᭝ּ໋᳝݊Angel's Fate

"-dan sampai Boss menyadari jika aku mencintainya."

Apakah ada peluang untuk rasa cinta Arina tersampaikan pada Mori yang tak mengharapkan apapun selain keturunan darinya?

Meski Kouyou tak suka dengan kata-kata Arina yang berunsur pada sesuatu yang tak disukainya juga terdengar akan satu pengorbanan yang salah, tetapi kata-kata yang Arina sampaikan tak terlihat ada satu keraguan di sana. Jika sudah begitu, Kouyou hanya bisa pasrah dan mengembalikan semuanya pada Arina.

Kouyou menyinggung senyum sendu, kemudian berkata, "Sudah menjadi nasib malaikat, ya?"

Arina tahu jika apa yang dilakukannya salah. Namun, ia terlanjur buta karena cinta. Apapun akan ia lakukan asal cintanya tersampaikan. Meski ia tahu tak semudah yang dibayangkan. Seperti apa yang terjadi padanya sekarang sama seperti apa yang Kouyou katakan.

Ya, semuanya Arina terima, karena sudah menjadi bagian dari nasib malaikat.

"Aku pergi dulu. Terima kasih atas tehnya," ucap Arina dengan kepala yang sedikit tertunduk, kemudian singgah dari sana.

Sementara Kouyou tak berucap apa-apa kala langkah Arina makin terdengar samar. Pertanda jika ia sudah jauh secara perlahan.

Jari jemari lentik itu mengenggam erat cangkir teh yang masih berisi. Tampaknya Kouyou semakin emosi dengan tindakan yang atasannya lakukan pada teman sesama wanitanya ini.

"Ajarilah dia bagaimana caranya menghormati seorang wanita, Arina. Kuserahkan semuanya itu pada nasibmu yang menjadi aset penghasil keturunannya .... "

"Sampai kapan kau akan terus menjadi budak penghasil keturunannya?"

" ... Sampai aku bisa memberinya keturunan-"

"-dan sampai Boss menyadari jika aku mencintainya."

Percakapannya antara Kouyou terus terngiang di kepala Arina kala ia berjalan perlahan menuju ruangan Mori. Pria itu memanggilnya yang berarti ia sudah mendapat tugas darinya, meski harus berjalan secara tergopoh-gopoh mengingat apa yang bossnya itu lakukan. Namun, tak membuat Arina berhenti dan menyerah di tengah jalan meski kesusahan.

Sungguh beribu sayang, kali ini Arina harus benar-benar berhenti di tengah jalan menuju ruangan Mori, karena rasa sakit di kakinya makin menjadi. Tak hanya itu, dirinya semakin lemas dan Arina yakin jika wajahnya sudah pucat.

Agar tak terjatuh menghantam lantai, Arina bertumpu pada tembok bersamaan dengan tatapannya yang mulai berkunang-kunang. Perlahan sekitar berubah seolah dunia terasa berputar. Ia segera menutup matanya rapat-rapat dan menggelengkan sejenak kepalanya guna menghilangkan rasa pusing yang membuat badannya juga terasa tak enak.

"-dan sampai Boss menyadari jika aku mencintainya."

"Apakah cintaku benar-benar akan tersampaikan ... , ya?" batin Arina kala mengingat jawabannya sendiri yang tak begitu pasti. Merasa jika itu hanya ucapan belaka yang hanya sebatas mimpi. Namun, rasa cintanya begitu besar pada Mori.

Apakah dan haruskah ia terus seperti ini?

Ah, rasanya kedua mata Arina memanas dan hendak mengeluarkan bulir-bulir berkilauan dari ekor matanya. Namun, hal itu harus terhenti ketika mengingat dirinya harus segera ke ruangan Mori.

"Boss-"

"Kau tahu jika aku tidak menerima alasan apapun, terutama dirimu, 'kan?"

Arina terdiam mendengar ucapan dingin Mori yang sudah ia duga dari awal jika akan begini. Tak ada ucapan lain dari mulutnya selain kata maaf saat ini.

Mori hanya diam mendengar ucapan maaf dari wanita yang ternoda karenanya. Namun, ia tak peduli selama itu masih berguna dan logis baginya, terutama jika itu mengarah pada tujuannya. Apapun akan ia lakukan agar menjadi nyata, meski harus menodai wanita yang ia sendiri sadar jika Arina mencintainya.

Tetap saja, Mori tidak peduli. Hanya berfokus pada tujuannya sendiri.

Mori sempat melirik Arina sebelum akhirnya mengamatinya dari atas sampai bawah. Bisa ia lihat wajah pucatnya yang terlihat risih ketika ditatap intens olehnya.

"Bagaimana hasilnya?" tanya Mori yang langsung pada intinya saja.

"S-saya belum memeriksanya pagi ini, Boss ... ," ucap Arina gugup juga takut.

Terdengar decakan kesal bersamaan dengan hawa sekitar yang mulai tidak enak. Arina yakin jika Mori cukup marah padanya.

Mau bagaimana lagi bukan jika Mori pagi tadi memaksanya untuk bergerak cepat untuk segera menghadiri rapat?

"Kau mau aku memaksamu?" Bukan pertanyaan ramah atau pertanyaan toleransi lainnya, melainkan hanya ucapan dingin yang tersirat rasa tidak suka.

Arina bergidik ngeri dan menundukkan kepalanya. Ia benar-benar takut dan merasa akan menangis sekarang juga. "T-tidak, Boss. S-saya akan segera memeriksa dan melaporkannya pada Anda," ucapnya.

Setelah itu tak ada ucapan apapun lagi yang keluar dari mulut Mori. Pria berkepala empat itu kembali fokus menatap langit juga kota Yokohama dari balik jendela ruangannya yang besar nan megah.

Merasa suasana sedikit mereda, Arina memutuskan untuk mengatakan apa yang sudah menjadi sesuatu yang telah lama ia pendam. Ia ingin mengeluarkan uneg-unegnya atas apa yang telah lama ia rasakan terhadap Mori sekarang juga, meski itu berisiko sangat fatal nantinya.

"Ada yang ingin saya sampaikan, Boss," ucap Arina berusaha untuk tidak gugup dan menetralisir detak jantungnya. Sedikit berharap akan jawaban yang baik dari Mori nantinya dan mempersiapkan diri untuk sesuatu yang buruk yang (mungkin) akan terjadi juga.

" ... Katakan."

Izin yang diberikan pada Arina membuat wanita itu menunduk dan sedikit meremas kecil jubahnya. Ia pun berkata, "S-saya sudah lama mencintai Anda, Boss. Bahkan rela melakukan apapun yang Boss perintahkan asal rasa cinta saya tersampaikan pada Anda, termasuk mengorbankan keperawanan saya .... M-maaf jika saya memiliki rasa yang lancang terhadap Anda, t-tapi ... , tapi bisakah Anda mengatakan sesuatu terhadap perasaan saya?"

To Be Continued
Story By -MrsIrm

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top