Chapter 005 - Sign of a Sheikh's Possession
"Melakukan penyerangan di Abizar's Pub tadi malam."
Kami terdiam beberapa saat, lebih tepatnya hanya aku yang membeku atas ucapannya barusan. Entah bagaimana dia mampu mengetahui hal tersebut, aku berspekulasi bahwa Omar--mungkin--telah lama menginginkanku sehingga selama itu pula, ia mencari banyak informasi. Termasuk latar belakang kehidupanku.
Terus terang, aku sangat menyetujui jika spekulasi ini terdengar sangat percaya diri. Namun, untuk saat ini tidak ada lagi yang mampu kupikirkan, selain kesimpulan tersebut dan ketika mengingat bagaimana sikapnya pada malam itu.
Omar melindungiku di malam penyerangan tersebut. Meskipun terlambat, aku tetap sangat menyukainya.
"Sungguh memiliki kehidupan yang malang." Omar kembali berkomentar, setelah salah seorang pelayan pergi meninggalkan meja makan kami. "Apa kau masih ingin menemukan alasannya?"
Perasaan kalut seketika merayap dari ujung kaki, secara perlahan mulai merambat keseluruh tubuh, hingga membuatku kesulitan untuk menjawab. Aku menggigit bibir, berharap hal tersebut mampu berperan sebagai pengalih.
Aku menghitung lagi, sembari mengatakan kalimat-kalimat positif dalam benak kemudian memberanikan diri, untuk melakukan sesuatu agar tidak terjebak di dalam suasana tak mengenakkan. Jika harus jujur, membalas dendam memang satu-satunya hal yang ingin kulakukan atas nama orangtuaku.
Namun, setelah semuanya terjadi, aku menyadari bahwa kekuatan dan kemampuan yang kumiliki masih belum cukup untuk melawan Yoshua.
"Jika memang seperti itu ...." Aku menggantungkan kalimat, sekadar ingin mendorong kursi menggunakan kaki, kemudian berdiri tegak sebelum melangkah hingga benar-benar berhadapan dengan Omar. "Law samaht," ujarku memohon, terdengar nyaris seperti berbisik ketika kedua kakiku, secara sempurna terlipat di atas lantai dan menjadikan mereka sebagai tumpuan badan. Kedua tangan pun mengarah ke arah langit-lagit, menempel pada kedua paha serta di waktu bersamaan aku hanya mampu menunduk. Menunggu reaksi Omar.
Detik-detik jam imajinasi pun terasa melambat, terdengar sangat mengintimidasi, hingga membuatku kesulitan bernapas. Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan saat ini, hanya bisa menunggu tanpa mampu melihat raut wajah pria tersebut.
Hingga beberapa saat berlalu, indera pendengaranku menangkap suara kursi yang digeser dan hal itu berhasil menarik perhatian.
Terlebih ketika seseorang menyentuh pucuk kepalaku, mengangkat wajahku dengan menarik lembut daguku dan ....
Aku tidak mampu mengartikan ekspresi yang tergambar di wajah Omar.
Pria itu hanya menatapku untuk beberapa saat, sebelum akhirnya dia mendorong hingga membuat punggungku nyaris menyentuh lantai.
"Bawa dia sekarang," perintahnya tegas kepada para pengawal, seolah tidak ada lagi yang harus dibicarakan.
Hal itu pun membuatku menggeleng kuat, serta setengah mati berusaha melepaskan cengkraman di kedua lenganku. "Lepaskan aku!" Aku berteriak memohon, meski terlihat jelas bahwa mereka hanya akan mendengarkan perintah Sang Sheikh. "Lepaskan aku, Keparat!"
Dalam keadaan terseret, aku terus berusaha memberontak. Melakukan apa saja yang mampu kulakukan, demi melepaskan diri dari cengkraman mereka. Akan tetapi, kekuatan dua orang pria bertubuh tegap dan kekar, memang selalu berada di luar kapasatasku. Sehingga dengan mudah mereka mengangkat kemudian membawa paksa menuju ruang lainnya, serta--bagaikan sebuah kapas--melemparku di atas tempat tidur.
"Bedebah! Apa yang kalian lakukan?! Lepaskan aku!"
Seolah tidak memberikan sedikit kesempatan, mereka justru segera mengikat kedua pergelangan tangan dan kakiku. Membuatku kesulitan bergerak, hingga melahirkan umpatan yang menggantung di ujung lidah, serta pertanyaan sia-sia memaksa untuk segera dikelurkan.
"Apa yang ingin kalian lakukan?! Bedebah, seharusnya kau bisa menjawab."
Dan sesuai dugaan, sejak awal ucapanku memang benar-benar diabaikan oleh mereka.
"Hai, apa kalian tidak mendengarku, eh?!" Aku berteriak lagi, sambil menarik kedua tangan dan kaki, dengan harapan tali-tali yang menghalangi pergerakanku akan terlepas. "Listen, if you all having trouble digesting my language, tell him it's overkill," ucapku sebagai keputusan terakhir yang sengaja menggunakan Bahasa Inggris, jika saja mereka tidak mengerti Bahasa Arab hingga membuat mereka mengabaikanku.
Salah satu di antara mereka berdua menoleh ke arahku dan memberikan tatapan mengerikan, seperti seekor singa kelaparan yang menginginkan sepotong daging segar. Aku meneguk saliva kuat-kuat, pengalaman menaklukan lelaki di Abizar's Pub seketika terkesan tidak berguna untuk saat ini, sebab sorot mata mereka sama sekali tak memperlihat nafsu terhadap seorang wanita.
Sehingga dalam keheningan yang sangat mendominasi, aku berusaha untuk menyembunyikan rasa takut. Namun, sekuat apa pun aku menahannya, gemetar di tubuh serta suara gemeletuk tetap tidak mampu aku sembunyikan. Sehingga hal itu melahirkan seringai tajam di wajah mereka, seolah perilaku tersebut merupakan hiburan.
"Kau telah mengambil keputusan yang salah, gadis kecil." Seseorang yang lebih tua, akhirnya angkat bicara sambil melangkah mendekatiku. "Menyerahkan diri secara sukarela ... mungkin akan membuatmu menyesal. Entah apa yang Sheikh pikirkan, hingga membelimu dengan harga teramat tinggi."
Refleks kedua alisku mengerut. "Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Apa yang telah kumilliki ternyata terlalu lemah untuk berhadapan dengannya, sehingga menyerahkan diriku kepadanya kurasa akan membantu tujuan hidupku."
Kini dua pria itu terlihat tertarik dengan ucapanku barusan. Terlihat jelas dari cara mereka mendekat, pupil mata yang membesar, serta deru napas yang terkesan buru-buru.
"Kita lihat saja." Dia yang sebelumnya hanya diam pun, akhirnya turut berkata sambil merogoh sesuatu di balik jas hitam. "Sheikh Omar tidak menyukai kebisingan, sehingga hal ini mungkin mampu meredam suaramu."
Belum sempat mengatakan sesuatu, pria yang terlihat lebih muda itu terlebih dahulu menutup bibirku menggukan sebuah kain. Aku pun berteriak dan kembali memberontak, tetapi keadaan berhasil membuatku tidak mampu lagi melakukan perlawanan.
Sungguh tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuk membebaskan diri, selain menoleh ke kanan dan kiri mengikuti pergerakan dua pria tersebut. Di mana salah satu dari mereka mengambil sebuah mangkuk berukuran sangat besar, berisi tumpukan bara api, dan tongkat besi berbentuk runcing di bagian ujungnya.
Sampai detik ini, aku masih menerka-nerka apa yang akan mereka lakukan serta selama itu pula, jantungku berdebar kuat akibat perasaan takut. Bahkan deru napas pun terasa tak keruan, saat tongkat besi tersebut terangkat, dan memperlihatkan warna jingga yang menandakan betapa panas benda tersebut.
"Jika kau menginginkan semua ini cepat berakhir, maka tahanlah rasa sakitnya."
Setiap kata yang diucapkannya bagai sebuah ancaman bagiku, sehingga--lagi--aku memberontak. Berusaha membebaskan diri. Namun, tali-tali yang menahanku ternyata sangat kuat, sehingga tidak mengendur sedikit pun.
Besi panas itu pun semakin lama semakin dekat. Kedua mataku secara refleks juga mengikuti pergerakannya, terus menatap hingga benda tersebut bergerak lambat. Sampai membuatku kesulitan bernapas, bersamaan dengan sakit di kepala yang mengubah segalanya menjadi kacau dan ....
... aku berteriak sekencang-kencangnya.
Saat kulit di paha kiri bagian atas terkena benda panas tersebut, membuatnya seolah meleleh, dan rasa sakit itu seketika menyebar ke seluruh tubuhku.
Teriakan panjang seiring dengan air mata yang keluar, tidak mampu lagi kuhentikan.
Rasanya teramat panas.
Benar-benar melelehkan sekujur kulit, hingga teriakan itu tidak lagi terdengar di telingaku.
Saat itu pula, tubuhku melemah.
Jiwa seakan telah menghilang, tergantikan dengan pandangan yang semakin lama semakin mengabur.
Namun, percikan air yang diarahkan ke wajah membuatku kembali meraih kesadaran. Kedua mataku terbuka lebar, dengan napas masih tidak teratur, dan ekspresi rasa sakit yang tidak sanggup disembunyikan.
"Bertahanlah, aku yakin kau sudah melewati hal yang lebih buruk dari ini," ucap pria itu tenang, seakan-akan tidak terjadi apa pun. "Sebagian dari kami telah melewatinya, jadi kau pasti juga bisa melakukannya juga."
Aku tidak mampu mengatakan apapun. Hanya bisa terdiam, sambil mengatur napas sebagai upaya menghilangkan rasa terbakar di area yang diberi tanda, Air mata pun masih mengalir deras di pipi, tetapi pria muda yang menutup mulutku menggunakan kain terkesan berbaik hati dengan mengusapnya.
Setelah itu mereka akhirnya pergi, menutup pintu dengan sangat perlahan, dan membiarkanku dalam keadaan terikat. Tidak ada lagi pemberontakan yang terdengar, hanya isak tangis yang saat ini memenuhi ruangan.
Aku menatap langit-langit kamar, membiarkan otakku membuka memori lama penuh kebahagiaan bersama keluarga, kemudian menangis--lagi--hingga air mata akhirnya menjadi kering.
Entah apakah ini telah menjadi yang terberat, hingga hanya mampu menangis tanpa perlawanan.
Aku hanya mengetahu satu hal, yaitu rasa sakit akibat luka bakar yang diberikan sebagai bentuk kepemilikan seseorang.
Entah akan berakhir atau buruk, nyawaku kini berada di tangan pria itu.
Omar tiga belas tahun lalu, sekarang adalah sosok yang berbeda sehingga ....
Bersikap baiklah, demi mendapatkan kepercayaan tuanmu.
"Aku ... akan memandangmu sebagai sosok yang berbeda."
***
Hai bagaimana dengan bab ini? Apakah kalian suka atau tidak?
Makasih sudah baca ^^
Jangan lupa tinggalkan like pada cerita ini.
Jika kalian suka, silakan bagikan ke teman-teman kalian.
Ig jessicalush94
Tiktok jessicalush94
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top