Heaven In Your Eyes -2-

“Aaaaah akhirnya sampai juga.”

Kalin berseru senang setelah melompat turun dari mobil dan menghembuskan napas lega sambil meregangkan otot-ototnya yang begitu tegang sepanjang perjalanan. Udara yang dingin membuatnya segera merapatkan sweater rajut pink pupus yang dipakainya.

“Jadi, kita bakal tinggal berdua di sini?” tanya Kalin penasaran.

            Tidak ada jawaban selain suara pintu di samping kemudi yang ditutup agak keras hingga menimbulkan suara yang mengagetkannya. Kalin mengusap-usap lengannya yang terasa bergidik oleh dingin, mengerucutkan bibir, mendengus melihat laki-laki yang baru saja turun dari mobil, yang sepanjang perjalanan hanya menanggapi setiap ucapannya dengan ekspresi wajah datar. Anggukan, gelengan, jawaban singkat.

Sama seperti sekarang. Bahkan menjawab pertanyaannya pun tidak.

“Arun? Aku nanya, kita bakal tinggal berdua apa gimana?” Kalin mengulangi pertanyaannya dengan suara lebih nyaring.

“Iya.”

“Hah?”

“Kenapa?”

Kalin menggeleng pelan. “Ng..nggak.”

Arun menoleh. “Nanti ada Bik Sumi yang datang untuk memasak, mencuci, dan bersih-bersih.”

“Setiap hari?”

“Tergantung.”

“Tergantung apa?”

Arun tidak menjawab lagi. Dia terlalu sibuk menurunkan koper-koper dari dalam bagasi.

Kalin mendesahkan napas panjang. Memejamkan ke dua matanya dalam beberapa detik. Sebuah terapi sederhana untuk mengembalikan moodnya menjadi lebih baik. Mensugesti dirinya dengan sugesti positif. Bahwa sikap dingin Arun hanya untuk sementara.

Pernikahan mereka baru berumur dua hari. Rasa canggung antara dua orang yang baru saja menikah adalah hal yang wajar.  Mereka akan menjadi sepasang suami isteri ideal yang tinggal di sebuah villa indah di Puncak. Romantis dengan banyak anak. Hidup bahagia selama-lamanya. Seperti kisah dongeng.

 “Aku suka tempat ini.” Kalin tersenyum puas menatap ke sekeliling villa. Walaupun ini bukan pertamakalinya Kalin ke sana, kekagumannya terhadap pemandangan di villa tidak berkurang sedikitpun.

Kemanapun pandangannya tertuju, pada saat itu juga mulutnya tidak berhenti memuji. Melontarkan kekaguman dengan obyek-obyek luar biasa yang ada di sekitarnya.

            Arun, laki-laki yang kemarin pagi resmi menjadi suaminya, mengeluarkan isi bagasi tanpa menyahuti setiap komentar Kalin. Isi bagasi terdiri dari empat koper besar, yang hanya satu diantaranya merupakan miliknya. Tiga lainnya milik Kalin, entah berapa banyak pakaian yang dibawa perempuan itu ke rumah baru mereka.

            “Kopermu.” Arun menunjuk tiga koper yang diturunkannya di depan teras.

            “Aku bawa sendiri?” Kalin melepaskan tas tangannya dan meletakkannya di atas meja ruang tamu. “Kan berat?”

            Arun hanya melengos, menarik koper hitamnya mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah. Kalin membuang napas sebal di belakangnya. Sepertinya ia tidak bisa berharap banyak dari laki-laki itu untuk membantunya membawakan koper. Dia hanya bertanya saja tadi, dan reaksi Arun sudah menyeramkan seperti singa.

            Kalin bersenandung sambil memasukkan salah satu kopernya ke dalam rumah.

“Biar saya yang bawa.” Arun berjalan kembali ke teras.

“Tapi aku kira kamu nyuruh aku bawa sendiri?” tanya Kalin kebingungan.

“Mau dibantu nggak?”

“Mau…mau!” sahut Kalin cepat. “Thanks ya. Jadi merepotkan.”

Arun melangkah dengan satu koper besar di tangan kanannya. Tanpa suara keluar dari mulutnya. Tadinya Kalin berharap ada kata-kata semacam “you’re welcome” atau sama-sama. Tapi tidak. Arun memang irit bicara seperti sebelum-sebelumnya. Sejak Kalin mengenalnya dua bulan lalu sampai hari ini.

Baru dua bulan. Kisah mereka bahkan baru dimulai. Walaupun Arun selalu menunjukkan sikap tertutupnya, Kalin yakin suatu saat sikap Arun akan membaik.

Arun hanya sedang beradaptasi dengannya, walau mungkin dengan cara yang tidak cukup baik.

Pernikahan mereka akan baik-baik saja.

Kalin mencoba untuk kembali menjernihkan pikirannya dengan kalimat-kalimat .

Setidaknya rumahnya bagus. pikirnya.

                                                                        ***

           

            Langkah Kalin menuju kamar di sebelah kamar di mana Arun masuk  dihentikan oleh suara Arun yang berdiri tegak di ambang pintu kamar utama. “Koper kamu ada di dalam.”

            “Aku pikir kamu mau tidur sendiri.” Kalin mengerutkan kening.  Mencoba menerjemahkan maksud Arun. Jika kopernya diletakkan di dalam kamar utama, maka kemungkinan dia juga akan tidur di dalam kamar itu.

            Iya kan?

            Arun menanggalkan jaket dan berjalan ke arah jendela untuk menyingkap tirai berwarna putih. Cahaya matahari yang cukup cerah seketika menerangi kamar. Tidak hanya membuka tirai, Arun bahkan membuka jendela lebar-lebar untuk memberikan sirkulasi udara untuk kamar itu.

            “Kamu mau tidur di kamar ini?” tanya Arun yang masih berdiri di depan jendela. Sepertinya sedang menikmati pemandangan di halaman.

            “Aku sih bisa tidur di kamar yang mana saja. Asal ranjangnya empuk.” Kalin menjawab sambil berjalan setengah berlari menuju jendela. Dia juga tidak ingin ketinggalan menikmati pemandangan pagi dari jendela.

            “Baiklah.” Arun menumpukan ke dua telapak tangannya di bingkai jendela. “Kalau begitu, kita akan membuat kesepakatan tentang beberapa hal.”

            Sepertinya Arun memang senang membuatnya kebingungan. Kalin tidak pernah berpikir bahwa akan ada semacam kesepakatan setelah mereka menikah. Tapi kesepakatan macam apa?

            “Maksud kamu?”

            Arun mundur selangkah dari jendela, menarik napas agak dalam. Kalin harus menunggu selama beberapa detik sampai Arun berbicara lagi.

“Jadi ini kesepakatannya. Dengarkan baik-baik.”

                                                                        ***

            “Tidur di kamar terpisah, tidak menyentuh barang-barang pribadi, tidak melakukan kontak fisik.”

            Kalin mengulangi ke tiga hal utama di samping hal-hal kecil lainnya yang diabaikannya, seperti tidak banyak bertanya dan ikut campur urusan pribadi masing-masing.

            “Aku tidak tahu kalau menikah denganmu harus pakai kesepakatan.” Kalin menghempaskan bokongnya di tempat tidur yang cukup empuk. Ranjang kamar utama akan jadi miliknya dan Arun akan tidur di kamar sebelah. Arun cukup berbaik hati memberikannya kamar yang paling luas di rumah itu. Tapi, sebenarnya bukan hal itu yang dibayangkannya ketika Arun memboyongnya ke sana.

            Tidur di kamar yang sama, bebas menyentuh daerah teritori satu sama lain termasuk kontak fisik, berkomunikasi dengan intens.

            Semua perkiraannya meleset. Arun mungkin menganggap pernikahan mereka hanya sebagai sebuah hubungan yang mengubah status pernikahan mereka di KTP hingga tidak akan menuntut hak dan kewajibannya sebagai seorang suami.

            “Sekarang kamu sudah tahu. Jadi lakukan saja.”

            Kalin merebahkan tubuhnya lalu cepat mengubah posisi menjadi tengkurap. “Lalu, sampai kapan peraturan ini berlaku?”

            “Sampai kamu bosan.”

            Kalin langsung menggeram dalam hati mendengar jawaban Arun. “Jadi, tujuanmu membuat aturan itu supaya aku merasa bosan dan mungkin…kalau aku sudah bosan denganmu aku akan minta cerai.”

            Arun hanya menoleh sekilas sebelum masuk ke dalam ruang penyimpanan sedangkan Kalin melesat turun dari tempat tidur dan berjalan secepat dan sejauh mungkin meninggalkan kamar utama.

            Ketika tiba di halaman, Kalin merasakan lututnya begitu kaku untuk melangkah. Tapi, dia benar-benar butuh udara segar.

                                                                        ***

            Sekitar sejam kemudian, Kalin berjalan kembali ke villa dengan perasaan yang lebih nyaman. Baru tiga hari berada di sana, dia sudah merindukan keluarganya di Jakarta.

            Sebenarnya dia berpikir terlalu jauh sampai menyebut kata cerai. Mungkin maksud Arun menjawab seperti itu tidak seperti maksud yang ada di pikirannya. Mungkin akan ada penjelasan resmi dari Arun setelah ini.

            Arun sedang berdiri di teras ketika Kalin datang. Kalin tidak ingin berbasa-basi dan berharap dia bisa sampai secepat mungkin ke kamarnya.

            “Merasa lebih baik?” Arun menyapanya dengan kalimat yang tidak ingin diterjemahkan Kalin.

            “Sepertinya begitu.” Kalin menatap tajam Arun yang tersenyum sekilas.

            “Kurangi saja pertanyaanmu jika tidak ingin mendengar jawaban yang tidak ingin kamu dengar.”

            Kalin merasakan dadanya bergejolak, tapi ditahannya sebelum mengeluarkan kata-kata yang justru hanya akan membuatnya menangis. Sebaliknya Kalin memasang senyum manis di wajahnya “Ya. Akan aku ingat baik-baik. Aku ke kamar dulu.”

                                                                        ***

            Makan siang berlalu kurang dari 10 menit. Itu karena Kalin hanya makan sedikit dan begitu cepat mengurung dirinya di dalam kamar. Arun menyimpan beberapa pakaiannya di kamar sebelah jadi Kalin tidak perlu khawatir Arun akan masuk dan mengganggu kekhusyukannya menangis.

            Baru beberapa hari dan Arun sudah membuatnya menangis.

                                                                        ***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top