Heaven In Your Eyes -35-

Arun masih menunggu apakah Kalin memang masih memberikan kesempatan. Tengah malam itu, dia mendapati Kalin sedang duduk di tepi tempat tidur.

Dalam keadaan kamar yang remang, Arun mencoba menyesuaikan matanya dengan intensitas cahaya yang ada.

"Kamu nggak tidur?"

"Kamu sendiri kenapa nggak tidur?"

Arun membuka kedua mata. Kalin menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan yang sama.

"Baru bangun."

Kalin mengambil remote untuk menyalakan lampu. Sesaat saja, kamar sudah dalam keadaan terang benderang. "Jam 2."

Kalin masih mengingat kebiasaan Arun yang kerap terbangun saat dinihari. Kata Arun, kebiasaan bangun pada jam yang bagi sebagian orang merupakan jam-jam pulas, sudah berlangsung sejak dia kembali ke Puncak. Karena tinggal sendiri, dan dia khawatir ada orang maling masuk ke dalam rumah. Tapi tidak setiap malam juga. Jika dia terlalu lelah, tidurnya pun keterusan sampai Subuh atau menjelang pagi.

"Kalo gitu, aku mau tidur lagi." Kalin baru saja selesai meneguk air putih yang sengaja diletakkan di nakas sebelum tidur.

"Kamu sudah mengambil keputusan tentang tawaranku?" tanya Arun.

"Belum." Kalin meluruskan kaki di dalam selimut. "Karena aku masih marah sama kamu."

***

Marah. Lebih buruk dari hanya sekedar kesal.

Kalau kini Kalin ikut bersamanya, Arun tidak tahu alasannya. Pagi itu, Kalin hanya mengatakan bahwa dia telah mengemasi tas dan bersiap ikut kembali ke Puncak. Hanya itu.

"Rumah di peternakan itu sudah siap dihuni." Arun sepertinya mengatakan siang itu mereka akan langsung ke sana.

"Bagus kalo gitu."

Kalin nampak tidak terlalu antusias. Arun memahaminya. Suasana hati Kalin tidak bisa dipaksa untuk menjadi baik kembali. Mereka sedang dalam masa transisi, jika dia bisa mengartikannya.

Sekitar tiga jam kemudian, ketika matahari mulai meredup, mereka tiba di halaman rumah peternakan. Sekilas tidak ada yang berubah. Warna cat dindingnya masih putih. Bentuk atapnya juga masih sama. Hanya ada tambahan pot-pot kecil berisi bunga-bunga kecil warna-warni.

Arun merogoh kantung depan ranselnya, mengeluarkan kunci. Setelah membuka pintu rumah, Arun mengisyaratkan Kalin untuk masuk lebih dulu.

Ada begitu banyak perubahan. Terakhir kali ke sana, ruang tamu masih lengang tanpa furniture. Namun kini sudah terisi sofa motif bunga, meja kecil dengan taplak krem. Tidak ada ruang tengah, tidak ada sekat yang memisahkan ruang tamu dan ruang makan. Dari tempatnya berdiri sekarang, dia bisa melihat jelas meja makan dan empat buah kursi. Berikut pantry yang sudah dirapikan.

"Semua ini sudah bisa digunakan." Arun seolah bisa membaca pikirannya. Arun mendahuluinya membukakan lemari penyimpanan peralatan makan, tempat bumbu, dan tempat sendok sup, pisau, dan bahan-bahan dapur yang terbuat dari stainless steel. Bahkan oven dan mixer juga ada di sana.

Kalin benar-benar tidak tahu jika Arun sudah menyiapkan semua ini. Dia berputar meninggalkan dapur menuju kamar tidur. Arun menunjukkan kamar untuk tamu. Kamar berukuran lebih besar yang ditunjukkan paling belakangan adalah kamar tidur utama.

Warna-warna yang dipilihkan Arun tidak berbeda jauh dengan warna kamarnya di Jakarta. Kalin tidak tahu apakah Arun mendesain kamar itu mengikuti apa yang dilihatnya di Jakarta. Bahkan bed cover tempat tidurnya pun mirip. Warna cokelat susu dengan motif bunga putih.

Jendela kaca bertirai, lemari pakaian, dan AC adalah tiga obyek terakhir yang dipandangi Kalin sebelum beralih memandang Arun.

"Istirahat dulu." Arun menyarankan. Tas berisi pakaian Kalin diletakkan di dekat lemari.

Kalin memilih diam hingga Arun berlalu dan menutup pintu.

***

Beristirahat selama dua jam sudah cukup memulihkan tenaga dan pikirannya. Lagipula sepanjang perjalanan Kalin memilih tidur.

Keluar dari kamar, Kalin mendapati Arun sedang berada di pantry. Berdiri sambil memegang dua cangkir yang mengepulkan asap.

"Teh." Arun memberitahu isi cangkirnya. "Tante Herliana mengundang kita makan malam."

"Ya. Tante Her juga barusan nelepon."

Kalin membiarkan Arun menarikkan satu kursi untuknya sehingga kini mereka duduk berhadapan dengan cangkir teh masing-masing dan sepiring biskuit cokelat.

"Aku lupa kalau kita seharusnya singgah membeli bahan makanan untuk makan malam."

Kalin menatap uap panas dari cangkir. "Aku lagi malas masak."

"Jadi karena itu, tidak salah kalau kita makan malamnya di luar saja."

Arun lebih banyak bicara sekarang. Jelas, perubahan yang dilihat Kalin tidak begitu ekstrim, tapi tetap saja dia merasa Arun tidak seperti biasanya.

Kini saatnya mengingatkan bahwa mereka harus bicara. Bicara dalam konteks mereka sebagai sepasang suami isteri dengan hubungan yang tidak sedang akur. Mereka tidak akan pergi makan malam di rumah Oom Radit kemudian berakting seperti pasangan suami isteri yang sedang berbahagia.

"Soal Ambar waktu itu, aku benar-benar minta maaf."

Akhirnya Arun menyinggung lagi soal itu.

"Aku bahkan nggak peduli lagi, Run." Kalin mengeraskan suara.

"Aku harus menjelaskan sebelum kesalahpahaman di antara kita semakin besar."

Kalin menggeleng kecil. "Aku nggak tahu di mana posisi aku dalam hidup kamu, Run. Aku benar-benar nggak tahu." Suaranya semakin mengecil.

"Aku sudah memberitahu Ambar kalau kita sudah menikah."

"Dan dia nggak bisa menerima kenyataan itu kan?" Kalin mencoba menebak. "Lalu apa yang akan kamu lakukan? Menjaga perasaannya dan mengabaikan aku?"

Arun menundukkan wajah. Tangannya masih memegang pegangan cangkir. Seteguk teh nyatanya tidak cukup untuk meredakan ketegangan yang merayapi sekujur tubuhnya.

"Kalin, aku tidak pernah mengabaikan kamu."

Kalin menghela napas. Rasanya berbicara dengan Arun selalu membuat perasaannya semakin sensitif. Dia tidak bisa berlama-lama di sana.

"Aku mau kembali ke kamar. Mau siap-siap."

***

Seharusnya Arun memberitahu lebih awal jika mereka akan langsung menginap di rumah itu. Kalin tidak punya banyak pakaian untuk dipilih. Sekalipun acara makan malam yang berlangsung kurang dari sejam lagi, juga bukan acara formal. Tapi dia tidak mungkin datang dengan memakai dress yang biasa dipakai ketika cuaca sedang panas.

Akhirnya, setelah menimbang-nimbang di antara pilihan pakaian yang terbatas, Kalin memilih sebuah dress hitam dan menutupinya dengan jaket.

Kalin ingin menggerutu di depan Arun, tapi sepertinya tidak akan memberi pengaruh banyak. Lagipula, menggerutu akan membuat Arun berpikir hatinya sudah dalam keadaan baik. Entahlah, menurutnya, gerutuan akan dilontarkan ketika dia sedang kesal. Kesal jelas bukan pilihan kata yang tepat untuk menggambarkan suasana hatinya.

Jadi, Kalin diam saja. Dan mengabaikan Arun yang menatapnya dengan tatapan memuja.

Sepertinya begitu.

Setelah perjalanan dalam diam karena mereka tidak berbicara satu sama lain, mereka sampai di rumah Oom Radit. Lampu taman memberi kesan temaram dan hangat. Arun menunggunya turun setelah membukakan pintu. Kini mereka berjalan bersisian tanpa interaksi satu sama lain.

"Sudah lama sekali kalian nggak datang ke sini." Tante Herliana yang pertamakali menyapa.

"Iya, Tante. Baru ada waktu." Kalin beralasan. Arun mengiyakan dengan senyuman tipis.

"Jadi, bener nih udah isi?"

Ucapan tante Herliana barusan tidak langsung dijawab oleh Kalin. Sesaat, Kalin tersipu dan refleks mengelus perutnya. "Baru jalan tiga bulan, Tan."

"Pantes. Kamu kelihatan sedikit lebih gemuk." Tante Herliana mengusap bahu Kalin dan menggumamkan ucapan selamat.

"Tante merhatiin ya? Aku ngerasa malah jadi kurusan."

Tante Herliana hanya tertawa.

"Arun. Diperhatikan ya selama Kalin hamil. Apalagi ini anak pertama."

"Iya, Tante," jawab Arun, tidak lupa melemparkan tatapan lembut kepada Kalin. Ini bukan hal yang baru pertamakali dilakukannya. Tapi menunjukkan kepada orang lain, ini yang pertamakali.

Rasanya aneh.

Sambil menunggu sup tomat dihidangkan, sesekali Oom Radit mengobrol dengan mereka. Arun selalu terdengar tertawa sopan. Dia tidak pernah memulai pembicaraan.

Benar-benar pemalu.

Kalin melirik Arun, serasa ingin ikut tertawa dengan obrolan mereka tentang sapi, sesuatu tentang inseminasi buatan, yang kurang dia pahami di mana letak lucunya.

"Nah, ini supnya sudah jadi." Tante Herliana menghidangkan sup dalam mangkuk putih berukuran besar. Hanya melihatnya saja, Kalin sudah kelaparan.

"Biar kuambilkan." Arun sudah mengambil sendok dan menyendokkan sup ke mangkuk di hadapan Kalin.

"Aku bisa ambil sendiri." Kalin mengucapkannya setengah berbisik, tapi tante Herliana dan Oom Radit sudah melihat ke arah mereka dengan tatapan kagum.

"Wah. Arun manis sekali. Sekarang berbalik melayani isteri."

Arun tersenyum. "Sekali-kali, Tan."

Ketika pandangan mereka bertemu, Kalin mengalihkan kepada piring berisi rolade daging sapi.

Sup tomat dengan bola-bola daging, rolade, sapi lada hitam, dan ayam krispi asam manis. Penuh protein. Hanya tumis buncis dan brokoli yang berbahan sayuran.

Arun menyendokkan nasi, berikut rolade dan tumis brokoli. Sebelum tangan Arun menggapai sendok untuk mengambil tumis buncis, Kalin sudah terlebih dulu menolak.

"Sudah."

Arun mengiyakan, lalu mulai mengisi sendiri mangkuk dan piringnya. Arun menyendok sup, mengisikan piringnya dengan nasi, sapi lada hitam dan tumis brokoli.

"Gimana masakan Tante?" tanya tante Herliana di sepuluh menit pertama makan malam itu.

"Semuanya enak banget, Tante," jawab Arun.

"Tante harusnya buka restoran." Kalin menambahkan.

"Hmm. Tante memang ada rencana ke situ."

Kalin menaikkan alis. "Oh, ya? Aku mau bantu-bantu, Tan."

"Nanti dibicarakan lagi. Tante sama Oom Radit memang udah lama membahas soal rencana membuka restoran."

"Restoran dengan menu serba daging. Apalagi pemasoknya kan udah jelas dari peternakan sendiri." Kalin menyelesaikan kunyahan brokoli di mulutnya, dan semakin antusias dengan rencana itu.

"Kamu mau bantu-bantu apa nanti?" tanya Arun tiba-tiba.

Kalin mengunyah brokoli dengan perlahan. Dia tidak tahu apakah Arun sedang serius bertanya atau sedang meledeknya. Dia memang tidak akan ikut memasak untuk cikal bakal restoran tante Herliana kelak, karena kemampuan memasaknya tidak bisa diandalkan. Tapi soal promosi dan mungkin soal permodalan dia mampu.

"Aku bantu promosi," jawab Kalin singkat.

"Yang lain?" Arun masih bertanya padanya.

"Soal modal, mungkin?" Kalin melirik Arun yang masih menatapnya. Pandangan Arun jatuh ke bibirnya, dan sebelum sempat dicegah, Arun sudah menyeka sudut bibirnya. Sepertinya ada noda saus. Kalin mengerutkan kening, berucap ketus. "Aku bisa sendiri. Jangan sentuh aku."

"Maaf."

"Kalin? Ada apa?" tanya Oom Radit.

Mungkin suara ketusnya kepada Arun barusan terdengar jelas.

"Nggak apa-apa, Oom. Sori." Kalin tersenyum kecut. Sepertinya dia sudah gagal menahan diri.

Dia tidak minta banyak hal. Arun hanya cukup menjaga jarak darinya.

Bisakah Arun melakukan hal itu?

***

Kalin turun dari mobil mendahului Arun yang hendak membukakan pintu untuknya.

Dua jam makan malam tadi benar-benar membuatnya muak. Setelah lepas kendali di meja makan, Kalin merasa yang terbaik baginya malam itu adalah pulang ke rumah. Tapi demi menghargai Oom Radit dan tante Herliana, dia harus menunggu sampai waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Tante Herliana masih menahannya untuk tinggal mengobrol, namun Kalin beralasan kurang enak badan.

Hanya dengan sentuhan kilat Arun di sudut bibirnya tadi, sudah cukup membangkitkan amarah. Arun sudah meminta maaf untuk ketiga kalinya, tapi tetap saja Kalin tidak mampu memaafkan.

"Kalin. Bisa kita bicara?" Arun setengah berlari menyusulnya masuk ke dalam rumah.

"Aku mau sendiri, Run."

"Kita tidak bisa begini terus." Arun menghentikan langkah di dekat punggungnya.

Kalin menggeleng. "Aku masih marah sama kamu."

"Sampai kapan?"

"Aku nggak tau."

Perlahan, Arun mengarahkan tangannya hingga menyentuh bahu kanan Kalin, perlahan turun ke lengan atasnya. Kalin melangkah maju, namun tertahan dengan gerakan tangan Arun yang menahan di kedua lengannya.

"Lihat aku, Kalin."

Kalin merasakan cekalan Arun melonggar, membalik tubuhnya hingga kini mereka saling berhadapan.

"Lihat aku." Suara Arun terdengar serak.

Kalin menggeleng dan saat itu juga jemari Arun menahan wajahnya di pipi sebelah kiri. Kalin merasakan wajahnya mendongak.

Kalin memberanikan diri memandangi wajah Arun. Menatap ke dalam kedua matanya. Sepasang mata yang teduh, namun sendu. Sepasang mata yang cukup membuatnya bahagia hanya dengan melihatnya.

Mereka sama-sama terdiam. Namun dalam diam, ada rasa sakit yang tersampaikan.

Ada rasa rindu yang tertahan, menunggu untuk dilampiaskan.

"Dengarkan."

***

"Kesalahanku dan keluargaku, karena tidak jujur soal pernikahan yang batal itu."

Kalin masih diam. Sejak masa perkenalan mereka hingga menikah, Arun tidak pernah sekalipun memberitahu tentang Ambar. Rupanya, rahasia itu sengaja disimpan atas kesepakatan keluarganya dan keluarga Ambar.

Lama sekali Kalin terdiam.

"Kenapa, Run? Kenapa kamu nggak pernah bilang?"

"Karena waktu itu tidak ada kejelasan tentang Ambar. Saat keluarga kamu menawarkan perjodohan, keluargaku terlalu bahagia soal itu. Dan entahlah. Yang terjadi, kami menutupinya."

Kalin menggeleng pelan. "Kamu tahu itu tindakan kriminal. Kamu dan keluargamu membohongi aku dan keluargaku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top