Heaven In Your Eyes -18-
“Pantes lo ngebet banget pengen nikah sama suami lo. Ganteng bingiiiit.” Ella memeluk dirinya sendiri. Mencubit-cubit pipinya yang digembungkan.
“Ciyus. Tatapannya itu lho. Ya ampun, Kal. Kalo aku jadi kamu, aku bakal pingsan dicium sama dia.” Nasha yang kadar berisiknya sedikit di bawah mereka dan setara dengan Kalin, mencium-cium boneka Keroppi di pelukannya.
“Selain ganteng, jago bisnis juga kan ya? Penyayang pula. Duuh pengeeen.” Stella yang suaranya paling melengking langsung mengkhayal bagaimana rasanya menikah dengan seorang pangeran idaman.
Kalin tersenyum kepada ke tiga sahabatnya. “Mm, aku bilang juga apa. Kalian pasti sirik kaaan??”
“Eh, Arun punya sodara cowok nggak? Kenalin doong, Kal.” Ella, satu-satunya jomblo di antara mereka berempat, merajuk kepada Kalin.
“Ada sih. Tapiii…”
“KENALIIIIN!!!”
Percakapan mereka berempat terus berlanjut sampai berjam-jam. Kalin bertanya di mana mereka akan menginap. Ternyata Stella sudah membooking dua kamar hotel di Bogor. Mereka mengajak Kalin ikut bersama mereka. Kalin tidak langsung mengiyakan. Dia harus meminta ijin dulu kepada Arun.
***
Arun mengijinkan Kalin berlibur bersama sahabat-sahabatnya. Kalin merencanakan akan menginap di Bogor selama tiga hari. Tapi sahabat-sahabatnya suka membuat kejutan. Bisa saja mereka tiba-tiba sudah memesankan tiket bepergian keluar negeri. Atau kawasan wisata lain seperti Bali atau Lombok.
Koper yang akan dibawa Kalin sudah selesai dibenahi. Kalin sudah berpakaian rapi. Jins dan jaket putih juga syal rajut yang melilit di lehernya. Rambutnya dikuncir kuda. Wajahnya hanya diberi make-up natural. Blush on favoritnya, membuat ke dua pipinya merona.
“Kamu nggak mau ikut?” tanya Kalin basa-basi. Dari reaksi Arun yang lebih banyak diam ketika mengobrol, Kalin tahu Arun tidak begitu menyukai sahabat-sahabatnya. Arun tidak pernah suka dengan perempuan-perempuan yang terlalu berisik. Tapi Kalin tidak bisa berbuat banyak. Dia juga tidak bisa menegur sahabat-sahabatnya. Mereka sudah lama dibesarkan dalam keadaan seperti itu. Dengan segala kehebohan dan antusiasme terhadap apapun.
“Banyak kerjaan.” Arun menjawab dengan nada seperti biasa.
“Aku pasti bakal kangen banget sama kamu.” Kalin mengucapkannya dengan tulus.
“Mm.” Arun menoleh ke koper besar yang diletakkan di tengah-tengah kamar. “udah mau berangkat? Biar saya bawain ke bawah.”
“Thanks so much, Arun.” Kalin bermaksud memeluk Arun tapi Arun sudah memunggunginya dan membawa kopernya ke dekat pintu.
Setelah sampai di bawah, Kalin memanggil ketiga sahabatnya yang duduk menunggu di ruang tengah.
Arun memasukkan semua koper ke dalam bagasi dan menutupnya dengan sekali tutup. Mobil yang dikemudikan Stella memiliki ruang bagasi yang cukup luas. Mobil semacam itu memang cocok untuk perempuan-perempuan yang gemar travelling dan belanja.
“Aku tadi nyoba bikin ayam goreng tepung buat kamu.” Kalin duduk di depan di samping Stella yang sedang memanaskan mobil. “Dimakan ya?”
Arun mengangguk. Semua penumpang sudah masuk ke dalam mobil. Terakhir yang dilihatnya, Kalin menatapnya dari kejauhan dengan senyum tipis.
***
Bik Sumi meletakkan mangkuk sup sebagai masakan terakhir yang disajikannya untuk Arun. Arun sudah duduk dengan piring yang mulai diisinya dengan nasi. Pandangannya terhenti di sepiring ayam goreng tepung yang warnanya terlalu cokelat. Itu ayam goreng buatan Kalin. Tanpa sadar Arun tersenyum dan mengambil sepotong tanpa ragu.
Suasana makan terasa tenang sekaligus sepi. Bik Sumi sedang beres-beres di dapur. Arun memanggilnya ikut makan bersama, tapi Bik Sumi menolak. Beliau akan makan malam di rumahnya saja.
Sambil makan, Arun mengingat-ingat sesuatu.
Untuk pertamakalinya setelah menikah, Kalin tidak berada dekat dengannya.
***
“Eh, itu Raga, bukan?” Stella menyenggol pinggul Kalin yang berjalan di sampingnya.
Kalin mengarahkan pandangan ke mana Stella memandang. Seorang laki-laki memakai kemeja garis-garis warna marun, memakai dasi bermotif garis warna hitam dan memakai celana hitam. Duduk di lobi hotel sambil memegang tablet di tangan kanannya.
“Mm, iya.” Kalin menarik lengan Stella supaya mereka cepat berjalan menuju kamar hotel mereka.
“Lo nggak pernah kontak sama dia lagi?”
Kalin menggeleng. Dia sudah lama melupakan Raga, laki-laki baik yang ditolaknya karena laki-laki itu tidak memiliki pekerjaan di bidang bisnis seperti yang menjadi kriteria yang ditetapkan ayahnya dalam mencari menantu. Raga adalah seorang surfer dan programmer yang cukup sukses. Tapi ayahnya tidak pernah menyukai Raga.
Ternyata bukan hanya Stella yang menyadari keberadaan Raga di lobi hotel. Ella dan Nasha yang menguntit di belakang Kalin dan Stella ikut-ikutan memberitahu Kalin soal Raga.
***
“Hei, girls.”
Raga mendatangi meja mereka dengan menyapa mereka satu-persatu. Sampai kepada Kalin, Raga menegur agak keras. “Hei Kalin.”
Kalin berusaha tersenyum. “Hai, Ga.”
Mereka berempat saling berpandangan. Raga tersenyum kepada mereka berempat. “mejanya sudah full ya?”
“Silahkan. Nggak ada larangan kok duduk semeja berlima.”
“Gue balik ke meja gue. Tuh, udah ada teman juga.”
***
Dua hari berpisah dengan Arun, Kalin selalu kepikiran. Dia memutuskan menghubungi Arun sebelum tidur. Mendengar suara Arun, Kalin bahagia.
“Lagi ngapain?” tanya Kalin sambil menatap lampu-lampu dari balkon tempatnya berdiri.
***
Arun melekatkan ponsel ke telinganya. Suara Kalin membelai saraf pendengarannya.
“Lagi baca buku. Biasa.”
“Aku lagi di balkon hotel. Dingiiin banget. Jadi ingat rumah.”
“Oo.” Arun memindahkan ponsel ke telinga kiri.
“Aku nggak tau kapan pulang. Sahabatku ngajakin ke Singapura.”
“Ikut aja.”
Kalin berharap Arun menyuruhnya pulang. Namun ketika menyinggung soal liburan ke Singapura, Arun malah mengijinkan.
Apakah Arun tidak merindukannya sama sekali?
“Kamu nggak rindu sama aku?”
Arun mengulum bibir. “Kalo kamu rindu rumah, kamu boleh pulang.”
Kalin mencengkeram besi pembatas balkon dengan erat. “Kamu nggak rindu sama aku?” ulangnya.
Arun membolak-balik buku yang dibacanya dengan resah. “Kamu kenapa harus ngulang pertanyaan yang sama?”
Kalin memelankan suara. “Ya udah. Bye, Arun.”
Arun tidak pernah merindukannya. Kalin bahkan tidak peduli akan kembali ke villa atau langsung ke Jakarta setelah selesai berbelanja di Singapura. Arun tidak pernah memikirkannya.
***
Kalin berbelanja dengan kalap di sebuah department store. Lebih kalap dari kebiasaan belanjanya yang biasa. Kartu kreditnya bahkan sudah nyaris limit ketika dia membawa semua barang yang ingin dibelinya ke meja kasir. Stella, Ella, dan Nasha, sampai terheran-heran dengan cara belanja Kalin yang tidak biasanya.
“Pulang yuk.”
Kalin menenteng tas-tas belanjaannya sendiri. Selain belanja gila-gilaan, mood Kalin kurang baik. Stella, Ella dan Nasha mengikuti langkah Kalin keluar dari toko. Mereka menunggu taksi yang bisa mengantarkan mereka kembali ke hotel tempat mereka menginap. Kalin diam di sepanjang perjalanan. Stella bertanya apakah Kalin sedang sakit. Kalin mengatakan dia baik-baik saja. Dan yang diinginkannya hanya segera beristirahat. Dia ingin pulang besok ke Jakarta.
Bukan ke villa Arun.
***
Kesha mengamati aksi bongkar koper yang dilakukan Kalin tanpa bicara. Kakaknya yang biasanya bawel itu diam membisu, sementara tangannya mengeluarkan oleh-oleh untuk mereka sekeluarga. Tas untuk ibu, sepatu untuk ayah, untuknya Kalin membelikan sebuah jaket bulu berwarna putih, dan beberapa dasi untuk Katon.
“Lagi marahan sama Mas Arun?” Kesha yang sama blak-blakannya dengan Kalin menanyakan pertanyaan yang jika didengar ibu, dia akan diomeli habis-habisan.
“Nggak tau, Sha.” Kalin menarik dengan susah payah pakaiannya yang dimasukkan ke dalam koper tanpa dilipat. Dia duduk membelakangi Kesha. Mendesah kuat dan membenamkan wajahnya di ke dua telapak tangan.
Kesha memutari ranjang dan duduk di sebelah Kalin. “Kak, ngomong dong kalo lagi ada masalah?”
Kalin langsung memeluk Kesha. Dan menangis seperti kebiasaannya jika ada sesuatu yang menyakitinya. “Aku nggak tau, Sha.”
Kesha tidak tahu harus bagaimana untuk menghibur kakaknya. Dia tidak tahu permasalahan pasangan yang sudah menikah jadi Kesha tidak tahu bagaimana solusinya. Lagipula kakaknya punya kehidupan sendiri. Dia tidak mau ikut campur.
***
Arun menyadari Kalin tidak pernah menghubunginya lagi sejak tiga hari lalu. Dia tidak tahu Kalin di mana lagi sekarang. Masih di Singapura atau sudah ada di belahan bumi lainnya. Dia mendapatkan kepastian setelah menghubungi nomer Kalin. Panggilannya tidak dibalas Kalin. Istrinya hanya mengirimkan SMS.
Aku udah di Jakarta sejak kemarin
Suara detak jam dinding menemani detak ketika Arun tengah berpikir. Kalin jelas-jelas sedang marah padanya. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya, selain mengambil sebuah tindakan represif. Dia harus menyusul Kalin ke Jakarta. Besok pagi.
Arun bangun lebih cepat dari biasanya. Melewatkan sarapan yang baru saja akan dibuatkan Bik Sumi. Memulai perjalanan yang baru direncanakannya semalam setelah yakin kalau Kalin belum akan pulang. Sepanjang perjalanan, Arun mereka-reka bagaimana perasaan Kalin sekarang. Perempuan itu sedang sensitif. Tidak mungkin Kalin kembali ke Jakarta jika bukan karena sedang kesal padanya.
***
“Kamu marah?” tanya Arun setelah menutup pintu kamar Kalin. Mereka baru saja selesai makan siang bersama minus Kalin yang memilih mengurung diri di kamar.
Perempuan yang ditanyainya sedang duduk bersila di tengah ranjang sambil membaca majalah. Kalin tidak menjawab. Berarti benar, dia sedang marah.
Arun bukan laki-laki yang tahu cara membujuk perempuan ketika sedang ngambek. Dia bahkan tidak berpikir untuk membujuk. Kalin mau kembali ke villa atau tinggal di Jakarta buatnya tidak ada bedanya. Tapi keadaan mereka seperti itu hanya akan memunculkan kecurigaan dari orang tua dan ke dua mertuanya. Hal terbaik yang bisa dilakukannya adalah membawa Kalin kembali ke Puncak.
“Saya rindu sama kamu, Kalin.” Arun duduk di dekat Kalin. Menjatuhkan tatapannya kepada Kalin yang mengangkat wajahnya dengan ragu.
“Aku nggak tau kamu lagi serius atau bohong, Arun.” Kalin kembali menatap fotonya berangkulan dengan Kesha yang menjadi wallpaper laptop Kesha.
“Saya nggak bisa balik ke villa kalo nggak bawa kamu.” Arun menyentuh punggung tangan Kalin dengan telapak tangannya. “Saya serius.”
Kalin menarik tangannya menjauh dari jangkauan tangan Arun. “Aku akan ikut kamu. Tapi aku mau nginap semalam lagi.”
***
Terakhir kali Arun makan bersama keluarga Kalin adalah ketika Arun dan Kalin akan berangkat ke Puncak. Lengkap. Katon, kakak Kalin yang biasanya absen makan malam juga ikut makan bersama mereka. Kesha yang memang selalu mengusahakan makan di rumah, juga selalu hadir. Seperti makan malam kali ini. Semuanya duduk bersama di meja makan. Arun bisa merasakan keakraban antara anggota keluarga Triatomo.
Selesai makan malam, Arun bergabung bersama mereka, menonton TV sambil mengobrol tentang topik-topik yang ringan. Salah satunya tentang kebiasaan ibu Kalin yang selalu menyempatkan nonton infotainment jika ada kesempatan nonton di pagi hari. Topik lainnya, tentang liburan Kesha di Disneyland Hongkong bersama Kalin sewaktu mereka masih kecil. Kesha trauma melihat maskot Minnie dalam ukuran besar, sedangkan Kalin malah tidak mau pulang padahal mereka sudah harus kembali ke Jakarta keesokan harinya. Atau Katon yang paling sering “disiksa” Kalin untuk menemaninya bermain Barbie jika sedang marahan dengan Kesha. Kalin suka menggunakan ancaman akan melaporkan Katon kepada ibu karena tidak mau bermain dengannya. Intinya di antara mereka bertiga, Kalin yang paling ribet dan manja dalam banyak hal. Mungkin karena tingkahnya yang supel dan sangat manis sehingga mudah mendapatkan perhatian dari banyak orang.
“Kamu maklum kalau Kalin manja. Kadang malah masih minta disuapin.” Ibu Kalin tertawa renyah. Sementara Kalin yang menjadi obyek tertawaan semua orang memasang tampang cemberut sambil menyandarkan kepalanya di bahu Arun.
Refleks Arun menyentuh bahu Kalin, hingga tubuh mereka semakin merapat. Kalin memegang tangan Arun yang menggantung di bahunya dan tersenyum bersama Arun. Akting yang begitu alami.
“Sekarang kan udah berkurang manjanya.” Kalin mendongak. “Iya kan, Arun?”
Arun mengangguk. “Iya, dikit berkurang.”
“Ih apaan?” Kalin mencubit perut Arun.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top