Heaven In Your Eyes -12-

Pindah rumah? tapi ke mana?

            Selama dua bulan tinggal di daerah berhawa dingin, Kalin merasa cukup mampu menyesuaikan diri. Kalau sekarang Arun mengusulkan mereka untuk pindah rumah, dia merasa hal itu terlalu cepat.

            “Saya rasa rumah di peternakan lebih cocok buat kamu.”

              Yeah. Kalin memang pernah bercita-cita tinggal di rumah peternakan bukan di villa yang kurang terpapar sinar matahari. Sejak Arun mengatakan bahwa setelah menikah mereka akan tinggal di villa yang merupakan rumah masa kecil Arun, saat itu juga Kalin membuang kemungkinan untuk tinggal di sekitar peternakan. Dia tidak menyangka jika Arun akan mengajaknya tinggal di rumah yang diinginkannya itu. Tapi mengapa sekarang? mengapa bukan sejak dulu?

            “Serius? Kita akan pindah dari sini?” tanya Kalin dan jantungnya berdebar ketika Arun ikut duduk di tepi tempat tidur. Duduk di dekatnya lalu memandangnya tepat di ke dua matanya.

             “Saya tahu kamu lebih suka tinggal di tempat yang lebih hangat.” Arun menyimpulkan.

            Ya, dan dengan sikap kamu yang juga lebih hangat, batin Kalin.

            Sejenak Kalin melupakan keinginannya untuk mendiamkan Arun. Mereka harus membicarakan hal ini lebih lanjut. Baginya tidak masalah mereka tinggal di mana. Asalkan tetap hidup bersama.

            Tepat ketika Arun hendak mengatakan sesuatu, Kalin mengajaknya makan malam. Dan sepanjang makan malam itu mereka kembali menjadi canggung satu sama lain.

            Arun menunggu perkembangan sikap Kalin setelah dia mengajak Kalin melihat rumah di peternakan yang sudah jadi. Jika sikap Kalin kembali seperti sebelumnya, keceriaan yang ditunggu-tunggunya, baginya sudah cukup.

            Rumah yang mereka datangi sebulan lalu sudah siap untuk ditinggali.

            Kalin benar-benar menyukai setiap lekuk rumah peternakan itu. Rumah mungil yang dibangun dengan konsep sederhana sesuai keinginannya ketika ayahnya dulu membuatkan rumah itu khusus untuk rumah peristirahatan keluarga mereka.

            Mereka berhenti di dapur yang sudah dilengkapi dengan kitchen set dengan konsep sederhana. Arun berdiri di pintu dengan bagian tubuh sebelah kanannya bertumpu di bingkai pintu. Bersedekap, menunggu sampai Kalin selesai mengitari seluruh area dapur. Selama berada di sana, Kalin hanya sesekali menggumam kalau rumah itu indah, cantik, menyenangkan, namun belum ada kata-kata yang merujuk kepada keinginannya untuk segera pindah ke sana.

            Apakah ada bagian dari rumah itu yang tidak sesuai dengan selera Kalin? Mungkin harus ada beberapa perubahan dari disain interior. Tapi, Arun tidak akan mengubah apapun dari rumah itu semata-mata karena rumah itu dibangun oleh ayah Kalin. Dia tidak punya hak untuk itu.

            “Rumah ini kan cuma rumah peristirahatan? Aku pikir, aku hanya akan ke sini sewaktu-waktu saja.” Kalin mengatakan kalimat yang sudah cukup menyimpulkan jika dia tidak atau belum berminat tinggal di sana.

            “Jadi, kamu mau tetap tinggal di villa?” tanya Arun hanya untuk memastikan.

            “Mm, begitulah.” Kalin menjawab dengan cepat.

            Arun mengangguk. “Baiklah. Kamu bisa ke sini kapanpun kamu mau.”

            Kalin tersenyum. “Aku pasti akan selalu memberitahumu kapan aku mau ke sini.”

            Arun mengikuti langkah Kalin memasuki ruang keluarga. “Bukan hanya ke sini, kemanapun kamu mau, saya nggak akan melarang.”

            “Termasuk jika aku mau melihat-lihat perkebunan dan mengganggu pekerjaanmu?” tanya Kalin mengemukakan pertanyaan yang sudah sering ditanyakannya dalam dirinya sendiri.

            “Apapun yang kamu inginkan.”

            Kalin menatap Arun yang berdiri dari jarak kurang semeter dari tempatnya berpijak. Kening Kalin mengerut, mendengar ucapan Arun. Dia tidak tahu mengapa Arun harus menjadi selunak itu. Apakah ada instruksi dari orang lain supaya Arun mengubah sikap dinginnya. Kalin tahu, berhadapan dengan patung es bukan hal yang menyenangkan, tapi Arun dengan sikap yang membebaskan seperti itu seperti terlalu prematur untuknya. Dia ingin Arun melakukannya dengan pelan-pelan.

            “Apakah ucapanmu itu berarti kamu tidak akan peduli dengan apapun yang akan aku lakukan?”

            Arun mengulum bibir. “Bukan seperti itu juga. Saya justru membebaskanmu melakukan apapun yang kamu suka.”

            “Kenapa?”

            “Karena saya nggak mau mengekang kamu.”

            Kalin mengerutkan kening. Arun tidak perlu merasa mengekangnya dengan membatasi keinginannya. Kalin justru membutuhkan Arun dan batasan-batasannya karena dengan begitu dia merasa termiliki. Walau sebagian perempuan di luar sana menginginkan hal yang sebaliknya tapi Kalin tidak. Kalau bisa, dia ingin selalu berada di jangkauan terdekat dengan Arun.

            “Atau tepatnya nggak mau mempedulikan aku lagi?” Kalin merengut, lalu mengangguk. “Ya, aku mengerti.”

            Dengan tatapan kesal, Kalin melanjutkan ucapannya. “Aku mau pulang.”

            “Sebenarnya bukan begitu maksud saya.” Arun mencoba meluruskan namun Kalin sudah terlanjur menepis tangannya ketika Kalin menggeser tubuhnya, bermaksud segera keluar dari dapur.

             “Apalagi? Seharusnya aku tahu kamu nggak pernah menginginkan aku!” Kalin bahkan mengeraskan suaranya.

            “Kalin, dengar.”

            Senyuman tipis Kalin tersungging di bibirnya.  “Aku rasa kita harus cepat pulang. Sudah waktunya makan siang.”

                                                                        ***

            Arun masih berusaha untuk menjelaskan maksud perkataannya. Alasannya memberikan kebebasan adalah karena selama menikah dia selalu bersikap ketus kepada Kalin. Dia pun belum mampu mendekatkan hubungan mereka karena dia sendiri merasa belum siap. Dan dia hanya tidak ingin membuat Kalin merasa bosan berada di villa.

            Melakukan pengekangan terhadap perempuan tidak pernah berakhir dengan baik. Dan Arun sudah pernah membuktikannya.

            “Kalin.” Arun memanggil Kalin ketika jarak yang membentang di antara mereka semakin melebar.

            Tanpa menyahut Kalin semakin mempercepat langkahnya. Dia bahkan berlari menuju ke ruang makan dan ketika jaraknya semakin dekat ke pintu, tangan kanan Arun sudah melekat di pergelangan tangan Kalin.

            “Kamu mau ngapain?” tanya Kalin, bingung tanpa tahu apa yang akan dikatakannya. Sejujurnya dia tidak berpikir Arun akan menyentuh tangannya.

            Tidak hanya menyentuh, karena kini Arun membalikkan tubuh Kalin hingga mereka berdiri berhadapan.

            Kalin menyadari jarak di antara mereka terlalu dekat untuk dihindari.

            “Arun.”

            Kalin membisikkan nama itu sedetik sebelum bibir Arun menempel di bibirnya. Kalin tidak mampu membuat tubuhnya tetap tegak, dan dia bisa merasakan Arun mendorongnya pelan hingga punggungnya merapat di dinding kayu di belakangnya. Arun memiliki akses penuh pada tubuhnya dan Kalin bahkan pasrah dengan apa yang akan dilakukan Arun.

            Tapi kemudian Kalin merasakan jantungnya yang berdebar kencang seolah nyaris jatuh ke lantai. Dihelanya udara dengan napas tercekat.

            Buruk yang dirasakannya sekarang.

            “Maaf.”

            Arun yang lebih dulu melepaskan ciumannya menggumamkan kata itu lalu melangkah mundur.  “Kita pulang sekarang.”

            Kalin tidak berkata apa-apa. Sikap Arun berubah-ubah dengan begitu cepat.

Kalin hanya bisa mematung sejenak di depan bak cuci piring. Menatap jendela kecil dengan kaca kusam di hadapannya.

Apa yang dirasakannya semenit lalu adalah hal yang sudah lama diinginkannya. Tidak ada penolakan. Kalin bahkan berharap ciuman itu adalah isyarat bahwa Arun memang menyukainya. Tapi sama seperti sebelumnya ketika Arun pernah menciumnya dua bulan lalu. Saat itu Arun tidak pernah  menyinggung soal itu lagi.

Sejak Arun setuju untuk menikahinya, Kalin tidak mengharapkan hal lain yang jauh lebih sempurna.

Perjalanan pulang di isi dengan kecanggungan dari mereka berdua. Kalin mencoba menikmati perjalanan pulang dengan mencoba menyingkirkan rasa manis yang sempat dikecapnya beberapa saat yang lalu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top