᭝ּ໋᳝݊Angel's Happiness
Entah bagaimana dan mengapa, Mori menyunggingkan senyum tipis yang sangat tipis di wajah.
Sekarang, Mori seolah seperti seorang ayah yang menunggu-nunggu kedatangan buah hatinya.
Tak ada yang mengetahui, tak ada yang menyadari. Bahkan Kouyou dan Chuuya yang sedari tadi diam pun bertanya-tanya dan jadi bingung sendiri. Tingkah Mori yang terus diam membisu membuat dua orang yang ada di sana memperhatikan Mori. Sementara Arina masih menunggu perintah dari Mori untuk segera pergi.
"... Apakah aku boleh pergi?" Tanya Arina memecah keheningan.
"Ah, ya, silahkan," jawab Mori segera. Ia menghilangkan senyum di wajahnya dengan cepat.
Arina hanya mengangguk pelan, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan menuju pintu megah di ruangan itu.
"... Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" Tanya Mori yang menatap punggung Arina sebelum wanita itu benar-benar pergi.
"Bekerja. Menjalankan misi. Seperti biasa," jawab Arina yang menghentikan langkah di depan pintu.
"Oh, baiklah. Tolong jangan memaksakan dirimu. Janin yang ada dikandunganmu masih sangat baru," ucap Mori yang hanya dibalas anggukan pelan dari Arina. Segera setelah itu, wanita itu hilang dari Mori.
Meski ucapan Mori terkesan seperti memberi perhatian kecil, namun, hati Arina sepertinya sudah terlanjur mati. Ia sudah tidak peduli bahkan tidak berharap lagi pada apapun yang Mori beri.
Hanya ada suara pintu tertutup yang menggema di ruangan megah tersebut, sebelum akhirnya Kouyou memecah keheningan dengan berkata, "Hamil, ya?"
Mori tak terkejut lagi, karena ia tahu jika dua eksekutifnya mendengar pembicaraannya dengan Arina tadi.
"Seperti yang kau lihat," ucap Mori seraya menunjukkan test pack yang Arina berikan.
Chuuya tidak percaya dengan apa yang ia lihat, setelah mendengar pembicaraan bosnya dengan Arina. Ia pikir jika hubungan Mori dan Arina atas dasar meminta keturunan saja hanya sebatas rumor belaka. Chuuya tak terlalu mempermasalahkannya. Namun, test pack yang Mori tunjukkan mempertegas segala rumor yang ada, ketika pembicaraan bosnya dengan Arina beberapa saat lalu yang tentu didengar olehnya tidak meyakinkan baginya.
Bukan berarti Chuuya percaya. Hanya saja, ia sedikit terkejut dengan perlakuan Mori terhadap seorang wanita. Apalagi dia tahu jika Arina memiliki rasa pada bosnya. Namun, lagi-lagi rumor mengatakan jika Arina ditolak mentah-mentah. Terlebih saat istrinya—Akila bercerita tentang kelangsungan hubungan tiada dasar mulia Mori dan Arina. Membuatnya sedikit.. Tidak terima dengan perlakuan bosnya, mengingat dia sangat sangat menghormati seorang wanita.
Namun, ia tidak bisa protes apalagi mengkritik tindakan Mori, ketika pria itu meyakini jika hal itu merupakan pilihan terbaik yang logis.
Berbeda dengan Chuuya, Kouyou sudah tahu jawabannya, ia hanya ingin memastikan saja. Sekarang, ia benar-benar membenci cara Mori yang seolah merendahkan wanita. Terlebih wanita yang sangat mencintainya.
Kalaupun bisa, Kouyou ingin memenggal kepala Mori sekarang juga. Karena suatu alasan, Kouyou tidak bisa melakukannya, salah satunya adalah alasan Arina.
Wanita itu membuatnya bingung, di mana ia masih saja mempertahankan diri dengan pria bejad di depannya ini. Jika sudah begitu, Kouyou tahu jika Arina memiliki suatu alasan tersendiri.
Yang hanya bisa ia lakukan sekarang adalah ...
"Apa rencanamu selanjutnya setelah mengetahui dia hamil, Mori-san? Sebagai seorang dokter, kau tahu bagaimana cara mengurus seorang wanita hamil, bukan?" Tanya Kouyou alih-alih mencobai Mori.
"Tentu saja memenuhi tanggung jawabku atas apa yang kulakukan padanya. Memperketat penjagaannya adalah salah satunya," ucap Mori seraya menatap lurus ke jendela megah yang terpampang begitu jelas di hadapannya. Memandangi kota Yokohama di bawah langit biru yang cerah.
Itu memang benar. Salah satu bentuk perhatian yang mungkin Arina dambakan dari Mori salah satunya adalah perlindungan. Namun, hal itu tidaklah cukup bagi Kouyou jika ia berada di posisi Arina yang tengah dalam masa kehamilannya.
Kouyou tidak kehabisan akal. Ia kembali berkata, "Souka. Jika kau berkenan untuk melindunginya, kau pasti juga berkenan untuk membuat seorang malaikat bahagia, 'kan?"
Mori terdiam. Entah tidak bisa menjawab atau karena sedang menimang kata. Namun, yang pasti ia merasa jika ia sedang dibuat bimbang sekarang.
Sementara Chuuya yang berada pada situasi panas karena pembicaraan yang semakin tegang yang membuat atmosfer ruangan Mori terasa berbeda karena perdebatannya dengan Kouyou pun hanya bisa diam. Tidak ingin membuat runyam suasana.
"Aku tidak ada waktu untuk memikirkan kebahagiaan malaikat," jawab Mori. Ia sedikit mempertegas dengan menekankan nada pada setiap kata yang diucapkannya.
"Membuat malaikat tersenyum dan tertawa itu sudah lebih dari cukup untuk membuat janin dalam rahimnya lahir dengan keadaan sehat," ucap Kouyou yang sedikit menimbulkan gejolak kaget serta malu dalam diri Mori.
Sementara Kouyou tersenyum. Ia tahu jika perkataannya adalah benar. Mori tak bisa lagi membantah. Kouyou pun lanjut berkata dengan percaya dirinya, "Seharusnya kau tahu itu, Mori-san."
... mencegah Mori untuk tidak terus berbuat kasar pada Arina.
Ya, Mori adalah dokter. Seharusnya dia tahu dan memikirkan hal itu. Memikirkan kebahagiaan malaikat, tentu saja dia adalah Arina. Selain memberinya perlindungan, membuatnya tersenyum dan tertawa adalah hal utama lainnya.
Seketika perdebatannya dengan Kouyou mengingatkannya pada ucapannya saat di pesta yang ia hadiri bersama Arina. Di mana dia akan membuat Arina tersenyum agar bisa melihat senyum malaikatnya. Mengingat hal itu membuatnya terkekeh seolah menertawakan dirinya sendiri yang melupakan ucapannya. Mori jadi malu, namun, ia terima kesalahannya.
"Tunggu saja."
Sekarang, sudah saatnya.
Tanggal merah merupakan suatu kemerdekaan bagi mereka yang bekerja, di mana mereka bisa bersantai dan menghabiskan waktu mereka dengan beristirahat di rumah. Mereka seperti bebas dari pekerjaan. Tak terkecuali Arina yang sudah bekerja keras dari seminggu belakangan.
Pagi ini pun dia masih berada di ranjang kesayangannya. Enggan memisahkan diri dari gravitasi kuat yang dihasilkan kasurnya, sebelum akhirnya sinar mentari memasuki kamarnya tanpa seizinnya. Membuat Arina membuka mata dengan sangat terpaksa, itupun tidak terlalu terbuka.
"... Ini masih pagi.. Toh tidak ada yang harus kulakukan.." gumamnya yang nyaris tidak jelas karena Arina yang masih dalam tahap setengah sadar.
Arina pun menarik selimutnya dan mencari posisi nyaman. Berniat untuk kembali terlelap dalam mimpi. Toh memang tak ada yang harus ia lakukan hari ini selain mengurus diri. Ditambah lagi dengan energinya yang terkuras akibat bekerja semalam dan di mana ia mulai memasuki fase hamil.
Arina benar-benar tak ada niat bergerak juga makan, meski ia sangat menginginkan sesuatu untuk dimasukkan dalam perutnya. Namun, janin di dalamnya sepertinya menolak. Mau tidak mau, Arina harus menuruti kemauan janinnya.
"Bangunlah. Ada yang harus kau lakukan."
Suara yang tak asing itu langsung merambat masuk ke telinga Arina yang membuatnya terbangun dengan mata membelalak kaget melihat keberadaan Mori yang tiba-tiba sudah ada di kamar apartemennya.
"B-bo-"
"Ya! Ayo, bangun dan bersiap, Arina-nee!"
Ditambah dengan kehadiran Elise yang tiba-tiba saja sudah duduk tepat di sampingnya. Membuatnya makin terkejut dan bingung di saat bersamaan.
Untuk apa dia harus bersiap?
Setidaknya pertanyaan itulah yang muncul di benak Arina, ketika melihat dua orang yang tak diharapkan kehadirannya tiba-tiba menampakkan diri di depannya.
"B-bersiap? U-untuk apa?" Tanya Arina seraya memberanikan diri menatap Mori.
Kedatangan Mori di hadapan Arina bukan suatu kebetulan tanpa alasan. Tentu saja kedatangannya itu berhubungan dengan ucapannya juga perdebatannya dengan Kouyou beberapa minggu belakangan. Bahkan ia tak memakai pakaian kebesarannya saat menjadi sosok seorang Boss Port Mafia sekarang. Pakaiannya lebih santai seperti seorang yang sedang ingin.. Jalan-jalan.
Mori berdehem sejenak. Entah kenapa ia sedikit canggung untuk mengatakan tujuan ia datang ke apartemen Arina padanya.
Apa mungkin karena dirinya yang sedikit merasa bersalah atas apa yang ia lakukan pada Arina? Tiba-tiba menjadi sosok yang baik pada seseorang yang kau sakiti tentu menimbulkan rasa yang tidak mengenakan di hati.
"Menemani kami ke taman hiburan," ucap Mori pada akhirnya. Ia menghindari kontak mata dengan Arina karena wajahnya yang sedikit memerah.
Selain canggung untuk mengajak seorang wanita yang telah disakiti nya, mungkin saja jika Mori tidak biasa berjalan berdua bersama dengan seorang wanita, bukan?
To Be Continued
Story By LadyIruma
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top