᭝ּ໋᳝݊Bonus: Greed
"Baiklah, kita mulai." Cukup dengan kalimat sederhana dari seorang Mori Ougai itu dapat membuat seluruh eksekutif Port Mafia yang hadir di ruang rapat pun tunduk sebagai tanda bahwa mereka siap memulai rapat penting tersebut.
Ketika dirasa hawanya cukup bagus untuk memulai sebuah rapat pun Mori kembali berkata, "Jadi-"
"Rintarou! Aku bosan! Aku ingin keluar! Biarkan aku bermain dengan Akai! Oy, Rintarou!" rengek seorang gadis kecil yang manis sambil menggebuk-gebuk Mori tanpa ampun.
"Oh, sebentar," kata Mori kepada hadirin yang hadir alias para eksekutifnya dengan santai nan tegas, sebelum akhirnya mengubah ekspresi tersebut menjadi ekspresi konyol pada Elisenya. "Tunggu, nee, Elise-chan! Sebentar lagi bakal selesai, kok! Aku janji! Janjiiii ini bakal cepat selesai! Jadi, tunggu aku, ya, ya? Agar kita bisa-"
"Aku tidak peduli! Tidak mau! Aku mau ke Akai duluan! Pokonya aku duluan! Akai punyaku duluan!" Rengekan Elise makin keras saja.
Pun meski para eksekutif yang hadir di sana sudah terbiasa melihat tingkah konyol sang bos dengan abilitynya sendiri itu tetap saja membuat mereka harus mengelus dada jika rengekan Elise sudah semakin parah.
"Tapi-" Mori memasang wajah sedih yang terkesan alay, kemudian menghela napas pasrah dengan badan yang ikut membungkuk lesu pula. "Baiklah, apapun untuk Elise-chan!" serunya dengan semangat yang konyol yang, ya, seperti biasa.
"Hum! Ayo, Hiroshi, antarkan aku ke tempat Okaa-sama dan Akai!" seru Elise yang mengabaikan semangat Mori begitu saja, kemudian berjalan pergi bersama Hirotsu menuju tempat di mana Arisuin Arina berada.
"Okaa-sama ... ?" Mori bertanya-tanya seketika. Tak menyangka akan panggilan Elise untuk Arina.
"Ehem, Boss ... ?" Chuuya mencairkan suasana yang mendadak canggung, setelah si Boss Port Mafia selesai dengan dramanya.
"Oh, ya, maaf soal itu. Mari kita lanjutkan rapatnya."
Bahkan di sela-sela diskusi yang terjadi dalam rapat pun Mori tak bisa berhenti untuk tidak memikirkan panggilan Elise tadi.
Rapat yang diadakan cukup menguras banyak waktu juga rupanya pun Mori baru saja keluar dari dalam sana. Pria tua itu menghela napas pasrah, ketika tak sempat menyusul untuk berbahagia bersama dengan Arisuin Arina, Mori kecilnya, dan Elise tentunya.
Oh, apakah tak berada dalam hubungan keluarga?
Pertanyaan itu tak sempat Mori pertanyakan, ketika sesuatu menghantam kakinya, bersamaan dengan pelukan erat yang terasa dari tangan mungil sesosok bocah laki-laki yang mirip dengannya ini mengejutkannya. Namun, juga membuat mood Mori naik seketika. Mori jadi tertawa kecil dan mulai menggendong bocah laki-laki tersebut yang asyik memeluknya barusan.
"Lihat, siapa yang sudah bisa berjalan~" ucap Mori yang ditanggapi dengan tawa dan cengiran khas bayi dari si bocah yang dia gendong ini. Membuat Mori sedikit terheran-heran mengapa dia bisa mengerti.
"Hora." Mori berjalan memungut boneka beruang yang berukuran lebih besar dari bocah yang digendongnya, kemudian memberikannya padanya. "Jangan telantarkan ini, kau mengerti? Bagaimana dengan Ibumu yang khawatir kau pergi sendiri ke mari?" gumamnya.
Sementara si bocah hanya memeluk erat boneka beruangnya dengan polos, sebelum akhirnya melempar tatapan ke arah seorang wanita dengan ekspresi khawatir yang terlukis di wajahnya yang datang bersama dengan gadis kecil di sampingnya.
"Astaga, Akai! Kenapa pergi sendiri?" Arisuin Arina segera menghampiri Mori yang lebih tepatnya si bocah kecil yang mirip dengannya yang Arina panggil Akai. "Mou, kau membuatku khawatir ... "
"Wah! Dia sudah bisa berjalan sampai ke mari!" seru si gadis kecil yang tak lain adalah Elise dengan nada berseri-seri.
"Ya, tapi, itu membuatku khawatir, Elise-chan," balas Arina dengan senyum kikuk.
"Tidak apa, Okaa-sama! Salahkan saja Rintarou kalau terjadi sesuatu pada Akai! Dia tega tidak menyempatkan waktunya untuk anaknya sendiri! Hum!" Elise malah mengamuk pada Mori.
"Heee?! K-kenapa aku, E-elise-chan?! Kenapa?!" Dan mulai lagi drama alaynya ala-ala Mori.
"Karena kau bego!"
"T-tapi, aku-" Bahkan sampai gemetar dengan air mata imajiner yang seolah-olah siap membanjiri wajah. Sementara Akai hanya tertawa entah apa yang dia tertawakan.
"M-maa, maa, sudah, ya? Akai baik-baik saja, kok, jadi, berikan dia padaku, oke? Aku tidak mau dia mengganggu pekerjaanmu," ucap Arina yang masih tersenyum kikuk itu menengahi pertengkaran tak masuk akal antara si pengguna dengan ability.
"Ah, baiklah," ucap Mori yang dengan cepat merubah ekspresi alaynya menjadi biasa saja. Meski begitu ia nampak tak rela melepas Akai.
Arina tersenyum senang. "Saa, kemarilah, Sayang," ucapnya yang siap mengambil Akai dari gendongan Mori sekarang.
Namun, agaknya Mori kecil yang dipanggil Akai itu memiliki kesamaan dengan Mori, yaitu tak ingin lepas dari pelukan sang bos keji yang secara adalah ayahnya sendiri.
"Eh?" Arina jadi bingung sendiri, ketika Akai malah memalingkan wajah darinya, kemudian menyembunyikannya di antara ceruk leher Mori dengan tangan mungil yang melingkar di sekitar leher sang ayah. " ... S-souka, aduh ... " Arina jadi bingung pun takut mengganggu jadwal Mori yang menunggu.
"Rintarou! Berikan Akai pada Okaa-sama! Dia harus tidur siang! Ih, baka Rintarou!" Elise malah ikut-ikutan dengan mengamuk lagi pada Mori yang kali ini lebih sarkas.
" ... A-ano, Elise-chan-"
"Dia memang harus dibeginikan, Okaa-sama!"
"K-kok, E-elise-chan-" Poteq lama-lama hati Mori. Meski begitu, ia tetap memperhatikan kesehatan si kecil Akai. Mori paham jika dia harus beristirahat. "Saa, dengarkan kata Okaa-sama, nee? Setelah itu kau bisa bermain kapan saja," ucapnya pada Akai dengan setengah berbisik sembari mengecup sayang pipi gembul Akai.
"Rintarou!"
"Ha'i, ha'i, Elise-chan! Saa, dadah, Akai! Jadi, kau saja yang di sini bersamaku, ya, ya?" ucap Mori yang lagi-lagi bertingkah konyol, setelah memberikan Akai pada Arina.
"Tidak mau! Bosan! Aku mau bareng Okaa-sama menidurkan Akai! Wlee!" ledek Elise yang tak segan menjulurkan lidah pada Mori, kemudian berlalu pergi menggandeng Arina. Tak peduli pada Mori yang lagi-lagi ia tinggalkan begitu saja.
"M-mou, jangan begitu, Elise-chan." Arina mencoba menasihati sembari berjalan menjauh dari Mori yang nampaknya sedang bersedih. Tidak tega juga, sih.
"Hum! Dia itu memang bego, Okaa-sama!" seru Elise dengan keras sampai dapat terdengar oleh Mori.
"E-elise-chan ... !" Kali ini Mori benar-benar poteq sampai berkeping-keping.
Sementara Arina yang terus berjalan sembari melihat ke arah Mori yang seolah pundung di pojokan pun hanya tersenyum kikuk. Merasa bersalah, karena secara langsung ia menistakan bosnya sendiri itu. "B-baiklah, tapi jangan panggil aku 'Okaa-sama' lagi, ya? Panggil saja seperti biasa ... " katanya setengah berbisik.
Secara dia masih dalam status bukan siapa-siapa bagi Mori, selain ibu dari anak bosnya dan dia sendiri.
"Hah? Kenapa? Tidak mau!" Elise membangkang.
"Tapi-"
"Tidak mau! Pokonya Okaa-sama!"
Arina hanya bisa menghela napas pasrah. "Ha'i, ha'i," katanya daripada ketahuan juga oleh bosnya apa yang dia bicarakan bersama dengan gadis kecil manis di sampingnya.
Ya, sayangnya, Mori memperhatikan dan mendengar semuanya. Membuat pikiran pria itu makin berkelana. Rasanya bingung harus bagaimana dan bertindak seperti apa mengingat dia banyak menorehkan luka di masa lampau pada hati Arina.
"Oh, sudah ketemu rupanya," batin Hirotsu yang baru saja melihat kepergian Arina bersama dengan dua anak kecil yang ada bersamanya di belakang Mori yang tengah menatap kepergian mereka juga.
"Hirotsu-san," panggil Mori tiba-tiba.
Hal itu membuat Hirotsu terkejut akan Mori yang menyadari kehadirannya. "Ya, Boss?" Ia menanggapi setenang yang ia bisa.
" ... Aku ingin Arina hanya milikku seorang."
Seketika pernyataan itu membuat Hirotsu melirik Mori dengan lirikan tak suka. Namun, itu hanya sebentar, ketika menyadari motif sebenarnya. Pun ia tertawa kecil. "Pernyataan Anda cukup serakah, Boss," katanya yang terdengar seperti ledekan.
Ayolah, dia pria yang sudah berumur yang mengetahui banyak hal. Apalagi Mori yang sesama pria.
Mori ikut tersenyum tipis. "Kau benar, tapi ini tidak mudah," katanya.
"Bukan berarti tidak bisa. Anda hanya tidak terbiasa. Pun tidak ada kata salah dalam mencoba, Boss," jawab Hirotsu dengan bijak dan beraninya menasihati sang bos Port Mafia.
Dan itu membuat Mori berpikir keras, sebelum akhirnya berkata, "Izinkan aku menjadi suaminya."
Seketika atmosfer berubah di antara Hirotsu juga Mori.
" ... Anda yakin ini adalah pilihan yang terbaik?" Rupanya ada sesuatu yang Hirotsu takutkan.
"Aku hanya ingin mencintainya." Mori menjawab dengan mantap.
Pun pada akhir, Hirotsu hanya mengulas senyuman. "Dia yang memutuskan." Dan tentu mengharapkan yang terbaik dari Mori yang akan memulai sebuah hubungan yang membahagiakan.
Ya, semoga membahagiakan.
Tiba waktunya untuk sang bulan dan bintang memancarkan cahaya indahnya di setiap penjuru bumi yang terselimuti malam yang gulita. Sebuah pertanda bahwa hari ini akan segera usai. Sudah seharusnya setiap makhluk hidup menutup mata. Terlelap dalam mimpi indah, setelah seharian merasakan lelah.
Namun, tidak dengan Mori Ougai yang masih setia terjaga di ranjangnya. Memikirkan bagaimana cara ia dapat melamar Arisuin Arina. Betapa ia serakah walau setelah semua bencana setahun terakhir yang ia timbulkan pada Arina berubah begitu saja menjadi akhir yang indah seketika.
Ah, apakah benar-benar tidak apa-apa? Apakah semuanya akan baik-baik saja nantinya?
Sungguh, dia sangat mencintai Arina, gemas membayangkan diri menjadi sosok ayah bagi Mori mungilnya yang kemudian bermain bersama Elise dengan sukacita, dan terlebih tak ingin menyisakan masa tuanya dengan hubungan yang tak tentu arah.
Jadi, Tuhan, apakah Kau mengizinkan Mori Ougai sang bos Port Mafia ini memiliki sebuah keluarga kecil, tetapi berbahagia?
Seketika lamunannya buyar, ketika mendengar derit pintu kamarnya yang terbuka, kemudian menampakkan sesosok wanita yang Mori cinta. "Belum tidur?" Itu Arisuin Arina yang kemudian melangkah masuk, menutup pintu, dan mendekatinya seraya menggendong Akai yang terlelap nyenyak dalam mimpi indahnya. Nampaknya wanita itu hendak menidurkan sang anak.
Pun Mori memposisikan diri menjadi duduk. "Lebih tepatnya aku tidak bisa tidur," katanya yang kemudian mengulas senyum. "Jadi, bagaimana denganmu?"
"Ah, sebentar lagi aku akan menemanimu tidur, setelah Akai," jawab Arina dengan senyum dan berjalan mendekat ke arah Mori.
"Ah, bukan, maksudku ... semenjak kejadian itu-"
"Daijoubu." Arina memotong. Masih dengan senyum. "Bukanlah aku masih di sini bersamamu?"
Ya, benar. Mori merasa bodoh, ketika sempat meragukan wanitanya. "Kalau begitu, boleh aku gendong anakku?"
Arina terkekeh sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Baiklah." Kemudian ia duduk di tepi ranjang yang tepatnya di samping Mori yang sekarang tengah menggendong si kecil Akai.
Pun Mori bersandar di pundak Arina tiba-tiba selagi ia menggendong Akai yang terlelap nyenyak.
Sementara Arina mengulas senyum dengan tangan yang bergerak mengelus surai Mori dengan lembut. Memperhatikan wajah pria berusia empat puluh tahun itu yang dengan ekspresi haru akan kedatangan seseorang yang baru. Sungguh Arina tak bisa berhenti tersenyum.
Namun, Arina mendadak murung. " ... Dia anak kita, kau tahu ... " katanya dengan senyum sendu.
"Kau benar. Dia sangat mirip dengan kita," jawab Mori sambil mengelus tangan mungil buah hatinya.
"Dan ... " Arina menggantungkan ucapannya sejenak. Bahkan elusan lembut di sepanjang surai Mori pun terhenti juga. " ... apakah kau masih ingin menjadikannya sebagai Bos Port Mafia selanjutnya ... ?" lanjutnya dengan nada gemetar. Nampaknya siap mengeluarkan tangisnya. Karena bagaimanapun sebagai seorang ibu, Arina tak ingin anaknya berada pada jalan yang penuh dengan pertumpahan darah yang sama dengan Mori pun dirinya.
Hening melanda. Untungnya tidak lama, ketika Mori berkata, "Ya, itu adalah pilihanku yang paling serakah dan Tuhan bisa mengambilnya kapan saja, tapi apakah ini serakah dengan menganggapnya sebagai anak kita bahkan selamanya?" Mori menatap manik ungu anggun Arina dengan harap.
Seketika tangan Arina yang sempat terhenti untuk mengelus surai Mori pun berganti pada pipi seorang pria tua yang dia cintai sampai detik ini. Arina berkata seraya mengulas senyum tipis, "Hey, dia anugerah dari yang Maha Kuasa. Bukan karena kau yang serakah ... " Perlahan ia mulai mengelus pipi Mori. "Terima kasih tak menjadikannya sebagai alat Port Mafia, Mori-kun," tambahnya dengan tawa kecil yang mengiringi.
" ... Kau juga Mori," kata Mori seraya menggenggam erat tangan Arina, kemudian memberikan satu sampai dua kecupan di punggung tangannya.
"E-eh?!" Arina gagal paham sampai tanpa sadar telah meninggikan suaranya.
Mori harus sampai memperingatkan Arina agar merendahkan nadanya dengan meletakkan jari telunjuk di depan bibir ranum Arina. "Percayalah ... " katanya yang kemudian meraih kembali tangan Arina dan mengecup punggung tangannya dengan lembut bak seorang gentleman pada umumnya. " ... bahwa aku ingin membangun keluarga kecil yang bahagia dan menua bersama-sama dengan wanita yang kucinta."
Pipi Arina panas, kemudian memerah. Wanita itu menunduk untuk menyembunyikannya. "I-itu ... "
"Fufu, jadi, ... " Mori terdiam tiba-tiba dan itu terkesan suram rasanya. " ... aku tahu aku serakah, maka dari itu aku tak melamarmu begitu saja, tapi ayo, kita ciptakan dan habiskan kebahagiaan kita bersama dalam ikatan keluarga," lanjutnya yang kemudian menggenggam erat bahkan kian erat tangan Arina.
Hal itu cukup membuat hati Arina larut dalam haru. Ia mengkela napas, sebelum akhirnya berkata, " ... Bukan karena kau serakah. Bahkan tak hanya kau saja yang menginginkan sesuatu yang jelas mustahil untuk dicapai. Namun, sebenarnya, cara kita saja yang salah ... "
"Maka, cinta adalah cara kita memperbaikinya," jawab Mori mantap.
Arina tersenyum senang. "Kalau begitu ... Yes, I do," katanya sebagai jawaban dari pernyataan Mori sebelumnya yang secara tak langsung adalah sebuah lamaran.
Dan Mori langsung menyambar Arina dengan pelukan. " ... Terima kasih." Adalah kalimat yang sukar diucapkan Mori. Namun, tidak untuk kali ini yang mana sebagai bukti rasa syukurnya kepada Tuhan yang telah mengizinkannya untuk berbahagia dengan memiliki sebuah keluarga kecil.
Pun Arina membalas pelukan sang calon suami, sebelum akhirnya menidurkan Akai di ranjang bayi.
Dan ada sesuatu yang mengganjal Mori selama setahun terakhir ini.
" ... aku tahu aku serakah, maka dari itu aku tak melamarmu begitu saja, tapi ayo, kita ciptakan dan habiskan kebahagiaan kita bersama dalam ikatan keluarga."
Ah, tidak, Mori yakin ia bisa.
"Oyasumi," ucap Arina dengan senyum tipis dan tatapan letih yang terpancar dari dua manik ungu anggun nan cantik.
" ... Oyasumi," balas Mori yang terdengar lirih, hingga mendapati Arina yang mulai memeluknya perlahan tapi pasti.
"Maaf ... , aku hanya merasa jika malam ini terasa lebih dingin dari biasanya ... " kata Arina dengan nada yang melemah.
Ya, Mori tahu ada apa. Pun tak butuh waktu lama baginya untuk memeluk erat Arina. " ... Tenang, saja. Semua akan baik-baik saja. Kita akan bahagia. Dan ... Kau bisa tidur dengan tenang sekarang ... "
Sesaat Arina hanya menyinggungkan senyum tipis dan berusaha memeluk erat sang calon suami yang dia akui sebagai sesosok suami resmi. "Terima kasih ... Jagalah dia dengan ... baik ... " Nada bicaranya semakin kecil.
" ... if a man expects a woman to be an angel in his life, he must first create heaven for her. Angels don't live in hell."
" ... Kau benar-benar membuat surga itu menjadi nyata, Rintarou-kun ... "
Setitik bulir bening yang jarang ada bahkan tak muncul sama sekali dari mata Mori pun menetea kini. " ... Ya ... ya, ya, aku tahu ... " gumamnya yang mendekap erat raga wanita yang ia cintai. Sesosok wanita yang dia anggap sebagai sesosok ibu dan istri resmi. Sesosok wanita yang telah menghembuskan napas terakhir, karena terbelenggu dalam penyakit HIV selama setahun ini.
Seorang Arisuin Arina yang memberikan segalanya pada sosok yang dia cinta pun menghembuskan napas terakhir karena dan di tangan sosok yang dia cinta pula, Mori Ougai.
"Kau memang adil ... . Keadilan-Mu yang terbaik." Kedua tangan kekarnya itu memeluk erat raga Arina yang telah memucat sempurna. " ... Tetap saja, aku tak bisa, aku tak mau ... menerima keadilan ini ... " Pun Mori menyembunyikan wajah yang penuh dengan tangis itu di dada sang istri. Ia menyangkal diri jika ia menangis.
"Apakah Kau tidak lihat ... ? Aku menginginkannya, karena aku mencintainya ... . Tuhan, bukankah itu sederhana?" Mori bak melantunkan doa yang berisikan rasa tak rela. " ... Aku mencintaimu, Arina." Pun tangis Mori makin menjadi.
"Arinaa!!"
Teriakan itu terdengar jauh sampai menembus pintu tebal nan mewah yang menutup rapat ruangan seorang Bos Port Mafia yang tengah berduka atas kehilangannya sosok wanita yang ia cinta, tetapi sempat ia sia-sia.
Pun tangisan pria tua yang memalukan pun memilukan itu terdengar oleh para mafioso lainnya, tak terkecuali Hirotsu yang sudah tahu bahwa akan begini akhirnya.
" ... Maaf, aku juga pria yang buruk bagimu, Nak Arina." Hirotsu tak bisa berbohong jika ia turut bersedih atas penderitaan putri angkatnya yang berasal dari pria secara berturut-turut sampai wanita itu menghembuskan napas terakhir. Beruntunglah di tangan pria yang dia cintai, Mori Ougai.
Nampaknya Arina memaafkan segala tindakan Mori dan rela mati di tangan dia yang pernah keji.
Malam indah yang disambut dengan bersumpah untuk terikat dalam ikatan keluarga yang dideklarasikan sampai selamanya pun berakhir dengan air mata bahagia pun luka. Karena nyatanya, surga mereka berbeda. Arina kembali ke pada Tuhan Yang Maha Esa, sementara Mori bersama-sama dengan orang yang dia cinta, selain Arina, yaitu Akai.
Namun, sekarang Mori malah berada dalam neraka. Pria itu tersiksa akan rasa sakit dari penyesalannya.
Setidaknya, keinginan Mori terwujud sudah pun Arina tak merasakan derita.
Bukan berarti Arina bahagia. Bagaimanapun, ia tak bersama sosok yang dia cinta dan anaknya.
" ... Maafkan aku. Tolong jangan pergi juga ... Akai-kun."
Saat itulah Arina bisa pergi dengan tenang pun Mori sekarang.
Bersama walau berbeda dunia, mereka mengharapkan semua akan baik-baik saja sekarang dan selamanya.
" ... Sampai jumpa."
Berharap Tuhan berbaik hati untuk mempertemukan mereka kembali di dunia yang sama ini.
Thx U!
Story By LadyIruma
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top