᭝ּ໋᳝݊Epilogue: Heaven
Kouyou menggertakkan gigi. " ... Apa maumu, Mori-san."
Semenjak saat Arisuin Arina hilang dari pandangan mata pun Mori Ougai mengambil alih rumah sakit yang menjadi tempat terakhir ia dapat melihat malaikatnya. Mori hanya ingin berlalu lalang di sekitar ruang rawat Arina. Mengingatkan pada diri sendiri bahwasanya wanita itu dan yang seperti itu pernah ada. Alih-alih memanfaatkan gelar kedokteran dan menjadi bagian dari tenaga kesehatan di sana.
"Mori-san."
"Terima kasih."
Namun, agaknya hanya dia satu-satunya wanita yang teramat sangat mencintai sesosok bos Port Mafia yang telah merenggut segalanya. Bahkan sampai rela mengorbankan tetesan terakhir dari darah, keringat, dan air mata.
Perjuangan walau buta. Indah walau sekadar omong kosong belaka. Sungguh sebuah logika gila yang pernah ada. Itulah cinta yang tak Mori suka. Sesuatu yang digilai manusia, tetapi malah menciptakan luka. Maka dari itu, Mori tidak mau mengaku jika ia mencintai Arina, karena ia telah menorehkan luka lebih awal pada hati malaikatnya cukup lama. Walau sebenarnya Mori juga sudah tertimpa karma. Ia sangat menderita oleh penyesalan dan kehilangan dalam satu waktu secara cepat dan tiba-tiba.
Meski Mori bersyukur Arina telah pergi jauh ke ujung bumi pun pria itu masih tetap tak bisa menerima semua yang terjadi walau seiring waktu berlalu.
Pun hari ini Mori kembali berlalu di sekitar ruang rawat Arina yang tak terisi oleh siapa-siapa. Seperti keadaan hati yang tak merasakan apa-apa. Bahkan tak ada gairah untuk menggoda Elise seperti biasa. Sungguh ia telah mati rasa. Semua jadi benar-benar tak menarik baginya, selain menunggu dalam harap pada semesta agar dapat mempertemukannya kembali dengan Arina.
Tapi, apakah bisa? Setidaknya ragu sampai detik di mana Mori dapat melihat segerombolan perawat, seorang dokter wanita, serta bawahan mafianya tengah melintas di depan wajah, bersama dengan sesosok wanita yang tak berdaya dalam menghadapi hidup dan mati dalam satu waktu di ranjang yang di dorong cepat menuju unit gawat darurat.
Seketika netra violet Mori membulat sempurna. Desir tak karuan mulai mengalir tak tentu arah dalam dada. Semua bermula dari otak yang seolah menyerukan, "Itu Arina."
Kaki Mori mendadak kaku. Sungguh tak mau melangkah selangkah pun. Namun, hati berseru. Menyebut nama wanita itu. Ia sangat ingin menyusul. Selagi lidah tak kelu pun Mori mencoba menyebut, "A-"
"B-boss ... ?!" Entah karena tenggorokan Mori yang terlanjur kering atau karena salah seorang eksekutif Port Mafia melintas dan memotong ucapannya tadi. Sekarang Mori dapat melihat raut campur aduk Nakahara Chuuya saat ini. Antara bingung, terkejut, dan khawatir. Membuat si bos Port Mafia menduga jika ada sesuatu yang Chuuya ketahui. Berhubungan dengan apa yang ia lihat tadi, yaitu kepanikan tentang Arisuin Arina yang hamil.
"A-ano, Boss-"
"Persingkat saja! Katakan padaku apa yang terjadi pada Arina!" seru Mori tiba-tiba sampai tak sadar telah meninggikan nada bicaranya.
Chuuya sedikit tersentak. Bukan karena terkejut saat digertak, melainkan keheranan dengan sikap Mori yang posesif mendadak. Mau tak mau ia membuka mulut saja. "A-arina-"
"Chuuya!"
Sial, lagi-lagi terpotong. Kali ini karena seorang Ozaki Kouyou yang memotong. Tak lupa dengan tatapan benci yang terarah pada Mori dan juga memerintahkan seorang Nakahara Chuuya untuk cepat menyusul Arisuin Arina dan yang lain selama wanita hamil itu bersalin.
Jika sudah begini, Chuuya tak berani membantah atau melakukan tindakan keras saat ini. Entah pada Kouyou atau Mori. "Maafkan saya, Boss, tapi ... jika kau mengkhawatirkan Arina-san, kau bisa melakukan sesuatu pada racun yang menyerang dia dan janin yang ada dalam kandungannya." Setelah berkata demikian dengan sangat jelas pun Chuuya meninggalkan Mori di tempat.
Netra Mori kembali membulat sempurna. "Bagaimana bisa ... !" Tanpa sadar ia menatap tatapan benci Kouyou yang seolah siap menebasnya kapan saja.
"Aku tidak akan membiarkanmu mendekatinya," batin Kouyou yang sejenak mempertahan tatapan bencinya, sebelum akhirnya meninggalkan Mori seorang diri di sana.
Sekarang Morilah yang terkesan seperti seonggok sampah yang sesungguhnya. Tak berguna, tak ada siapapun, tak ada seorang pun, tak ada apapun yang berpihak padanya, selain karma yang buruk baginya dan baik bagi Arina. Dan itu membuatnya tak bisa berdiam diri saja. Tidak, tidak bisa. Inilah kesempatan Mori yang ada untuk dia yang terus-menerus ia buang cintanya.
Setidaknya Mori dapat melihat Arina kembali, walau harus menghadapi kenyataan tentang siapa ayah dari bayi yang dilahirkan Arina saat ini. Mori mencoba untuk memperbaiki.
Setelah melalui segerombolan anggota Port Mafia dan tenaga kesahatan lainnya yang tengah kalang kabut di sekitar unit gawat darurat pun akhirnya Mori sampai juga di tempat Arina berada. Dengan napas yang masih menggebu hebat, pria itu mencoba menerobos masuk tanpa persiapan operasi dan lainnya. Persetan dengan aksinya yang mengundang atensi anggotanya. Pikirannya hanya ada Arina seorang saja.
"Aku yakin kau sudah tahu ... " Seseorang berkata dengan mata katana yang menempel di lehernya. Sama seperti saat Mori dicegat untuk tidak mengejar Arina. Membuat pria itu tahu siapa pelakunya. " ... jika aku tidak akan mengizinkanmu mendekatinya, 'kan, Mori-san?" lanjut dia yang tak lain adalah Kouyou.
Bahkan hening tak sempat melanda, ketika semua yang berada di luar unit gawat darurat mendengar teriakan kesakitan dari Arina yang tengah berusaha melawan racun dan mendorong keluar bayinya di saat bersamaan.
Mori menggenggam erat gagang pintu unit gawat darurat tersebut. " ... Jika aku ingin membunuhnya, aku akan duduk manis dan mendengar teriakan kesakitannya di dalam sana dengan santai," katanya yang segera mendobrak masuk ke dalam unit gawat darurat. Membuat para tenaga medis di sana terkejut akan kehadirannya, tak terkecuali Kouyou dan anggota Mafia lainnya.
"Cih, ba-"
"Biarkan saja, Anee-san." Chuuya menahan Kouyou dan berusaha meredam amarahnya. "Boss tahu apa yang dia lakukan," tambahnya mencoba meyakinkannya.
Kali ini Chuuya yang mendapat tatapan benci dari Kouyou. "Kau membelanya?"
"Nyawaku jaminannya." Chuuya tidak takut. Benar-benar membuat Kouyou terkejut.
Sementara di dalam unit gawat darurat sana, Mori dikejutkan dengan segala kinerja tenaga medis yang ada. Semua salah! Bahkan ditambah melihat kondisi Arina yang berada di ujung kematian pun sudah dipastikan nyawanya akan melayang dengan segera. Mengetahuinya membuat Mori larut dalam amarah.
"Ah, S-sensei, A-anda—"
"Elise-chan!" Mori berseru memanggil Elise. tidak peduli lagi. Persetan dengan tenaga medis yang menangani masalah di sini. Sekarang, dialah yang mengambil alih.
Saat itu juga Elise memunculkan diri. Tepat di samping Arina yang tengah berteriak menahan sakit. "Dia masih bisa selamat bersama dengan bayi ini," katanya kemudian.
"Aku tahu," jawab Mori mencoba tenang dan memulai pekerjaannya sebagaimana seorang dokter harus lakukan, meski ia harus gemetaran saat memulai pengoperasian.
"Itu mustahil, Sensei! Mereka berdua bisa mati bersamaan! Kita harus fokus salah satu saja!" seru seorang dokter wanita di sana.
"Itu karena kalian yang tidak berguna!" Mori balas berteriak. Membuat kinerjanya juga buruk sampai-sampai Elise harus bergerak ekstra dalam membenarkan cara kerjanya. "Semua nyawa harus diperlakukan sama! Bukan salah satunya saja!" tambahnya sampai tanpa sadar melukai tangannya sendiri dengan pisau bedah saking panik dan marah di saat bersamaan.
"Baka Rintarou!" Elise tak segan menghujat. Entah khawatir atau memang niat.
"Ah! Jangan pedulikan aku! Bagaimana racunnya?! Bagaimana bayinya?!"
"Jangan membuat Arina-nee sedih atau bayimu tidak akan lahir!!"
Dan persalinan itu sukses karena koordinasi Elise pun dibantu dengan tenaga medis yang sempat menangani tadi. Arina bersama sang bayi yang tak lain adalah laki-laki itu berada dalam kondisi yang sangat baik, terlebih bayi laki-laki yang sangat mirip dengan Mori. Tenaga medis pun tak ragu menyebut bayi yang baru lahir itu anak dari seorang bos Port Mafia, Mori Ougai.
"Tapi ... " Elise yang keasyikan menggendong si bayi itu pun berkata dengan nada sedih. " ... sebenarnya Arina-nee melahirkan dua bayi. Yang pertama telah ... mati. Itu karena Arina-nee yang tak kuat menahan racunnya lebih lama lagi. Jadi ... "
Arina yang tak kuasa mendengar pernyataan dari Elise pun mengeluarkan tangis diiringi dengan senyum tipis. " ... Aku kehilangan anakku untuk kedua kali ... "
"Ini pasti hasil dari sex yang terakhir kali ... Maaf, aku tak bermaksud membuatmu lahir dengan cara seperti ini ... Maaf ... "
Tak tega melihat wajah sedih Arina pun Elise memberikan si bayi cepat-cepat pada sang ibu dengan hati-hati, bersamaan dengan datangnya Mori yang langsung disambut dengan tangis Arina yang makin menjadi, ketika memeluk erat satu-satunya bayi yang selamat saat ini.
Pun Mori tak berkutik. Setidaknya untuk saat ini. Ia melangkah mendekati dan membuat Elise menghilangkan diri agar ia fokus pada Arina dan mulai memperbaiki semua yang telah terjadi.
"Jangan membuat Arina-nee sedih atau bayimu tidak akan lahir!!"
Dan, hey, siapa sangka jika bisak-bisik antara tenaga medis wanita dan ucapan Elise sebelumnya itu ternyata adalah asli, ketika Mori melihat dengan mata kepalanya sendiri jika anak yang dilahirkan Arina itu benar-benar mirip dengan dirinya ini? Rasanya ini seperti mimpi. Namun, Mori tak tahu apa yang harus ia rasakan saat ini, setelah semua yang terjadi berlangsung baik, tetapi malah terombang-ambing. Bercampur dengan rasa sakit. Sungguh kebahagiaan yang ternodai.
Tak ingin mengulur waktu lagi, Mori mengambil posisi duduk dan siap menghadapi yang terburuk nanti maupun saat ini.
" ... Apa yang kau inginkan lagi ... ? Apakah kau ingin aku lebih banyak menangis ... ? Atau kau ingin bayi ini, hah ... ? Berapa banyak ... ? Berapa banyak bayi yang mati yang kau inginkan, Mori?" ucap Arina bertubi-tubi sambil terisak dan tak berhenti menangis. Bahkan memeluk erat satu-satunya bayinya ini.
Baiklah, ucapan Arina itu cukup bahkan sangat menyayat hati. Pun sesungguhnya Mori tak tahan melihat mata Arina yang berlinang air. Namun, tangannya terlanjur ternoda dan tak berani mengusap sebelum mengungkapkan kata dalam hati yang mana tak pernah ia lakukan selama ini.
Mori menghela napas bersamaan dengan mata yang terpejam sejenak. "Aku tidak ingin berdiam diri saja, meski aku tahu permintaan maaf memang sama sekali tidak berguna, tapi aku juga tidak akan mengatakan cinta dengan mudah, setelah mematahkan sayap seorang malaikat terindah yang Tuhan berikan dengan harapan agar ia menetap selamanya bersama-sama denganku di neraka. Ya, nyatanya aku membuatmu menderita ... Semudah itu aku mengatakannya seolah semua yang terjadi terasa baru saja, 'kan?" katanya panjang lebar.
Sementara Arina hanya diam. Bersikeras menutup mulut rapat-rapat, meski sesekali harus bersuara karena isakan.
Dan sesungguhnya ucapan Mori membuat sakit hati Arina. Bahkan ucapan itu lebih dari sekadar pengakuan kesalahan dan penyesalan yang tak bisa dilakukan oleh semua pria di dunia.
Tapi, bagaimana Arina bisa kembali percaya setelah cintanya berkali-kali dibuang? Tak heran wanita itu terus memalingkan muka. Tak ingin menatap sedikit pun wajah yang mengingatkannya pada luka.
" ... Aku tahu kau salah untukku. Bahkan aku sampai berharap kita tak bertemu saat aku menjauh. Jadi, bukan salahmu aku menghancurkan segalanya dan bukan salahmu jika aku tidak bisa menjadi apa yang kau butuhkan. Karena, kau, angels like you can't fly down hell with me." Perlahan Mori mengulas senyuman. Ada kesan bahagia di sana. "Jadi ... " ia kembali berkata. " ... if a man expects a woman to an angel in his life, he must first create heaven for her. Angels don't live in hell."
Baru saja Arina akan menolehkan kepala, karena kata-kata Mori barusan pun sebuah benda kenyal nan basah mendarat lembut di dahinya. Itu Mori yang mengecup sayang keningnya. Membuat Arina tak henti-hentinya banjir air mata.
Setelah mencium kening Arina cukup lama pun Mori memeluk Arina erat. Sangat erat seolah takut Arina akan kembali terlepas. "Aku tahu kau sudah banyak tersakiti. Aku tahu kau sudah banyak terluka karena api. Aku tahu itu semua dari aku yang menganggap ini hanya main-main. Maka dari itu, aku tak menjanjikan surga seperti mimpi. Aku ingin membuat surga itu nyata bersamamu mulai saat ini," ucapnya panjang lebar lagi yang kali ini dengan baju gemetar yang disusul dengan isakan tangis.
"M-mori-san ... ? K-kau menangis ... ?" Arina tak menyangka akan hal ini. Entah mengapa itu makin menyayat hati, bahkan setelah Mori berkata, "Arina ... biarkan aku merasakan kebahagiaan walau sekali."
Lagi, Arina tak bisa membohongi diri jika ia kembali banjir dengan air matanya, karena permohonan rapuh dari Mori. Dan perlahan dengan satu tangannya pun Arina membalas pelukan bos yang dicintainya ini. Ya, sampai saat ini, walau terasa sakit, karena terendam benci.
"Dan aku membencimu, karena aku mencintaimu," katanya kemudian.
"Aku tahu. Terima kasih."
Setelah Mori usai dengan tangisnya pun ia menangkup wajah Arina dan menyeka jejak-jejak air mata wanitanya. Ya, sekarang Arina adalah wanitanya. Satu-satunya wanita yang dia cinta dan mengajarkan segala rasanya.
Niat hati ingin mencium bibir Arina sejenak, sebelum ada sesuatu yang mungil yang menggenggam jari Mori yang terluka. Membuat Mori meringis sedikit dan melihat siapa pelakunya. Itu adalah bayi yang sedari tadi digendong Arina yang tak lain adalah anaknya juga.
Meski begitu, Mori mengerjap heran.
Tiba-tiba Arina terkekeh dan berkata, "Dia menerimamu."
"Menerima?"
"Ya, dia menerimamu sebagai ayahnya. Bagaimana kalau kau coba memberinya nama?" Arina tersenyum tipis seraya memberikan si bayi rapuh pada sang ayah.
"T-tapi-" Mori menahan Arina sejenak. "Aku-"
"Hora, jangan merasa bersalah. Dia menerimamu. Kau ayahnya dan artinya dia anakmu. Apakah kau tidak mau menerimanya juga?" Arina mencoba meyakinkan Mori yang tampak masih merasa bersalah mengingat sudah berapa kali mereka (?) kehilangan seorang anak.
Mori mengerjap sejenak, sebelum akhirnya beralih tatap ke pada bayi mungil nan rapuh yang sedang bergerak tak nyaman seolah meminta gendongan ternyaman. Pun perlahan Mori menggendong darah dagingnya tersebut dengan gemetaran.
"Jadi, siapa namanya?" tanya Arina dengan senyum melihat Mori yang tampak lucu saja saat menggendong bayi yang sangat mirip dengannya.
Hening melanda. Mori hanya fokus mengamati si kecil yang rapuh di tangannya yang seolah akan terhempas angin nan jauh jika tak digenggam erat. " ... Mori Akaito," ucapnya kemudian yang mengulas senyuman. Terpancar kebahagiaan yang tak terkira di sana. Bahkan Mori sampai kembali berlinang air mata.
"Akaito, ya?"
" ... Ya, karena benang merah kita bersama. Karena cinta dia ada," jawab Mori seraya mengecup sayang kening si buah hati sampai bulir-bulir bening kebahagiaannya membasahi pipi gembul si kecil bernama Mori Akaito ini.
Perlahan jemari lentik Arina menghapus air mata Mori. "Nama yang sangat berarti," katanya sebelum akhirnya memejamkan mata dan bersandar pada pundak Mori. Tertidur pulas karena letih serta kambuhnya narkolepsi.
Mori segera mendekap erat Arina, kemudian mengecup sayang puncak kepalanya. "Terima kasih ... " Tak lupa Mori iseng menambahkan Elise dalam dekapannya yang tak seberapa ini.
Meski ternodai, Tuhan benar-benar mengizinkannya untuk bahagia dengan memberikannya sebuah keluarga kecil.
Sungguh sebuah hal yang tak disangka akan terjadi. Namun, benar-benar patut disyukuri.
Mori akan menjaga keluarga kecilnya dengan penuh kasih, sebelum dan daripada mereka pergi.
The End
Story By LadyIruma
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top