Heaven In Your Eyes -part 26-

Arun kembali berusaha menghubungi Kalin. Bukannya mendapat balasan, kini dia hanya harus kembali menelan kekecewaan karena Kalin lagi-lagi tidak menjawab SMS dan mengangkat telepon.

Berarti Kalin sedang tidak ingin bicara padanya. Dia ingin bertemu, tapi bayangan isterinya itu tidak nampak sama sekali. Di mana dia berada sekarang, Arun tidak tahu.

Setiap tarikan napasnya terasa semakin berat.

Perempuan yang adalah istrinya sendiri kini menjauhinya.

"Kesha, bilang sama Kalin kalau dia harus pulang sekarang!"

Suara ayahnya terdengar begitu marah.

"Aku udah bilang gitu, tapi kakak nggak mau pulang." Suara Kesha ketika menjawab menyiratkan rasa takut.

Dari apa yang dilihat Arun, keluarga Kalin telah berusaha membantunya menemukan Kalin. Tapi seperti yang didengarnya sendiri, memang Kalin yang bersikeras tidak ingin pulang dan bertemu dengannya.

"Ayah, Bu. Boleh saya minta alamat temannya Kalin? Nanti saya saja yang jemput ke sana."

"Kesha, kamu temenin Arun."

Arun hanya meminta alamat tanpa membiarkan Kesha menemaninya.

"Saya cari sendiri saja, Yah."

***

Berbekal alamat yang tertera pada secarik kertas yang ditulis Kesha, Arun mencari Kalin. Bukan alamat yang sulit ditemukan. Sekalipun sudah tidak menetap sepenuhnya di Jakarta, Arun masih hapal jalan-jalan besar di kota besar itu. Apalagi alamat Ella, salah satu sahabat Kalin juga berada di kompleks perumahan elit Pondok Indah. Mudah saja ditemukan.

Ketika berhenti di depan sebuah rumah mewah dengan arsitektur Eropa, Arun yakin itu alamatnya. Tanpa menunggu lama, dia turun dari mobil. Keinginannya begitu besar untuk bertemu Kalin. Tidak untuk bertanya macam-macam.

Dia hanya ingin memastikan keadaan Kalin baik-baik saja.

Setelah satpam di pos penjaga berbicara dengan seseorang melalui telepon, pintu pagar pun terbuka. Bukan mengarahkannya untuk masuk. Satpam itu hanya mengatakan kalau sekarang Ella tidak lagi tinggal di sana. Putri majikannya itu tinggal terpisah di sebuah apartemen.

"Saya boleh minta alamatnya?"

"Barusan saya ngomong langsung sama non Ella. Besok pagi saja bapak datang lagi ke sini."

Arun melihat sejenak ke arah rumah.

Sebenarnya Kalin sedang berada di dalam rumah itu atau tidak?

"Saya boleh minta alamat apartemen Ella?"

"Nggak bisa, Pak. Non Ella nggak sembarangan ngasih alamat tinggalnya sekarang."

Arun terdiam sejenak. Dia tidak mungkin memaksa untuk bertemu jika Kalin memang belum ingin bertemu dengannya.

"Baik, Pak. Besok pagi saya ke sini lagi. Terimakasih. Maaf mengganggu."

***

Kalin masih berbaring telungkup di atas tempat tidur di kamar tamu. Ella kembali masuk dan memberitahunya jika baru saja Arun mencarinya di rumah orangtuanya.

"Kal. Gue udah kasih tau sama satpam gue kalo Arun boleh dateng besok pagi."

"Ya udah."

Ella menurunkan baki berisi dua mug berisi cokelat panas.

"Lo kok gitu sama suami lo? Kasian kan dia nyariin lo?"

"Aku juga nggak minta dicari, La. Udah cukup aku bertahan sama sikap dinginnya dia."

Ella mendesah. Dari apa yang dilihatnya, Kalin memang tidak sepenuhnya membenci suaminya. Kalin bukan tipe perempuan pendendam. Sahabatnya itu sangat baik. Hatinya pun begitu lembut. Buktinya, tidak pernah sekalipun Kalin menjelekkan suaminya sendiri.

"Tapi kan lo sendiri yang bilang. Lo terima Arun apa adanya. Lo nikah sama dia karena lo cinta sama dia. Nggak peduli, apa dia juga cinta sama lo atau nggak."

"Dulunya aku mikirnya gitu, La. Tapi, udah sekian lama, sikap Arun nggak pernah berubah. Aku juga capek begini terus."

Tidak pernah sekalipun Kalin menyinggung tentang Ambar. Seolah-olah kepergiannya kali ini memang karena sepenuhnya jenuh dengan sikap dingin Arun. Karena jika Ella mengetahui kenyataan itu, mungkin Ella malah akan berbalik mendukungnya meninggalkan Arun.

"Jadi lo maunya gimana sekarang?"

"Kamu...bilang ya sama pak Toyo supaya Arun balik lagi besok?"

Ella mengangguk.

"Sesuai permintaan lo, kan?"

Kalin mengambil posisi duduk bersila, mendekatkan mug ke mulutnya.

"Aku masih nggak yakin buat ketemu dia lagi, La."

"Harus yakinlah, Kal. Lagian lo juga udah bikin panik keluarga lo."

Kalin menyeruput cokelat panasnya.

Siap tidak siap, dia harus kembali menghadapi Arun.

***

Sekitar pukul 8, mobil Fortuner yang dikendarai Arun berhenti di tempat yang sama seperti kemarin. Di luar pagar, tepat di pinggir jalan kompleks perumahan.

Kalin merapikan syal sutera yang melilit di lehernya. Sementara Ella masuk ke dalam kamar memberitahu bahwa Arun sudah datang.

Saat menuruni tangga, Kalin sesekali memandang ke ruang tamu. Ella yang berjalan di sebelahnya memberi isyarat supaya dia lekas turun.

"Eh, mas Arun." Ella mendahului Kalin yang masih berjalan pelan di belakangnya.

"Maaf ganggu."

"Udah sarapan, Mas? Di dalam..."

Kalin mencubit pinggangnya. Ella langsung melotot padanya.

"Udah tadi. Terimakasih."

"Aku tinggal dulu ya Mas. Rumah lagi sepi, papa sama mama masih di LA."

Suasana sepi dan beku semakin terasa setelah Ella masuk ke dalam. Kalin merasakan jantungnya berdebar semakin kencang.

Bukan karena ketakutan. Entahlah. Ada perasaan yang sulit diungkapkan.

"Saya minta maaf."

Kalin mengalihkan pandangan. Bukan hanya sekali ini Arun meminta maaf. Dan bukan sekali ini pula hatinya tidak lagi tergerak untuk memaafkan.

Dia tidak ingin berlama-lama di sana. Hari itu, dia harus membuat keputusan penting.

"Aku nggak akan kembali ke Puncak. Hanya itu yang aku bisa bilang sekarang."

"Saya ke sini untuk menjemput kamu, Kal."

"Tapi aku nggak mau pulang."

"Kenapa?"

Kalin melipat tangan di depan dada. Mobil tempat mereka berada sekarang belum bergerak. Masih terparkir manis di pinggir jalan. Entah ke mana tujuan mereka.

"Kamu punya Ambar, Run. Kamu punya Ambar yang kamu cintai dan mencintai kamu," sahut Kalin pelan.

"Kamu minggat dari rumah karena hal itu?"

Kalin mulai terisak.

"Kamu nggak pernah cinta sama aku, Run. Dalam hidup kamu, kamu nggak pernah bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu kamu sama Ambar. Ambar selalu ada dalam pikiran dan perasaan kamu. Jadi di mana posisi aku dalam hidup kamu, Run?"

Arun terdiam.

Mungkin hati Kalin sudah terluka oleh sikapnya. Mungkin dia terlalu pengecut untuk melepaskan bayang-bayang Ambar dari hidupnya. Mungkin, dia pun terlalu takut untuk mengakui kenyataan bahwa Kalin memiliki arti penting dalam hidupnya.

Di luar dari segala sikap dingin dan tidak acuhnya, dia mengakui keberadaan Kalin dalam hidupnya sebagai sosok penting. Sebagai istri yang harus dia jaga dan sayangi. Dan bukan sebagai perempuan yang harus terus menerus menerima rasa sakit yang disebabkan ketidakberdayaannya meninggalkan masa lalu untuk memulai masa depan yang lebih baik.

"Saya hanya bisa minta maaf untuk semuanya." Arun memejamkan matanya untuk beberapa saat.

Saat menutup mata, dia bisa membayangkan bayangan Ambar berkelebatan dalam ingatannya. Namun ketika membuka mata, dia tersadar. Ada sosok perempuan yang selalu ingin dilihatnya setiap hari dan menghabiskan waktu bersamanya. Membantunya melupakan segala beban yang menghimpit selama bertahun-tahun ini.

Dan sosok itu adalah Kalin.

Dia tidak perlu menutupinya lagi.

"Maaf karena saya terlalu gengsi mengakui perasaan saya sama kamu."

Kalin langsung berbalik memandanginya.

"Apa maksud kamu, Run?"

Arun melepaskan seatbeltnya.

"Tiga hari ini adalah saat-saat terburuk dalm hidup saya. Saya nggak bisa nggak melihat kamu sehari saja. Saya bisa terus membohongi kamu, tapi saya nggak bisa membohongi perasaan saya sendiri."

Kalin merasakan ada ledakan emosi yang menyeruak dalam batinnya.

Arun tidak perlu mengungkapkan kata cinta untuk membuatnya mengerti.

Bahwa pintu hati Arun telah terbuka untuknya.

Bahwa kini harapannya telah menjadi kenyataan.

Gayung bersambut.

Cintanya terbalas.

"Run. Kamu bisa bilang tentang perasaan kamu sekali saja? Bahwa kamu...,"

Ucapan Kalin berikutnya terbungkam oleh ciuman lembut. Arun menciumnya, menjelajahi setiap lekuk bibirnya yang terbuka untuknya. Setiap sentuhan Arun di tubuhnya adalah harta yang berharga. Kalin tidak kuasa membendung airmatanya.

Kalin melepaskan seatbeltnya dan melingkarkan ke dua lengannya, mem

"Aku cinta sama kamu."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top