Heaven in Your Eyes -Part 21-
"Aku permisi dulu, Kalin. Bisa antar aku ke halaman?"
"Aku..." Kalin mengarahkan wajahnya ke arah Arun yang lebih dulu masuk ke dalam rumah. "Boleh."
Raga menoleh ke arah villa. "So, are you happy with him?"
"Ga, just stop it."
"Aku bisa liat akting payah kamu sama suami kamu. Benar-benar menggelikan." Raga tertawa puas.
"Jangan temui aku lagi, Ga."
"Aku tahu kamu masih mencintaiku, Kalin. Arun hanya jadi pelarian kamu kan?"
"Ga, aku bilang hentikan! Lebih baik kamu pergi."
"Lihat aku, Kalin."
"Nggak."
"Kalin."
Kalin pelan-pelan menegakkan wajahnya dan menatap ragu ke dua mata Raga. Laki-laki yang masih dicintainya itu kini berdiri di hadapannya.
"Tiga hari lagi aku akan datang ke sini. I'll call you."
"Jangan, Ga. Aku nggak bisa."
"No more reason."
Raga mencoba menunduk dan mencium bibirnya. Kalin berkelit, namun Raga tetap mampu menjangkau pipinya. Tubuh Raga membelakangi villa dan kecil kemungkinan Arun bisa melihat apa yang dilakukannya.
"I love you, Kalin."
***
Arun sedang menonton TV ketika Kalin masuk dengan tergesa-gesa. Kalin melepaskan mantel dan bergegas menaiki tangga.
Arun menghela napas pendek dan menghembuskannya pelan-pelan.
Jadi, mau membuatku cemburu?
Entah mengapa pertanyaan itu terus saja menghimpit benak Arun. Hingga malam tiba, dia masih sibuk dengan tebakannya kalau Kalin sedang mencoba membuatnya cemburu. Mengajak mantan kekasih berkunjung ke rumah.
Sempurna sekali.
"Jadi, kapan aku bisa ikut ke perkebunan?" tanya Kalin. Dia sudah menyiapkan segala tindakan untuk menghindari kedatangan Raga lagi.
"Saya tidak ingat pernah mengijinkanmu ke sana." Arun menjawab dengan tidak acuh seperti biasanya.
"Ya sudah. Kalau begitu, aku mau ke peternakan saja." Kalin lekas menambahkan jawaban lain untuk pertanyaannya tadi.
"Kamu mau menghindarinya?"
"Ya, begitulah." Kalin mengangguk.
Sejenak dia merutuki dirinya karena tadinya dia terbawa suasana hingga membiarkan Raga mencium pipinya.Hubungannya dengan Raga memang sudah berlangsung lama. Tapi, Kalin berusaha menghilangkan semua alasan untuk kembali kepada Raga. Masa depannya adalah bersama orang lain. Seharusnya dia bisa menegaskan hal tersebut, namun setiap menatap wajah Raga yang dirasakannya adalah kenangan indah yang pernah mereka lalui.Raga adalah laki-laki yang baik. Dan bukan hal yang mudah melupakan seseorang seperti itu, terutama jika kamu pernah bercita-cita ingin menikah dengannya.
"Aku sudah menikah denganmu. Alasan itu sudah cukup untukku menghindarinya."
Arun mengulum bibirnya. "Alasan pernikahan memang alasan yang cukup aman."
"Sepertinya ucapanmu masih menggantung." Arun melanjutkan. "Tapi tidak begitu saja menutup kesempatan bagi orang lain untuk masuk kembali dalam kehidupan seseorang yang masih disukainya."
Kalin mengerutkan kening. "Itu teori kamu?"
Arun menggeleng. "Tidak. Hanya kesimpulan yang saya buat sendiri, setelah melihat cara dia berbicara denganmu."
"A...aku tidak menyukainya lagi."
"Tapi dia masih menyukaimu." Arun membalas dengan cepat.
Kalin melipat-lipat serbet di tangannya. "Lalu, apa yang harus aku lakukan?"
"Entahlah."
"Kamu kan suamiku? Lakukan sesuatu untuk menyuruhnya pergi." Kalin berusaha mengarahkan Arun untuk ikut memikirkan kegusarannya.Arun terdiam.
"Arun?"
"Kalau dia datang lagi, aku akan memintanya untuk pergi dan tidak mengganggu kamu lagi." Arun mengucapkannya dengan cukup yakin.Kalin senang mendengarnya.
"Baiklah. Terimakasih."
Kalin meraih undangan pernikahan yang diterimanya tadi siang. Dari foto-foto di dalamnya, sepertinya yang akan menikah adalah teman Arun. Diserahkannya undangan itu setelah mereka selesai makan malam.
"Aku lupa ngasih tadi siang." Kalin meletakkan undangan itu di atas meja kerja Arun.
Arun membaca undangan dengan cepat, kemudian meletakkannya di atas meja.
"Apa kamu akan ngajak aku ke pesta itu?" tanya Kalin penasaran.
"Sebenarnya..." Arun melepaskan kacamata yang biasa dipakainya ketika bekerja. "Aku bisa pergi sendiri."
"Tapi di situ ditulis, Arundaya Agyana dan nyonya." Kalin mencoba mengingatkan.
Arun sudah tahu karena sampul undangan adalah bagian pertama yang dibacanya. Namun dia ragu, bagaimana cara mengatakannya kepada Kalin. Dia belum yakin akan mengajak Kalin bersama-sama menghadiri pesta pernikahan temannya itu.
"Tidak masalah kalau saya pergi sendiri."
"Aku juga berhak datang ke pesta itu." Kalin membalas.
"Ya sudah. Kamu aja yang pergi." Arun menyerahkan undangan tersebut.
"Kok gitu?" Kalin menggeleng.
"Jadi?"
Kalin mengibaskan tangannya dan berlalu pergi dari hadapan Arun. "Ya sudah. Terserah."
Braakk!!Suara bantingan pintu yang ditutup Kalin hanya disambut Arun dengan senyum tipis. Lama-kelamaan dia mulai menyukai cara Kalin bereaksi terhadap setiap ucapan sinisnya. Ngambek dan mendiamkannya.
"Dasar manja." Arun tertawa pelan.
***
Kalin menyendokkan nasi goreng ke piring Arun dengan wajah cemberut. Untuk kesekian kalinya Arun membuatnya kesal. Dan tidak terhitung pula sudah berapa kali mereka melakukan aksi diam-diaman yang seringkali berakhir dengan aksi berbaikan yang dimulainya dengan menyapa Arun.Tapi kali ini Kalin sudah bertekad untuk tidak mengajak Arun bicara sampai Arun meminta maaf.
"Pestanya Sabtu malam." Arun menatap mata Kalin yang langsung dibalas Kalin dengan tidak acuh.
"Kalau kamu mau pergi sendiri, boleh."Kalin menggerutu. "Menyebalkan."
"Tapi, kalau mau pergi bersamaku, boleh." Arun memakan nasi goreng dengan tenang. Menunggu respon Kalin.
"Aku di rumah saja," jawab Kalin cepat.
Arun tersenyum menatap wajah cemberut Kalin. Hmm, jadi ngambeknya keterusan."Baiklah." Arun menurunkan sendok dan garpu yang dipegangnya. "Maafkan sikap saya semalam."
Kalin pelan-pelan melihat ke arah wajah Arun. Tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan maaf seperti yang diinginkannya."Serius?"
Arun mengangguk. "Kita akan pergi ke pesta itu bersama-sama."
***
"Arun bisa tolong aku?"
Arun baru saja melepaskan jas hitamnya ketika mendengar suara Kalin yang tadinya masuk ke dalam kamar sebelah untuk berganti pakaian."Ada apa?"
Kalin menatapnya ragu. "Gaunku nggak bisa kebuka."
Arun mengerutkan kening.Kalin berbalik memunggungi Arun. "Di sini."
Arun menatap punggung Kalin dengan gugup. Ke dua tangannya mulai diletakkan di dua tempat yang berbeda. Tangan kanan menarik restleting yang kandas dan tangan kiri menekan punggung Kalin. Setelah diamatinya beberapa saat, dia menemukan dua helai benang yang saling berpilin dan menghalangi restletingnya turun ke bawah.
"Saya ambil gunting dulu."
"No, no. Ini kan gaun mahal. Kok mau digunting?" Kalin berbalik.
Arun menjelaskan masalah yang ditemukannya dengan kalimat yang super singkat. "Ada benang yang nyangkut."
"Oo...oke."
Arun mulai mengarahkan gunting ke arah benang yang menghalangi pergerakan restleting.
Perkiraannya meleset, ternyata setelah benangnya digunting, ada bagian renda kain yang juga masuk ke alur restleting. Bagian ini jauh lebih sulit karena kain yang termakan restleting itu cukup banyak.Kalin merasakan jantungnya berdebar-debar ketika kulit telapak tangan Arun menyentuh punggungnya yang terbuka. Gaunnya sudah terbuka di pertengahan punggungnya dan samar dia mendengar Arun menggumamkan tentang mengapa Kalin harus membeli gaun yang menggunakan restleting.
"Ditarik saja."
Kalin menggigit bibir karena tangan Arun menekan punggung polosnya lebih lama.
"Sudah."
Arun terduduk di tepi tempat tidur dengan keringat menetes di pelipisnya. Benar-benar perjuangan berat. Dia menatap punggung polos Kalin sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain.Samar didengarnya Kalin mengucapkan terimakasih lalu terdengar suara pintu ditutup.
"Apa yang aku pikirkan?" Arun menggeleng-geleng.
***
Keadaan rumah orang tua Arun jauh lebih sepi. Tidak ada makhluk sejenis Kalin di sana. Semua berjalan tertib dan terkendali. Kalin tidak perlu mencari tahu mengapa kepribadian Arun begitu tertutup. Dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang super tenang, walaupun ibunya terlihat cukup interaktif. Ayah Arun berbicara seperlunya, karena serangan stroke setahun yang lalu. Mungkin karena Arun tidak memiliki saudara perempuan, yang berkontribusi langsung terhadap ketenangan dalam rumah itu. Kalin baru saja selesai mengajak ayah Arun berkeliling di sekitar taman. Obrolan mereka berlangsung panjang karena Kalin cukup lincah mencari topik-topik ringan yang bisa membuatnya mengobrol lebih lama dengan ayah Arun.
Kalin terharu saat ayah Arun meminta maaf jika ternyata ada sikap Arun yang kurang menyenangkan perasaan Kalin selama pernikahan mereka. Sama seperti yang dikatakan ibu Arun sebelumnya. Kini Kalin dan Arun duduk di kursi rotan di teras belakang, sementara ibu Arun mengantarkan suaminya masuk ke ruang TV untuk menonton berita. Kalin kagum dengan penataan taman yang didominasi tanaman-tanaman hias berwarna hijau. Kontras dengan taman rumahnya yang berwarna-warni. Dua gaya taman yang berbeda, dan dua-duanya sama-sama menarik.
"Arun, kenapa kita nggak tinggal di sini aja?"
Kalin menatap Arun yang duduk di kursi sebelah kanannya.
"Kenapa? Kamu kasihan sama bapak? Ada ibu sama suster yang jaga." Arun menjawab dengan balik menatap Kalin.
"Ya, beda. Maksudku, rumah ini kok kayaknya sepi banget?" Kalin menaikkan kakinya hingga sejajar di atas jalinan rotan kursi yang modelnya memanjang.
"Kalo Aris udah nikah, dia berencana tinggal di sini." Arun menjelaskan.
"Kata ibu, nanti ada sepupu dari Bogor mau ikutan tinggal di sini."
"Oh gitu ya?"
Arun mengamati Kalin yang duduk santai di kursi rotannya. Dia terpikirkan sebuah pertanyaan yang selalu mengganjal pikirannya. "Kalin, kamu nggak nyesal nikah sama saya?" tanya Arun.
Kalin yang jujur saja cukup terkejut mendengarnya, dengan cepat menggeleng kuat. "Nggak. Aku kan udah milih kamu."
"Keluarga kamu jauh lebih kaya dari keluarga saya. Kamu bisa dapet laki-laki yang lebih baik dari saya. Tapi kenapa kamu milih saya?" Arun mengalihkan pandangan.
"Karena aku cinta sama kamu. Sejak ketemu sama kamu, kamu nolongin aku, trus aku baca profil kamu di sebuah majalah bisnis, aku rasa kamu calon suami yang baik. Aku sempat pesimis sebelumnya, aku pikir kamu udah punya calon istri. Saat ibu bilang keluarga kamu mau datang melamar, aku bahagia banget." Kalin tersenyum.
Arun menatap Kalin dengan tatapan dalam. "Terimakasih buat semuanya."
***
Dua piring berisi nasi goreng buatan Kalin diletakkan di atas meja makan. Arun bisa mencium aroma yang menggoda. Walau si pembuat mengaku kalau bumbu yang digunakan adalah bumbu nasi goreng instant, Arun tetap ingin memakannya. Karena itu buatan Kalin. Perempuan yang dengan tulus mencintainya. Menerima sikapnya yang terkadang dingin dan tidak acuh. Kalin pantas dibahagiakan. Dia berjanji tidak akan mengecewakan Kalin.
***
Let it go
Biarkan masa lalu pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top