v. NONA

Hari-hari berselang setelah penawarannya agar mereka sepakat: satu istana termewah dalam sejarah di hutan paling jahat di seluruh pulau dan pernikahan mereka akan terlaksana.

Tidak ada yang tahu kenapa putri hantu yang akhirnya menunjukkan wajahnya itu jadi religius dan datang ke kuil para dewa. Dengan pakaian serba putih dan wajah yang bersinar bak dipahat oleh Dewa dengan penuh cinta, Minara mendoakan yang lain: kegagalan dan kematian dari pria yang akan menjadikannya boneka seumur hidup, sampai pria itu bosan dengannya. Bosan bermain dengannya.

Lagipula, Minara yakin dia tidak akan bisa membangun istana disana meskipun dia—entah bagaimana—berhasil memasukinya.

Tidak mungkin semua orang yang dia bawa untuk membangunnya bisa pulang-pergi kalau-kalau mereka beruntung untuk lolos pada perjalanan yang pertama.

Minara tidak bisa membayangkan bagaimana sebuah istana yang begitu megahnya sampai diingat oleh keturunannya di bertahun-tahun setelah sekarang terbangun di tengah hutan mengerikan itu.

Bukan hanya itu, lelaki itu berkata bahwa dia akan menamakan istana itu dengan nama Minara.

Jangankan dia, Minara sudah menjadi hantu istana ini sejak dia dilahirkan ke dunia. Tidak akan ada yang sanggup memberikan atau mungkin di beberapa kasus, menghancurkan dunia untuk Minara Widari hanya karena dia memintanya.

Setidaknya, selama dia hidup, tak ada yang sanggup dan mau melakukannya. Apalagi lelaki yang membencinya. Dia tidak punya alasan untuk memberikan-nya untuknya.

Tetapi, di malam-malam tertentu, dia membayangkan ada yang mau memberikan jagat raya untuk Minara seorang:

Bagaimana rasanya dipuja sedemikian rupa.

Oh, Minara selalu membayangkannya sejak dia pertama kali bisa mengingat ingatan pertamanya.

Istana di Hutan Gayatri atas namanya, untuk dirinya.

Dia membayangkan bagaimana istana itu akan menjadi satu-satunya bahasan yang keluar dari tiap bibir manusia kepulauan. Kemegahannya yang tidak akan bisa dikalahkan siapapun, betapa bersinar dan cemerlangnya. Betapa indah dan memesonanya, di atas hutan yang bahkan tak terjamah oleh tangan manusia.

Dewa-dewi bahkan akan cemburu dengan istana itu, berharap mereka bisa turun ke bumi dan mendiaminya. Apalagi hantu penghuni Gayatri yang selama ini tinggal disana, mereka akan mengirikannya. Sisi lain dari diri Minara menginginkanny: dipuja dan dikagumi oleh setiap entitas yang ada dan melihatnya. Bahkan yang tak melihat harus melihatnya juga.

Tiap jengkalnya akan berdiri kokoh dan menakjubkan, membuat tiap arsitek manapun akan rela memberikan apa saja agar mempunyai sihir yang membuat mereka bisa menciptakan yang serupa dengan istana Minara. Tiap incinya akan terbuat dari emas murni dan berkilauan, mengundang kekaguman bagi siapapun yang melewatinya dan berharap bisa menjadi penghuni di dalamnya.

Ukiran-ukiran akan ada di seluruh sudut dan detail istananya sampai membuat Minara akan terpesona sendiri seakan bukan dialah yang berceletuk tentang untuk dibuatkan istana.

Dari benteng sampai ke gapuranya, akan dibangunnya beberapa tempat tinggal pada awalnya, dan akan sangat luas. Jalanannya lengang sampai takkan apa-apa kalau ada kanak-kanak yang ingin bermain disana. Jalan utama akan terarah ke gapura indahnya, di beberapa petak akan dibangunnya juga ukiran yang lain.

Akan ada kolam dengan ikan-ikan paling mahal yang bisa ditemukan oleh para bawahannya diantara bangunan utama dan bangunan kedua.

Di bangunan pribadinya, dia akan menggantung hasil lukisan-lukisan dan karya seni yang dibuat oleh para pengrajin yang mendatangi istana barunya untuk memperkenalkan karya mereka.

Lalu, kamarnya akan terbuat dari batuan mewah, atapnya akan dilapisi anyaman yang dibuat oleh tangan-tangan para ahli, tempatnya tidur akan nyaman, dan lantainya tidak akan dingin seperti miliknya di istana saat ini.

Di hadapan tempatnya tidur akan dia pajang lukisan yang sangat cantik, atau mungkin dia harus memasang lukisan dirinya—kalau-kalau ada yang begitu baiknya melukisnya.

Membayangkan semua itu membuat Minara merasakan sesuatu: yang bersifat damai dan tenteram. Dia tidak bisa menjabarkannya, dan hilangnya secepat kedatangannya. Lalu yang lain, yang seperti rasa ingin. Minara ingin menjadi egois dan jahat, dia ingin semuanya.

Oh, kalau bayangannya sudah sedetail yang ada di kepalanya saat ini, hanya sisa waktu sampai Minara ingin dibuatkan kerajaan, atau kalau memang berat, kerajaannya saat ini pindah ke sana. Ke Hutan Gayatri.

Ketukan penuh sarat formalitas di pintu membuat Minara berhenti mengangan-angan dan bangkit dari posisi berbaringnya yang nyaman.

Satu pelayan yang terlihat cukup tua memasuki kamarnya. Dia menggunakan sanggul khas wanita-wanita di kalangan masyarakat. Bajunya adalah kebaya tua yang pernah begitu terkenal pada masanya dan Minara bisa melihat riasan di wajahnya walaupun tipis.

Ini hanyalah satu pelayan dari sekian pelayan dan dia memang tidak begitu dipedulikan untuk mengingat siapa saja wajah yang pernah melayaninya selama ini.

Minara berjalan ke depan kaca, melihat dirinya sendiri di balik cermin.

Dia sudah membasuh dirinya di bilik belakang tapi berhubung dia sudah harus menyantap makan di ruang makan utama tempat dimana semua orang akan menaruh atensi kepadanya, pelayan-pelayan ini mempunyain rutinitas tambahan untuk meriasnya dan memilihkan pakaian yang lebih baik daripada yang biasanya dia kenakan.

Anehnya, pelayan tua satu ini membawakannya seember berisi air, sontak membuatnya mengernyit. Tetapi, seolah paham dengan arah pandangnya, wanita tua itu berkata, "Air ini untuk membersihkan wajah Anda, Nona." Nona, Minara mendengus geli.

"Aku sudah membasuhkan diri."

Alih-alih melanjutkan percakapan, wanita tua itu malah mengambil sisir dan menyisiri rambut Minara dengan sangat kasar dan keras, langsung membuatnya menggigit bibirnya sendiri, berharap agar tidak mengeluarkan suara apa-apa bahkan aduhan, karena menciptakan kerusuhan di pemerintahan ayahnya saja sudah tidak mungkin, apalagi ketika pria sialan itu yang memegang kendali Rashakara.

Dulu, mereka tidak peduli padanya untuk melakukan tindakan-tindakan melewati batas semacam ini. Sekarang mereka sudah melihat Minara, nyata dan ada. Sudah bukan putri hantu penghuni istana ini.

Seolah dia belum punya masalah untuk dipikirkan saja. Dia punya perasaan-perasaan aneh di dadanya ini tapi orang-orang ini malah mencari masalah untuknya.

"Pelankan intensitas kekuatanmu." Dia menegur dengan nada yang sopan, mengharapkan yang serupa dari lawan bicaranya ini.

"Aduh, nona. Aku sangat lembut saat ini." Dia membalas dengan menyisiri rambutnya lebih kencang lagi.

Minara hampir meringis ketika perasaan berhamburan di dadanya. Tetapi, menangis di momen itu hanya akan menunjukkan kalau dia selemah itu. Jadi, yang dia lakukan hanyalah menggigiti bibirnya semakin keras.

Samar-samar, dia bisa merasakan amis darah disana.

"Kau punya masalah denganku?" dia bertanya, menahan sisir itu dengan tangannya, berusaha melawan kekuatan si wanita tua.

"Apa maksud anda, nona? Saya tak punya masalah sama sekali dengan anda." Kali ini dia bertutur lebih formal daripada sebelumnya.

Apa maunya? Dia membatin sendiri.

Minara mengernyitkan dahinya, tak suka.

"Nona, apakah kau tahu?" tanyanya kepada Minara yang masih menahan sisir.

Sunyi senyap menyusul setelahnya, tetapi wanita tua itu selesai dengan menyisirnya dan menggantinya dengan air yang dimasukkan ke wadah.

Mana mungkin Minara mau membenamkan wajahnya disana setelah perlakuan semena-mena dari wanita tua ini kepadanya dengan sisir sialan itu.

"Kau mungkin akan berakhir seperti ayahmu."

Hanya itu kalimat yang dia dengar sebelum semuanya mengabur dan si wanita tua membenamkan wajah Minara dengan paksa, dengan kekuatannya yang besar itu.

Minara berusaha melawan, memegang dan mencengkeram apapun yang bisa digapai. Napasnya sesak dan dia tidak nyaman dengan ketidakmampuannya dalam melawan.

Kulit, tangan, dia berhasil menggapai salah satu tangan wanita tua dan langsung menancapkan kukunya disana dengan sama kuatnya.

Wanita itu mengaduh dan menjatuhkan wadah berisi air, membuatnya langsung tergenang di lantai. Minara menebak, tangannya pastilah terluka, berdarah.

Minara sangat membenci perlakuannya. Dia merasa akan marah saat itu juga.

Tatapannya kosong ke lantai, tanpa ekspresi, tanpa perasaan seperti sebelum kedatangan lelaki bajingan itu.

Ada darah di kukunya, sedikit, tapi semakin membuat yakin bahwa dia berhasil menancapkan kukunya tadi.

Minara mengalihkan pandangannya perlahan ke arah wanita tua ini, sangat dalam dan menusuk.

Matanya berbinar dalam cahaya dan warna yang lain untuk sebentar. Berkilat padahal tak ada matahari yang lolos dari awan dan mengenai wajahnya saat ini.

Wanita tua itu langsung terkapar ke tanah, sesak napas, dan mencengkeram dadanya dengan kuat. Dia terlihat akan tewas disana saat kulitnya berubah menjadi pucat pasi.

Minara membeku dan dia tidak bisa berpikir. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top