vii. MERU

Minara yakin sudah ada berhari-hari lamanya sejak terakhir dia mengalami momen paling absurd dan tak menyenangkan yang melibatkan pelayan menyebalkan yang berusaha untuk membunuhnya.

Tidak ada yang masuk ke kamarnya lagi, selain satu pelayan yang datang dua kali satu hari—di pagi hari untuk membersihkan Minara dan malam hari sebelum dia kembali tidur. Wajah pelayan itu tidak ada yang ia kenal juga, selalu berganti. Namun, kalau ada yang dia sadari, itu adalah fakta bahwa mereka selalu menjaga jarak dan menjaga tatapan mereka agar tidak bertukar pandang dengannya.

Minara tahu itu pasti ada hubungannya dengan hukuman yang diberikan oleh lelaki itu kepada wanita tua yang sudah terkapar hampir mati di lantai kamarnya.

Berbicara soal itu, dia juga tidak pernah bertanya apa yang dilakukannya pada si sialan yang hampir membunuhnya. Apakah dia membakarnya di hadapan semua orang sampai kejadian traumatis itu membuat semuanya tidak mau menatap Minara? Atau mungkin dia menenggelamkannya sama seperti caranya hampir membuat Minara kehilangan semua napasnya di air untuknya mencuci mukanya?

Yang pasti, tiap dia bertanya kepada para pelayan itu apa yang sudah terjadi, mereka selalu menjawab, "Tidak tahu." Lalu, pergi meninggalkannya dengan terburu-buru. Lagi pula, memanglah bodoh untuknya bertanya. Dia hanya berpikir mungkin bisa berkesempatan dapat jawaban, entah bagaimana.

Setidaknya, kalau di antara mereka tidak ada yang mau memberitahunya, dia berkenaan untuk menanyakannya langsung kepada si eksekutor.

Sebut Minara Widari gagah berani tanpa mengenal rasa takut, dia sudah tidak peduli akan terjadi apa kalau-kalau mendatangi ruang utama milik penguasa istana untuk bekerja. Dia tidak akan mati, itu dia sudah yakin.

Tanpa merias wajah, dia hanya mengenakan pakaian yang bagus daripada yang dia gunakan untuk berdiam diri di kamarnya biasanya.

Ia menyusuri lorong menuju ruang kerja si lelaki, hanya untuk menemukan dua orang pengawal berjaga di depan pintu yang megah nan besar itu, yang terbuat dari kayu paling mewah yang berhasil didapatkan oleh ayahnya dari pengrajin.

Mereka bahkan enggan melihat Minara, seolah-olah dia adalah debu yang tak dapat mereka lihat.

"Saya harus masuk ke ruangan penguasa."

Ah, bagaimana kata 'penguasa' terasa pahit di ujung lidahnya. Bukannya, Minara senang dengan titel yang dimiliki oleh lelaki itu, tapi mengingat dia tidak mengetahui namanya sama sekali, itu adalah pilihan terbaik. Terutama, kalau dia tidak ingin di benci lebih jauh dari antek-anteknya ini, seolah-olah mereka tidak menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadapnya sekarang.

"Kami disuruh untuk tidak membiarkan siapa pun masuk ke ruangan raja."

"Saya tahu. Tapi, setidaknya, beri tahu padanya kalau aku harus menemuinya saat ini untuk membicarakan urusan pribadi." Ini adalah urusannya dengan si lelaki, mereka tidak punya hak untuk melarangnya.

Orang itu sudah sering memperlakukan Minara semaunya. Enak saja dia berpikir bahwa si gadis tidak akan memperlakukannya balik sebagaimana yang dia alami selama ini.

"Hei, jalang," kata salah satunya. "Penguasa memang memperlakukanmu seolah-olah kau masih memiliki istana ini, tapi kami tidak. Kau tidak dengar kami sudah bilang kalau dia tidak memperbolehkan siapa pun untuk datang ke sini sembarangan?"

"Sebut sekali lagi." Dia menatap nyalang. "Sebut kau bilang aku apa sebelumnya. Aku mau mendengarnya lagi."

"Kau—"

Yang memotong perkataan salah seorang pengawal itu bukanlah Minara.

Ketika Minara menyaksikan apa yang ada di depan matanya dan menyadari apa yang terjadi, dia menemukan salah seorang pria yang beberapa waktu lalu sempat dilihatnya bersama lelaki berdarah saat mereka pertama kali tiba di kerajaan, menyudutkan pengawal itu ke pintu megah di belakangnya dengan pedangnya.

Satu langkah kalau-kalau pengawal itu mencoba untuk melawan balik, lehernya akan langsung menemukan pedang yang tajam, yang akan mengirimnya langsung ke kematian.

Yang disudutkan dengan pedang langsung mati kutu, sedangkan yang satunya lagi berdiri mematung tidak tahu apa yang harus dia lakukan di momen itu.

"Satu serangan cepat dan kau langsung mati kutu?" Pria yang menyerangnya itu bertanya dengan nada yang dingin. "Aku harus memberi tahu Meru kalau pengawalnya hanyalah orang-orang tak kompeten yang gampang dibunuh."

Oh, jadi namanya Meru, batin Minara.

Meru adalah gunung suci yang sering disebutkan dalam cerita-cerita lama. Minara tidak bisa tidak mengkaitkannya dengan gunung yang tinggi, yang tak tergapai, penuh misteri, dan seenaknya sendiri.

Omong-omong soal itu, orang ini pastilah lebih dekat daripada yang dia duga dengan lelaki berdarah itu. Memanggil nama menunjukkan kesan yang intens dan dekat.

"Hei." Orang itu memanggil Minara setelah dia melamun untuk beberapa saat.

"Apa?" tanyanya.

"Kau mencari Meru?" Dia bertanya balik yang dijawab Minara dengan anggukan.

Dia mengendikkan kepalanya ke arah pintu besar itu, menyuruhnya untuk mengikutinya ke dalam.

Selagi Minara ingin mengekorinya, pria itu menyempatkan diri untuk menjauhkan pedangnya dari leher orang yang dia serang dan berkata, "Kalian berdua, pindah ke halaman depan bersama yang lain. Sekarang. Aku akan mendatangi kalian secara personal setelah urusanku." Mereka lalu terburu-buru meninggalkan tempat itu, tidak ingin berbicara atau berkilah lebih lanjut.

Sisa Minara dan pria yang dia ketahui sebagai anak buah 'Meru'.

"Saya Abimana, Putri."

Oh, Minara terpukau dengan kesopanannya. Tidak seperti orang yang dia kawal, dia berpikir lagi.

Abimana membuka pintu dan mempersilakan Minara untuk masuk terlebih dahulu, lalu dia menyusul di belakangnya.

Minara melihat ke sekitar seperti orang yang pertama kali masuk ke ruangan itu. Abimana tampaknya memahami maksud tatapannya ke sekitar, yang membuatnya langsung bertanya, "Bukannya Anda sudah masuk kemari banyak kali, Putri? Penerus akan diajari langsung di ruangan ini, kan?"

Mungkin, Meru tidak memberitahunya meskipun lelaki yang satu itu mengetahui seluruh kehidupan Minara seperti membaca dongeng-dongeng yang akhirnya dia hafal luar dan dalamnya.

Minara hanya tersenyum tipis sebelum menjawabnya, "Tidak."

Ruangan itu lebih besar daripada yang dia bayangkan selama ini. Mengingat Gatrya Wibinagara tidak begitu senang dengan pemikiran bahwa putri tunggalnya yang harus menggantikannya suatu hari nanti, Minara tidak pernah menginjakkan ruangan itu sama sekali seumur hidupnya.

Lagi pula, apa yang bisa diharapkan dari seorang putri hantu? Minara bahkan ragu Abimana tahu tentang eksistensinya selama ini.

Dinding ruang kerja itu cokelat, terbuat dari kayu gaharu, dipoles sesempurna mungkin agar cantik dan indah sesuai namanya sebagai "kayu para dewa". Satu meja yang tampaknya terbuat dari bahan yang sama terletak di tengah-tengah ruangan, di atasnya dipenuhi dengan berkas-berkas dan apa pun yang dibutuhkan oleh para penguasa itu untuk membaca, menulis, meralat, dan menyetujui rancangan internal serta eksternal kerajaan.

Minara merasakan lautan perasaan yang lain, yang tidak dia kenal, menghunjamnya ketika dia membayangkan bahwa dia tidak akan pernah bisa duduk disana dan menjadi ratu. Tidak dengan kejadian-kejadian sialan yang terjadi padanya.

Entah ,kalau saja ayahnya yang masih hidup atau sudah mati, tidak ada yang berbeda padanya. Dia rasa, sekalinya menjadi putri hantu tidak akan pernah bisa membuatnya batal menjadi hantu.

Dia melihat ke setiap sudut ruangan itu dengan terpukau, tidak pernah menduga bahwa dia bisa melihat-lihat seperti tamu yang diundang ke suatu kerajaan. Padahal, dia sudah tinggal di sana selama sembilan belas tahun.

Ironis rasanya.

Minara tersenyum tipis, di momen dia pun mengira tidak akan pernah bisa tersenyum.

"Anda seperti orang yang baru pertama kali tiba di sini." Abimana berkomentar, menangkap secercah senyum di wajahnya.

Minara bahkan malu karena ada yang berhasil menangkapnya tersenyum.

"Meru tidak memberitahumu, ya?" tanyanya.

Menyebut penguasa kerajaan yang tadinya milik ayahnya itu seperti kawan lama yang tak bersua seabad dan seolah-olah penuh dengan nostalgia rasanya tak benar untuk dilakukan. Namun, lebih tidak menyenangkan di lidahnya kalau dia harus menunjukkan betapa kontrasnya perbedaan mereka, terutama dalam hal kasta.

"Aku, putri hantu kerajaan ini," lanjutnya, dan Abimana tak bertanya lagi.

Abimana melihat ke sekeliling dan menyadari sudah membiarkan Minara terlalu lama di ruangan itu, bersamanya. tanpa kejelasan kenapa dia membawanya ke tempat itu alih-alih memberitahunya lebih awal dengan yang sedang terjadi.

"Meru tidak di tempat, Putri."

Minara mengernyit karena tidak pernah menyadari bahwa mungkin saja lelaki itu memang tidak selalu di istana ini. Mungkin karena selama ini dia tidak pernah mencari tahu apa yang terjadi di luar kamarnya dan karena rasanya Meru selalu berusaha sekuat mungkin untuk menunjukkan presensinya yang membuat Minara jadi jemu, jadi dia tidak pernah benar-benar memikirkan fakta bahwa orang itu tetaplah penguasa yang selalu punya urusan di tempat-tempat lain.

"Orang itu bisa pergi ke luar juga?" Minara pikir, itu hanya akan terucap di kepalanya, tanpa sadar mengucapkannya gamblang seperti orang bodoh dan didengar langsung oleh yang bersamanya.

Lelaki yang bersamanya tampaknya tidak terganggu dengan celetukan Minara.

Sang gadis berdeham beberapa kali untuk memperbaiki kalimat pertanyaannya. "Memangnya, ada urusan untuknya keluar dari istana?"

Seharusnya, Abimana tidak memberitahunya. Namun, mengingat Meru sudah menitipkan pesan untuk jawaban macam apa saja yang dapat dia berikan kalau saja 'putri istana' mendatangi ruangannya untuk menuntut pertemuan selama dia tidak di tempat, dia melakukannya.

"Dia mengatakan bahwa yang dikerjakaannya sangatlah penting. Urusan internal kerajaan yang tidak dapat diganggu gugat."

"Untuk berapa lama?"

"Saya kurang tahu, putri. Tapi, seharusnya tak lama lagi dia kembali ke istana."

Artinya, setelah meninggalkannya waktu itu, orang ini langsung pergi. Urusan internal yang Minara tahu tidak pernah memakan waktu kurang dari tiga hari. Jika dia akan kembali 'sepertinya' tak lama lagi, tak ada kemungkinan yang lebih mungkin daripada itu. Selain kalau Meru mempunyai kekuatan untuk menyelesaikan urusan internal dengan sangat cepat seperti orang gila, sesuai titelnya bagi Minara.

"Apakah ada yang bisa saya sampaikan kepada Meru, Putri?"

"Sampaikan kalau aku datang kemari dan berkenaan untuk bertemu dengannya secepat mungkin."

"Tentu. Perlukah saya mengantar Anda ke kamar Anda kembali?"

"Tidak perlu," jawabnya. Lalu, dia berbalik dan berniat untuk kembali ke kamarnya, meninggalkan Abimana sendirian di sana, menyaksikannya berjalan sendiri.

Sampai realisasi yang lain mendatangi Minara.

"Ngomong-ngomong ...." Dia memotong kesunyian tanpa membalikkan badannya kembali. "Ke mana dia pergi?"

Abimana tersenyum. "Hutan Gayatri."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top