperang? Dan sekarang aku berada di sini? Taman favorit keluargaku.
Apakah aku sedang bermimpi?
"Kamu sudah besar, Verze," ucap Ayahku.
Verze menoleh, dan menyadari bahwa dia banyak membuang waktu untuk berpikir.
"Hai, ayah."
"Ikuti aku," ujar Ayah lalu berjalan menuju danau, Verze mengikutinya dan duduk disebelahnya.
"Ayah, kemana saja kamu selama ini?" tanya Verze tanpa sadar.
Ayah hanya memandang dan tersenyum.
"Ingatlah untuk datang ke Menara Wickle saat semuanya telah selesai."
"Ayah!"
Suara anak kecil itu ....
Srett
"Ugh ...."
Verze mengerang karena lengannya tersayat pedang Max.
"Apa ini? Kesatria terbaik Kerajaan Avantgarde sudah melemah?" cetus Max sinis.
Verze menatap Max dengan tajam, walaupun kebingungan mengalir deras padanya, sejak awal memang tidak akan mempengaruhi fokus seorang Verze, terlebih pada saat pertarungan.
Dia mengumpulkan kembali pikirannya dan mulai memikirkan cara untuk meladeni Max seharian ini. Menarik seringai, dia tahu bahwa Max tidak akan semudah itu untuk dibunuh.
TBC
A/n : It's been a long time, perasaan menulis ini kembali asing. Jadi aku membaca beberapa cerita yang dulu pernah kubuat, sembari kembali menyesuaikan diri.
30/6/21
1039
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top