Chapter 003 - Omar Al Rashid
Ps. Sebelum baca silakan klik bintang yaa.
Terdapat kalimat bahasa arab yang dibagian akhirnya aku kasih tau artinya secara tersirat.
Terus terang aku cukup mager buat nulis dictionary, jadi kalian peka-peka yaa sebab di setiap percakapan aku tulis artinya secara enggak langsung.
Dan ... selamat membaca. ^^
***
Pertama kali aku bertemu dengannya adalah ketika mobil yang ia kendarai bermasalah. Waktu itu sekitar delapan tahun lalu, aku hanya bisa melihat dari jendela kamar di mana wajah tampan pemuda tersebut terlihat sangat kesal.
Dia menendang mobil beberapa kali, kemudian terlihat sibuk menelpon. Tidak lupa juga, ia pun melangkah mondar-mandir di trotoar hingga kain di kepalanya sesekali bergerak sedikit, akibat tertiup angin.
Hal sederhana itu pun yang berhasil membuatku tertawa lagi, setelah sekian lama.
Entah siapa dia, aku hanya mengetahui bahwa ia memiliki wajah teramat tampan dan bersih, kulit putihnya bagai sebuah kristal yang memancarkan cahaya, serta hidung tingginya tampak indah di antara kacamata hitam yang digunakan untuk menghalau terik matahari. Kedua alis tebalnya pun menjadi pusat perhatianku.
Aku meletakkan kedua tangan di atas kusen jendela, kemudian memusatkan sebagian massa tubuh saat wajahku berada diantaranya. Memandang pemuda tampan itu pun menjadi hal paling menyenangkan dalam hidup, sebab sejak pertama melihatnya senyumku tak pernah menghilang. Bahkan tidak jarang aku mengkhayal tentang pemuda tersebut.
Ingin rasanya menolong pemuda itu, sekadar menghibur sebab tidak tahu banyak hal mengenai kendaraan. Namun, keterbatasan membuatku kesulitan untuk menghampirinya. Sehingga, setelah sekian detik berpikir aku pun berdeham.
"Marhaba!" Aku berteriak menegurnya dan hal tersebut harus kuulangi sebanyak dua kali. Ia mendongkakkan kepala, di mana setelah itu aku melambai tangan dengan cepat. "Hal tahtaj 'iilaa musaedatin?"
Dia mengangkat sebelah tangannya setinggi bahu--mengarahkan bagian telapak ke arah langit--dan bibirnya terbuka.
Mungkin pemuda itu tidak mendengar jelas, suara kendaraan yang melintas sempat membuat suaraku tenggelam. Aku pun meletakkan kedua tangan di sisi bibir, membuatnya seperti corong lalu kembali berteriak, "Hal tahtaj 'iilaa musaedatin?!"
Lalu ia tersenyum dan menunjuk ke arah ponselnya. "Aku hanya butuh sesuatu yang bisa mengisi daya ponsel untuk menelepon mekanik!"
"Baiklah, tunggu sebentar!" ujarku sambil mengangguk dan mengisyaratkan, agar ia menunggu. "Aku akan memanggil seseorang untuk membantumu."
Berlari kecil, aku bergegas meninggalkan kamar untuk menemui Maria di ruangannya. Saat itu pula, jantungku berdebar kuat dan wajahku memanas. Sejak berteman dengan wanita yang lebih tua di rumah ini, aku sangat mengetahui bahwa bahasa tubuh tersebut merupakan tanda ketertarikan yang sesungguhnya.
Tidak pernah kurasakan hal ini sebelumnya, sehingga seolah tidak ingin membuang kesempatan untuk berkenalan aku segera mengetuk pintu kamar Maria, dengan sangat tak sabar.
"Maria, kau ada di dalam, 'kan?!" Aku mengetuk pintu tanpa henti, khawatir jika pemuda tampan itu telah mendapatkan pertolongan. "Maria, cepat buka pintunya. Aku sungguh membutuhkan perto--"
"Ada apa, Nora?" Gadis itu bertanya, setelah membuka pintu dan menelan makanannya.
"Apa kau memiliki kenalan yang mengerti cara memperbaiki mobil?"
Maria tidak langsung menjawab. Ia terdiam sejenak, hingga membuatku kesal menanti jawaban. Namun, belum sempat mengatakan satu hal, gadis itu terlebih dahulu berkata, "Kurasa Hamdan bisa, tetapi ada apa? Bukannya kau--"
"Hubungi dia dan ikut denganku sekarang." Aku menarik tangan Maria dengan teramat kuat, hingga berhasil membuat tubuhnya tersentak, serta mengikuti langkah terburu-buru menuju pintu keluar, dan meminta ijin agar penjaga bersedia mengeluarkan kami.
Sempat terjadi perdebatan di awal, tetapi setelah aku mengatakan bahwa pemuda tersebut adalah sosok kaya yang akan memberikan kita tip, maka sedetik kemudian mereka memutuskan untuk membuka pintu gerbang dan membiarkan kami keluar. Salah satu penjaga pun mengikuti kami, dia melangkah lebar di belakang serta memastikan tidak ada masalah di sini seperti keinginan kabur.
Kedua pipiku terasa memanas ketika pemuda itu menoleh ke arah kami, serta saat Maria melingkarkan lengannya di lenganku sambil berbisik bahwa betapa tampan dirinya. Sesekali aku menunduk untuk menampik rasa malu--meski tidak berguna sama sekali--hingga akhirnya langkah kakiku terpaksa berhenti di dekat mobil pemuda itu.
"Ada apa dengan mobilmu?" tanyaku setelah berhasil menahan deru jantung yang tidak keruan. "Aku memang tidak mengerti, tapi Tuan ini pasti bisa membantumu." Aku menunjuk ke arah penjaga kami dan kulihat tatapannya pun teralih.
"Oh, ya, aku tidak tahu mengapa kendaraanku tiba-tiba mati dan mengeluarkan aroma terbakar. Ini adalah hari pertama aku berkendara jauh, jadi ...."
"Aku bisa membantumu selama pembayarannya sesuai." Sang Penjaga mengatakan hal tersebut, sambil melepas jas hitamnya dan memberikannya padaku. "Jangan khawatir, mobilmu tidak akan bertambah parah selama aku memegang ijazah otomotif."
Pemuda itu tertawa kecil dan singkat kemudian mempersilakan penjaga kami untuk melakukan tugasnya. "Jangan khawatir, aku akan memberimu upah. Bahkan jika kau tidak memintanya sekali pun."
Mendengar ucapan pemuda itu, hatiku pun refleks meledak. Memperlihatkan cahaya berwarna-warni dari letusan kembang api dan ribuan bunga terkesan subur, hingga memberikan aroma yang khas. Bagiku pemuda tersebut sangat dermawan serta murah hati, sehingga semakin membuat debaran jantungku sungguh tidak keruan. Terus terang, aku kesulitan untuk mengontrolnya sehingga hanya mampu meremas kuat lengan Maria.
"Apa kau membawakan ini untukku?"
Aku mendengarnya, tetapi mengapa lidahku begitu kelu hingga tidak ada satu pun kalimat yang terucap.
"Apa kau baik-baik saja?"
Dia bertanya lagi, tetapi aku hanya bisa mengangguk pelan.
"Shukran jazilan," ucapnya berterima kasih, sambil membuka tutup botol berisi air mineral dan meminum cairan penyejuk tenggorokan tersebut di hadapan kami.
Saat itu pula, aku benar-benar mabuk kepayang. Berpikir berulang kali mengenai, bagaimana bisa di tanah sekering demikian terdapat manusia seindah ini?
Aku mengerjap ketika pemuda itu menjauhkan ujung botol dari bibirnya dan melakukan hal serupa saat ia mengembalikan benda tersebut. "Terlalu banyak bicara di bawah terik matahari benar-benar membuatku haus."
"Be ... benar." Aku memaksakan diri agar tersenyum semanis mungkin. "Dan ... kurasa, aku harus segera ... membuangnya," kataku yang untuk pertama kalinya terdengar gagap, sambil memperlihatkan botol kosong tersebut dan segera melangkah, setelah pemuda itu mengangguk.
Aku menggeleng kuat, sering kali mengumpat atas sikapku barusan. Pemuda itu jelas lebih tua dariku, sehingga bukanlah sesuatu yang mustahil jika dia pasti menebak-nebak tentang apa pun itu. Bahkan meski tidak melihat, aku menyadari bahwa ia sedang mengamati langkahku dan itu semakin membuatku kesulitan.
Benar-benar kesulitan, hingga tidak tahu bahwa hal itu membuatku tersandung oleh kaki sendiri.
"Nona, apa Anda bisa mendengar."
Aku tersentak lalu mengerjap berulang kali, saat suara seorang pria merusak lamunan delapan tahun lalu. "I ... I'm sorry, what?" Tanpa sadar, berbicara bahasa Inggris yang sejak awal dilarang di tempat ini.
"Tahadath bialearabiat min fadlik," ucap pria itu mengingatkan agar aku berbicara bahasa Arab di hadapan tuannya.
Namun, perintahnya sama sekali tidak membantu. Sejak pertama kali melihat wajahnya di antara Ana Yalli Bahebak, aku kehilangan segala yang ada di dalam benakku. Semuanya membeku, hanya didominasi oleh keterkejutan tak terbatas. Pikiranku pun selalu mengungkapkan pertanyaan serupa, yaitu;
Satu, mengapa Tuhan mempertemukan kami kembali dalam keadaan seperti ini?
Dua, mengapa dia berada di sini? Aku sungguh tidak menyangka dia akan datang ke tempat seperti ini.
Tiga, bukankah dia pindah dan menetap di New York? Lalu mengapa kembali?
Empat, apakah dia mengingatku dan ingin membebaskanku?
Pertanyaan terakhir sangat tidak masuk akal. Apalagi setelah melihat bagaimana keadaan dirinya sekarang, membuat kepercayaan diriku menurun akibat status sosial yang sangat berbeda jauh.
Aku hanya mampu menatapnya kali ini. Tidak berani mengatakan apapun, meski lidahku telah menggantung sebuah nama yang ingin sekali kukatan.
Omar Al Rashid.
"Apakah ... itu sungguh--"
"Alraqs," ucapnya dingin yang terdengar jelas sedang memerintah.
Aku mengerutkan kedua alisku. "A-apa?"
"Alraqs aleahiratu!"
Aku terkejut, tanpa sadar melangkah mundur dengan seluruh tubuh yang gemetar.
Omar yang kukenal tidaklah seperti demikian. Dia adalah pria hangat dan sangat ramah pada siapa pun, sehingga bentakan yang baru saja kudengar dari bibirnya itu tanpa berhasil membuat kedua mataku berair.
Ia menatapku geram saat orang-orang di sisinya saling berbisik kemudian melirik ke arah pria itu, serta diam-diam mereka tertawa. Aku memang tidak tahu apa yang dibicarakan, tetapi melihat perilaku demikian, siapa pun tahu bahwa mereka sedang membicarakan Omar.
Atau lebih parahnya, diam-diam mereka mengejek.
"Lakukan sekarang." Omar memerintahku lagi. Kali ini dengan nada suara yang lebih rendah, tetapi terkesan tidak sabar.
Mengangguk pelan, aku memutuskan untuk berbalik dan menghapus cairan bening yang menggantung di pelupuk mata.
Kulu shy sayusbih ealaa mayram.
Kulu shy sayusbih ealaa mayram.
Kulu shy sayusbih ealaa mayram.
Aku mengulang-ulang kalimat tersebut dengan harapan semua akan baik-baik saja.
Dan ketika musik berganti, aku melihat Yasser berlari tergopoh-gopoh dengan membawa alat isap seperti shisha. Namun, memiliki bentuk tidak biasa karena berbentuk lebih kecil.
"Percayalah padaku, kau akan membutuhkan ini," ucap Yasser sambil memaksaku menempelkan bibir pada pipa kecil yang lentur dan bening, kemudian membakar shisha tersebut dan ....
... aku merasa sesuatu memasuki mulut dan membuatku refleks terbatuk dan setelah beberapa kali Yasser memaksa agar aku menghisapnya, sesuatu seolah berubah.
Rasa sakit yang setengah mati kutahan, secara perlahan mulai menghilang dan tergantikan dengan kekuatan luar biasa.
Aku membuka mata lebar-lebar lalu mengambil sebuah kipas berlubang yang memiliki api di setiap ruasnya kemudian mulai menari. Suara riuh tepuk tangan pun terdengar di seluruh ballroom, membuatku tersenyum miring ke arah Omar dan ....
Tanpa peringatan, lampu di seluruh ruangan ini padam.
Menyisakan kegelapan tanpa cahaya.
Melahirkan kembali mimpi buruk yang selama ini berusaha kukubur dalam-dalam.
Semua orang berteriak dan saat itu pula ....
... aku mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga.
***
Kalau ada typo kasih tau yaa ^^
Sorry banget kalo flashback terlalu panjang sebab, sangat dibutuhkan untuk menjadi alasan Nora bertahan dengan Omar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top