Heaven In Your Eyes -1-
Perempuan dengan dandanan kasual, kacamata hitam, dan koper yang ditarik mengikuti kemanapun kakinya melangkah, mengentak-entakkan sepatu wedgesnya dengan tidak sabaran. Sesekali jam Dior di pergelangan tangan kirinya dipandangi dengan sama tidak sabarannya. Dia sudah melapor ke loket tiket, menanyakan tentang kemungkinan akan mendapatkan tiket untuk penerbangan malam itu, namun nihil. Semua tiket untuk penerbangan hari itu sudah habis. Semuanya. Dia bisa gila jika harus menunggu sampai keesokan pagi. Dia harus pulang malam itu juga. Bagaimanapun caranya.
“Ya Tuhan. Gimana aku bisa pulang?”
Lelah mondar-mandir tanpa hasil, dia duduk dengan tampang kusut. Tas Coach di pangkuannya dirogoh -tepatnya diaduk-aduk-, mencari sesuatu yang bisa membantunya mengurangi perasaan nervous, kesal, kecewa sekaligus menstabilkan fungsi otaknya supaya tetap fokus. FO-KUS. Mungkin dia harus berpikir lebih keras. Siapa tahu otaknya bisa menemukan jalan keluar dari masalah ini.
Perempuan itu mengembuskan udara ke poni yang menutupi dahinya. Menyadari poninya mungkin dalam keadaan berantakan, atau make-upnya, dia memasukkan lagi tangannya ke dalam tas. Mengambil compact powder, bercermin, mengamati satu-persatu bagian wajahnya. Poninya sedikit kurang rapi, tapi bisa diatasinya dengan sedikit sentuhan jari. Karena tidak bisa melihat kuncir kudanya, dia menoleh ke sebelah kirinya. Meminta seorang perempuan sebayanya menilai kerapian rambutnya. Setelah memastikan semuanya dalam keadaan baik, dia kembali berpikir.
“Ada masalah?” tanya perempuan yang ditanyai tentang kuncir rambutnya tadi.
“Yah begitulah. Aku butuh banget tiket. Tiketku nggak tau jatuh di mana. Mau beli lagi tapi udah nggak ada tiket.”
“Memangnya mau ke mana?”
Si perempuan berkuncir kuda yang masih mengunyah permen karet mengangkat bahu. “Ke Jakarta. Besok pagi sepupuku nikah. Penerbangan udah full semua lagi.”
“Ooo.” Perempuan yang memakai bandana yang mengajaknya mengobrol memperlihatkan wajah prihatin. “Sori, nggak bisa bantu. Aku juga mau ke Jakarta.”
Perempuan berkuncir kuda itu kembali melamun. Sepertinya sudah tidak ada harapan lagi. Dia menonaktikan ponselnya sebelum sepupunya berteriak menanyakan mengapa dia belum juga tiba di Jakarta.
Dalam frustrasi, perempuan kuncir kuda itu mendengar namanya dipanggil melalui pengeras suara. Tapi dia tidak yakin. Barulah ketika mendengar lebih jelas, namanya lengkap dengan nama pesawat dan tujuan penerbangan, dia segera melesat ke loket tempatnya bertanya tadi.
“Tiketku!!” teriaknya girang. Lalu mengeluarkan KTP dari dompet kulit yang bermerk sama dengan tasnya. “kok bisa nyasar di sini, Mbak?”
Perempuan di dalam loket tersenyum sesaat sebelum berbicara dengan ramah. Mengambil tiketnya untuk proses check in. “Iya, Mbak Kalin. Tadi ada orang yang membawa tiketnya ke loket. Untung belum terlambat. Ini boarding passnya, Mbak Kalin. Terimakasih.”
“Orangnya siapa, Mbak?”
“Saya nggak tau, Mbak. Bentar ya, Mbak. “ Petugas loket terlihat mengambil sebuah tiket kemudian mencocokkan pada monitor komputer. “Barusan check in atas nama… Arundaya Agyana. Itu Mbak. Yang pake jaket biru.”
“Arun…daya Agyana?” Kalin mengulangnya dengan ragu.
Tanpa menunggu lebih lama, Kalin mengejar seorang laki-laki berjaket biru yang sedang berjalan menuju ke airport tax dengan ransel hitam tergantung di bahu kanan. Langkah kaki laki-laki itu cukup cepat. Kalin kesulitan menyamainya. Apalagi dengan wedgesnya yang lumayan tinggi.
“Hei, berhenti! Pak, Oom…” Kalin memanggil dengan suara nyaring.
Laki-laki bertubuh tinggi itu berhenti berjalan. Berbalik dan dalam dua detik dia langsung menemukan perempuan yang baru saja memanggilnya dengan panggilan yang sangat random.
“Wah masih muda, ternyata.” Kalin tertawa dan kaki kanannya berada dalam posisi tidak tepat sehingga wedges beserta kakinya goyah dan membuat tubuhnya terhuyung ke kanan. Ke dua tangan laki-laki itu menahannya di siku Kalin dengan sikap sopan.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Arun. Sesaat dia memandang wajah perempuan yang menyebut namanya, dengan pandangan lurus namun tetap sopan.
Kalin cepat menggeleng walau sepertinya kakinya terkilir. “Nggak. Aku baik-baik aja.” Tapi sedetik kemudian dia meralatnya dengan meringis tertahan. “Kamu juga sih, jalannya cepat banget.”
Laki-laki itu membimbing Kalin menuju ke airport tax. Kalin merasa kakinya berdenyut, tapi sakitnya berangsur hilang. Pikirnya mungkin karena pengaruh grogi berhadapan dengan laki-laki seganteng itu.
Setelah membayar airport tax, laki-laki itu membantu Kalin berjalan menuju gate keberangkatan karena pesawat sudah akan berangkat kurang dari limabelas menit lagi. Beberapa orang sudah bergerak mendahului mereka.
“Aku udah bisa jalan sendiri kok.” Kalin tersenyum. Ditatapnya laki-laki yang membantu membawakan kopernya itu dengan sangat antusias. “Mas Arun. Terimakasih. Mas Arun nemuin tiketnya di mana?”
Orang yang ditanyainya menjawab dengan suara dan ekspresi datar. “Di lobi hotel Pacific.”
“Di lobi hotel Pacific?”
Berarti mereka menginap di hotel yang sama.
Kalin dan sikap teledornya sudah kerap kali menyusahkan. Tapi baru sekali ini dia sampai kelupaan tiket. Mmm, sebenarnya seingatnya sudah dua atau tiga kali. Tapi waktu itu dia bepergian bersama teman-temannya. Dan karena baru kali ini dia bepergian sendiri, tidak ada yang mengingatkannya soal tiket.
“Terimakasih.” Kalin tersenyum sangat lebar. Dia tidak menyangka akan menemukan tiketnya kembali. Saat itu dia percaya bahwa Tuhan mampu menciptakan keajaiban dalam setiap hal yang tidak pernah diduga manusia. Untung dia tidak langsung meninggalkan bandara. Jika dia tidak ngotot tetap menunggu, ceritanya akan berbeda.
“Lain kali hati-hati.”
Kalin mengangguk pelan. Untuk beberapa saat dia tersenyum. Tepatnya kagum kepada sosok yang baru saja menjadi penolongnya. Dalam waktu singkat Kalin mengingat kembali satu-persatu bagian wajah laki-laki itu. Terutama matanya. Kalin menyukai tatapan mata lelaki itu. Teduh sekaligus terkesan melindungi, membuatnya berpikir bagaimana rasanya ditatap berlama-lama dengan sepasang mata beriris cokelat itu. Mungkin tubuhnya akan meleleh seperti cokelat yang terkena panas.
“Terimakasih banyak ya.” Kalin langsung mengulurkan tangan. Teringat belum memperkenalkan diri. “Kalin. Kalinda Alea Triatomo.”
Laki-laki itu menjabat tangan Kalin dengan durasi singkat. ”Arun.”
“Aku udah dikasih tau tadi sama mbak di counter,” Kalin tidak bisa menahan senyum lebarnya. “Arundaya Agyana.”
Arun balas tersenyum. Sorot matanya yang teduh kembali jatuh ke titik fokus pandangan Kalin. Memancing debaran jantung Kalin yang semakin kencang dan tidak beraturan. Laki-laki itu hanya perlu memandang tanpa bersuara untuk membuat perempuan manapun jatuh hati padanya.
“Saya duluan,”
“Aku senang bertemu dengan Mas Arun.” Kalin memamerkan cengiran khasnya, pertanda suasana hatinya sedang bahagia. Dia benar-benar mensyukuri pertemuan itu. Membuatnya nyaman.
Dengan canggung, laki-laki itu pamit tanpa terlihat ingin terlibat percakapan lebih jauh dengan Kalin.
“Pesawatku sudah boarding,” jelasnya singkat dengan sikap yang sopan.
Walau masih ingin mengobrol lebih lama, Kalin tidak bisa menahan laki-laki itu dengan alasan apapun.
Tidak berapa lama, Arun sudah terlihat berjalan menuju pintu keberangkatan sambil menyandang ransel yang tadi sempat diturunkannya ketika duduk. Langkahnya yang tegap dan tergesa-gesa tidak luput dari pandangan Kalin, bahkan hingga sosoknya tidak terlihat lagi.
“Arun.”
Kalin menggumamkan namanya, dan masih tersenyum-senyum sendiri.
***
Suara keramaian di dalam bandara masih terngiang di telinga Arun. Suara lainnya ikut terngiang bahkan menetap dalam pikirannya. Menghantui, setiapkali dia berusaha memejamkan mata. Semakin dia berusaha menarik napas, semakin berat oksigen yang masuk ke dalam paru-parunya. Kalau dia harus kembali, semoga saat itu Tuhan menunjukkan keadaan yang lebih baik untuk semuanya.
“Para penumpang pesawat…”
Suara pramugari yang memberikan contoh cara memasang pelampung hanya lewat sebentar di pendengarannya. Berikutnya Arun menyandarkan punggungnya lebih rapat ke sandaran kursi. Berbalik ke jendela kaca di samping kanannya. Di luar hujan rintik, angin tidak kencang.
Namun kecamuk dalam hatinya tidak mau pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top