᭝ּ໋᳝݊Angel's Smile

Daripada harus berkoar-koar pada pria yang main dekap Arina dan memintanya untuk menjauhinya, Mori lebih memilih menyalurkan aura membunuh melalui tatapan tajamnya.

Oh, mengapa sekarang ia seperti orang yang sedang cemburu?

Rasa sakit yang kau rasakan di kepala akan hilang ketika kau tersenyum dan tertawa. Itulah yang Arina rasakan sekarang, di mana ia tampaknya mulai menikmati pesta bersama dengan pria asing yang mengajaknya bicara banyak hal. Bahkan memperkenalkan Arina pada rekan-rekan satu organisasi pria yang mengajaknya menikmati pesta.

Tampaknya ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Ia seperti ditatap oleh seseorang. Ia yakin jika ia tengah diperhatikan. Membuatnya mengedarkan pandangan pada setiap sudut ruang pesta, hingga ia mendapati seorang Boss Port Mafia tengah mengarahkan tatapan membunuh padanya. Aura haus darah dari sang Boss Port Mafia dapat ia rasakan, meski hanya sekadar dari tatapannya saja.

"A-ah, sepertinya kau sudah mulai baikan ya, Arina-san."

Arina tersenyum seraya mengangguk, kemudian menjawab, "Tentu."

"J-jaa, kalau begitu, saya permisi. Ada sesuatu yang harus saya urus."

Pria itu meninggalkan Arina di tempat. Arina hanya bisa membalas senyum dengan anggukan, kemudian menatap segelas mocktail di tangannya seraya menghela napas. Sekarang ia tak ada teman untuk menikmati pesta. Terpaksa, ia kembali pada kesendiriannya.

Hingga, suatu lengan melingkar di pinggangnya, kala wanita itu hendak meneguk kembali minumannya.

"Aku tidak tahu jika malaikat sepertimu bisa tersenyum."

Napas panas dari bisikan yang terdengar di telinga Arina membuat wanita itu terkejut dan mengurungkan niatnya untuk meneguk minumannya. Tanpa harus menoleh pun ia tahu siapa pemilik nada tenang yang diam-diam menghanyutkan itu. Namun, bukan karena itu ia terkejut, melainkan tidak biasa dengan apa yang baru saja Mori lakukan padanya beberapa saat lalu—melingkarkan satu lengannya pada pinggangnya.

Arina meneguk ludahnya, kemudian sedikit memberanikan diri untuk melihat Mori dan berkata, "Apakah itu salah, Boss? Kupikir kau tidak akan melarangku untuk melakukan apa yang kumau—selama itu tidak menyulitkanmu untuk membuatku mengandung."

"Termasuk menjauhkanmu dari hal-hal yang membahayakan janin di rahimmu ... anakku. Apakah aku salah, hm?"

Mulut Arina hanya terbuka. Enggan mengeluarkan kata-kata. Mau tidak mau, Arina mengaku jika ucapan Mori tepat sasaran.

"Dia juga anakku." Batin Arina merasa tak terima jika janin yang dikandungnya hanya dianggap anak Mori saja. Bagaimanapun juga, janin itu juga anaknya! Arina yang mengandungnya, yang akan membawanya selama sembilan bulan, terlebih dialah ibunya.

Pada akhirnya, Arina hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Bagus. Jika kau melanggar, kau tahu apa yang akan terjadi padamu," ucap Mori yang segera mendapat anggukan cepat dari Arina—sekilas membuatnya menyeringai tipis karenanya.

Mori melepaskan lengannya dari pinggang Arina perlahan. Namun, tidak sepenuhnya lepas.

Hal itu entah kenapa membuat Arina sedikit risih. Menahan diri untuk tidak bertingkah seolah menunjukkan jika dirinya tidak nyaman. Pasalnya, perlakuan Mori kali ini merupakan hal yang tak biasa baginya. Apalagi sekarang mereka berada di tempat banyak orang berada.

"Lagipula-" Mori mulai berucap kembali. "-kenapa kau tidak menunjukkan senyum setiap kali berhadapan denganku?"

"... Senyum tidak dapat dipaksakan, Boss," ucap Arina yang sedikit terkejut ketika Mori menyadari dirinya yang enggan tersenyum padanya sekarang.

Mori sempat ber-oh pendek disusul dengan berkata, "Jadi, aku hanya perlu membuatmu tersenyum agar bisa melihat senyum malaikatmu." Segera setelah berkata demikian, pria berusia empat puluh tahun itu segera meninggalkan Arina dengan memberikan senyum sejuta makna padanya.

Lagi-lagi Arina terkejut. Ia terdiam mendengar ucapan Mori yang seolah ia bersungguh-sungguh. Hal itu membuat lidahnya kelu. Bahkan tubuhnya seolah-olah membeku.

Arina menatap gelas yang masih berisi setengah di tangannya. Kata-kata Mori barusan terus terngiang di kepalanya. Ia tersenyum miris sebelum akhirnya bergumam, "Berhenti berharap tidak salah, 'kan?"

Malam itu mereka tidak melakukannya seperti biasa. Mori sendiri lelah, sementara Arina hanya mengikuti perintah bosnya. Namun, ia bersyukur ketika pria itu mengantarnya pulang. Di samping itu, Mori mempertegas Arina untuk istirahat lebih awal.

Yah, tanpa Mori perintahkan pun Arina akan tepar di kasur, ketika dirasa efek kehamilannya mulai meningkat. Mungkin bosnya itu menyadarinya.

Harum khas pinus menyeruak hidungnya. Dentikan jarum jam memenuhi sudut kamar Arina. Kamar yang sunyi sepi itu terasa lebih berbeda. Rasanya ruangan itu lebih lebar dan hampa. Mungkin karena Arina seorang yang menempatinya.

Hingga Arina teringat akan apa yang terjadi selama pesta. Lebih tepatnya, pada bosnya.

Tiba-tiba Mori melingkarkan lengan di pinggangnya, memberi peringatan melalui bisikan, berkata akan melindunginya, terakhir ia ingin membuatnya tersenyum.

Mengingat itu semua membuat Arina sedikit berharap. Harapan yang mati bak bintang meledak itu rasanya hidup kembali. Bersinar dan menginginkan sinar lebih. Sama seperti saat Mori melakukan hal-hal yang membuat Arina berharap lagi. Saat itu ia nyaris berharap lagi, bahkan lebih.

Namun sayang, pria itu seolah terus memberinya harapan, lalu pergi meninggalkan.

Apa yang akan terjadi pada janinnya jika Arina berharap lebih pada Mori?

Arina memegang perutnya seraya memejamkan mata. Seketika itu bayangan akan bagaimana janin yang dikandungnya di masa depan akan menjadi Boss Port Mafia selanjutnya. Sebagai seorang ibu yang membawanya selama sembilan bulan penuh, tentu jika hal itu membawa lara di hati Arina.

Arina sedikit mengelus perutnya yang masih datar seraya menatap sendu langit-langit kamar. Ia bergumam, "Maafkan ibu jika sesuatu yang buruk terjadi pada masa depanmu."

Seperti biasa, pagi datang kembali. Arina memulai hari yang biasa dan sama lagi. Di mana ia harus menghadap Mori, sebelum memulai misi. Sudah menjadi bagian dari kegiatan bahkan keharusan Arina—yang merupakan perintah—untuk melapor tentang benih yang terus ditanam Mori.

Makin hari, Arina makin enggan berhadapan dengan Mori. Entah karena takut atau benci, setelah apa yang Mori lakukan pada hidupnya yang mulai tak karuan ini. Namun, di satu sisi, ada letak kesalahannya juga di sini, di mana ia memberikan Mori cinta sepenuh hati.

Setelah penolakan mentah-mentah dari Mori, sepertinya perlahan tapi pasti, hatinya mulai mati.

Meski sedikit berharap Mori akan sadar suatu saat nanti akan apa yang telah is beri.

Arina langsung meletakkan test pack bertanda positif di meja bundar kecil samping Mori yang tengah berbincang ria dengan dua eksekutif andalannya (?) yang tak lain adalah Kouyou dan Chuuya. Wanita itu tak berharap respon lebih, selain perintah untuk pergi dari Mori.

Sementara Mori yang sempat berbincang itu seketika terdiam dan sedikit mengerjap heran ketika Arina tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Wajah datarnya itu merupakan satu hal baru yang Mori dapatkan dari Arina. Sepertinya, wanita itu banyak berubah, pikirnya.

"Ada apa?" Tanya Mori yang masih tidak paham dengan kehadiran Arina. Sungguh, wanita itu ingin sekali berlaku tidak hormat pada atasannya. Namun, ia tidak bisa. Rasa hormat itu terlalu besar.

Arina menghela napas pendek, sebelum akhirnya berkata, "Hasilnya."

Mendengar satu kata itu saja sudah membuat Mori mengerti apa yang Arina maksudkan. Ia buru-buru melihat ke meja bundar kecil di sampingnya yang dirasa 'hasilnya' ada di sana. Seketika netranya membulat tak percaya. Ada satu gejolak tak biasa dalam hatinya. Test pack yang ia lihat benar-benar nyata hasilnya.

Entah bagaimana dan mengapa, Mori menyunggingkan senyum tipis yang sangat tipis di wajah.

Sekarang, Mori seolah seperti seorang ayah yang menunggu-nunggu kedatangan buah hatinya.

To Be Continued
Story By LadyIruma

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top