Heaven In Your Eyes -15-
Satu jam dihabiskan Kalin untuk membaca resep sambil memotong-motong bahan-bahan untuk membuat tumis sayuran sederhana. Semua dilakukannya dengan seksama dan sangat hati-hati. Dia masih belum siap tangannya yang halus harus menyentuh daging ayam mentah. Jadi dia memakai sarung tangan plastik yang benar-benar steril. Mulutnya mengembuskan udara meniup poni yang tidak teraup bandana pengikat rambutnya.
“Masukkan potongan bawang putih cincang setelah tumisan bawang merahnya harum. Jangan sampai gosong.”
Kalin merapikan kacamata bening yang dipakainya memasak. Kacamata itu berguna untuk mencegah matanya teriritasi ketika memotong-motong bawang. Dan sekarang ketika menumis, dia memakainya lagi. Khawatir matanya akan kecipratan minyak.
Ternyata memasak bukan hal yang terlalu sulit. Sama seperti belajar menggunakan make-up. Yang penting langkah-langkahnya benar, hasilnya pasti tidak akan buruk.
Ibu pasti bakal senang dengar aku masak, batin Kalin. Dilanjutkannya lagi pekerjaan memasak sambil membayangkan reaksi Arun setelah mencicipi masakannya. Dia tidak mau mengulangi insiden mie goreng keasinan. Walaupun rasanya tidak sempurna, tapi masih cukup layak untuk dimakan. Kalin membaui tumisannya yang sudah jadi. Dia memastikan kompor sudah dalam keadaan mati. Kemudian dia mulai membereskan meja. Membawa semua wadah, talenan, wajan anti lengket yang dipakai memasak ke bak cuci piring dan meletakkan bumbu-bumbu kembali ke tempatnya semula. Dia akan mencuci piring setelah makan.
Setelah menyiapkan meja, Kalin menaiki tangga dengan semangat. Langkahnya memelan ketika tiba di depan pintu kamarnya dan Arun. Diketuknya pintu, dan suara Arun yang terdengar dari dalam dibalasnya dengan memutar kenop pintu.
“Waktunya makan malaaam. Maaf, membuat kamu menunggu lama.”
Arun memutar kepalanya kembali ke laptop dan menshut down. Dia memang sudah sangat lapar. Laptopnya selama masa menunggu panggilan makan malam digunakannya untuk bermain game. Setelah menutup laptop, Arun menyusul langkah Kalin. Membuka pintu dan menuruni tangga dengan agak cepat. Dia berharap masakan Kalin tidak ikut serta dalam menu makan malam mereka.
“Masakanku yang ini. Tumis sayuran dengan daging ayam.” Kalin menunjuk piring yang ditata super cantik dengan bunga-bunga yang dibuat dari tomat. “Selebihnya masakan Bik Sumi.”
Arun menyendok nasi kemudian mengambil ayam katsu dan tempe goreng. Dia hanya melirik sekali ke piring yang ditunjuk Kalin. Kalin menyantap masakannya dengan wajah menikmati. Apakah Kalin berbohong atau tidak, Arun tidak bisa menyimpulkan.
“Ayo dicoba.” Kalin menyendok tumis sayuran, tapi Arun menggeleng.
Kalin tidak kehabisan akal. Ditusuknya sepotong daging ayam dalam tumisan, dan mengarahkan ke mulut Arun yang tengah mengunyah dengan cepat. “Kalo nggak enak, aku nggak akan masak lagi.”
Arun mengambil garpu yang disodorkan Kalin dan mulai menggigit potongan ayamnya yang…lumayan. Lembut dan bumbunya tidak keasinan. Dia tidak yakin itu masakan Kalin. “Lumayan.” Arun berkata jujur.
Kalin dengan senang hati menggunakan garpu yang tadi dipakai Arun makan, untuk dipakainya makan. Darahnya berdesir mengingat bagaimana Arun menciumnya tapi kemudian melepaskannya tanpa pemberitahuan sebelumnya. Membuat Kalin merasa seolah dijatuhkan ke bumi setelah dibuai melewati langit ke tujuh.
Dia menginginkan Arun menyentuhnya seperti yang dilakukan suami kepada istrinya. Tapi mengungkit hal itu bisa saja akan membuat Arun mengejeknya sebagai perempuan agresif. Kalin bahkan tidak peduli Arun mengatakan hal itu kepadanya. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana dahsyatnya ciuman Arun dan bagaimana Kalin menginginkannya lagi.
“Jadi, apa aku masih boleh masak lagi?” tanya Kalin berkonsentrasi menatap Arun tanpa memandangi bibirnya berlama-lama.
“Boleh.” Arun mengatupkan bibirnya ketika selesai menyekanya dengan serbet. Dia beralih ke piring berisi potongan buah. Kalin masih belum menyelesaikan makan malamnya. Selain karena kecepatan makannya yang lambat, pikirannya tentang Arun juga membuatnya tidak lagi lapar.
“Terimakasih.” Kalin memperhatikan Arun memasukkan potongan-potongan buah ke dalam mulutnya. Kapan dia bisa melihat Arun memakan masakannya dengan lahap dan memuji kalau masakannya sangat lezat? Semoga cepat terwujud.
“Kamu sudah tau kalau salah satu dari ibumu atau ibuku mau ke sini?”
Kalin mengangguk. Sialnya, dia jadi mengingat percakapannya dengan ibu dua hari yang lalu saat Arun masuk ke kamar dan memergokinya hanya memakai handuk. Handuk milik Arun pula. Sejak itu, Kalin memang menghentikan kebiasaannya memakai handuk Arun.
“Iya. Tapi nggak mastiin kapan.” Kalin menjawab dengan pipi merona merah.
***
Saat membereskan dapur adalah saat yang cukup sulit. Kalin menatap ke dua tangannya. Membayangkan tangannya menyentuh piring-piring yang kotor. Bakteri di mana-mana. Di spons, di bak cuci piring, di sisa-sisa sayuran dan daging. Apakah dia sanggup melakukannya?
Saat memutar keran, Kalin mulai menyentuh piring yang akan dicuci. Ditariknya lagi tangannya. Dia merasa harus menggunakan alat bantu. Sepasang sarung tangan plastik yang tadi dipakainya untuk memasak.
Teori mencuci piring yang diketahuinya, dimulai dari gelas, sendok, piring, terakhir wadah-wadah plastik dan peralatan masak seperti panci dan sejenisnya. Kalin mulai menyabuni gelas, disusul perlengkapan lainnya dengan sangat pelan.
Kalin mulai mencuci sendok. Menggigit bibirnya, membayangkan harus melakukan pekerjaan ini beberapa kali dalam sehari. Menyebalkan karena dia seharusnya jadi seorang puteri yang tinggal tunjuk sana, tunjuk sini untuk pekerjaan atau apapun yang sebetulnya bisa dilakukannya sendiri. Dia sudah menikah, dan harus mulai terbiasa dengan semua pekerjaan ini.
***
Kuku-kuku tangannya yang sudah lama mendambakan manikur, dipandangi Kalin dengan iba. Kasihan kukunya. Karena villa jauh dari salon, Kalin harus membiasakan melakukan meni pedi sendiri yang tentu saja tidak akan sebaik yang bisa dilakukan karyawan salon terlatih. Tapi daripada bentuk kukunya semakin tidak beraturan, Kalin memaksakan diri melakukan perawatan sendiri. Alat kikir kuku digerakkannya pelan di permukaan ibu jarinya. Tidak jauh dari tempatnya melakukan perawatan kuku, Arun duduk di sebuah kursi empuk sambil membaca buku.
Suara klakson mobil dari arah halaman menjadi alasan Kalin melompat dari sofa yang didudukinya. Memastikan bahwa yang datang siang itu ibunya atau ibu Arun. Dia berteriak kegirangan ketika melihat tubuh ibu keluar dari mobil sedan hitam yang disupiri Pak Edi, supir pribadi ibunya.
“Arun! Ibuku yang datang.” Kalin berseru kepada Arun yang sibuk membaca. Dia juga sedang menunggu kedatangan ibu Kalin, sebelum kembali melanjutkan tidur siang. Sebenarnya dia masih harus kembali melihat peternakan yang letaknya sekitar sepuluh kilometer dari villa. Namun demi menghargai kedatangan ibu Kalin, Arun menunda pekerjaannya siang itu dan memindahkannya ke jadwal besok pagi.
Arun merasakan pelukan hangat dari ibu Kalin, lalu tepukan sayang sang mertua di punggungnya. Sekilas dilihatnya Kalin menggelayut manja di bahu kanan ibunya. Tersenyum-senyum sambil mencolek dagu ibunya. Benar-benar perempuan manja.
“Gimana, Kalin? Kamu senang tinggal di sini?”
Pertanyaan yang cukup menggelitik hati Arun. Apakah ibu mertuanya sedang melakukan investigasi? Atau sedang meragukan keberadaannya sebagai suami Kalin?
“Senang banget, Bu. Jadi nggak pengen kemana-mana.” Kalin menjawab dengan lincah. Setengah berbohong karena dia ingin ke salon tapi jaraknya terlalu jauh. “Ibu kenapa baru datang sekarang? Kalin kan kangen?”
Arun lega mendengar jawaban Kalin.
“Iiih kamu. Kan Ibu ngasih kesempatan kamu buat berduaan sama Arun.” Ibu Kalin merapikan poni Kalin yang berantakan setiap Kalin menyurukkan kepala dalam pelukannya. “Mm, gimana? Udah isi nih?” Ibu Kalin mengelus perut Kalin.
Kalin melirik malu-malu ke arah Arun yang sedang menyeruput kopi panasnya. “Ibu, kok itu yang ditanyain? Lagian nikahnya kan baru tiga bulan yang lalu?”
Dan Arun hanya bisa menimpali. “Ditunggu saja, Bu.”
***
Kalin merasakan tempat tidur berguncang ketika Arun duduk. Keadaan kamar remang-remang. Hanya lampu tidur di nakas yang memberikan sinarnya. Kalin merasakan selimut yang dipakainya tersingkap saat Arun masuk dan bergelung di dalamnya.
Kalin membalik badannya. Menatap punggung Arun. Ini pengalaman pertama mereka tidur dalam satu ranjang. Kalin tidak tahu bagaimana perasaan Arun. Yang jelas jika dia ditanya, dia sangat bahagia. Jantungnya memacu cepat, hatinya berbunga-bunga. Tanda euforia atas keruntuhan satu batas di antara mereka. Meski Kalin sadar, Arun mau tidur seranjang dengannya hanya ketika ada razia. Setelahnya, mereka kembali akan tidur dalam dua kamar yang berbeda. Arun bisa saja memilih tidur di sofa, tapi Arun pasti terlalu lelah dan tidak mau tidur di tempat yang tidak begitu nyaman.
“Arun,” panggil Kalin. “Kamu sudah tidur?”
Tidak ada sahutan. Hanya dengkuran halus dan napas teratur yang menandakan Arun sedang tidur.
“Aku mau peluk kamu. Boleh?” tanya Kalin pada dirinya sendiri. Digerakkannya tubuhnya hingga menempel pada punggung Arun. Tangan kanannya melingkari tubuh Arun.
Di lain pihak, Arun masih terjaga sepenuhnya. Dia tidak menolak ketika tangan Kalin menyentuh lengannya. Juga tidak merespon ketika Kalin mencium pipi kanannya. Berbisik kalau Kalin mencintainya.
Sesuatu yang tidak bisa dibalasnya walau dia tahu perasaan Kalin begitu tulus. Arun tidak mau menyakiti Kalin dengan membiarkan dirinya membalas cinta Kalin. Perempuan itu terlalu baik untuknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top