Hei, It's Oke!


Manusia selalu merasa sulit mengabaikan kebencian

Bukan karena tak bisa, melainkan mereka enggan

Kebencian itu, selalu mereka berikan untuk manusia lainnya

Supaya mereka tak membenci diri mereka sendiri

oOo

A Drama Fanfiction

Xover(Crossover)

Low Fantasy

oOo

Lee Daehwi, hanya bisa duduk meringkuk sambil menyandarkan punggungnya pada tembok salah satu bangunan. Sebungkus ayam goreng dan satu cup smooty strawbery pisang yogurt tergeletak tenang di sampingnya. Ia tampak menengadahkan kepala, berusaha menatap langit musim semi dari gang sempit pertokoan. Namun, ia tak mengeluh sedikit pun, meski langit yang terlihat dari kedua irisnya hanya seluas gang sempit tempatnya beristirahat.

Beberapa kali ia tampak menghela napas, ketika mengingat beberapa hal yang terjadi padanya akhir-akhir ini.

Aku tahu ini tidak akan pernah mudah, tapi ternyata bisa sesulit ini, ya.

Ia membatin dengan senyuman miris di sudut bibir. Kemudian garuk-garuk kepala dan mencoba meminum smooty-nya perlahan. Akan tetapi, jika teringat tentang beberapa hal kurang mengenakkan yang sudah dialaminya, ia langsung kehilangan selera. Di saat seperti ini, ia hanya bisa menghela napas dan ingin menangis.

Sayangnya, ketika setitik air mata akan mengaliri pipinya, pemuda 17 tahun itu malah membelalak gara-gara di depannya tiba-tiba muncul kepulan asap yang cukup tebal. Ia pun berdiri sambil terbatuk-batuk dan kaget saat menyaksikan ada seorang gadis kecil tiba-tiba berdiri di depannya.

"Yo," sapa gadis itu santai.

Namun, bukannya menjawab, Lee Daehwi malah berteriak lalu meringkuk sambil menangis karena kakinya lemas untuk digerakkan. Ia ingin lari tapi karena terlalu takut, ia memilih menutup matanya masih sambil menjerit-jerit. Dalam hatinya sudah was-was, spekulasi negatif bermunculan begitu saja.

Bagaimana mungkin ada manusia yang tiba-tiba muncul dari antah berantah?! Kalau bukan alien, pasti dia setan.

"Hei, bocah. Kalau kau menjerit terus, kau bisa menarik perhatian. Diamlah dan duduk dengan tenang. Hoi."

Daehwi merinding di antara tangisannya, apalagi ketika merasakan tangan kecil dari setan di depannya yang mencoba menepuk-nepuk pundaknya.

"Me-menyingkir kau setan! Aku akan berteriak jika kau macam-macam!" sergahnya masih sambil menutup mata.

Namun, bukannya ditinggalkan, setan di depannya malah menempeleng kepalanya cukup keras. Ia juga bisa mendengar si setan berujar dengan sedikit kesal.

"Siapa yang kau sebut setan, bocah tengil? Bersikaplah sopan pada orang yang lebih tua."

Merasa setan yang sempat ia takutkan tak terlalu berbahaya, Daehwi membuka matanya pelan-pelan. Ia sempat membuka mulut terkejut, karena ternyata gadis kecil yang tadi membuatnya takut, hanyalah anak kecil biasa. Eh, tapi kenapa setan kecil itu memanggilnya bocah? Siapa yang tidak sopan di sini sebenarnya.

"Bukankah di sini, aku yang lebih tua, ya?" Dari semua kalimat, malah hal aneh itu yang terucap dari mulut Daehwi. Menanyakan siapa yang lebih tua, sebenarnya bukan perkara yang terlalu penting, 'kan?

"Tidak. Aku lebih tua sepuluh tahun darimu," ucap setan kecil itu santai.

"O-oh ...." Daehwi hanya mampu bereaksi sedemikian rupa. Ia mengangguk-angguk canggung, matanya melirik ke mana-mana berharap suasana hening dan aneh ini cepat berakhir. Lagi pula, bagaimana gadis itu tahu bahwa usia mereka terpaut sepuluh tahun. Apakah penampilannya sudah cukup menjelaskan umurnya saat ini?

"Kalau begitu, aku pamit ya ...." Daehwi mencoba kabur secara halus, tidak ingin berurusan lebih jauh dengan gadis kecil jadi-jadian yang sempat membuatnya kaget itu.

"Tidak, kau tidak boleh pergi."

Namun, suara berat dan dalam dari si setan kecil menginterupsi gerakan Daehwi. "Eh? Kenapa?" tanya pemuda itu keheranan.

"Beri tahu aku, di mana aku bisa mendapatkan ayam seperti itu."

"Ayam?" Daehwi melongo, lalu mengalihkan pandangan pada bungkus ayam gorengnya yang tergeletak di tanah.

"Hn."

oOo

Meskipun masih kurang paham dengan apa yang menimpa dirinya kini, Daehwi sama sekali tak bisa kabur. Setiap kali ia mengutarakan sesuatu, gadis yang dianggapnya setan itu akan mengatakan kalimat yang selalu menahan langkahnya. Mau tidak mau, ia seperti terikat dan terjebak dalam situasi yang membuatnya sungkan melarikan diri.

"Sebagai permintaan maaf karena sudah memanggilku setan, bayari makananku."

"Eh?"

Bahkan ketika ia harus membayari beberapa bungkus ayam goreng, ia pasrah walaupun sambil mengeluh.

Usai membayar ke petugas penjaga kasa, ia memilih ke luar, lalu duduk di salah satu kursi yang mengitari sebuah meja bundar. Kursi-kursi itu tampaknya memang disediakan oleh toko serba ada tersebut sebagai properti yang bisa dipakai pelanggan.

Setan kecil yang sudah memeras Daehwi, ikut-ikutan duduk, berhadapan dengannya.

"Oh, sebagai permintaan maaf karena sudah membuatmu ketakutan. Aku akan mendengarkan ocehanmu."

"Eh?!"

Daehwi melotot. Dari mana setan kecil itu tahu bahwa dia sedang ingin curhat pada seseorang tapi sejak kemarin tidak pernah bisa. Bahkan ia sebenarnya tak tahu harus mengadu pada siapa tentang keluh kesahnya.

Untuk ke sekian kali Daehwi tak bisa berkutik. Ingin membantah tapi nalurinya sebagai manusia seakan ditekan oleh perintah tak kasat mata. Seperti bertemu dengan orang yang menakutkan, tapi dia sendiri tak tahu mengapa bisa begitu. Padahal gadis yang memiliki tinggi tak lebih dari pundaknya itu, sama sekali tak melakukan hal menakutkan.

Instingnya kuat, dan pancaran intimidasinya menakutkan, batin Daehwi merinding.

"Kau terlihat punya banyak masalah dan sepertinya bingung harus dibicarakan dengan siapa."

Bahkan gadis itu kini seolah membaca pikirannya.

"Kau tahu aku banyak masalah dari mana? Dari sosial media, ya?" Namun, Daehwi berusaha menyimpulkan secara logis. Akhir-akhir ini dia memang sering menjadi sorotan media, jadi beberapa orang pasti tahu apa yang terjadi padanya.

"Sosial media apa? Oh, aku tahu, kau sedang membicarakan teknologi orang bumi. Maaf saja, aku masih belum terbiasa dengan benda elektronik yang sering kalian gunakan."

"Ha?"

Entah mengapa, Daehwi jadi seperti bicara dengan orang tidak waras. Orang bumi apanya? Memangnya gadis itu bukan manusia bumi?

"Aku minta maaf karena tidak sengaja membaca memorimu. Tapi karena hal itu aku jadi tahu kalau kau sepertinya butuh teman bicara."

"Ha?"

Gadis berambut cepak seleher itu hanya mengedikkan bahu. Bahkan tampak sangat menikmati kegiatannya memamah ayam goreng tanpa peduli dengan rasa penasaran Daehwi.

Namun, pada akhirnya Daehwi cukup tertarik bertanya. "Memangnya, wajahku terlihat seperti orang yang punya banyak masalah?" Dalam hati ia juga sedang menduga-duga, apakah raut wajahnya terlalu mudah dibaca?

"Tidak juga, karena sepertinya kau pandai menutupinya."

Sayangnya, jawaban yang diberikan gadis jadi-jadian itu sedikit kurang memuaskan. "Kau benar-benar tahu, atau sok tahu?" tanya Daehwi kemudian.

"Dua-duanya. Begini-begini aku belajar dari penduduk bumi yang kebanyakan suka mencampuri urusan orang lain. Dan sebagai tangan kanan seorang pemimpin tertinggi, aku memang harus selalu mencampuri urusan orang lain."

"Kau ini bicara ngelantur, ya?"

"Tidak. Aku sedang serius."

Daehwi mengernyit, sampai matanya yang agak sipit tapi agak lebar itu terlihat berupa garis lurus. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Jangan bilang kau ini orang gila, ya?"

"Tidak. Aku hanya sering disalahpahami tapi tidak gila."

Kali ini Daehwi geleng-geleng kepala. Daripada bicara ngelantur, ia jadi teringat tentang sesutu hal. "Oh. Kau bilang usiamu sepuluh tahun lebih tua dariku, dari mana kau tahu berapa umurku kalau kau tidak punya alat canggih penduduk bumi?" tanyanya penasaran, sedikit berusaha mengimbangi cara bicara gadis aneh yang masih asik makan ayam hasil traktirannya.

"Hm? Sudah kubilang aku tidak sengaja membaca memorimu." Lagi-lagi, jawaban yang tidak bisa dipercaya.

"Ya! Jangan bicara ngelantur terus." Daehwi sampai sedikit hilang kesabaran. Ingin marah tapi juga tak tega mencaci seorang gadis yang lebih mirip anak SMP daripada seseorang yang katanya lebih tua sepuluh tahun darinya.

"Aku selalu serius. Menurutmu, apa wajahku terlihat sebagai orang yang suka membual?"

Kali ini Daehwi mengernyit lagi, melupakan kekesalannya dan lebih tertarik menjawab pertanyaan. "Hm, tidak, sih. Hanya ... karena kau tidak berekspresi, aku jadi bingung kau ini sedang serius atau bercanda." Ia manggut-manggut sambil mengerucutkan bibir, kebiasaan yang kadang tak disadarinya.

"Karena tidak berekpresi adalah cara terbaik menyembunyikan kelemahan maupun kekuatan. Kau tahu istilah poker face dalam berjudi?"

Waah, pembicaraan ini kenapa jadi terasa lebih berat, ya? Meskipun begitu Daehwi tetap mengangguk. "Kau sedang mencoba menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari? Apa tidak masalah?"

Gadis itu masih tidak berekspresi ketika menatap langsung ke kedua mata Daehwi. "Masyarakat di negeriku lebih sederhana daripada orang bumi, mereka tidak akan mempermasalahkan hal sepele seperti ini."

Ah, jawaban absurd seperti yang sudah-sudah.

"Kau bicara ngelantur lagi," desah Daehwi kecewa.

Namun, tampaknya gadis itu tidak peduli dengan kekecewaan lawan bicaranya. "Kau sendiri, sepertinya tadi ingin menangis. Kenapa sekarang tidak menangis?" Ia dengan mudahnya mengalihkan pembicaraan.

"Eh? Ha ha ha, aku gagal nangis, kan gara-gara kemunculanmu yang seperti hantu." Hebatnya, Daehwi terpancing lagi. Ia terlihat benar-benar terbawa arus, hingga berkali-kali melupakan kekesalannya karena jawaban-jawaban nyeleneh dari gadis hantu tersebut.

"Oh. Maaf kalau begitu."

"Tidak apa-apa. Lagi pula, terima kasih karena mencegahku menangis," ujar Daehwi sembari tersenyum.

"Tidak ada yang salah jika kau ingin menangis, tapi menangis di depan orang lain memang memalukan."

"Nah." Kali ini Daehwi terperanjat, tumben gadis itu bicara benar.

"Dan juga membuat kita tampak lemah."

Kali ini dua kali benar.

"Nah."

"Cara paling baik adalah senyum sebisa mungkin."

"Nah, lagi."

"Tapi, daripada menangis atau tersenyum, aku lebih memilih diam. Orang tak akan tau kau sedang senang atau sedih."

"Diam?" Sedangkan pernyataan terakhir, cukup membuat Daehwi ingin tahu.

"Tapi cara itu tidak efektif diterapkan padamu, kau seorang idola, 'kan?"

"Eh? Semacam itulah."

Hebat, gadis itu tampak tahu segalanya.

"Kau pasti punya banyak penggemar."

"Terima kasih."

"Tapi orang yang tidak menyukaimu pasti juga banyak."

"Kenapa ucapanmu selalu benar?" tanya Daehwi sambil meringis kagum.

"Karena di duniaku, aku juga seorang idola. Diakui atau tidak, penggemarku sangat banyak. Tapi, orang-orang yang mencoba menghabisiku juga tak kalah banyaknya."

"Kau penuh percaya diri, ya?" Daehwi tersenyum lebar, cukup salut dengan teman berceritanya ini.

"Karena hal itu penting ketika kau menjadi public figure. Sayangnya, orang-orang sering mengataiku sombong hanya karena percaya pada kemampuanku sendiri."

Kali ini Daehwi tersenyum kecut. Luka hatinya tampak sekali dari pancaran matanya. "Hmm ... kau juga mengalami kejadian seperti itu, ya?"

Gadis itu mengangguk. "Apalagi zaman sekarang, banyak bocah yang suka bicara seenaknya. Mereka bicara seolah-olah sudah mengerti dunia ini kejamnya seperti apa. Lalu yang lain ikut-ikutan tanpa mengerti sebenarnya mereka itu sedang apa. Jika di Threasyiluem, bocah yang berani membuat masalah dan menimbulkan keributan di lingkungan sekitarnya, sudah kusuruh makan kotoran ibunya. Sayangnya, di bumi hal seperti itu dianggap melanggar HAM."

"Kau bicara ngelantur lagi, kan." Sudah berapa kali Daehwi harus dibuat sweatdrop karena ucapan-ucapan gadis misterius itu. Ia seperti disuguhi buku motifasi tapi isinya dipenuhi fiksi genre fantasy.

"Terserah, tapi dari tadi aku bicara serius." Seperti biasa, gadis hantu itu tak terlihat terpengaruh.

"Lalu, bagaimana caranya kau menghadapi orang-orang yang tidak menyukaimu?" Sudah kepalang tanggung, Daehwi akhirnya mengikuti permainan manusia aneh di depannya ini. Sebab, meskipun suka ngelantur, ucapan gadis itu selalu masuk akal.

"Hm? Apalagi, tentu saja akan kubunuh." Sayangnya, jawaban yang ini pun tidak bisa diharapkan.

"He?! Serius?!"

"Ya, karena musuh-musuhku juga mengincar nyawaku. Kalau bukan aku yang mati, tentu mereka yang mati. Tapi, kau tidak boleh melakukan itu pada orang yang membencimu."

"Aku juga tidak akan berani melakukannya." Daehwi mengangguk-angguk saja, antara shock, miris dan juga ingin menampol wajah tanpa ekspresi di depannya ini.

"Lagi pula, kau ini penduduk bumi. Mereka akan langsung memasukkanmu ke penjara jika membunuh orang lain."

"Nah, itu tahu." Pemuda pirang itu geleng-geleng kepala.

"Untuk kasus idola sepertimu, memang tidak banyak yang bisa dilakukan. Paling cuma berlatih dengan giat dan menunjukkan diri bahwa kau adalah orang yang tak patut dibenci."

"Begitukah?" tanya Daehwi tiba-tiba serius, karena merasa ucapan manusia tak masuk akal itu terdengar cukup masuk akal.

"Ya. Memangnya apa lagi? Kau mau bunuh diri dan menjadi pecundang? Kau akan semakin membuat orang-orang itu menertawakanmu."

"Hmm ... kau benar." Entah mengapa, Daehwi tiba-tiba menunduk. Matanya menerawang melihat jemari tangannya yang terkepal di atas meja.

"Yah, manusia memang selalu merasa sulit mengabaikan kebencian. Bukan karena tak bisa, mereka hanya enggan. Kebencian itu, selalu mereka berikan untuk manusia lainnya. Supaya mereka tak membenci diri mereka sendiri."

"Maksudnya?" Daehwi mendongak, menatap mata lawan bicaranya penuh tanya.

"Mereka akan selalu mengolok-olokmu selama kau memiliki apa yang tidak mereka miliki."

"Ha ha ha, kalau yang itu namanya iri, kan?"

"Iri itu manusiawi."

Daehwi diam sejenak. "Iya, sih," gumamnya menyetujui.

"Kebencian juga manusiawi, karena itulah, tidak ada yang perlu dicemaskan."

"Begitu, ya?"

"Ya. Lagi pula, ini hanya kehidupan dunia fana. Memang seperti ini adanya."

Senyum kecil akhirnya tersemat lagi di bibir pemuda kurus itu, dengan tawa yang lepas ia berujar, "ha ha ha, kau selalu benar."

"Kalau tidak selalu benar, aku tidak mungkin diangkat jadi tangan kanan King Nogh'."

"Iya deh, iya." Daehwi tak menahan lagi tawanya yang lebar. Air mata keluar dari kedua sudut matanya, tapi ia terbahak tanpa henti. Ketika ia seperti itu, entah kenapa napasnya jadi terasa lebih ringan. Pundaknya, dadanya, kepalanya, semua menjadi seperti melayang.

Ternyata memang seharusnya sejak kemarin ia bicara dengan seseorang.

.

END

.

Epilog

Daehwi berencana mentraktir minuman dan sebungkus ayam goreng lagi. Tanpa banyak bicara, ia segera beranjak masuk ke dalam toko. Hingga akhirnya ia sadar, ia tak tahu minuman seperti apa yang disukai gadis aneh yang ditemuinya beberapa menit lalu. Namun, ketika ia kembali ke luar untuk bertanya kepada yang bersangkutan, gadis itu sudah tidak ada di mana pun.

Bahkan ketika Daehwi mencoba mencari ke area sekitar toko, gadis itu sudah tidak ada. Jejaknya lenyap ditelan angin. Padahal hanya beberapa detik ia berada di dalam toko sebelum akhirnya memutuskan untuk ke luar.

Anak itu hilang ... padahal belum tanya namanya.

Sambil merasakan embusan angin musim semi yang sejuk, Daehwi mematung di depan toko.

Benar-benar seperti hantu.

Entah mengapa, Daehwi merinding sendiri.

.

FIN

.

Tidak ada maksud apa-apa. Fanfic ini dibuat untuk menenangkan hati penulisnya saja. Baru kali ini ikutan sedih saat bias banyak yang hujat.

Untuk penggemarnya Lee Daehwi, mari kembalikan senyum bocah satu ini. Terima kasih.

#makedaehwismileagain

Oh, ada yang tahu OC saya? Pembaca Threasyiluem pasti tahu. Bagi yang belum tahu, dia hanya seorang gadis 27 tahun yang kerjaannya melakukan sensus penduduk dan menangani berbagai masalah kerajaan. Hobinya berjalan-jalan antar dimensi dan memberi sedikit penghiburan untuk orang-orang yang sedang banyak masalah.

14 Mei 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top