Chapter 004 - How Did You End Up At That Place?
Entah apa yang telah Yasser masukkan ke dalam paru-paruku, aku sungguh tidak tahu dan selalu kesulitan untuk menebak-nebak jenis cairan apakah itu.
Aku hanya tahu yang barusan kualami adalah mimpi buruk, hingga membuat seluruh tubuh gemetar sampai dadaku terasa sesak. Namun, ketika kesadaran berhasil kuraih dan setelah beberapa kali mengerjapkan kedua mata, aku menemukan bahwa terdapat perbedaan pada tempatku terbaring.
Sehingga sebagai gerakan refleks, aku pun segera terbangun kemudian segera menebarkan pandangan, mengelilingi setiap inchi ruangan asing tersebut. Tempat tidurnya sangat besar untuk satu orang, serta warna merah yang mendominasi terasa cukup mengintimidasi. Meskipun, mereka terlihat megah dengan karpet berwarna senada bercorak rumit, dan cat dinding berwarna hangat karena pantulan cahaya lampu di kedua sisi ranjang, serta senampan buah-buahan, tetap saja merasa rileks adalah hal tersulit kali ini.
Aku pun segera bangkit dari tempat tidur tersebut, melangkah pelan menuju jendela kaca yang tertutup rapat--hanya memperlihatkan pemandangan kota dari atas--lalu menyibak sedikit tirainya. Entah apa yang telah terjadi, hingga berakhir di tempat ini, kedua kakiku bergegas menuju satu-satunya pintu, dan memutar kenop berulang kali.
"Aftah albab!" Aku mengedor pintu, saat kepanikan secara perlahan merambat dari ujung kakiku. "Kumohon! Siapa pun yang ada di luar sana, tolong buka pintunya. Aku tidak bersalah dan sungguh tidak tahu apa pun!" Sambil beberapa kali memutar kenop, aku memutuskan untuk menempelkan telinga di papan bercat cokelat keemasan tersebut, kemudian menempelkan kepala pada lantai demi mengetahui apakah ada seseorang di laur sana.
"Hai!" teriakku sekali lagi, sambil menggedor pintu dan mengintip celah kecil di bagain bawah. "Aku tahu kau pasti mendengarku, tetapi setidaknya bisa kau jelaskan apa yang terjadi dan ...." Ucapanku terputus saat sebuah kedutan penuh rasa sakit, begitu terasa di bagian bahu kiri.
Aku terduduk dengan kedua lutut menyentuh lantai, serta tangan kanan yang refleks menyentuh bagian sakit tersebut dan ....
... tanpa perlu menoleh, indera perabaku menyadari bahwa bagian tersebut telah diperban. Membuatku segera bangkit kemudian berlari menuju cermin yang tertempel di dinding, sebelah tempat tidur.
Setelahnya, aku mendapati keberadaanku yang sangat berantakan dengan lilitan perban di bahu kiri, serta sebuah memar di area mata sebelah kanan.
Pada saat itu pula, kepala pun berdenyut sakit. Memperlihatkan memori yang sempat kulupakan dan ....
... tubuhku menggigil, memperdengarkan suara gemelatuk dari gigiku, dan aliran darah seolah terhenti saat jantung berdetak sangat kuat.
Secara bergantaian dan seperti melakukan tumpang tindih, ingatan--yang kuanggap sebagai mimpi buruk--tersebut bagaikan kelebat bayangan di depan mata. Kedua lenganku pun saling melilit, memeluk tubuh sendiri seakan-akan ingin menenangkan.
Namun, memori tersebut tidak mampu dihilangkan. Dimulai dari keterkejutanku saat bertemu kembali dengan Omar, menari untuknya, dan hal buruk terjadi setelah lampu di Abizar's Pub tiba-tiba berubah padam.
"Jesus Christ, help me, please." Aku memejamkan kedua mata. Sakit di badan kini tidak sebanding dengan, ketakutan di masa lalu. "Semua akan baik-baik saja."
Satu.
Dua.
Tiga.
Untuk menangkan diri, aku terbiasa menghitung hingga kesepuluh sembari membayangkan hal-hal baik, demi meredakan tremor di seluruh tubuhku. Namun, ketika baru saja menyebut angka sembilan, suara pintu yang dibuka berhasil menghancurkan segala konsentrasi. Membuat leherku memaksa menoleh agar kedua netra ini mampu melihat ke belakang.
Orang yang sudah tidak asing lagi melangkah memasuki kamar kemudian menundukkan sedikit tubuhnya, sembari meletakkan tangan kanannya di dada kiri. "Good morning, saya Asad. Senang bertemu denganmu, Nora."
Kedua alisku refleks mengerut dan langkah kaki, tanpa disadari melangkah mendekati pria yang mempertemukanku dengan tuannya. "Apa yang telah terjadi? Bagimana aku bisa berada di sini? Serta tempat apa ini? Mengapa aku berakhir di tempat ini, tanpa tahu apapun?!"
"Kekacauan telah terjadi, tanpa mampu ditahan."
"Aku tidak mengingatnya dengan baik."
Asad tersenyum tipis. Terkesan sangat ramah, jika dibandingkan degan pertama kali aku melihatnya. "Kurasa itu karena efek heroin yang diberikan Yasser."
"Heroin?"
Pria itu mengangguk pelan. "Apa itu pertama kalinya untukmu?"
Aku tidak menjawab, hanya menunduk dengan pikiran yang berkecamuk.
"Sheikh Omar ingin bertemu denganmu," ujarnya, "Persiapkan dirimu dan berkata jujurlah, demi keselamatanmu. Pelayan akan segera datang untuk membantu."
"Tunggu!" Tanpa sadar aku meninggikan suara, sambil melangkah lebar, dan mencengkram pelan lengan kanan Asad. "Apa yang harus kulakukan saat bertemu dengannya?"
"Ikuti saja apa yang Sheikh katakan," ujar Asad, sambil menjauhkan cengkraman tanganku di lengannya, kemudian menyentuh pucuk kepala. "Jangan khawatir, Sheikh adalah pria yang baik. Kau beruntung mendapatkannya."
Refleks aku menjauhkan tangan Asad dari kepalaku. Menatapnya lurus dengan sorot tidak percaya atas ucapannya. "Aku tak yakin berada dalam keberuntungan," ujarku lalu segera melangkah membelakangi Asad.
Dari balik punggung, suara Asad tidak terdengar sama sekali. Hanya suara langkah kaki yang terkesan semakin menjauh, kemudian disusul suara kenop pintu, menyebarkan aroma mawar dari arah luar. Aku menoleh karena penasaran dan netraku langsung tertuju pada tiga pelayan wanita, dengan sebuah nampan di masing-masing tangan mereka.
Asad mempersilakan agar para pelayan tersebut memasuki ruangan, tempatku bedada kemudian menutup pintu tersebut.
"Kami ditugaskan oleh Sheikh Omar untuk membersihkan dan memperindah menampilan Nona," ucap seorang wanita yang berdiri di tengah. Ia meletakkan nampan di atas bangku tempat tidur berbahan kayu--memiliki motif leopard pada bagian busanya--serta, mengarahkan dua wanita di sisinya agar mengantarku ke kamar mandi.
***
Asad kembali hadir setelah tiga pelayan wanita tersebut menyelesaikan tugasnya. Ia mengatakan bahwa akan mengantarku, agar bertemu dengan Omar di meja makan.
Sepanjang perjalanan, aku mampu memperkirakan bahwa tempat tinggal ini teramat luas. Mengalahkan Abizar's Pub, bangunan tersebut memiliki sebuah lift, kolam renang yang cukup besar dengan taman di setiap sudut, serta sebuah meja makan penuh hidangan lezat untuk sepuluh kursi.
Refleks, kedua mataku pun membola, seiring dengan dewi batin yang berteriak, mengutuk keadilan dunia.
"Silakan duduk," ucap Omar yang terdengar berat, mempersilakan. "Aku ingin mengenalmu lebih jauh, sebagai seorang tuan sebelum memutuskan kelanjutan hidup budaknya."
Andai aku tidak bertemu dengan pria ini sebelumnya, mungkin aku akan langsung menuruti perintahnya dengan wajah yang menunduk akibat rasa takut. Namun, karena ini adalah pertemuan setelah sekian lama, maka aku hanya mampu membeku--sekali lagi--kesulitan untuk melakukan banyak hal.
Aku hanya menatap Omar, menelaah setiap inchi wajah pria itu, leher, dada, hingga kedua tangannya yang berada di atas meja. Jika harus berkata jujur, maka tidak satu pun perubahan pada dirinya sampai harus membuatku melupakannya. Dia masih sama seperti dulu, masih terlihat sangat tampan, berkharisma, dan sangat layak untuk menjadi seorang pemimpin.
"Ajlis ya, Nora!"
Suara bariton yang terkesan membentak itu, berhasil membuat terkejut dalam beberapa detik. Secara refleks tulang punggungku menegak, kemudian pandanganku segera teralih ke arah lantai.
"Aku berusaha bersikap lembut denganmu, Nora." Omar berkata lagi, "Jadi duduklah dan santap hidangan yang tersaji di meja."
Aku mengangguk pelan, sambil melangkah menuju salah satu kursi yang telah di tarik keluar dari meja oleh Asad. Duduk berhadapan dengannya, kini terasa begitu berbeda. Kedua tanganku gemetar, begitu pula dengan jantung yang berdebar sangat kuat.
Para pelayan pun secara telaten melakukan tugasnya. Dimulai dari cara mereka menghidangkan makanan pembuka, makan utama, serta makanan penutup dan untuk pertama kali, aku kesulitan untuk menikmati hidangan lezat tersebut.
"Mengapa kau bisa berakhir di tempat seperti itu?"
Aku mengangkat wajah, nyaris tersedak saat Omar akhirnya bertanya setelah meneguk habis minumannya. "Aku khawatir ini akan terdengar mendramatisir. Tapi apa pun itu, semua orang jelas tidak ingin berakhir seperti demikian."
"Aku bertanya, bukan meminta pendapatmu." Omar mengatakan hal tersebut dengan sangat tegas, hingga membuatku meneguk saliva dan memaksakan diri agar melupakan masa lalu yang pernah kami lewati bersama.
Mungkin dia lupa.
Atau mungkin, dia sengaja melupakan karena sadar bahwa status sosial kami sangat sulit untuk dimaklumi.
"Keluargaku dibunuh dan aku dijual oleh mereka, tanpa kutahu alasannya," ucapku dengan nada gemetar yang terdengar jelas. Aku meletakkan alat makan di atas piring, lalu menyembunyikan kedua tangan di antara dua kakiku. "Jika Anda tidak keberatan, aku akan mencoba menceritakan detailnya."
Omar mengangguk dan hal itu membuat jantung terasa meledak, hingga membuat seluruh kulitku memucat.
"Saat itu ... aku berusia sembilan tahun,"--Aku menarik napas panjang dan menggenggam kedua tanganku kuat-kuat--"di acara ulang tahunku, lampu rumah kami tiba-tiba saja padam, dan tanpa kami sadari sekelompok lelaki memanfaatkan hal tersebut dengan menyelinap masuk. Ketika itulah mimpi buruk terjadi dalam hidupku.
"Mereka memaksa agar aku mengikuti mereka. Mengancam akan membunuh, jika tidak mematuhi perintah mereka hingga membuatku berada di beberapa tempat yang mereka ...."
"Apa kau takut akan kematian?"
Aku mengangguk, tetapi sedetik kemudian menggeleng. "Yang kutakutkan adalah tidak bisa bertemu dengan mereka lagi."
"Jadi itulah alasanmu untuk kabur?"
"Tidak." Nuraniku tiba-tiba meminta agar aku berbohong. "Aku selalu memikirkan hal tersebut, tetapi rasa takut selalu mengalahkan segalanya."
Tiba-tiba saja suara meja yang dipukul terdengar--mengejutkanku--membuat fokus segera teralih pada Omar. Wajahnya tidak sehangat sebelumnya, rahang yang dihiasi oleh rambut-rambut halus itu bahkan mengeras, kedua mata cokelat tersebut terlihat sedang berapi-api.
Jujur adalah hal yang harus dilakukan seorang budak.
Ucapan Maria dan peringatan yang dikatakan Asad seketika terlintas di benakku, sehingga menimbulkan rasa bersalah dan penyesalan karena telah berbohong.
"Ma-maafkan aku," ucapku sambil menunduk--lagi--sambil menyentuh dada kiri menggunakan tangan kanan. "Aku ... sebenarnya, memiliki urusan dengan pria yang--"
"Melakukan penyerangan di Abizar's Pub tadi malam."
Aku mengangkat wajahku, memberanikan diri untuk menatap ke arah Omar, dan mencoba mencari tahu tentang ....
... bagaimana pria itu bisa mengetahuinya?
***
Hai, sorry update lama. Aku hanya sakit dan harus nyicil sedikit demi sedikit supaya bisa update sehingga inilah dia, bab 4 telah selesai.
Jadi bagaimana menurut kalian tentang bab ini?
Masih mau tau kelanjutannya?
Makasih ya sudah baca ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top