01 | BOS PULU-PULU
Saat masuk ke ruang departemen, Ullie mengendap-endap sambil berdoa agar yang datang lebih dulu adalah dirinya, bukan Andrea, apalagi Bos Pulu-Pulu. Setiap hampir tepergok teman satu departemen, Ullie bersembunyi di balik pilar, di samping dispenser, hingga di belakang lemari arsip. Upaya persembunyian itu membawa Ullie sampai ke pintu pantry yang berlokasi paling dekat dengan mejanya.
Ruangan Bos Pulu-Pulu berada di ujung departemen, terlindung oleh sekat kaca tebal kedap suara dan tirai blind. Sulit memastikan penghuninya sudah ada di sana atau belum. Lain halnya dengan meja Andrea yang berlokasi strategis karena berada di sisi kanan ruangan dan di samping sofa besar tempat menjamu tamu. Lokasi yang cocok untuk mengawasi semua karyawan.
"Ssst... Pat! Patrice," ucap Ullie pelan dari balik dinding pantry. Kepalanya celingukan mengawasi keadaan. Jika diperhatikan, tingkahnya mirip maling ayam yang takut ditangkap warga.
Patrice, seniornya yang lebih tua dua tahun, menghampiri-lengkap dengan ekspresi galak. "Dari mana aja, hah?"
"Pulu-maksudnya, Pak Bian udah dateng?"
Patrice menggeleng.
Ullie mengembuskan napas lega.
"Tapi Bu Andrea udah dateng dari tadi."
Nyawa Ullie serasa lepas dari badan. Apalagi orang yang sedang mereka bicarakan tiba-tiba muncul sambil membawa tumpukan berkas yang kemudian dia letakkan di meja Ullie.
Sebuah ide terlintas. Ullie meninggalkan tasnya di meja pantry, mengambil ponsel lalu merapikan rambut yang berantakan karena bekas helm. Begitu yakin penampilannya sudah oke, ia mengajak Patrice keluar dari persembunyian.
Patrice curiga, tapi tetap mengekor bak kerbau dicucuk hidung.
"Habis dari mana?" semprot Andrea galak.
Ullie berusaha terlihat tenang, meski jantungnya melompat-lompat. "Dari toilet, Bu. Mules banget tadi. Saya datang kepagian."
Ullie menepuk-nepuk perutnya yang rata, berusaha tampil meyakinkan bahwa ia baru saja menguras isi perut. Patrice yang berdiri di belakangnya hanya bisa menunduk, menahan tawa.
Andrea menurunkan kacamata sambil memandangi Ullie dari atas ke bawah. Rambut Andrea diikat tinggi, wajahnya jadi tampak ditarik paksa.
"Ini hasil riset tim Prancis," tunjuk Andrea pada tumpukan dokumen. "Tolong kamu terjemahkan dan simpulkan dalam bahasa yang mudah dimengerti Pak Bian." Suaranya agak serak, tidak biasanya. "Sekalian kamu buat ringkasan korespondensi tim-tim region di sana selama periode riset. Kirim dulu ke saya sebelum dicetak," tambahnya.
Setelah itu Andrea berlalu. Hawa dingin yang dibawanya juga ikut pergi.
Patrice menjitak Ullie begitu mereka sudah tak diawasi.
Ullie mengaduh kesakitan. "Cuma itu doang caranya kalau nggak pengin kena semprot," sahutnya setelah duduk dan menyalakan komputer.
"Jangan diulangin lagi!" Patrice memperingatkan.
Ullie mengangguk serius, lalu melihat bosnya dari kejauhan. "Pak Bian dateng!"
Bagai bunyi alarm, semua karyawan langsung bersiap-siap setelah mendengar perkataannya. Mereka merapikan baju dan mengganti sandal dengan sepatu atau high heels.
Begitu Fabian masuk ke ruang departemen, semua berdiri menyambut dan Andrea mengiring Fabian menuju ruangan berlapis kaca milik Direktur R&D. Sewaktu Fabian lewat, Ullie gagal menahan diri untuk tidak melirik.
Fabian punya wajah yang menunjang dirinya untuk menjadi bachelor paling diidamkan di perusahaan. Meski warna fashion Fabian cenderung monoton, jika diamati dari dekat, selera fashion-nya cukup membuat iri kaum kantong pas-pasan. Dari kemeja, dasi, jas, celana sampai sepatu, semuanya custom desainer berkualitas internasional. Dirancang dari nol untuk disesuaikan dengan bentuk tubuh, warna kulit sampai karakter Fabian.
Ya, kalau saja sifatnya sebaik penampilannya.
"Pagi," sapa Fabian tanpa menoleh. Suara baritonnya datar tanpa emosi.
Semua karyawan kompak membalas, "Selamat pagi, Pak!"
Langkah Fabian berhenti di meja dekat lorong, sekitar enam meja dari Ullie, lokasi yang jarang diperhatikan karena berada di paling belakang dan dekat pantry.
"Benni," panggil Fabian.
Yang dipanggil menjawab takut-takut. "I-iya, Pak?"
"Rapikan kemejamu kalau masih mau kerja di sini."
Ullie bergidik ngeri. Walau begitu, ia tetap menjulurkan leher, mengintip seberapa berantakannya kemeja Benni sampai ditegur di depan umum.
"Siap, Pak!" Benni kemudian berlari ke toilet.
Pertanyaan Ullie terjawab sewaktu melihat bagian belakang kemeja Benni yang keluar dari celana. Mana kusut, pula! Aduh, pasti Benni kesiangan, makanya tak sempat menyetrika.
Fabian meneruskan langkah ke ruangan. Andrea masih setia mengekor. Sebelum menutup pintu ruangan Si Bos, Andrea lagi-lagi menurunkan kacamatanya sampai hidung, lalu memandangi semua orang sambil menyipitkan mata, seakan sedang menilai, karyawan mana lagi yang pantas ditegur atau dipecat hari ini. Tak menemukan yang diharapkannya, dia pun menutup pintu.
Semua orang bernapas lega.
"Nggak bos, nggak asisten, sama-sama nyeremin!" ujar Ullie seraya duduk kembali.
Di saat bersamaan, Benni baru kembali dari toilet. Cowok Batak itu berjalan melewati mereka sambil terus merapikan kemeja. Matanya bergerak waswas, khawatir kena tegur lagi.
"Benni," panggil Ullie.
Benni bergegas menghampiri karena mengira ada hal penting. "Apaan?" tanyanya.
"Rapikan kemejamu kalau masih mau kerja di sini."
Ullie meniru ucapan Fabian sambil mengulum senyum. Di sebelahnya, Patrice berusaha keras menahan tawa.
Sebagai balasan, Benni menunggingkan bokongnya sedikit ke arah Ullie sambil meniru bunyi kentut lewat mulut.
***
.
.
.
HAMALEM'S NOTE
Kesan pertama paling memorable waktu nulis Hei, Intern! (judul sebelumnya: Intern&Lover) adalah waktu aku ngasih draft cerita ini ke temen kantor yang saat itu hobinya baca cerita dari platform gratis. Awalnya cerpen doang. Adegan dari Ullie telat sampai dia ga sengaja matiin ikan-ikan Pak Bos. Itu pun inspirasinya dari ngelamun sambil ngeliatin akuarium di lobi. Ujung-ujungnya tuh ikan pada tewas tanpa jenazah, mungkin akibat kanibalisme. Ga taulah gimana mereka saling makan soalnya aku ga liat langsung prosesnya. Tau-tau akuarium udah sepi aja, sisa ikan sapu-sapu di dasar sambil mangap. Kuliat-liat dia tambah gendut. Makanya kutuduh.
Anyway... sepanjang baca cerpen itu, temen aku ketawa ngakak mulu sampe nangis. Pikirku, orang ini receh apa gimana sih, kan pas nulis itu aku ga berniat jadiin komedi. Mengalir aja jadinya apa, prok prok prokk. Akhirnya dia saranin buat upload ke WP. And the rest is history.
Bertahun-tahun ngeliatin progress popularitas cerita ini. Yang awalnya cuma ribuan reads, sampai jutaan. Tentu ga terjadi dalam waktu singkat. Para pembaca golongan pertama bikin review sana-sini, ngasih rekomendasi ke orang-orang. Selama itu aku ngang ngeng ngong karena literally had no idea how things worked di Wattpad. Aku berterima kasih sekali ke mereka dan sampai sekarang masih hafal nama akun-akunnya. (Kalau kalian baca dan merasa, luv yu mwah ❤)
Ga terhitung berapa penerbit yang PDKT buat minang. Berhubung aku sadar diri klo cerita ini perlu banyak revisi dan aku males ribet saat itu, jadi kutolak semua. Niatnya biar jadi arca aja di sini. Lalu duarrr!! editor dari GPU ngontak. Sempat ngira modus baru penipuan, tapi tetap ku reach out di nomor WA doi.
Berbulan-bulan proses revisi, jujur... melelahkan dan bikin stres. Apalagi sambil ditaburi tekanan kerja di kantor. Sering tuh aku ngomel depan laptop jam 2 pagi, melakukan perkelahian imajiner dengan para editor yang ngasih catatan seabrek. Besoknya pas lagi sarapan langsung tersadar... oh iya juga, bener semua yang mereka bilang. Mungkin itu sebabnya editor jadi editor. Lalu aku sayang lagi sama mereka 💖💖💖
Hasil dari proses panjang revisi itu ya ini... akan banyak perubahan, sehingga ga plek-ketiplek sama yang pernah kalian baca di WP. Versi glowingnya lah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top