Heaven In Your Eyes -17-
Malam ke dua tidur di ranjang yang sama. Kalin duduk dengan punggung disangga bantal. Tangannya disentuhkan ke tablet di pangkuannya. Bermain game sambil menunggui Arun selesai dengan pekerjaannya. Arun yang duduk di kursi yang menghadap meja kerja, masih sibuk mengetik di laptopnya. Tidak ada tanda-tanda kapan pekerjaannya selesai.
“Masih lama kerjaannya?” Kalin memandangi Arun yang berhenti mengetik. Jempol dan jari telunjuknya menggaruk-garuk dagunya.
“Tidur aja duluan.” Arun kembali mengetik.
Kalin mendesah. Dia tidak perlu menunggu untuk segera exit dari game yang dimainkan. Diletakkannya tablet berlogo produsen Amerika berwarna silver di nakas. Merebahkan tubuhnya dan merapikan selimut. Ke dua tangannya diletakkan di luar selimut. Kalin berusaha memejamkan mata. Tapi dia penasaran kapan Arun akan tidur. Dia mulai terbiasa dengan Arun yang berbaring di sampingnya. Dia ingin terlelap sambil memeluk Arun. Andai saja bisa meminta, Kalin akan melakukannya. Tapi ekspresi Arun di depan laptopnya tidak terbaca. Kalin takut jika banyak bertanya ketika Arun sedang sibuk bekerja, Arun akan marah.
Jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul dua belas. Ketika berbalik menghadap meja kerja, Arun tidak ada di sana. Hanya laptopnya yang sudah tertutup masih tergeletak di atas meja. Kalin menyingkap selimut.
“Arun?” panggilnya.
Kamar mandi tertutup. Arun mungkin sedang bersih-bersih.
Pukul dua dinihari, Kalin menyelimuti tubuh Arun yang tidur menyamping di sebelahnya. Kesempatan untuk memeluk Arun. Seperti yang dilakukannya kemarin malam, Kalin mengecup pipi Arun kemudian meletakkan telapak tangannya di pinggang Arun. Kalin akan tidur nyenyak dan mimpi indah dengan Arun bersamanya.
***
Dress selutut warna hijau bermotif bunga yang dikenakan Kalin melambai setiapkali kakinya melangkah. Dia senang akhirnya bisa memakai pakaian yang sedikit terbuka. Suhu peternakan yang hangat lebih cocok untuk kulitnya. Dia memang lebih betah berada di bawah matahari sejak kecil. Bermain sampai rambutnya yang hitam menjadi kecokelatan dan menguning di ujung-ujungnya. Tidak salah jika orangtuanya menamakannya dengan nama Kalinda yang berarti matahari.
Kalin membetulkan topi lebar yang dipakainya. Kacamata hitam dipakainya kembali karena mereka akan berjalan-jalan melihat-lihat kuda. Mereka, hanya dia dan Arun. Ibu, Oom Radit dan Tante Her, asyik mengobrol di ruang keluarga. Ibunya sendiri yang meminta Arun menemaninya berjalan-jalan.
“Tempat ini hangat dan menyenangkan.” Kalin menyusuri lintasan di dekat pagar pembatas arena berkuda. Ke dua kakinya memakai ankle boot, yang menurutnya lebih pas dengan jins dan kemeja kotak-kotak yang tidak jadi dipakainya tadi. Dia ingin memanjakan diri dengan dress-dressnya yang tidak banyak berguna di villa.
“Kamu lebih suka tinggal di sini?”
“Ah nggak juga. Di mana saja aku suka.” Kalin mengoreksi.
“Kamu bisa tinggal di sini kalo itu maumu.” Arun menurunkan kacamata hitamnya dan mengantunginya. Melakukan kontak mata dengan Kalin.
Kalin meletakkan ke dua tangannya di atas kayu teratas pagar pembatas lintasan. Menopangkan dagu di permukaan tangannya yang sedang bertaut. “Aku juga suka di villa. Tapi kalo kamu mau pindah ke sini, aku pasti ikut.”
Arun menyandarkan punggungnya pada tiang penyangga pagar. Lalu melipat tangan di depan dada. Rambut Kalin yang tergerai sedikit berantakan tertiup angin. Arun ingin menyentuhnya, merapikannya.
“Ya, tinggal di villa saja kalo gitu.” Arun menatap lengan Kalin yang tengah disirami cahaya matahari. Perempuan itu sangat manis dengan dress bunga-bunga. Membuatnya terlihat lebih kekanak-kanakan sekaligus lebih ceria dan hangat.
“Mm.” Kalin berbalik dengan ke dua tangan merapikan rambut setelah melepaskan topi lebarnya. “Kamu yang menentukan.”
Arun mengikuti langkah Kalin menuju padang rumput. Beberapa kuda dibiarkan merumput di padang. Salah satu dikenali Kalin sebagai Crystal, kuda favoritnya. Seekor kuda putih yang badannya tidak terlalu besar. Kuda itu miliknya, namun sudah jarang dikunjunginya. Dia berteriak setelah bersiul, memberi isyarat kepada Crystal. Kuda itu seperti mengenali suara manusia yang memanggilnya. Kepalanya diangkat dan kaki-kakinya berjalan di atas rumput.
“Hei, Dear. Lama nggak jumpa.” Kalin mengelus bulu-bulu di tengkuk Crystal. Kuda itu sangat terawat. Kulitnya bersih dan tidak berbau. Kalin menepuk-nepuk bagian perut Crystal. “Dia betina.”
Arun ikut mengelus tubuh Crystal yang putih bersih. “Ya saya ingat. Crystal hadiah ulangtahunmu yang ke-17.”
Kalin kagum Arun masih mengingat percakapan mereka ketika terakhir kali ke tempat ini. Seminggu sebelum mereka menikah.
“Crystal sudah tua.” Kalin menatap mata Crystal yang seolah ikut meredup.
***
Ibu Kalin kembali ke Jakarta dengan mobil yang sama dan Pak Edi yang datang menjemput. Hampir satu jam Kalin berbaring telungkup. Sedih karena dia masih merindukan ibu. Masih banyak yang ingin dilakukannya bersama ibunya. Tapi beliau harus segera kembali ke Jakarta. Sudah banyak kegiatan sosial yang menunggunya.
Kalin tidak mempersoalkan dimanapun dia harus tinggal. Namun ternyata, dia masih belum cukup kuat untuk berpisah terlalu lama dengan ibu. Persoalannya akan lain kalau ibu tidak datang menjenguk. Dia selalu sedih jika dihadapkan pada sebuah perpisahan.
Kamu udah punya kehidupan sendiri, Kalin. Suara batinnya berbicara.
“Aku tahu. Tapi aku nggak siap.” Kalin mengusap airmatanya.
Kalin mendengar pintu diketuk. Setelah berteriak menyuruh masuk, Kalin kembali menelungkupkan wajahnya di bantal. Tangannya yang memegang ponsel, mengklik foto-fotonya bersama ibu yang diambil di beberapa tempat. Kebun strawberry, perkebunan teh, dan peternakan.
“Kamu nangis?” tanya Arun yang masih berdiri sejengkal dari tepi tempat tidur.
“Ibu cepat banget pulangnya.” Kalin menyahut setelah mengangkat kepala.
Arun menggeleng-gelengkan kepala. “Ngapain nangis sih?”
Kalin menutup tampilan ponsel, mengusap airmata dan duduk bersila dengan bantal di pangkuannya. “Kamu ngelakuin apa kek, buat menghibur aku.”
Arun mengambil ponsel di nakas. “Salahmu sendiri.”
“Temenin aku nonton film.” Kalin setengah memaksa. Berpuluh-puluh DVD yang dibawanya dari Jakarta hanya pernah sekali ditontonnya. Sendiri. Dia ingin menontonnya bersama Arun.
“Saya lagi ada kerjaan.”
“Arun, please.”
Arun tidak mengiyakan, tapi hanya mengeluarkan kalimat mengambang. “Nanti-nanti.”
***
Setelah menutup telepon, Kalin melanjutkan aktivitasnya menunggui Arun pulang. Salah satu film kesukaannya, Legally Blonde, sedang diputar di DVD player. Sambil menonton, Kalin menyantap buah-buahan. Dia menghindari makanan yang manis dan mengandung banyak MSG. jadi, dengan buah-buahan dia tetap bisa tetap ngemil tapi dengan cara yang lebih sehat.
Bantal Keroppi menyangga kepalanya yang bersandar di pegangan sofa. Kalin menonton, tapi pikirannya lebih banyak berada di tempat lain. Tatapannya menerawang.
“Ibu udah nggak sabar pengen nimang cucu.”
Semalam, setelah dia kembali tidur sendiri di kamar mereka, Kalin memikirkan tentang keinginan ibunya. Sambil mengkhayal semalaman, Kalin mengelus-elus perutnya. Penasaran bagaimana rasanya jika perutnya yang rata menjadi gendut berisi makhluk hidup di dalamnya.
Kata ibu rasanya sungguh menyenangkan. Hidup menjadi sempurna sebagai seorang perempuan. Apalagi waktu hamil kakaknya, Katon, ibu sampai merasa jadi perempuan paling dimanjakan di dunia. Setiap gerak-geriknya selalu di bawah pengawasan ayah Kalin juga kakek-neneknya. Apapun yang diidamkan ibu, selalu dikabulkan. Bahkan mengidamkan yang ajaib pun disanggupi. Salah satunya ketika ibu mengidam ingin makan sepiring steak pinggir jalan di Paris di musim panas. Ayah Kalin sampai bela-belain mengantar ibu Kalin ke Paris. Makan steak kurang dari sejam dan langsung kembali ke Jakarta hari itu juga.
Ibu ada-ada saja. Batin Kalin.
Tidak akan ada anak tanpa ada usaha. Ada pasangan yang begitu cepat mendapatkan anak. Ada pula yang butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa memiliki anak. Bahkan ada yang sampai harus melakukan program bayi tabung dengan biaya besar.
Kalin belum tahu bagaimana punya anak jika hubungannya dengan Arun tetap seperti sekarang. Dia tidak mengerti apa yang sebenarnya ditunggu Arun, sementara secara lahir batin Kalin sudah siap memiliki anak. Kalau saja Arun bisa diajak bercanda, Kalin akan menyinggung soal anak tanpa harus melihat Arun berubah menjadi dingin dan acuh. Lagipula, perempuan hanya bisa menunggu. Laki-laki yang memegang kendali soal yang satu itu.
***
Arun menuruni tangga sambil menggulung lengan kemejanya. Ada suara ribut-ribut dari arah teras. Dia bermaksud membukakan pintu untuk tamu yang membunyikan bel dengan tidak sabaran disertai teriakan-teriakan memanggil nama Kalin.
Arun melihat dari hole di pintu dan tiga perempuan dengan pakaian yang lebih cocok dipakai ke mall tengah mengobrol di teras. Mereka berdiri di depan pintu. Salah satunya sibuk memencet bel.
Sahabat-sahabat Kalin.
“Hei, Ganteeeeeng,” sahut mereka serempak ketika Arun membukakan pintu.
“Hai.” Arun membuka pintu lebih lebar, berusaha tersenyum. Satu-persatu mereka masuk setelah menyentuhkan pipi mereka ke pipinya.
Gank Barbie.
“Hmm, nggak nyangka ya Kalin betah juga tinggal di sini. Jauh dari mall sama salon.”
Dari atas, Kalin melompat di setiap anak tangga. Wajahnya antusias, terlebih ke tiga sahabatnya. “Katanya dateng sore?”
“Surpriseeee!!” Mereka bertiga kembali menyahut bersamaan.
Arun mengibaratkan pertemuan mereka seperti pertemuan empat petasan banting. Ramai. Mungkin sedikit mirip anak-anak itik yang sedang berkumpul di pinggir sawah. Mereka nyaris seperti anak-anak dalam versi dewasa. Walaupun dari mereka berempat Kalin sedikit lebih kalem. Tapi kalem sepertinya tidak begitu berguna bagi pergaulan perempuan-perempuan berisik itu. Tidak ada yang mencoba bersikap tenang. Kecerewetan dari satu orang ditimpali yang lain. Arun berpikir-pikir jika mereka akan menyelidiki terlalu jauh soal kehidupannya dengan Kalin.
“Arun, kenalin sahabat-sahabatku.”
Arun berjabatan tangan dengan mereka satu-persatu sambil saling menyebutkan nama masing-masing. Dia sudah pernah bertemu mereka sewaktu akad nikah dan resepsi. Tapi waktu itu mereka terlihat anggun, kalem. Tidak disangka aslinya seperti yang disaksikannya sekarang.
Beruntung, Arun sudah akan berangkat kerja. Jadi dia tidak perlu mengurung diri di salah satu bagian villa sementara Kalin dan sahabat-sahabatnya menguasai ruang tengah yang berfungsi ganda sebagai ruang TV dan ruang menerima tamu-tamu yang dianggap dekat.
“Cium aku, Arun,” bisik Kalin saat Kalin membenahi penampilan Arun. “mereka bakal ngomong yang nggak-nggak soal kita.”
Arun mencium dahi Kalin dan mengecup bibir Kalin sekilas. Mereka mendengar suara riuh dari arah sofa, tempat ke tiga perempuan itu memutar kepala mereka ke arah teras.
“So Sweeeeet!!!”
Arun melambai ke arah Kalin. Dia merasa jadi badut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top