Heaven In Your Eyes

Tiga bulan lamanya aku baru update lagi cerita ini. Segitu lamanya, dan masih ada juga yang nungguin. Kirain udah lupa :)

Semoga suka ya :)


-Ketika yang kulihat di matamu adalah bahagiaku yang abadi-


Kalin melepaskan sisa-sisa perasaan tidak nyaman ketika mengikuti Arun turun dari mobil. Dia berbalik sejenak kepada Arun yang mengulurkan tangan kepadanya.

"Kita tidak akan melakukannya hari ini kalau kamu tidak mau."

"Aku mau." Kalin tersenyum.

Tiba di depan rumah Ambar yang nampak sepi, mereka berjalan berdampingan dengan tangan mereka yang terus bertautan.

Kalin tidak ingin mundur lagi. Tidak sebelum bertemu Ambar, berbicara dari hati ke hati, meyakinkan dirinya bahwa memang Ambar hanyalah masa lalu Arun. Kisah mereka sudah usai, dan kini kisahnya dengan Arun yang sedang berlangsung.

"Hei, Run."

Erwin keluar dari pintu depan dan berdiri menyambut mereka di teras. Kalin tidak begitu memerhatikan teras rumah Ambar ketika mereka ke sana untuk pertamakali. Dan ketika memerhatikannya dengan seksama, dia menyadari teras tersebut ternyata memiliki beberapa buah kursi kayu dan sebuah meja panjang di mana terpajang beberapa vas berisi bunga segar.

"Kalin." Erwin beralih kepadanya.

"Hei, Erwin."

Arun menggerakkan jemarinya, membuat Kalin menoleh ke arahnya.

"Mau masuk sekarang?" tanya Arun. Wajahnya hanya dihiasi senyum tipis. Sejak ide untuk mempertemukan Kalin dan Ambar, wajah Arun memang selalu terlihat tegang. "Kalau kamu belum yakin..."

"Aku mau masuk sekarang."

Erwin nampaknya mengerti bahasa kikuk Arun dan Kalin, hingga dia menepuk bahu Arun sedikit keras.

"Ayo. Ambar udah nunggu kalian."

Menunggu?

Benarkah?

Kalin merasakan Arun melingkari tubuhnya dengan satu lengan dan mengelus lengan kanan atasnya. Arun melangkah lebih dulu sehingga mau tidak mau, tubuhnya pun ikut terdorong ke depan. Kalin ikut melangkahkan kaki memasuki ruang tamu. Dengan jarak antara ruang tamu dan kamar Ambar yang sangat dekat, rasanya hanya sebentar saja mereka telah sampai di kamar Ambar.

Ambar tengah berbaring dengan pandangan terarah ke jendela yang menyajikan pemandangan sore dengan semburat kuning keemasan. Warna abu-abu dan putih berpendar di antara warna kuning yang menyeruak masuk ke dalam kamar.

"Ambar."

Erwin yang lebih dahulu masuk ke dalam kamar, menghampiri tempat tidur, dan dengan isyarat telunjuk, memberitahu Ambar jika ada tamu yang datang.

Ketika melihat Arun dan Kalin, Ambar terdiam sesaat. Tatapannya bergantian kepada Arun kemudian Kalin. Bukan tatapan marah atau kesal. Hanya ekspresi kosong, sebelum sebuah tarikan garis lurus menghiasi wajahnya. Senyum. Sebuah senyum yang dipaksakan.

"Arun," gumamnya.

Arun melangkah maju sambil tetap merangkul Kalin. Kalin selalu menoleh kepadanya, sekedar meyakinkan diri kalau Arun akan selalu memeluknya.

"Kalin."

Sapaan Ambar yang menyebutkan namanya mendadak membuat Kalin terkejut. Arun tidak pernah bilang jika Ambar sudah mengetahui namanya.

"Ayo ke sini. Kenapa di situ saja?"

Kali ini kalimat Ambar terdengar jauh lebih panjang.

"Iya." Arun yang menjawabkan untuk mereka berdua.

Erwin pamit untuk meninggalkan mereka mengobrol dengan Ambar. "Santai saja. Jangan tegang begitu, Kalin."

Kalin memaksakan diri untuk tersenyum. Sebagai kakak Ambar sekaligus sahabat Arun, Erwin terlihat bijaksana. Dia yang paling memahami keadaan, dan mampu memposisikan dirinya pada pihak netral. Menurut Arun, sejak kecelakaan hingga pembatalan pernikahan Arun dengan Ambar, sikap Erwin kepadanya tidak pernah berubah. Bahkan Erwin adalah salah satu orang yang memberinya dukungan untuk melanjutkan hidup dan tidak membiarkan penyesalannya semakin berlarut-larut setelah kecelakaan yang menimpa Ambar.

"Iya," Angguk Kalin.

Erwin menepuk bahu Kalin dengan lembut, memberikan semacam dukungan.

"Saya buatkan minum dulu."

"Nggak usah repot-repot."

"Nggak repot. Kebetulan ibu lagi di dapur."

Kalin menggigit bibir bawah. Mereka sekeluarga ada di sana. Apakah dia pantas juga berada di sana?

Tadinya terlintas di pikirannya untuk mengikuti Erwin masuk ke dapur untuk membuat teh sekaligus mengobrol dengan ibu Ambar. Tapi kalau dipikir lagi, tujuan utamanya datang ke sana adalah untuk bertemu Ambar. Dia sudah pernah bertemu dengan kedua orangtua Ambar dan anggota keluarganya, dan sepertinya memang tidak ada masalah.

Ketika beralih melihat Ambar yang masih berbaring, Kalin kembali menarik napas panjang. Arun sudah menarik kursi roda dan membimbing Ambar untuk naik ke atas.

"Mau ke halaman belakang." Samar dan lambat, Ambar mengatakan kalimat itu.

Setelah Ambar duduk di kursi roda dan Arun menutupi pahanya yang terbalut piyama dengan sehelai kain rajutan wol sehingga lebih hangat Arun menggerakkan kursi roda keluar dari kamar.

Kalin yang tergagap segera melangkah mendahului mereka untuk membukakan pintu samping menjadi lebih lebar. Dengan hati-hati, Arun menurunkan kursi roda menuruni jalanan di teras samping berbelok menuju halaman belakang.

Ternyata halaman belakang jauh lebih indah daripada halaman depan. Di sini bunga-bunganya tertata rapi dan jauh lebih banyak. Hawa sejuk sore hari dengan angin sepoi-sepoi, membuat Kalin takjub. Di depan mereka hamparan hutan pinus membentang. Dengan kabut tipis yang mulai menyelimuti puncak pepohonan. Pemandangan di sini tidak kalah indah dengan vila milik Arun.

"Duduk di sini, Kalin." Arun menunjukkan dua kursi kayu di dekat tempatnya memberhentikan kursi roda.

"Duduk, Kalin." Ambar mengulangi ajakan Arun tadi.

"Iya, terimakasih."

Tapi Arun belum ikut duduk. Dia hanya berdiri terpaku di belakang kursi roda. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku depan jinsnya.

"Masak aku duduk sendiri?" Kalin menggandeng tangan Arun dan setengah menyeretnya untuk duduk bersamanya.

Arun mengikutinya dengan pasrah.

"Di sini cantik banget pemandangannya." Kalin membuka suara saat mereka bertiga telah sama-sama duduk.

"Hmm. Ibu yang buat," Ambar menjawab.

"Oo."

Sejak sadar dari koma, cara Ambar berbicara belum bisa pulih seperti sebelumnya. Ucapannya masih pendek-pendek dan terbata-bata. Tapi tentu saja ucapannya masih bisa dimengerti.

Kalin menatap Ambar sejenak, mengamati lekuk-lekuk wajahnya yang cantik. Ada bekas luka di dahinya tapi tidak mengurangi kecantikannya.

"Aku Kalinda Triatomo. Senang berkenalan dengan kamu." Kalin menarik kursi hingga bisa berada dekat dengan kursi roda yang diduduki Ambar.

"Aku...juga." Ambar menggumam.

Kalin meraih telapak tangan Ambar untuk digenggamnya. Telapak tangan itu terasa dingin. Dia merasakan Ambar tidak merespon. Tapi kemudian Ambar menggerakkan jari-jarinya dan pada saat itu Kalin melihat Ambar memaksakan diri tersenyum.

"Aku ke dalam dulu," kata Arun. Dia hanya ingin memberikan ruang lebih kepada Kalin dan Ambar untuk saling berbicara.

Baik Kalin maupun Ambar sama-sama mengangguk.

Sejak dari rumah, Kalin memang menginginkan bertemu empat mata dengan Ambar. Ada banyak hal yang ingin dibicarakannya. Dia hanya ingin melalui kehidupan bersama Arun dengan perasaan tenteram. Dia hanya ingin tahu bagaimana perasaan Ambar, bagaimana penilaian Ambar terhadap dirinya. Bagaimana Ambar menghadapi hidupnya tanpa Arun. Bagaimana Ambar melepaskan Arun. Dan segala keinginannya kini setelah berhasil selamat dari kondisi koma.

Dia hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk Ambar.

***

"Masih sering sakit tulangnya?"

"Hmm. Sedikit. Sudah bisa tidur nyenyak."

Ambar tadinya menunjukkan bagian-bagian tubuhnya yang sering terasa sakit. Kalin ikut memegangi lutut dan siku Ambar, kemudian beralih menatap wajah Ambar yang kembali murung.

"Kenapa? Ada yang sakit lagi? Kepala kamu sakit?"

"Tidak." Ambar menggeleng. "Aku baik-baik saja." Ambar memainkan jari-jarinya, dan mengelus kain rajutan di permukaan pahanya.

"Mungkin kalau kamu tidak keberatan, aku cariin informasi tentang perawatan untuk pemulihan kamu. Ayah kenal dokter yang tahu persis soal ini."

"Tidak." Ambar lagi-lagi menggeleng. "Aku sudah sembuh. Aku hanya butuh istirahat."

Kalin kembali mengusap punggung tangan Ambar. "Semuanya akan baik-baik saja."

"Iya." Ambar mengangguk. Tatapannya menerawang. "Baik-baik saja. Aku...aku akan baik-baik saja."

Kalin ikut mengangguk. Mungkin Ambar memang sudah mengikhlaskan keadaannya sekarang. Tapi, mungkin masih ada yang mengganjal dalam hatinya.

"Arun." Ambar menyebut nama itu sambil menunduk pelan.

"Ya."

"Kalian sudah menikah ya?"

Kalin setengah tertegun dengan pertanyaan itu. Untuk pertamakali, dia mendengar pertanyaan tersebut langsung dari bibir Ambar. Perempuan yang pernah menjadi bagian hidup Arun sekaligus perempuan yang pernah membuatnya luar biasa cemburu dan nyaris menghancurkan pernikahannya bersama Arun.

"Iya."

Ambar mengangguk. "Bahagia. Kalian pasti bahagia."

Kalin mengeratkan genggamannya. "Maaf."

Ambar menggeleng. "Tidak. Tidak ada yang perlu dimaafkan."

Mereka sama-sama menghela napas, terdiam dan berikutnya Ambar yang mulai bersuara.

"Aku mau pindah."

Pindah?

"Mm...maksudmu? Kamu mau pindah ke mana?" Kalin mengerti maksud kata pindah itu, tapi dia merasa terkejut mendengarnya.

"Semarang."

"Kenapa mau pindah?"

Ambar menoleh Kalin. "Cari suasana baru."

"Tapi tempat ini indah banget. Maksudku, sayang kan harus ditinggalkan?" Tiba-tiba saja perasaan tidak enak merasuk dalam hatinya. Ambar pasti ingin pindah karena ingin menghindari bayangan masa lalunya dengan Arun.

"Tempatku bukan di sini." Ambar kembali terdengar menghela napas. "Itu saja."

Mungkin maksudnya, hanya itu saja alasannya tanpa ingin memperpanjang pertanyaan Kalin bahwa kemungkinan ada alasan lain yang lebih terdengar meyakinkan.

"Kita masih akan ketemu lagi kan?"

Ambar mengerutkan kening. Poni panjangnya yang berkibar tertiup angin dirapikannya dengan sentuhan jari-jarinya.

"Nanti dikasih alamat." Ambar memasukkan kedua tangannya ke dalam saku sweater. "Nanti sekali-kali ke sini."

"Aku pasti bakal ke sana." Kalin beranjak dari duduknya.

"Dingin."

"Iya. Aku antar ke dalam ya?"

Anggukan Ambar diikuti kata terimakasih dibalas Kalin dengan senyuman.

"Sama-sama, Ambar."

Langkah lambat dan pendek ke dua kaki Kalin menjejak di atas paving block. Ambar memang tidak lagi bisa berbicara banyak dikarenakan keterbatasan yang dimiliki. Tapi Ambar masih bisa menerimanya dengan baik.

Setelah berada di dalam rumah, mereka disambut dengan minuman teh hangat dan brownies kukus yang diletakkan di atas meja ruang tengah. Arun yang lebih dulu berdiri menyambut mereka. Arun dan Kalin saling bertukar pandang sejenak, sebelum Arun mengarahkannya untuk duduk di sampingnya.

"Minum dulu." Erwin mempersilahkan.

Sang ibu yang baru muncul di ambang pintu, setelah keluar dari dapur, ikut bergabung bersama mereka.

"Ayo, silahkan dimakan. Ini kuenya Ibu yang buat sendiri."

"Iya, Bu. Terimakasih," kata Kalin diikuti Arun yang juga mengucapkan terimakasih.

***

Ambar akan pindah ke Semarang. Untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan.

"Kalin."

Suara Arun menariknya dari lamunan.

"Iya, Run." Kalin menyahut, jari-jarinya merasakan hangat. Tangan kiri Arun memberikan elusan di tangannya sebelum kembali memegang kemudi.

"Kamu melamun."

Kalin tidak bisa bersembunyi. Bahasa tubuhnya terlalu kentara.

"Oh, ya?"

Tapi dia masih mempertanyakan, sekedar mengisi jeda waktu untuk memikirkan kata-kata diplomatis apa yang akan diucapkan jika pertanyaan Arun berlanjut. Mungkin Arun juga ingin mengetahui isi lamunannya?

Mungkin saja iya, mungkin juga tidak.

"Jadi sekarang mau ke mana?"

Pertanyaan Arun itu jadi terasa melegakan.

"Aku ikut aja. Ke manapun asal bersama kamu." Kalin tersenyum.

Tentu saja. Dia akan ke mana lagi selain bersama Arun? Berada di sisinya selamanya?

Sekalipun pertanyaan tadi sebetulnya hanya memerlukan jawaban sederhana. Mereka bisa singgah di perkebunan teh. Atau di peternakan. Atau kembali ke vila.

"Terimakasih." Arun mengucapkannya dalam tiga detik, menatapnya sebelum kembali melihat jalan di depan.

Kalin menghela napas. Diliriknya ke jendela di sampingnya. Barisan pepohonan seakan berlari. Kelebatan hijau dan hitam, mengiringi perjalanan mereka.

Kemanapun Arun akan pergi, dia pun akan berada di sana. Mengayun langkah bersama. Melihat ke depan, tanpa ragu. Karena apapun yang tertinggal di belakang, hanya akan menjadi kenangan manis dan pahit. Tidak peduli seberapa kuat peristiwa terdahulu yang nyaris menghancurkan. Mereka tetap akan ada di sana. Menyusun lembaran baru kehidupan yang hanya ada kata bahagia, cinta, dan bahagia.

"Kita ke perkebunan saja ya?"

"Ide yang bagus." Kalin menyahut singkat, kali ini dengan pandangan terarah ke depan.

TAMAT

_______________________________________________________________________

Saat kalian selesai membaca, semoga chapter yang kupost ini bisa membahagiakan untuk semua.

Teknisnya, inilah karya pertamaku di Wattpad yang diposting pertamakali dan dituntaskan juga di sini. Yippiiee!!

Aku nggak tau cerita ini seberapa baper, feelnya nyampe atau gimana ke kalian. Tapi aku berharap semoga ada hikmah yang bisa dipetik :)

Pertamakali dipost di bulan Maret 2015, di masa-masa galau menyelesaikan book 1 HWS yang ruwetnya luar biasa itu :D

Sesungguhnya naskah ini sudah mengendap di laptop sejak 2013 (duh parah). Dan sungguh nggak pernah kebayang bakal kelar. Alhamdulillah ya.

Sekalipun pamornya tidak sekencang HWS, namun aku sungguh senang menulisnya. Ini karya yang paling nggak kupikirin soal vote, komen dan sebagainya, namun menjadi karya yang menguatkanku.

Terimakasih sudah mengikuti perjalanan HiYE sejak awal hingga ending.

Aku belum mikirin soal epilog, namun kurasa cukup segini dulu...

Kisah ini masih banyak kurangnya, namun aku sangat menikmati perjalanan menulisnya yang luar biasa melelahkan. Kalau bukan karena support kalian, kisah ini tidak akan usai.

Sekali lagi, terimakasiiih :))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top