᭝ּ໋᳝݊Envy

Ketika Kouyou hilang dari penglihatannya, Mori beralih pada amplop berornamen ekslusif yang tertempel di tembok ruangannya dengan katana Kouyou barusan. Ia terkekeh bersamaan dengan senyum miring di wajah.

"Mencoba membunuhku?"

Izumi menatap tak percaya pada test pack yang ada pada tangan Arina.

Setelah mereka sampai di apartemen pribadi Arina, Izumi membawanya masuk dan tiba-tiba wanita bersurai ungu gelap itu segera berlalu meninggalkannya menuju kamar mandi. Izumi yang merasa khawatir pun segera menyusulnya. Samar-samar ia mendengar suara seperti orang muntah. Tentu saja itu dari Arina.

Dirinya yang semakin khawatir pun buru-buru mengetuk pintu dan memanggil Arina berkali-kali. Berusaha untuk meminta respon darinya. Meski Arina tak menjawab dengan kata-kata, Izumi merasa lebih lega, ketika Arina membuka pintu untuknya, bersamaan dengan sesuatu yang ia bawa di tangannya.

Tak disangkanya jika sesuatu yang Arina bawa di tangannya adalah test pack yang menunjukkan hasil positif yang membuatnya terbelalak tak percaya.

"A-arina-san ...."

Sementara Arina hanya menunduk dan menggenggam erat test pack tersebut.

Bukan berarti Izumi tidak tahu-menahu tentang kehamilan Arina. Malahan ia sangat tahu jika kehamilan Arina disebabkan oleh bosnya. Izumi tahu mengapa. Tentu ia sendiri tak berani bersuara, setelah Mori menutup paksa mulut setiap anggota Port Mafia, terutama anggota eksekutif, seperti dirinya.

Tak ingin membiarkan Arina terus berdiri pun Izumi membawa Arina untuk duduk. Diikuti oleh dirinya yang duduk di sebelah Arina yang masih menatap test pack dengan hasil positif di tangannya. Izumi menghela napas sedih dan memegang pundak Arina. Sungguh ia turut merasakan kesedihan wanita itu.

"Aku tahu kau tidak akan tega memberikan anak dari rahimmu pada Boss begitu saja, Arina-san," ucap Izumi. Ia tahu apa yang akan bosnya itu lakukan pada anak yang dikandung Arina nantinya.

"Dan bahkan aku semakin tidak tega untuk memberikan bayi ini padanya setelah apa yang telah ia lakukan padaku yang tulus memberinya segala hal yang berharga, seperti keperawanan dan ... cinta," ucap Arina dengan tatapan kosong yang terus mengarah pada test pack di tangannya.

"Dia bukan pria yang layak menerima cintamu, Arina-san. Kenapa tidak tinggalkan saja?"

Izumi hanya bisa diam mendengarkan, meski batinnya berkata. Ia tak bisa mengatakannya secara langsung, karena ia tahu jika itu hanya akan menambah beban pikiran dan membuat dilema Arina.

Arina memegangi perutnya, kemudian mengelusnya. Janin yang akan dikandungnya selama sembilan bulan ke depan akan lahir sebagai seorang bos Port Mafia selanjutnya, di bawah bimbingan Mori Ougai secara langsung nantinya.

Sebagai seorang ibu yang mengandung anak untuk calon bos Port Mafia tersebut, tentu tak bisa Arina bayangkan betapa kejamnya Mori terhadap darah dagingnya sendiri itu. Terlebih dunia mafia yang penuh dengan jalan kekerasan yang tak heran jika sampai ada pertumpahan darah. Sungguh enggan Arina membayangkan sampai sejauh itu dengan apa yang akan dihadapi oleh anak yang dikandungnya, ketika ia lahir ke dunia kala tiba saatnya.

Arina dilema. Satu sisi, ia tetap harus memberikan anak yang dikandungnya yang lahir kelak pada Mori, karena hal itu merupakan suatu perintah (mutlak). Namun, setelah apa yang ia berikan pada Mori dibuang begitu saja, sirna sudah kepatuhan Arina terhadap perintah mutlak Mori Ougai.

Bahkan wanita itu bertekad untuk pergi sejauh yang ia bisa, meski harus berkorban nyawa demi anak dalam kandungannya.

Haruskah Arina benar-benar melakukannya? Ia merasa jika masih ada sedikit benih cinta dalam dirinya.

Meski dia mengandung seorang anak yang berasal dari benih Mori, ada satu gejolak senang ketika mengetahui jika dirinya tengah hamil. Bukankah anak yang berasal dari benih Mori terdapat benihnya juga? Namun, setelah perlakuan bejat dan kurang ajar Mori padanya, hal itu sedikit membuatnya sedih dan kini ia terombang-ambing dengan masalah rasa.

Haruskah ia pergi atau justru kembali? Mungkin, Arina tak harus pergi ataupun kembali ...

" ... Apakah kau akan pergi sejauh mungkin, Arina-san? Atau ... tetap kembali mematuhi perintah Boss Mori?" tanya Izumi yang sengaja memecah keheningan di tengah rasa khawatirnya ketika melihat Arina terus terdiam.

Arina masih tetap diam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Aku tidak harus pergi sejauh mungkin dan aku tidak harus kembali mematuhi perintah mutlak Boss Mori .... Aku cukup ... aku cukup berhenti berharap apapun darinya, termasuk cinta."

... berhenti berharap mungkin telah menjadi pilihan terbaik.

"Saya mendapat kabar dari Arina jika dia sudah siap, Boss."

"Suruh dia menunggu."

Tak ada kata yang terucap lagi antara dua orang pria yang berada di ruangan yang sama. Keheningan itu membuat suasana suram mengitari ruangan yang menjadi tempat mereka berada. Tidak dengan Mori yang merasa biasa saja dengan suasana di ruangannya. Bahkan tak mempedulikan pria tua di belakangnya yang sedari tadi memperhatikannya.

" ... Apakah Boss berniat menjaga Arina?"

Seketika Mori menghentikan kegiatan mengancingnya kala mendengar pertanyaan pria tua yang berada di belakangnya.

"Untuk apa kau menanyakannya?"

Ryuuro Hirotsu selaku pria yang berbincang dengan atasan Port Mafia itu tengah menimang kata yang tepat untuk dan keudian membalas, "Saya sudah menjaganya sejak kecil. Dia seperti anak saya sendiri. Bagaimanapun juga, Arina sudah berada di tangan Anda. Saya mohon untuk memperlakukannya sebaik yang Anda bisa."

" ... Dia membawa satu nyawa dalam kandungannya. Sudah menjadi tugasku untuk menjaganya tanpa kau minta," ucap Mori yang kemudian berbalik dan menatap Hirotsu yang setengah menunduk. "Tapi aku tidak bisa menjaminkan perlakuan baik padanya," tambah Mori dengan nada tenang yang diam-diam menghanyutkan.

Kata-kata Mori sangat ia mengerti. Hirotsu tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tak berani menentang jika sudah begini, meski hal itu membuatnya sedih.

Namun, satu hal yang Hirotsu yakini, bahwa Arina telah lama diperlakukan buruk bak wanita rendahan, karena telah memberikan mahkotanya secara percuma beserta hati yang tak memiliki nilai apa-apa bagi atasannya. Sama seperti Arina, di mana ia tak lagi memiliki nilai sebagai seorang wanita, setelah memberikan mahkotanya.

Meski Hirotsu tahu perlakuan kasar atasannya pada Arina yang telah ia anggap sebagai seorang anak, ia tak berani menentang. Setidaknya, untuk sekarang.

Malam ini terasa biasa saja. Padahal tak ada anggota eksekutif lain yang Mori ajak selain Arina. Namun, dirinya tak merasa bahagia, meski berada di pertemuan yang didatangi berdua dengan sang atasan. Ia justru menghindari kontak apapun dengan Mori, karena pria itu terus mengingatkannya akan rasa sakit dari penolakan mentah-mentahnya. Bahkan Arina tak menunjukkan wajah atau ekspresi apapun pada atasannya.

Namun, siapa peduli? Mori sendiri sibuk dengan seseorang yang kini tengah diajaknya bicara. Diam-diam mendapatkan informasi kekayaan organisasi dari orang yang ada di hadapannya. Arina tak ada apa-apanya baginya, selain sebagai seorang perwakilan saja.

Cukup lama Arina berdiri yang perlahan membuat kepalanya pusing. Ia pun bertumpu pada sudut dinding ruang pesta (?) guna menghindari keramaian juga.

"Kau baik-baik saja, Nona?"

Arina mengangkat kepalanya guna melihat siapa yang datang menghampirinya. Sepertinya salah seorang pria dari organisasi lain.

"S-saya baik-baik saja," ucap Arina agak terbata-bata. Sepertinya wajahnya mulai memucat.

"Sungguh? Perlu kuantar ke unit kesehatan di sini?"

Arina menggeleng cepat. Membuat pria itu kehabisan kata-kata untuk membujuknya.

"Sepertinya Anda sendirian. Bagaimana kalau Anda bersama dengan saya terlebih dahulu?"

Arina yang baru saja akan menjawab pun terhenti kala pria itu menariknya untuk mendekat yang membuat mereka seperti seorang pasangan sekarang. Arina hanya menghela napas dan membiarkan pria ini menemaninya sejenak.

Perhatian Mori tak lagi tertarik pada pembicaraan yang dibicarakan oleh seorang pria paruh baya di depannya. Perhatian dengan tatapan yang menajam pada sosok pria yang mendekap Arina itu membuatnya tak bisa menikmati whiskeynya dengan tenang.

Mori berniat membiarkan. Toh Arina tak penting-penting amat, iya, 'kan? Namun, setiap kali ia mengalihkan perhatiannya dengan cara mendengarkan pembicaraan yang membosankan dan meminum whiskeynya, ia malah samar-samar dapat mendengar tawa Arina di tengah keramaian pesta entah mengapa. Bahkan ia bisa membayangkan senyum wanita itu ketika berbicara dengan pria yang ada bersamanya.

"Wanita murahan, hm?" batin Mori yang sempat melirik tak suka dengan kedekatan Arina dengan pria yang baru ditemuinya. Membuatnya berpikiran seperti itu.

Setiap kali mengalihkan, semakin besar pula keinginannya untuk melihat. Mori terus menyangkal diri jika dia tak peduli dengan apa yang Arina lakukan. Sayangnya, hal itu berbanding terbalik, ketika dia merasakan ada satu percikan tidak suka yang membuatnya makin benci melihat senyum Arina yang ditujukan pada pria lain yang baru saja bertemu dengannya.

Percikan itu semakin besar, layaknya pemantik api yang membuat api yang lebih besar. Rasa tidak suka yang berubah menjadi benci, kini berubah lagi menjadi iri hati, ketika pria itu dapat memancing emosi Arina, seperti tertawa tadi.

Daripada harus berkoar-koar pada pria yang main dekap Arina dan memintanya untuk menjauhinya, Mori lebih memilih menyalurkan aura membunuh melalui tatapan tajamnya.

Oh, mengapa sekarang ia seperti orang yang sedang cemburu?

To Be Continued
Story By -MrsIrm

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top