Heaven In Your Eyes -8-
Arun memilih-milih kemeja apa lagi yang akan dipakainya hari ini. Dia sudah menolak saran Kalin untuk mengganti pakaian-pakaiannya yang lama.
Dan sudah dua hari ini mereka saling diam satu sama lain.
Arun menarik kemeja kotak-kotak biru yang terlipat di deretan paling bawah lemari pakaiannya. Dipandanginya sekilas antara ingin memakainya atau menyingkirkannya dari situ. Arun berpikir-pikir dalam beberapa detik dan setelah memutuskan, dia pun segera keluar dari ruangan itu.
Kalin hampir menjatuhkan piring yang dipegangnya ketika melihat Arun menuruni tangga. Arun memakai pakaian yang disiapkannya dua hari yang lalu. Hari di mana Arun berkata dengan suara keras dan Kalin menghabiskan waktu seharian itu dengan mengunci dirinya di dalam kamar.
“You look great.” Kalin berkata dengan nada datar, lalu kembali menuju dapur.
Arun hanya memandang Kalin sejenak kemudian ikut masuk ke dalam dapur mengambil kotak sereal di dalam lemari di pantry.
Suara dentingan butiran sereal yang masuk ke dalam mangkuk membuat Kalin berbalik. “Hari ini mau sarapan sereal?”
“Iya.”
“Kenapa nggak bilang? Biar aku yang siapin.” Kalin mengambil susu kotak di dalam kulkas dan meletakkan sendok di dalam mangkuk yang diletakkan Arun di atas meja pantry.
“Biar saya saja.” Arun hendak mengambil mangkuk yang kini dipegang Kalin, tapi Kalin lebih sigap membawanya ke meja makan.
“Aku ambilkan jusnya ya?” Kalin sudah selesai menuangkan susu ke dalam mangkuk berisi sereal.
Arun hanya duduk dan mulai mengaduk sereal.
“Bik Sumi lagi sakit katanya, jadi nggak ada yang buat nasi goreng. Padahal aku baru mau nyiapin roti bakar.” Kalin meletakkan dua gelas jus jeruk di atas meja lalu menarik kursi yang biasa didudukinya. Tepat di depan kursi yang diduduki Arun.
“Saya sudah tau.” Arun mulai mengunyah sereal. Dilihatnya Kalin juga mengambil kotak sereal dan kini mulai menuangkannya ke dalam mangkuk.
“Aku pernah belajar bikin nasi goreng. Nanti deh aku masakin.” Kalin tersenyum.
“Kamu bisa masak?”
Kalin menuntaskan suapan dalam mulutnya. “Dikit sih. Lagi dalam proses belajar. Yang penting aku tahu resepnya.”
“Nggak perlu dipaksakan kalau memang nggak bisa.” Arun menyendokkan lagi sesendok sereal dan dikunyahnya agak cepat.
“Ya harus bisa dong, Arun.” Kalin meneguk jusnya.
Arun meneguk air putih, menandaskan sarapannya yang tidak tuntas. “Pastikan saja, masakanmu bisa dimakan,”
Kalin memandangi punggung Arun yang menjauh, menaiki tangga sebelum menghilang dari pandangan.
“Jutek banget sih?”
***
Sejak kemarin, Kalin memang tidak pernah bertanya-tanya lagi kepada Arun. Perempuan itu bahkan tidak terlihat dimana-mana ketika Arun pulang untuk makan siang. Arun juga tidak berniat bertanya kepada Bik Sumi.
“Tadi Non Kalin pamit mau ke perkebunan strawberry. Siapa tahu, Den Arun nanyain.”
“Mau ngapain?” Arun lupa sejenak kalau dia tidak akan bertanya soal Kalin sama sekali.
“Mm, Non Kalin nggak mau bilang tuh.” Bik Sumi berujar ragu. “Disusulin aja, Den. Takut Non Kalin kenapa-napa.”
“Suruh Mang Usep aja, Bik.” Arun menusukkan garpunya. Mengambil satu potong lagi ayam goreng tepung buatan Bik Sumi.
“Mang Usep lagi ada urusan keluarga.”
Arun tidak mungkin lupa dengan pesan orangtuanya terkhusus pesan ke dua mertuanya untuk menjaga Kalin dengan baik. Yang artinya tidak ada alasan untuk tidak menjaga Kalin. Dia suami dan Kalin adalah isterinya. Kenyataan yang jutaan kali didoktrinkan orangtuanya kepada Arun setelah dia menikahi Kalin. Kalin adalah harta paling berharga keluarga Triatomo. Lebih berharga dari seluruh aset kekayaan keluarga itu yang tidak akan habis dinikmati sampai tujuh turunan. Diibaratkan saja seperti boneka porselen. Kalin mudah rapuh dan pecah. Sudah menjadi kewajiban Arun untuk menjaganya karena hanya Arun yang tinggal bersamanya.
Ditandaskannya makanannya dengan cepat. Tanpa berpikir panjang lagi, dia segera melajukan jeepnya, mencari Kalin di tempat yang dikatakan Bik Sumi.
Hampir satu jam Arun mengelilingi perkebunan strawberry. Bayangan Kalin tidak ada di sana. Dia mudah saja menghubungi Kalin untuk menanyakan keberadaannya. Namun sekarang posisinya sama dengan Kalin. Tidak akan bertanya antara satu sama lain. Tentang apapun.
Hujan gerimis mulai turun. Titik-titik airnya jatuh di kepala dan jaket parasut biru dongker yang dipakai Arun. Sementara pencariannya juga belum berhasil. Dia memutuskan pulang. Siapa tahu Kalin sudah ada di rumah.
Sampai hari gelap, Kalin tidak juga pulang. Arun sudah menghubungi ponsel Kalin namun tidak aktif. Arun belum akan menghubungi polisi untuk meminta bantuan.
Ponsel yang dikantunginya bergetar. Nomer salah seorang karyawan di perkebunan. Arun mengambil langkah panjang menuju mobil jeepnya yang terparkir di halaman.
“Dasar menyusahkan!”
***
Kalin yang duduk dengan memeluk lutut adalah pemandangan pertama yang disaksikan Arun ketika tiba di warung kopi yang terletak tidak jauh dari jalan masuk menuju perkebunan teh. Setelah mengucapkan terimakasih dan mengobrol singkat dengan Rizki yang menghubunginya tadi, Arun membimbing Kalin berjalan menuju jeepnya.
“Mobilku mogok tadi, padahal aku mau pulang.” Kalin menatap Arun dengan takut-takut saat mereka sudah duduk di dalam mobil.
Arun menggeser duduknya dan menempelkan tangannya di dahi Kalin. Lalu tanpa pemberitahuan, Arun menggas jeepnya membuat tubuhnya dan tubuh Kalin tersentak mengikuti sentakan mobil.
Klinik yang dituju Arun ternyata sudah tertutup. Dia teringat masih menyimpan obat-obatan termasuk Paracetamol. Badan Kalin panas dan Arun tidak akan membiarkan sakitnya bertambah parah. Dia tidak siap memberikan penjelasan panjang kepada orang-orang di Jakarta.
Arun mengaduk-aduk bubur yang dibuatkannya untuk Kalin. Dia hanya pernah melakukan hal tersebut kepada dua orang. Seseorang di masa lalu, dan sekarang untuk Kalin. Tapi dia melakukannya dengan dua perasaan berbeda. Satunya dengan perasaan kasihan, satunya lagi dengan perasaan kesal. Bubur untuk Kalin dibuatnya dengan tidak sabaran. Dia merasa sudah mengaduk cukup lama, tapi bubur buatannya belum juga menyatu antara air dan butiran berasnya.
Mungkin terasa lama karena ia melakukannya tidak dalam keadaan ikhlas. Arun menyadarinya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah bersusah payah demi semangkuk bubur, Arun meletakkan mangkuk dan air putih di atas nampan dan membawanya ke kamar mereka.
Ketika dia datang, Kalin cepat berbalik memunggunginya dan cepat-cepat memejamkan mata. Kalin terlalu takut Arun akan memarahinya lagi seperti dalam perjalanan pulang. Kalin sudah sering melihat Arun marah, tapi tidak pernah semarah tadi. Dia akan senang luar biasa jika Arun marah karena mengkhawatirkannya. Namun Kalin akan benar-benar sedih, jika Arun melakukannya karena alasan supaya orangtuanya di Jakarta tenang karena Arun bisa menjaga dirinya dengan baik. Dia ingin Arun melakukannya karena keinginan, dan bukan karena kewajiban.
“Saya tau kamu belum tidur. Balik sini dan makan bubur kamu.” Arun meletakkan nampan yang cukup muat di atas nakas.
Kalin mengusap airmata dan berbalik kemudian pelan-pelan mengambil posisi duduk. Dia tidak berharap Arun mau menyuapi seperti kebiasaan ibu ketika dia sedang sakit. Kalin harus bisa berkompromi dengan keadaan, walau hal yang paling diinginkannya detik itu adalah kembali ke Jakarta dan memeluk ibunya sampai sembuh.
“Aku tau kamu nggak suka sama perempuan cengeng. Tapi aku nggak peduli lagi kamu suka atau nggak. Aku…hiks…aku sedih sama sikap kamu.” Kalin mengusap lagi airmatanya. Bukannya habis malah semakin bertambah.
Arun mengangkat mangkuk buburnya. “Nih. Makan.”
Secepat itu juga Kalin menolak. “Aku bisa bikin sendiri.”
Arun meletakkan mangkuk tanpa melihatnya karena ke dua matanya menatap tajam kepada Kalin yang dianggap tidak menghargai jerih payahnya.
“Terserah kamu!”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top